- Source: Artapanus dari Aleksandria
Artapanus dari Aleksandria (bahasa Yunani: Ἀρτάπανος ὁ Ἀλεξανδρεύς) adalah seorang sejarawan keturunan Yahudi yang hidup di Aleksandria, Mesir menjelang akhir abad ke-3 atau abad ke-2 SM.
Nama
Namanya mirip dengan Artap/banus, yaitu nama putra Hystaspes atau nama saudara laki-laki raja Darius Agung dari kekaisaran Akhemeniyah (Persia). Juga merupakan nama sejumlah tokoh sejarah Iran, termasuk lima (enam kalau menghitung nama pemimpin Armenia asal Parthia) raja Parthia. Dalam bahasa Persia modern ditulis Ardavān (اردوان dalam tulisan Persia).
Tulisan
Artapanus menulis Concerning The Jews ("Perihal orang Yahudi"), berisi sejarah orang Yahudi, dalam bahasa Yunani antara tahun 250 dan 100 SM, tetapi naskah aslinya tidak terlestarikan. Tulisan Artapanus dapat ditafsirkan sebagai tanggapan terhadap tulisan Manetho pada awal abad ke-3 SM, sehingga Artapanus kemungkinan besar menulis tidak lebih awal dari pertengahan abad ke-3, melainkan pada paruh kedua abad ke-3 di bawah pemerintahan Ptolemaios IV Philopator antara 221 dan 204 SM. Namun, Alexander Polyhistor mengutip tulisan Artapanus pada pertengahan abad ke-1 SM, sehingga Artapanus kemungkinan menulis sebelum akhir abad ke-2 SM. Naskah asli Polyhistor tidak terlestarikan.
Bagian-bagian karya Artapanus terlestarikan dalam kitab-kitab dua sejarawan di kemudian hari: Klemens dari Aleksandria dalam Stromata (Kitab I, bab 23) dan Eusebius dari Kaisarea dalam Præparatio Evangelica (Kitab IX, bab 18, 23, dan 27).
Penggambaran Musa
Menurut konsensus para sarjana, Artapanus menggunakan Septuaginta (terjemahan Tanakh/kitab suci orang Yahudi dalam bahasa Yunani) sebagai kerangka riwayat sejarahnya, dengan menyesuaikan sejumlah kisah dalam penuturannya sendiri. Ia menggambarkan petualangan di Mesir dari tiga tokoh leluhur orang Yahudi: Abraham, Yusuf, dan Musa, yang dilukiskannya sebagai para pahlawan yang menghasilkan banyak inovasi budaya di wilayah Timur Dekat kuno.
Menurut Artapanus, Abraham mengajarkan ilmu astrologi kepada seorang Firaun Mesir, sementara Musa mempersembahkan banyak “manfaat yang berguna bagi manusia” dengan menciptakan kapal, senjata Mesir, dan filsafat (Eusebius, PrEv 9.27.4). Ia juga menyatakan bahwa orang Yunani menyebut Musa sebagai Musaeus dan bahwa Musa mengajari Orpheus, yang umumnya dianggap Bapa budaya Yunani. Artapanus juga menyatakan bahwa Musa yang membagi Mesir dalam 36 nome dan ia juga berhasil mengalahkan Ethiopia, dua prestasi yang secara tradisional dianggap dilakukan oleh pahlawan rakyat Mesir, Sesostris. Sepanjang penuturannya Artapanus menegaskan bahwa masyarakat menyukai tokoh-tokoh Yahudi ini karena inovasi dan prestari mereka yang mengagumkan. Malahan orang Etiopia sampai menyunatkan diri karena kagum terhadap Musa. Sejumlah kisah sejarah Artapanus jelas merujuk kepada cerita-cerita dalam Kitab Kejadian dan Kitab Keluaran (dalam Tanakh Yahudi yang sama dengan Perjanjian Lama pada Alkitab Kristen), seperti penggambaran tulah-tulah Mesir, tetapi sebagian besar penuturannya tidak memiliki bukti yang cukup.
Salah satu aspek yang paling kuat dari karya-karya Artapanus adalah mudahnya ia menggabungkan budaya dan agama Yahudi dan Mesir. Artapanus juga enulis bahwa Musa bertanggung jawab atas penunjukan "dewa yang disembah pada masing-masing [dari 36] nome dan dewa-dewa itu seharusnya adalah kucing, anjing dan burung ibis." Tidak pelak bahwa Artapanus mengenal baik penyembahan binatang dalam budaya Mesir dan banyak tempat penyembahan kucing, misalnya Tuna el-Gebel (di luar kota Hermopolis), yang berkembang pada zaman Artapanus menulis. Namun, penyebutan "kucing dan anjing dan burung ibis" tidak memberikan pengetahuan untuk menentukan tarikh penulisan karyanya. Juga tidak diketahui apakah sinkretisme agama dalam tulisan Artapanus mencerminkan pemikiran serupa orang Yahudi atau orang Mesir pada zamannya. Meskipun Artapanus menyatakan Musa memulai penyembahan binatang, ia juga mengklaim bahwa "binatang-binatang yang dikuduskan" itu hancur pada saat penyeberangan Laut Merah. Menurut Artapanus, ini menunjukkan bahwa kontribusi Musa pada masyarakat Mesir pada akhirnya kurang penting dibandingkan tujuan utama pahlawan rakyat ini, yaitu memimpin orang Israel keluar dari Mesir.
