- Source: GMIM Riedel Wawalintouan
Gereja Riedel Tondano atau yang lebih dikenal dengan Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) Jemaat Riedel Wawalintouan adalah sebuah gereja yang terletak di Kelurahan Wawalintouan, Kecamantan Tondano Barat, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara yang berdekatan dengan Makam Pahlawan Nasional Dr. G.S.S.J. Ratulangie. Gereja ini bernaung dalam Gereja Masehi Injili di Minahasa yang beraliran Calvinis dengan sistem Presbiterial Sinodal. Jemaat Riedel berada dalam Wilayah/klasis Tondano II sekaligus menjadi pusat wilayah/klasis.
GMIM Riedel Wawalintouan berdiri pada 27 Agustus 1989 yang merupakan pemekaran dari GMIM Peniel Watulambot. Pada awal pemekaran, jemaat di Wawalintouan bernama Peniel III dikarenakan pemekaran jemaat di Watulambot seminggu sebelumnya telah dinamakan Peniel II. Penggunaan nama jemaat di Wawalintouan dari Peniel III menjadi Riedel dilakuakn pada hari Minggu, 25 Januari 1992 sebagai pengingat atas jasa dalam penginjilan J.F. Riedel di Tondano. Jemaat ini menjadi jemaat GMIM pertama yang menggunakan nama Riedel sebagai nama Jemaat.
Sejarah
= Jemaat Protestan di Tondano
=Johann Friedrich Riedel dan Johann Gottlieb Schwarz tiba di tanah Minahasa sebagai bagian dari utusan Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) meski demikian Riedel dan Schwarz berkebangsaan Jerman dan didik di Belanda. Pada 12 Juni 1831 setelah singgah di Ambon tiba di Johann Friedrich Riedel dan Johann Gottlieb Schwarz dan melanjutkan perjalanan ke Manado selama beberapa bulan untuk belajar bahasa lokal dibawa asuhan Ds. G. Jan Hellendoorn. Tanggal ini oleh Gereja Masehi Injili di Minahasa diperingati sebagai Hari Perkabaran Injil dan Pendidikan Kristen di Tanah Minahasa. Johann Gottlieb Schwarz ditugaskan di Langowan sementara Johann Friedrich Riedel ditugaskan di Tondano.
Johann Friedrich Riedel tiba di Tondano pada 14 Oktober 1831 dan mulai melakukan pelayanannya di tengah masyarakat yang belum terlalu mengenal Kekristenan. Pada tahun yang sama (1831), jemaat di Tondano mendirikan gereja yang dikenal dengan nama Groote Kerk atau Gereja Besar (sekarang Gereja Sentrum) di seberang Sungai Tondano dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) (Sekarang SMP 1 Tondano). Usaha Riedel dalam memperkenalkan Kekristenan pada masyarakat dilakukan melalui pendidikan dan berdialog dengan masyarakat lokal beserta dukungan istrinya. Usaha-usaha Johann Friedrich Riedel mendapatkan perkembangan yang signifikan di mana terjadi peningkatan kehadiran ibadah, ketertarikan masyarakat untuk belajar alkitab dan di baptis (setelah mengikuti katekisasi). Johann Friedrich Riedel meninggal pada 12 Oktober 1860 dan dimakamkan di Tempat Pekuburan Umum Ranowangko, Tondano Timur.
= Wawalintouan
=Berawal dari sebuah Desa yang kemudian berubah menjadi Kelurahan Wawalintouan terletak di di pusat Kota Tondano yang merupakan Ibukota Kabupaten Minahasa. Di sebelah selatan, Wawalintouan berbatasan dengan Tonkuramber dan Rinegetan, di sebelah utara berbatasan dengan Rerewokan, di sebelah barat berbatasan dengan Masarang dan di sebelah timur berbatasan dengan Kendis, Liningaan dan Katinggolan.
Pada tahun 1980-an, jumlah penduduk di Kelurahan Wawalintouan berkisar 2.700 orang dengan 540 Kepala Keluarga yang tersebar di 5 lingkungan. Adapun presentasi penduduk yang beragama Kristen Protestan sekitar 80% pada tahun 1980-an dan 68% adalah warga Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Meski demikian Wawalintouan yang merupakan pusat Kota Tondano dan Pusat bisnis hanya memiliki satu rumah ibadah yaitu Masjid Besar Nurul Yaqin yang terletak di samping Pasar Tondano.
