- Source: Demokrasi di Pakistan
Demokrasi di Pakistan adalah sebuah proses dalam perkembangan kehidupan sosial dan politik di Pakistan, terutama proses demokratisasi atau proses transformasi sistem pemerintahan dari non-demokrasi menuju demokrasi yang terjadi di Pakistan.
Latar Belakang
Ketika Pakistan merdeka dan memisahkan diri dari India pada 14 Agustus 1947, Pakistan terdiri atas dua wilayah yang menjadi teritori kedaulatannya, yaitu Pakistan Barat (sekarang Republik Islam Pakistan) dan Pakistan Timur (yang memisahkan diri pada 26 Maret 1971, dan sekarang dikenal sebagai Bangladesh), yang sebenarnya wilayah mereka terpisah cukup jauh karena terpisah oleh wilayah India sepanjang kurang lebih 1.600 kilometer. Secara kebudayaan pun Pakistan Barat dan Pakistan Timur sangat berbeda, Pakistan Barat berbasis pada orientasi kebudayaan Etnis Punjab, sementara Pakistan Timur lebih berorientasi pada kebudayaan Etnis Bengal. Selain itu, dalam bidang ekonomi, Pakistan Barat lebih maju, banyak perwira militer Pakistan berasal dari Etnis Punjab, sementara Pakistan Timur hampir terabaikan sama sekali di semua bidang, terutama ekonomi, Etnis Bengal kehilangan identitasnya sebagai entitas sosial. Satu-satunya hal yang mengikat antara Pakistan Barat dengan Pakistan Timur adalah kesamaan agama, yaitu Islam.
Permasalahan dalam sistem politik dan ekonomi Pakistan mulai terjadi pasca meninggalnya The Founding Father Pakistan, Muhammad Ali Jinnah pada 1951 dan disusul dengan dibunuhnya Liaquat Ali Khan. Meninggalnya kedua tokoh politik utama di Pakistan ini memengaruhi perkembangan sosial-politik di Pakistan, karena tidak adanya tokoh kharismatik yang memiliki kewibawaan yang mempu menyatukan rakyat Pakistan sebagai satu identitas nasional. Selain itu pula, kematian kedua tokoh itu juga berdampak pada Partai Liga Muslim–partai yang didirikan oleh Muhammad Ali Jinnah dalam perjuangannya untuk memisahkan Pakistan dari India–mulai kehilangan popularitas, terutama di bagian Pakistan Timur. Dengan demikian, Pakistan benar-benar mengalami krisis kepemimpinan yang sangat membahayakan integrasi negara.
Kegagalan Dewan Konstituante
Krisis kepemimpinan dan ancaman disintegrasi Bangsa Pakistan, terutama di wilayah Pakistan Timur telah mendorong munculnya pembahasan mengenai perumusan Undang-Undang Dasar yang baru. Seperti halnya di Indonesia, Pakistan pernah memiliki sebuah lembaga legislatif ekstra-parlemen, yakni lembaga konstituante. Konstituante ini yang bertugas merumuskan undang-undang dasar pada awal kemerdekaannya, namun kemudian Dewan Konstituante Pakistan yang dibentuk pada 1947 itu dibubarkan. Sebagai gantinya, pada 1956 sebuah Dewan Konstituante yang baru dibentuk untuk merumuskan Undang-Undang Dasar yang baru bagi Pakistan. Dewan Konstituante Pakistan yang baru itu rupanya tetap tidak mampu membuat sebuah konstitusi dasar yang mampu mencakup seluruh lapisan rakyat Pakistan, sehingga instabilitas politik di Pakistan tetap berlangsung.
Kudeta Militer
Kegagalan Dewan Konstituante Pakistan dalam membentuk konstitusi dasar itu akhirnya membuat kubu militer kecewa. Pihak Militer Pakistan kemudian melakukan kudeta pada 1958, militer mengambil alih kekuasaan negara, kemudian militer membubarkan Dewan Konstituante dan menganulir Undang-Undang Dasar 1956. Sistem parlementer yang telah dibuat dihancurkan oleh militer, kabinet pemerintahan, parlemen dari tingkat pusat hingga daerah baik di Pakistan Barat maupun Pakistan Timur, dan juga partai politik turut dibubarkan oleh militer. Sebagai gantinya, naiklah seorang perwira dari Angkatan Darat Pakistan sebagai pemimpin baru di Pakistan, yaitu Jenderal Ayub Khan.
= Naiknya Jenderal Ayub Khan
=Setelah kudeta militer, Jenderal Ayub Khan yang kemudian menjabat sebagai Presiden Revolusioner Pakistan mendirikan sebuah sistem presidensial dan membuat kabinet pemerintahan Pakistan yang baru. Pada 1960, Pakistan mengadakan sebuah referendum dimana hasilnya adalah memantapkan posisi Jenderal Ayub Khan sebagai Presiden Pakistan dan mendapatkan tantangan untuk membuat konstitusi baru bagi Pakistan.
