- Source: Coelacanth Afrika
Coelacanth Samudra Hindia Barat (Latimeria chalumnae) (terkadang juga disebut Gombessa, Coelacanth Afrika atau Coelacanth saja) merupakan ikan dari grup crossopterygian, salah satu dari dua spesies coelacanth yang masih hidup, sebuah ordo vertebrata langka yang memiliki kekerabatan yang lebih dekat dengan ikan lungfish dan tetrapoda dibandingkan dengan ikan bersirip pari pada umumnya. Spesies lain yang masih ada adalah coelacanth Indonesia (L. menadoensis).
Coelacanth Afrika secara historis dikenal oleh para nelayan di sekitar Kepulauan Komoro (di mana mereka dikenal sebagai gombessa), Madagaskar, dan Mozambik di bagian barat Samudera Hindia, namun pertama kali diakui secara ilmiah dari spesimen yang dikumpulkan di Afrika Selatan pada tahun 1938.
Coelacanth ini pernah dianggap sebagai spesies yang mengalami konservasi evolusioner, yaitu tidak berubahnya morfologi tubuh dalam jangka waktu yang lama, namun banyak penemuan telah menunjukkan keragaman morfologi awal dari coelacanth. Ikan ini mempunyai pigmen biru terang, dan merupakan yang paling terkenal di antara dua spesies yang masih ada. Spesies ini telah dinilai sebagai spesies yang terancam kritis dalam Daftar Merah IUCN.
Anatomi dan fisiologi
Berat rata-rata Latimeria chalumnae adalah 80 kg (176 lb), dan panjangnya bisa mencapai 2 m (6,5 kaki). Betina dewasa sedikit lebih besar dari jantan. Latimeria chalumnae memiliki warna biru tua dengan bintik-bintik yang digunakan sebagai taktik kamuflase untuk berburu mangsa. Adaptasi anatomi serupa mencakup banyaknya sel visual seperti sel batang untuk membantu melihat akibat keterbatasan cahaya. Hal ini dikombinasikan dan didukung oleh mata mereka yang besar untuk melihat di air yang gelap.
Mirip dengan ikan bertulang rawan, Latimeria chalumnae memiliki kelenjar rektal, kelenjar pituitari, pankreas, dan sumsum tulang belakang. Untuk menyeimbangkan tekanan osmotik, ikan ini mengadopsi mekanisme osmoregulasi yang efisien dengan mempertahankan urea dalam darahnya.
Latimeria chalumnae adalah spesies ovovivipar, artinya mereka menyimpan telurnya di dalam tubuh hingga menetas. Mereka juga memiliki kesuburan yang rendah karena masa kehamilannya yang lama, yaitu sekitar 13 bulan menurut studi Hureau & Ozouf (1977), 3 tahun menurut studi Froese & Palomares (2000), dan mencapai 5 tahun menurut studi terbaru oleh Mahé et al. (2021), meskipun tidak banyak yang diketahui mengenai usia kematangan seksualnya.
Habitat dan perilaku
L. chalumnae biasanya ditemukan pada kedalaman antara 180–210 m (590–690 kaki), namun terkadang ditemukan pada kedalaman 243 m (797 kaki) dan dangkal pada kedalaman 54 meter (177 kaki). L. chalumnae cenderung tinggal di gua bawah air, yang paling umum ditemukan di kedalaman ini. Hal ini mungkin membatasi jangkauan kedalaman maksimum mereka, seiring dengan kurangnya mangsa. Mereka diketahui menghabiskan siang hari di dalam gua lava ini, kemungkinan besar untuk perlindungan dari predator, dan mencari makan di sekitarnya pada malam hari. Coelacanth bersifat oportunistik dalam mencari makan. Beberapa spesies mangsanya yang diketahui adalah ikan yang meliputi: Coranthus polyacanthus, Beryx splendens, Lucigadus ori dan Brotula multibarbata. Sendi intrakranial dan otot basicranial terkait mereka kemungkinan juga memainkan peran penting namun belum dipahami dengan baik perannya dalam perilaku makan.
Beberapa individu terlihat melakukan "headstands" (berdiri dengan kepala) saat makan, hal ini memungkinkan coelacanth menyeruput mangsanya dari celah di dalam gua lava. Perilaku ini dimungkinkan karena kemampuan coelacanth untuk menggerakkan rahang atas dan bawah, yang merupakan ciri unik pada vertebrata yang masih memiliki kerangka tulang.
Populasi dan konservasi
L. chalumnae tersebar luas namun sangat jarang di sekitar tepi barat Samudera Hindia, dari Afrika Selatan ke utara sepanjang pantai Afrika Timur, khususnya Region Tanga di Tanzania hingga Kenya, Komoro, dan Madagaskar, tampaknya terdapat di koloni-koloni kecil. Pada tahun 1991, diperkirakan 2-5 ekor coelacanth ditangkap secara tidak sengaja setiap tahunnya di Grand Comoro, yang merupakan sekitar 1% dari populasinya. Antara tahun 1991 dan 1994, diperkirakan terjadi pengurangan total populasi coelacanth sebesar 30%. Pada tahun 1998, total populasi coelacanth di Samudera Hindia Barat diperkirakan berjumlah 500 ekor atau kurang, jumlah yang mengancam kelangsungan hidup spesies tersebut. Dekat Grand Comoro, sebuah pulau di barat laut Madagaskar, dihuni maksimal 370 individu.