Wawalintouan: Wilayah Pelayanan GMIM Peniel
Sebelum berdiri menjadi jemaat mandiri, jemaat di Wawalintouan berada di bawah pelayanan GMIM Jemaat Peniel Watulambot. Meski demikian, penduduk Wawalintouan yang tinggal di daerah Pasar Bawah lebih suka beribadah di Gereja Sentrum karena jaraknya yang dekat. Gereja Sentrum yang dikenal dengan Gereja Besar yang pada waktu itu merupakan pusat pelayanan gereja-gereja GMIM (Klasis) yang ada di Tondano . Pelayanan di Wawalintouan di bawah pelayanan GMIM Jemaat Peniel dibagi menjadi 9 Kolom (Sektor) yaitu Kolom 31 sampai Kolom 39 yang tugas pelayanannya diserah kepada Penatua dan Syamas (Diaken) di Kolom masing-masing sedangkan untuk pelayanan Pria Kaum Bapak (PKB), Wanita Kaum Ibu (WKI), Pemuda/Remaja, dan Anak dilayani oleh Komisi Pelayanan Khusus (Kompelsus) Jemaat Peniel sehingga pelayanan harus di jadwalkan di empat Kelurahan yang menjadi wilayah pelayanan GMIM Peniel yaitu Wawalintouan, Rerewokan, Watulambot dan Wewelen sementara pada waktu itu hanya ada satu pendeta yang melayani di jemaat.
= Pembangunan
=Wacana Menjadi Jemaat Mandiri
Pria Kaum Bapak (PKB) jemaat Peniel yang ada di Wawalintouan adalah salah satu komisi yang bersemangat ketika membicarakan pemekaran jemaat dengan pertimbangan:
Jemaat Peniel yang terletak di Kelurahan Watulambot melayani empat Kelurahan (Wawalintouan, Rerewokan, Watulambot dan Wewelen) adalah jemaat besar baik dalam jumlah anggota dan wilayah pelayanan. Di Wawalintouan satu kolom terdiri lebih dari 30 Kepala Keluarga sehingga pelayanan di setiap keluaraga tidak efektif dikarenakan hanya ada satu pendeta. Dalam beberapa keadaan seperti ibadah pemakan hanya di pimpin oleh Penatua atau Syamas (Diaken).
Kapasitas gedung Gereja Peniel tidak mampu menampung jemaat sehingga banyak jemaat yang beribadah di luar bangunan terlebih yang tinggal di Wawalintouan duduk di luar dikarenakan tidak berbatasan langsung dengan Watulambot.
Kelurahan Wawalintouan yang merupakan pusat Kota Tondano tidak memiliki gereja dah hanya memiliki Masjid sementara mayoritas penduduk adalah Kristen Protestan.
Jika pembentukan gedung gereja di Wawalintouan ditunda maka gereja kemungkinan tidak akan berdiri di pusat kota dan akan berdiri di daerah perkebunan Susunan Labo, Lewet.
Adanya semangat untuk membangun gereja sendiri.
Menuju Jemaat Mandiri
Atas berbagai pertimbangan, jemaat yang ada di Wawalintouan (kolom 31-39) pada saat terpilihnya pelayan khusus (Pelsus) yang baru periode 1986-1989, pada bulan November 1985 rencana pemekaran sudah semakin jelas. Kejelasan pemekaran jemaat berlanjut di Pertemuan Pelayan Khusus Kolom 31-39 di rumah Pnt. J.D. Kalonta (Kel. Kalonta-Walalangi) dengan hasil:
Khusus untuk Jemaat Peniel kolom 31-39 yang berdomisili di Kelurahan Wawalintouan mengadakan Ibadah sebulan sekali di setiap minggu pertama dan pertama kali Beribadah pada tanggal 2 Februari 1986, Ibadah Pagi di balai Kelurahan Wawalintouan yang dipimpin oleh Pdt. Piet M. Tampi, S.Th.
Pundi Pelayanan dan Pembangunan tidak lagi disetor ke Bendahara Jemaat Peniel tetapi disimpan untuk persiapan pembangunan Gedung Gereja sendiri, dan ditunjuk Ibu Erni Lumingkewas-Lewu sebagai penyimpan.