Musa juga diidentifikasikan dengan Hermes dalam 9.27.6 (Eusebius, PrEv): "Karena hal-hal ini Musa dicintai oleh orang banyak, dan dianggap layak menerima penghormatan seperti dewa oleh para imam dan disebut sebagai Hermes, karena dapat menafsirkan huruf-huruf suci." Hermes adalah dewa Yunani yang membawa kabar; dalam tradisi Mesir dikaitkan dengan Thoth (Djehuty), dewa kebijakan dan waktu, yang menciptakan sistem penulisan. John J. Collins menunjukkan bahwa drama linguistik Yunani tentunya sudah ada pada masa hidup Musa, Thoth, menurut Artapanus, dalam nama umum Thutmosis; tetapi bukan ini yang menyebabkan Artapanus mengaitkan Musa dengan Thoth, melainkan Artapanus menghubungkan para leluhur orang Yahudi yang mengajarkan keahlian kepada orang Mesir seperti astrologi (Abraham, dalam Eusebius PrEv 9.18.1) dan Musa, yang menafsirkan huruf-huruf kudus (maksudnya, tulisan Ibrani), dengan pengetahuan seperti dewa Thoth, yang terkenal dalam sejarah, budaya dan agama Mesir secara umum.
Teologi dan motivasi
Teologi Artapanus diperdebatkan oleh para sarjana. Ada yang menganggapnya seorang Yahudi politeistik (misalnya oleh John Barclay), karena menerima penyembahan binatang oleh orang Mesir dan penggambaran Musa sebagai dewa. Yang lain mengamati bahwa kekagumannya akan kuasa mukjizat Musa mencerminkan paganisme Helenistik. Kelompok sarjana lain percaya bahwa Artapanus melakukan monolatri – ia sendiri hanya menyembah satu ilah tetapi mengakui kemungkinan adanya dewa-dewa lain. Mereka melihat bahwa Artapanus terus mengakui keunggulan YHWH dalam seluruh naskahnya, dan penggambarannya mengenai Musa sebenarnya bersumber pada Alkitab.
Motivasi Artapanus dalam menulis juga diperdebatkan. Satu cabang analisis menekankan adanya ketegangan antara orang Yahudi diaspora dengan orang-orang Helenistik di sekitar mereka. Para sarjana, misalnya Carl Holladay, melihat tulisan Artapanus sebagai “historiografi kompetitif" (competitive historiography). Mereka berargumen bahwa Artapanus bertujuan untuk membela orang Yahudi dari serangan para sejarawan asing seperti Manetho, dan ini menjelaskan penggambaran keunggulan para leluhur orang Yahudi. James Charlesworth dari Princeton University antara lain berpendapat bahwa Artapanus menyusun suatu “apologia pro-Yahudi” dalam menanggapi sterotipe orang Mesir yang anti-Musa dan anti orang Yahudi. Yang lain membantah argumen sebelumnya itu, karena hampir tidak mungkin orang asing akan membaca sejarah orang Yahudi yang telah diubah untuk merendahkan pencapaian budaya mereka. Sebaliknya, para sarjana itu menganggap sasaran pembaca Artapanus adalah orang Yahudi sendiri, dan ia menulis kisah sejarah ini untuk menguatkan kebanggaan nasional mereka. Sejumlah sarjana menerima kedua argumen ini, mengklaim bahwa penuturan Artapanus sekaligus merupakan historiografi apologia dan propaganda nasional.
Di sisi lain, Erich Gruen menegaskan bahwa argumen-argumen ini gagal melihat humor Artapanus yang merupakan motivasi utamanya. Ia berpendapat bahwa Artapanus tidak bertujuan agar pembacanya menerima kisah imaginatifnya secara harfiah, karena siapapun yang mengenai kisah alkitabiah akan cepat mengenali tambahan dan manipulasi fantastis. Sebaliknya, Gruen memandang bahwa Artapanus secara bergurau menggoda para firaun dan melebih-lebihkan prestasi para leluhur Yahudi dengan “proporsi humor” untuk mendemonstrasikan keyakinan dirinya sebagai seorang Yahudi diaspora, suatu penghiburan yang ditujukan pada pembacanya dari kalangan Yahudi.
Dampak literatur
Meskipun ada kemungkinan Artapanus mempengaruhi sejarawan Yahudi Flavius Yosefus, tampaknya pengaruhnya kecil terhadap literatur Yahudi di kemudian hari.
Referensi
Pustaka
H. M. Zellentin, "The End of Jewish Egypt: Artapanus and the Second Exodus," in Gregg Gardner and Kevin L Osterloh (eds), Antiquity in Antiquity: Jewish and Christian Pasts in the Greco-Roman World (Tuebingen, Mohr Siebeck, 2008) (Texte und Studien zum antiken Judentum, 123), 27–73.