- Source: Ethiopian Airlines Penerbangan 302
Ethiopian Airlines Penerbangan 302 adalah penerbangan penumpang internasional terjadwal dari Bandar Udara Internasional Bole Addis Ababa, Ethiopia, ke Bandar Udara Internasional Jomo Kenyatta di Nairobi, Kenya. Pada tanggal 10 Maret 2019, pesawat Boeing 737 MAX 8 yang mengoperasikan penerbangan ini jatuh di dekat kota Bishoftu setelah 6 menit lepas landas; menewaskan seluruh dari 157 penumpang dan awak kapal. Investigasi dari penyebab kecelakaan masih terus dikembangkan.
Kecelakaan ini merupakan kecelakaan mematikan kedua yang melibatkan Boeing 737 MAX 8 setelah Lion Air Penerbangan 610 jatuh pada Oktober 2018 dan menewaskan 189 orang. Pascakecelakaan penerbangan ini, pesawat Boeing 737 MAX 8 dilarang terbang di berbagai negara, termasuk Kementerian Perhubungan Republik Indonesia yang langsung mengeluarkan penangguhan 11 pesawat Boeing 737 MAX 8 satu hari pasca jatuhnya pesawat.
Ini adalah kecelakaan pesawat paling mematikan sepanjang sejarah maskapai penerbangan ini. Jumlah korbannya lebih banyak daripada pembajakan Ethiopian Airlines Penerbangan 961 di Komoro tahun 1996.
Kecelakaan
Penerbangan 302 adalah penerbangan penumpang internasional terjadwal dari Addis Ababa ke Nairobi. Pesawat Boeing 737 MAX 8 yang mengoperasikan penerbangan ini mengangkut 149 penumpang dan 8 awak. Setelah pilot melaporkan masalah dan memutuskan kembali ke Addis Ababa, pesawat menghilang dari radar atau menara pemantau dan jatuh pukul 08:44 waktu setempat (05:44 UTC), 6 menit usai lepas landas dari landasan 07R pukul 08:38. Pesawat jatuh dekat kota Bishoftu, 62 kilometer (39 mi) sebelah tenggara Bandara Bole. Di tempat kejadian terdapat kawah besar dengan beberapa serpihan kecil. Tidak ada satupun penyintas/korban selamat akibat tragedi ini. Penerbangan ini mengangkut 157 penumpang dari 33 negara.
Flight International menyebutkan bahwa kecelakaan ini dapat menurunkan kepercayaan penumpang terhadap Boeing 737 MAX 8 yang semakin turun sejak kecelakaan Lion Air Penerbangan 610 bulan Oktober 2018. Ini adalah kecelakaan mematikan pertama yang dialami Ethiopian Airlines sejak Ethiopian Airlines Penerbangan 409 jatuh bulan Januari 2010. Ini adalah kecelakaan pesawat paling mematikan sepanjang sejarah maskapai penerbangan ini. Jumlah korbannya lebih banyak daripada pembajakan Ethiopian Airlines Penerbangan 961 di Komoro tahun 1996.
Menurut Flightradar24, pesawat berangkat saat cuaca cerah, tetapi kecepatan vertikalnya tidak stabil usai lepas landas. Dalam tiga menit pertama, kecepatan vertikalnya naik-turun dari 0 kaki/menit sampai 1.742 kaki/menit dan sempat mencapai minus 1.920 kaki/menit.
Pesawat
Pesawat yang terlibat kecelakaan ini adalah Boeing 737 MAX 8 dengan nomor registrasi ET-AVJ. c/n 62450, msn 7243. Pesawat ini berusia empat bulan, dibuat pada Oktober 2018 dan dikirim pada 15 November 2018.
Boeing 737 MAX 8 mulai dioperasikan tahun 2017 dan sebelumnya terlibat satu kecelakaan mematikan, Lion Air Penerbangan 610, di Indonesia pada bulan Oktober 2018. Per Januari 2019, Boeing telah memproduksi 350 pesawat jenis ini. 737 MAX 8 pertama kali terbang tanggal 29 Januari 2016 dan menjadi salah satu lini produk Boeing terbaru sekaligus Boeing 737 generasi terkini.