L. chalumnae dimasukkan ke dalam daftar terancam kritis dalam IUCN. Berdasarkan traktat Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Terancam Punah, coelacanth dimasukkan dalam kelompok Apendiks I (terancam punah) pada 1989. Traktat ini melarang segala bentuk perdagangan internasional untuk keperluan komersial dan mengatur segala bentuk perdagangannya, termasuk pengiriman spesimen ke museum, melalui sistem perizinan.
Penemuan
= Temuan pertama di Afrika Selatan
=Pada 23 Desember 1938, Hendrik Goosen, kapten kapal pukat Nerine, kembali merapat ke pelabuhan di East London, Afrika Selatan, setelah menjaring pukat di sekitar sungai Chalumna dan Ncera. Seperti biasa ia menelepon rekannya Marjorie Courtenay-Latimer, seorang kurator di sebuah museum East London, untuk menawarkan apakah ia mau memeriksa hasil tangkapannya hari ini dan memberitahukan bahwa ia telah menangkap seekor ikan aneh dan ia simpankan untuknya. Korespondensi pada arsip di South African Institute for Aquatic Biodiversity (SAIAB, sebelumnya bernama JLB Smith Institute of Ichthyology) menunjukkan bahwa Goosen bahkan dengan sangat hati-hati menjaga agar ikan itu tidak rusak, dan menyuruh krunya untuk menyimpannya kepada museum East London. Goosen menyatakan bahwa ikan ini berwarna biru baja pada saat pertama kali diangkat, akan tetapi ketika kapal Nerine berlabuh di pelabuhan East London beberapa jam berikutnya, ikan ini telah berubah warna menjadi abu-abu tua.
Marjorie tidak dapat mengidentifikasi ikan ini yang tidak ditemukan dalam daftar spesies makhluk hidup dalam bukunya. Kemudian ia berusaha menghubungi koleganya, Professor J. L. B. Smith, akan tetapi ia tengah cuti Natal. Karena tidak dapat mengawetkan ikan ini, ia dengan enggan mengirim ikan ini taksidermis. Ketika Smith kembali, ia segera mengenali ikan ini sebagai seekor coelacanth, yang selama ini dikenali dari peninggalan fosilnya saja. Smith menamai ikan ini Latimeria chalumnae untuk meghormati Marjorie Courtenay-Latimer dan nama perairan tempat ditemukannya ikan ini. Kedua penemu ini kemudian diakui jasanya, dan ikan ini kemudian dikenal sebagai "fosil hidup". Coelacanth temuan 1938 ini masih dipamerkan di Museum East London, Afrika Selatan.
Namun, karena spesimen telah diisi, insang dan kerangkanya tidak tersedia untuk diperiksa, dan oleh karena itu masih ada keraguan apakah itu benar-benar spesies yang sama. Smith kemudian mulai berburu spesimen kedua yang memakan waktu lebih dari satu dekade.
Coelacanth Afrika kemudian diketahui oleh para nelayan di Kepulauan Grande Comore dan Anjouan, tempat tinggalnya di lereng, pada kedalaman antara 150 dan 700 meter (500 dan 2.300 kaki).
= Spesimen kedua, Malania anjouanae
=Spesimen kedua, dengan sirip punggung dan sirip ekor yang hilang cacat, ditangkap pada tahun 1952 di lepas pantai Anjouan (Komoro). Pada saat itu diyakini sebagai spesies baru dan ditempatkan dalam genus baru juga, Malania, dinamai untuk menghormati Perdana Menteri Afrika Selatan pada saat itu, Daniel François Malan, yang tanpa bantuannya spesimen ini tidak akan terawetkan dengan otot dan organ-organ dalam yang utuh. Malania tidak dianggap sebagai taksa yang valid, dan kemudian digolongkan sebagai Latimeria chalumnae.
Taksonomi
Coelacanth Afrika (Latimeria chalumnae) dimasukkan ke dalam genus Latimeria, yang berbagi dengan satu spesies lain, coelacanth Indonesia (Latimeria menadoensis). Dari September 1997-Juli 1998, dua ikan coelacanth ditemukan di lepas pantai Pulau Manado Tua, Sulawesi, Indonesia, berbeda dengan Latimeria chalumnae yang ditemukan di dekat Kepulauan Komoro. Coelacanth Indonesia dapat dikenali dari warnanya yang abu-abu kecoklatan.
Genetika
Genom dari Latimeria chalumnae diurutkan pada tahun 2013 untuk memberikan gambaran mengenai evolusi tetrapoda. Coelacanth telah lama diyakini sebagai kerabat terdekat tetrapoda pertama di darat karena karakteristik tubuhnya. Meskipun anggapan coelacanth sebagai kerabat terdekat tetrapoda sebenarnya sudah lama diragukan, pengurutan genom memberikan bukti lebih lanjut bahwa ikan paru-paru, dan bukan coelacanth, adalah kerabat terdekat tetrapoda. Urutan lengkap dan anotasi entri tersedia di browser genom Ensembl.
Lihat juga
Coelacanth Indonesia (Latimeria menadoensis)
Referensi
Pranala luar
View the West Indian Ocean coelacanth genome
A Fish for Our Time Diarsipkan 2014-01-28 di Wayback Machine. dalam Intelligent Life, November/December 2013, by Samantha Weinberg
Kata Kunci Pencarian:
- Coelacanth Afrika
- Coelacanth
- Ikan raja laut
- Latimeria (genus)
- Latimeriidae
- Fosil hidup
- Dipnoi
- Elektroresepsi dan elektrogenesis
- Museum Paleozoologi Tiongkok
- Piscivor
- Timeline of South Africa
- Indian Ocean