Pada bulan berikutnya di minggu pertama, tanggal 2 Maret 1986, seusai Ibadah yang dipimpin oleh Pdt. MrTH Supit, diadakan rapat singkat yang membicarakan pembentukan Tim Formatur Panitia Pembangunan yang bertugas untuk pengadaan dana, tanah dan pembangunan Gereja. Adapun Tim Formatur terbentuk dan terdiri dari 5 orang:
Pnt. Johan D. Kalonta
Drs. Ronny Sumanti
Ang Johan Marentek
Jules Parengkuan
Ventje Mamengko
Pada hari Kamis, 6 Maret 1986, Tim Formatur mengadakan Rapat untuk membentuk Panitia Pembangunan Gereja sebagai Persiapan berdirinya suatu Jemaat GMIM di Kelurahan Wawalintouan.
Kepengurusan ini dilengkapi dengan anggota panitia berasal dari Jemaat yang ada di Kolom 31 - 39. Setelah komposisi Panitia lengkap, maka diadakan rapat khusus pada tanggal 24 Mei 1986, yang membicarakan rencana peletakan batu pertama, pelantikan panitia dan usaha pencarian dana. Meski pembicaraan rencana pembangunan gereja sudah intens, belum ada kepastian lokasi pembangunan gereja.
Pernah ada sebidang tanah yang berlokasi di bagian barat Kelurahan Wawalintouan yang bersebelahan dengan Jalan Roda (sekarang Jalan Pattimura) akan di beli dengan uang yang ada pada waktu itu namun belum belum jelas kepastiannya. Setelah 1 bulan berlalu, muncul satu usulan lokasi pembangunan gereja GMIM di Wawalintouan berada di suatu tempat yang saat itu disebut "COT" yang letaknya bersebelahan dengan terminal Tondano. Meskipun tempat yang disebut "COT" memiliki banyak batu besar, lokasinya sangat strategis dan terletak di puncak dengan pemandangan 2/3 Kota Tondano.
Daerah "COT" miliki nilai sejarah pada masa Pendudukan Jepang dan masa pergolakan Permesta. Ketika usulan tersebut diangkat dan disetujui dalam rapat Panitia Pembangunan, maka disepakati bahwa akan dilakukan pembicaraan lebih lanjut dengan Bapak Ir. Montong yang saat itu menjabat Sekda Tingkat II Minahasa. Pembicaraan dilaksanakan Jumat, 18 Juli 1986 di mana Bapak Jules Parengkuan, Bapak Ventje Mamengko, Bapak A. Lumingkewas, Bapak Liong Gimon dan Bapak Dandle yang menjabat Danramil waktu itu menghadap Bapak Ir. Montong. Pertemuan ini merupakan terobosan perdana dalam rangka memastikan status tanah yang telah direncakan (COT) yang katanya merupakan milik pemerintah.
Terobosan selanjutnya pada saat ketika ada acara pengucapan syukur yang dilaksanakan di Gereja Peniel, dihadiri oleh Bupati Minahasa saat itu dijabat oleh Bapak Alex Lelengboto, beliau langsung menyetujui ketika Ketua Panitia Pembangunan Gereja Bapak Pnt. P.O. Kandouw menanyakan persetujuan darinya tentang lokasi pembangunan Gereja, beliau langsung mengiyakan bahkan langsung menyuruh Camat Tondano untuk langsung mengukur tanah lokasi yang akan dibangun Gereja. Ketika kepastian tanah sudah ada, maka pada tanggal 8 Oktober 1986 dalam rapat panitia yang bertempat di Kel. Kandouw-Lompoliuw, Panitia Pembangunan Gereja melakukan penetapan lokasi pembangunan gereja dan melakukan pengukuran tanah pada 14 Oktober 1987.
Peletakan Batu Pertama
Pada hari Minggu, 14 Desember 1986 adalah awal pembangunan Gereja GMIM di Wawalintouan, yang ditandai dengan peletakan batu pertama. Ibadah peletakan batu pertama dipimpin oleh Pnt. J. D. kalonta, dan dihadiri oleh Bapak Nico Kawengian mewakili pemerintah yang saat itu menjabat Sekretaris Kelurahan Wawalintouan. Sebelum pembanguanan gereja permanen dilakukan, jemaat sudah tidak lagi melaksanakan di GMIM Jemaat Pniel namun sudah mulai melaksanakan ibadah di Balai Kelurahan dan kemudian di Kanisa yang terbuat dari bambu di lokasi pembangunan gereja.