Penumpang dan awak
Di antara 157 penumpang, terdapat 32 orang penumpang berkebangsaan Kenya Terdapat kemungkinan bahwa kebanyakan penumpang yang menaiki pesawat tersebut sedang beranjak ke Nairobi untuk mengikuti sesi ke-empat dari Majelis Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Semua penumpang dan kru tewas saat kecelakaan. Dari antara orang yang meninggal itu ialah Zhou Yuan, seorang dari perusahaan China Electronics Technology Group Corporation yang menjual teknologi keamanan dan komunikasi untuk kebutuhan sipil dan militer. Selain itu terdapat juga seorang arkeologis Italia Sebastiano Tusa —yang merupakan Penasihat Warisan Budaya Sisilia, dan akademisi Kanada Pius Adesanmi. Pada awalnya dilaporkan bahwa terdapat lima orang korban berkebangsaan Belanda, tetapi kemudian dibenarkan bahwa mereka berkebangsaan Jerman. Kecelakaan ini juga melibatkan korban berkebangsaan Indonesia, yang telah diterima secara resmi oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia dari maskapai Ethiopian Airlines. Sampai berita ini dituliskan, Kemlu dan KBRI Addis Ababa belum mengetahui identitas dari jasad korban. Menurut rincian BBC Indonesia, korban WNI itu adalah seorang perempuan yang tinggal di Roma dan bekerja di World Food Program (WFP) di bawah naungan PBB. Sejalan dengan ini, David Beasley direktur eksekutif WFP menyampaikan duka cita mendalam sehubungan dengan stafnya. KBRI Roma akan bekerja sama dengan keluarga korban, KBRI Addis Ababa dengan WFP Roma akan mengurusi jenazah dan keluarga yang telah ditinggalkan.
157 penumpang dari 33 negara tewas dalam kecelakaan ini. Berikut adalah rincian kebangsaan mereka:
Reaksi
Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed menyampaikan belasungkawa kepada keluarga korban, demikian pula Presiden Kenya Uhuru Kenyatta. CEO Ethiopian Airlines, Tewolde Gebremariam, mengunjungi lokasi kejadian dan menyatakan duka mendalam atas kecelakaan ini. Boeing mengeluarkan pernyataan belasungkawa. Adapun para keluarga korban yang telah ditinggalkan, mereka mengerumuni Bandara Internasional Jomo Kenyatta demi mencari informasi terbaru sehubungan kerabat yang menjadi korban kecelakaan. Menurut The New York Times, sedikitnya 3 bus disediakan untuk mengantar keluarga korban.
Pada 11 April 2019, satu hari pascakecelakaan Penerbangan 302, Kementerian Perhubungan Republik Indonesia langsung mengeluarkan perintah untuk menangguhkan izin penerbangan 11 pesawat Boeing 737 MAX 8 di Indonesia, 10 milik Lion Air dan 1 milik Garuda Indonesia. Pemerintah juga menginstruksikan pemeriksaan terhadap jenis pesawat pada 12 Maret, untuk "menjamin bahwa pesawat yang beroperasi di Indonesia berada dalam kondisi layak mengudara."
Pada 14 Maret, maskapai Garuda Indonesia mengumumkan pembatalan pemesanan 49 pesawat Boeing 737 MAX 8, dengan menyatakan "kekhawatiran terhadap kenyamanan penumpang". Garuda menyatakan bahwa mereka akan berdiskusi mengenai apakah Garuda akan mengembalikan satu-satunya pesawat yang sudah diterima atau tidak, serta mempertimbangkan untuk mengganti pesanan 737 MAX tersebut dengan model pesawat Boeing yang lain, tidak mesti harus mencopot Boeing sebagai pemasok pesawat Garuda. Bloomberg News juga melaporkan bahwa Lion Air juga berencana untuk menghentikan pesanan pesawat Boeing senilai 22 miliar dolar AS (setara 34 triliun Rupiah) dan menggantinya dengan pesawat Airbus.
Investigasi
Badan Penerbangan Sipil Ethiopia langsung menyelidiki kecelakaan ini. Boeing menyatakan siap bekerja sama dengan Dewan Keselamatan Transportasi Nasional Amerika Serikat dan membantu Ethiopian Airlines. Badan Administrasi Penerbangan Federal AS juga menyatakan membantu investigasi.
Kotak hitam pesawat, berupa perekam suara kokpit (cockpit voice recorder) dan perekam data penerbangan (flight data recorder) telah diangkat dari lokasi jatuhnya pesawat pada 11 Maret. Pihak AS meminta agar Ethiopian Airlines mengirim kotak hitam ke AS untuk dianalisis, namun juru bicara maskapai memberitahu wartawan bahwa mereka memutuskan untuk mengirim kotak hitam kepada ahli keamanan penerbangan di Eropa. Perwakilan dari Biro Investigasi Kecelakaan Pesawat Jerman menyatakan bahwa otoritas di Ethiopia sudah mengontak mereka untuk menganalisis kotak hitam, namun biro tersebut menolaknya karena tidak memiliki perangkat lunak yang dibutuhkan. Biro investigasi kecelakaan penerbangan sipil Perancis, BEA mengumumkan bahwa mereka akan menganalisis data dari kotak hitam pesawat. BEA received the flight recorders on 14 March. Pada 17 Maret, Menteri Transportasi Ethiopia Dagmawit Moges menyatakan bahwa "kotak hitam telah ditemukan dalam kondisi baik sehingga hampir seluruh data di dalamnya sudah berhasil diperoleh" dan data awal dari perekam data pesawat menunjukkan 'kemiripan' dengan data dari pesawat Lion Air 610 yang jatuh di Indonesia.