Sebagai Presiden Pakistan, Jenderal Ayub Khan kemudian berpendapat kalau sistem parlementer adalah masalah bagi Pakistan, karena ia tidak cocok untuk Pakistan yang notabene rakyanya mayoritas masih buta huruf. Selain itu, sistem parlementer juga menjadi peluang bagi pemimpin partai politik untuk memperkaya diri sendiri dan memperbudak rakyat Pakistan. Oleh karena itu Jenderal Ayub Khan menawarkan beberapa syarat untuk menciptakan sebuah sistem, yaitu:
Sistem politik Pakistan harus dimengerti oleh seluruh rakyat Pakistan, dari seluruh lapisan masyarakat.
Sistem politik Pakistan harus memberikan kesempatan bagi seluruh rakyat Pakistan dari semua lapisan untuk turut serta dalam sistem sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Dengan demikian pemimpin partai tidak akan bisa memanfaatkan kesempatan untuk membodohi rakyat.
Sistem politik Pakistan harus mampu menciptakan sebuah sistem pemerintahan yang kuat dan tidak mudah digoyahkan oleh parlemen.
Gagasan-gagasan Jenderal Ayub Khan itu tertuang dalam sebuah Undang-Undang dasar yang berlaku mulai tahun 1962 di Pakistan, undang-undang itu diberi nama, Demokrasi Dasar atau Basic Democracy. Namun, gagasan Basic Democracy dari Jenderal Ayub Khan itu menimbulkan masalah baru, karena ternyata pada praktiknya, demokrasi yang diinginkan oleh Jenderal Ayub Khan rupanya menjadikan dirinya memiliki kekuasaan yang secara formal sangat kuat, bahkan muncul ungkapan, kekuasaan Jenderal Ayub Khan di Pakistan lebih kuat dari kekuasaan John F. Kennedy di Amerika Serikat ataupun Soekarno di Indonesia. Dengan Basic Democracy yang tanpa partai politik itu ternyata justru banyak pemimpin politik dari partai-partai lama yang terpilih kembali, sehingga anggota parlemen Pakistan dapat menghidupkan partai politik lama yang dibubarkan, bahkan Jenderal Ayub Khan sendiri menggabungkan diri kepada Partai Liga Muslim.
Perubahan dari Presidensial ke Parlementer
System Basic Democracy yang digagas oleh Jenderal Ayub Khan yang dikatakan ternyata kurang demokratis kemudian memunculkan masalah baru. Akhirnya, pada 1968, Jenderal Ayub Khan menyerahkan jabatan presiden kepada koleganya, Jenderal Yahya Khan. Di bawah kepemimpinan Jenderal Yahya Khan, pemerintah Pakistan berjanji akan menghidupkan kembali sistem parlementer dan segera melakukan pemilihan umum pada 1970. Namun, ternyata dua partai terbesar di Pakistan saat itu, Partai Rakyat di Pakistan Barat dan Partai Awami Nasional di Pakistan Timur tidak mampu mencapai batas ambang suara untuk merumuskan undang-undang baru, akhirnya Jenderal Yahya Khan mengambil alih kepemimpinan negara Pakistan. Karena tak kunjung selesai dalam merumuskan konstitusi dan stabilitas politik semakin tak menentu arahnya, Pakistan Timur memberontak pada 1971 dan berdirilah negara Bangladesh yang terpisah dari Pakistan.
Perubahan dari sistem presidensial ke parlementer di Pakistan sebenarnya tak sepenuhnya parlemen, bahkan ada yang menyebutnya semi-presidensial. Seorang presiden di Pakistan merupakan kepala negara, sementara perdana menteri yang melakukan kegiatan pemerintahan, tetapi kenyataannya kekuasaan presiden ternyata lebih besar dari perdana menteri dan parlemen. Pakistan menganut reserve power, dimana presiden dapat menurunkan perdana menteri dan juga bisa membubarkan National Assembly (parlemen) bahkan presiden bisa memutuskan untuk melaksanakan pemilu baru. Tetapi kekuasaan reserve power presiden harus mendapat persetujuan dari Yudikatif, yaitu Mahkamah Agung.
Referensi
Kata Kunci Pencarian:
- Pakistan
- Demokrasi di Pakistan
- Demokrasi sosial
- Demokrasi Islam
- Demokrasi ekonomi
- Orang Pakistan
- Indeks Demokrasi
- Nusrat Bhutto
- Sistem parlementer
- Sosialisme demokratis
- List of Islamic political parties
- Sukarno
- Suharto
- Indonesian mass killings of 1965–66
- Abdurrahman Wahid
- 2014 Indonesian presidential election
- Censorship in Indonesia
- Turks in Europe
- 1904
- Fourth International (post-reunification)