Sukacita membangun Gedung Gereja lewat Panitia Pembangunan yang telah dipercayakan didukung oleh seluruh Jemaat yang juga terlibat penuh di dalamnya. Setiap kolom, dari kolom 31-39 berusaha dengan maksimal dalam memberi sumbangsih untuk berpartisipasi membangun Gereja. Usaha menjual makanan, menjual kupon, menjalankan kartu kawan, dan ada juga yang memberi sumbangan secara pribadi dalam bentuk dana maupun bahan bangunan sampai dengan dibuatnya kantin pembangunan yang letaknya di kompleks terminal Tondano yang dikelola oleh setiap kolom. Bapak Ir. Kardono adalah salah satu orang yang berperan penting dalam pembangunan Gereja GMIM di Wawalintouan. Beliau seorang Kristen tapi memang bukan warga Wawalintouan namun karena tugas pekerjaan, Bapak Ir. Kardono berdomisili dan tinggal di Jl. Mini (Kolom 36). Suatu waktu beliau menghadiri Ibadah Kolom 36 dan mendengar bahwa ada kendala dalam pembangunan Gereja, beliau kemudian dengan ketulusan dan inisiatif pribadi memberi bantuan membawa Bulldozer yang biasa dipakai untuk urusan pekerjaan ke lokasi pembangunan Gereja untuk meratakan tanah (COT) lokasi pembangunan di daerah puncak bukit dan berbatu. Pada tanggal 8 November 1987, karena telah selesai tugas dan sebagai tanda terima kasih kepada Bapak Ir. Kardono diadakan acara ramah tanah sekaligus pemberian cendera mata sebagai kenang-kenangan oleh Panitia Pembangunan.
Menjadi Jemaat Mandiri
Sejak lokasi yang akan dibangun Gereja di ukur pada 14 Oktober 1987, telah dilakukan berbagai pertemuan-pertemuan, usaha-usaha bahkan tidak sedikit juga pengorbanan yang dilakukan oleh seluruh Panitia Pembangunan, Pelayan Khusus bahkan setiap anggota Jemaat yang ada di Wawalintouan. Hal ini berlangsung terus sampai dengan pertengahan tahun 1989, tepatnya pada hari Selasa, 4 Juli 1989 diadakan pertemuan di rumah Keluarga Ngantung-Rempas dan salah satu topik adalah Peresmian Jemaat di Wawalintouan untuk menjadi jemaat yang berdiri sendiri dan mekar dari Jemaat Peniel.
Tahapan itu dimulai dengan persiapan penahbisan antara lain dibangunlah Kanisa dengan beratapkan seng, dindingnya dari bambu, sedang lantainya dari beton. Begitu pun dengan konsistori, yang membedakan dindingnya yang terbuat dari tripleks; Juga sudah diikuti dengan berbagai persiapan perlengkapan di dalam Kanisa. Selain itu dilakukan juga dipersiapkan struktur Badan Pekerja Majelis Jemaat GMIM di Wawalintouan yang disusun dan dipilih. Setelah melalui beberapa proses, maka pada hari Jumat, 18 Agustus 1989 diadakanlah Rapat Pemilihan Badan Pekerja Majelis Jemaat di Wawalintouan.
Ibadah Penahbisan
Hari Minggu, 27 Agustus 1989 dengan cuaca yang bersahabat, berangkatlah sebagian besar Jemaat GMIM Wawalintouan ke suatu bukit, tempat di mana Kanisa berada, tempat di mana Gereja yang baru sementara dibangun, tempat di mana kerinduan itu akan terwujud dengan harapan dan keinginan serta cita -cita Jemaat tergantung di dalamnya. Hari itu, dengan wajah sukacita dari seluruh kaum Bapak, Ibu, Pemuda, Remaja dan Anak-anak berkumpul pada hari Jemaat GMIM Wawalintouan akan ditahbiskan menjadi Jemaat yang baru, sebagai hasil pemekaran dari Jemaat GMIM Pniel Watulambot.