Pada 13 Maret, FAA mengumumkan bahwa bukti baru di lokasi jatuhnya pesawat dan data satelit dari Penerbangan 302 memberikan sugesti bahwa pesawat tersebut mungkin mengalami masalah yang sama dari yang dialami pesawat Lion Air Penerbangan 610. Investigator menemukan bahwa jackscrew yang mengontrol sudut dari penstabil horizontal Penerbangan 302, berada dalam posisi "menghadap ke bawah" sepenuhnya. Penemuan tersebut memberikan sugesti bahwa, saat pesawat menabrak tanah, Penerbangan 302 berada dalam posisi menukik tajam ke bawah, mirip dengan Lion Air Penerbangan 610. Atas penemuan ini, beberapa ahli penerbangan Indonesia sempat meminta KNKT untuk turut dilibatkan dalam investigasi. Kemudian di hari yang sama, KNKT menawarkan bantuan kepada tim investigasi Penerbangan 302, menyebutkan bahwa KNKT dan Kementerian Perhubungan RI akan mengirim investigator dan perwakilan dari pemerintah untuk membantu investigasi kecelakaan.
Ethiopian Airlines kemudian menyatakan bahwa MCAS "sampai dengan sepengetahuan kami" aktif saat pesawat jatuh. Pada 4 April, Badan Penerbangan Sipil Ethiopia merilis memo singkat di laman Facebook mereka, memberikan hasil investigasi awal.
= Laporan awal
=Pada 4 April, Badan Penerbangan Sipil Ethiopia merilis laporan awal terkait dengan kecelakaan. Beberapa berita mengklaim bahwa sistem MCAS telah nonaktif saat pilot menggunakan stabilizer trim cut-out switch. Laporan awal tidak secara khusus menyebut MCAS, namun menyatakan bahwa "kurang lebih lima detik setelah penstabil ANU (aircraft nose up) berhenti, perintah otomatis AND (aircraft nose down) muncul untuk ketiga kalinya tanpa adanya balasan apapun dari penstabil, yang konsisten dengan posisi stabilizer trim cutout switches yang berada di posisi ‘’cutout’’". Laporan awal tersebut mengonfirmasi bahwa pilot telah memperoleh informasi terkait prosedur terbaru yang diberikan Boeing setelah kecelakaan pesawat Lion Air dan buletin FCOM dari Boeing telah dimasukkan ke dalam buku panduan operasi awak kapal (Flight Crew Operation Manual atau FCOM). Menurut Menteri Transportasi Ethiopia Dagmawit Moges, awak kapal telah "melakukan seluruh prosedur yang diberikan oleh perakit pesawat berulang kali namun tetap tidak mampu mengontrol pesawat".
Laporan awal juga mengonfirmasi bahwa gaya dorong pesawat tetap berada dalam setelan lepas landas (94% N1) and katupnya (throttle) tidak bergerak untuk seluruh badan pesawat, sekalipun kecepatan di udara telah disetel ke 238kt (441 km per jam) sekitar satu menit setelah lepas landas. Meskipun awak pesawat tampaknya mengenali adanya masalah dengan MCAS dan langsung menonaktifkannya, mereka tidak mampu untuk mengendalikan daya yang dihasilkan dari kecepatan yang berlebih.
Munculnya penyimpangan di data penerbangan membawa spekulasi adanya burung atau benda asing yang menabrak pesawat saat lepas landas, menyumbat sensor arus udara. Spekulasi ini langsung dibantah oleh Ethiopian Airlines, dan ketua investigator Amdye Ayalew Fanta menyebut bahwa tidak ada indikasi kerusakan semacam itu.
Lihat pula
Lion Air Penerbangan 610
Daftar kecelakaan yang melibatkan Boeing 737
Kecelakaan dan insiden Ethiopian Airlines
Catatan
Referensi
Pranala luar
Deskripsi peristiwa pada situs Jaringan Keselamatan Perebangan
Kata Kunci Pencarian:
- Ethiopian Airlines Penerbangan 302
- Ethiopian Airlines
- Boeing 737
- Garuda Indonesia
- Boeing 737 MAX
- Downfall: The Case Against Boeing
- Larangan terbang Boeing 737 MAX 2019
- Daftar kecelakaan dan insiden pesawat penumpang
- Asiana Airlines
- Bishoftu
- Garuda Indonesia
- Lion Air Flight 610
- World Aircraft Information Files