Kira-kira pukul 11.47 WITA, dalam rangkaian ibadah yang dipimpin oleh Pnt. Drs. Senduk (Badan Pekerja Sinode GMIM), dibukalah selubung papan nama jemaat yang menandakan lahirlah satu Jemaat GMIM Baru di Kelurahan Wawalintouan dengan nama Peniel III. Dinamakan jemaat Peniel III dikarenakan pada minggu sebelumnya Jemaat di Wewelen telah ditahbiskan menjadi Jemaat Peniel II. Nama menjadi tidak masalah karena yang terpenting adalah Kelurahan Wawalintouan sudah memiliki Jemaat GMIM yang mandiri, sehingga dapat dengan mudah dalam urusan mengatur pelayanannya.
Dedikasi
Pada tanggal 25 Januari 1991, nama Peniel diganti dengan nama Riedel. Nama ini dipilih dengan mempertimbangkan bahwa belum ada jemaat di lingkungan GMIM yang memakai nama Riedel. Nama Riedel dipakai sebagai pengingat atas jasa Johann Friedrich Riedel dalam penginjilan di Minahasa khususnya di Tondano sehingga menjadi jemaat GMIM pertama yang menggunakan nama Riedel sebagai nama Jemaat.
Penggunaan nama Riedel sebagai nama jemaat kemudian diabadikan juga dalam relief yang terletak pada dinding barat Aula Gereja berhadapan dengan relief Dr. G.S.S.J. Ratulangie.
Jemaat Riedel di Wawalintouan menjadi satu-satunya jemaat yang menggunakan nama Riedel sebagai nama jemaat hingga Juni 2013 setelah jemaat di Kembes meresmikan gereja dengan nama yang sama.
Arsitektur
Gedung Gereja Riedel memiliki bentuk yang unik karena dibangun mengikuti kontur geografis lokasi gereja berbukit dan berbatu. Gereja ini memiliki 4 lantai (ditambah 1 basement dan 1 menara yang lebih kecil) yang terbagi atas 3 bagian yaitu, ruang konsistori yang terletak di bawah selasar/platje depan, ruang ibadah yang mencakup lantai utama (lt. 1) dan balkon (lt. 2), ruang pertemuan dan gudang di lantai 3 (dari lt. 3 terdapat jendela besar yang dapat melihat ruang ibadah) dan lantai 4 (dek observasi dan ruang arsip), serta menara yang lebih kecil sebagai tempat lonceng yang dapat diakses dari lantai 4. Sementara itu, bangunan dibagi atas dua struktur yaitu menara dan ruang ibadah yang terhubung.
Panjang nave adalah 35 dan lebar 12 meter, altar memiliki tinggi 1 meter, panjang 5 meter dan lebar 12 meter. Total panjang ruang ibadah ujung ke ujung adalah 40 meter. Transept memiliki panjang 25 meter dan lebar 7 meter.
Seluruh gedung gereja dikelilingi dengan jendela berbentuk melengkung (arched window) dan memiliki bagian yang dapat dibuka. Pada ruang ibadah sendiri miliki 28 jendela induk setinggi dua lantai yang terdiri atas 4 susuan jendela. Jendela induk terdiri atas 12 jendela yang lebih kecil dengan 6 jendela yang dapat di buka dan 6 jendela mati pada masing-masing jendela. Terdapat juga 20 jendela sayap ganda di ruang ibadah yang dapat dibuka, jendela sejenis juga ditemukan di ruangan lain. Kondisi ini membuat setiap ruangan mendapatkan pencahayaan maksimal dan sirkulasi udara yang baik.
Denah Gereja Riedel kental dengan simbol kekristenan, yaitu berbentuk salib (cruciform), sedangkan denah bagian tengah ruangan tidaklah lurus tetapi sedikit melebar pada bagian transept. Pada sekeliling bangunan terdapat setapak yang terbuat dari batu templek. Pada masing-masing sayap bangunan beratapkan pelana sedangkan pada sisi selatan terpisah dengan atap utama karena tinggi bangunan yang berbeda. Pada tengah bangunan, pertemuan atapnya meruncing (spire) menyesuaikan dengan denah bangunan sehingga mendominasi atap dengan salib di atasnya. Penempatan spire pada tengah bangunan gereja umumnya ditemukan pada gereja-gereja berarsitektur gotik, namun, spire di Gereja Riedel agak lebar. Jika di lihat dari udara, bentuk bangunan yang agak melebar pada bagian tengah membuat atap terlihat berbentuk salib degan simbol X (Chi) huruf pertama dari kata Yunani "ΧΡΙΣΤΟΣ" (Kristos = Kristus).
= Eksterior
=Gereja Riedel umumnya didominasi arsitektur Mid Century dan Jengki pada bagian eksterior dengan dinding yang dilapisi ubin berwarna putih dan ubin berwarna merah maroon sebagai aksen pada kanopi jendela. Pada bagian façade yang mencakup keseluruhan lantai, dikombinasikan dengan arsitektur rumah adat Minahasa di mana terdapat terdapat dua tangga pada sebelah kiri dan kanan menuju selasar dan bertemu di tengah. Untuk tangga di dalam bangunan mengikuti konsep yang sama dengan yang di luar namun dengan tangga U. Sementara itu, pada kedua sisi selasar terdapat dua ruangan yang berfungsi kantor dan konsistori yang terhubung di basement. Pada puncak struktur utama bangunan terdapat menara yang lebih kecil mengikuti desain gereja-gereja kolonial dan berfungsi sebagai menara lonceng. Menara ini berbentuk oktagonal dengan atap yang runcing (kerucut) dengan salib di atasnya.
= Interior
=Interior gereja awalnya didominasi oleh gaya Art Deco dan Mid Century, gaya Art Deco terlihat dari railing tangga dan balkon sebelum ditutup dengan lumbersering yang senada dengan plafon dan tempat duduk jemaat yang terbuat dari kayu, bergaya Mid Century. Balkon ditopang 12 pilar doric yang menyimbolkan 12 murid Yesus. Mimbar yang menjadi pusat pewartaan firman Tuhan memiliki ukuran yang cukup besar memiliki gaya neo-klasik senada dengan mimbar yang lebih kecil dan kolekte. Tempat duduk pelayan khusus yang sebelumnya berada di belakang mimbar sempat dipindah ke samping mimbar, adapun pemindahan tempat duduk pelayan khusus di naikkan elevasinya dengan pembuatan panggung kayu bergaya Art Deco.
Pada tahun 2021, interior gereja mengalami perubahan. Tempat duduk pelayan khusus dan ruang doa di atasnya dibongkar dan mimbar dimundurkan dari tempat semula, altar yang sebelumnya memiliki elevasi yang sama dengan lantai utama dinaikkan 1 meter. Adapun altar di dominasi oleh 6 pilar corinthian yang berdiri di atas pedestal (tumpuan), namun, 2 pilar di tengah dibuat lebih tinggi. Keenam pilar corinthian tidak memiliki architrave yang umum dalam arsitektur klasik, namun berbentuk seperti mangkok yang menopang frienze (umumnya frienze polos atau menjadi tempat inskripsi) hanya saja fienze ini tidak membentang dari tiang ketiang tetapi hanya bertumpuh pada masing-masing tiang. Pada atas frienze terdapat cornice dan corona (mahkota) yang menopang pediment, namun hanya kedua tiang di tengah yang memiliki cornice dan corona sedangkan keempat tiang lain setelah frienze langsung menopang pediment. Terdapat dua jenis pediment pada altar yaitu arch pediment (pedimen lengkung) di tengah yang menaungi salib dan pointed pediment (pedimen runcing) di kedua sisi. Renovasi altar ini memberikan kesan ruangan yang lebih luas dengan tetap mempertahankan kesan simetris di mana arch pediment berada di tengah dengan salib berwarna putih tepat di belakang mimbar sementara pointed pediment mengapit arch pediment dan mimbar utama. Pada pointed pediment terdapat inskripsi tema dan sub tema GMIM, namun, bukan baliho yang dapat mengganggu estetika interior. Renovasi ini juga mengubah struktur balkon menjadi tiga susunan tangga sehingga tempat duduk di balkon semakin ke belakang semakin tinggi dan memiliki pandangan yang lebih leluasa. Perubahan juga dilakukan pada seluruh pagar pembatas balkon dan pagar tempat duduk pelayan khusus diganti dengan akrilik sementara pagar pembatas tempat duduk jemaat diganti dengan rail bergaya Art Deco.
Kehidupan Jemaat
Pada tahun 1993, Jemaat Riedel yang sebelumnya beribadah di Kanisa berpindah ke gedung yang sampai sekarang menjadi tempat pewartaan Firman Tuhan. Pada tahun 1995, pembangunan gereja yang belum sepenuhnya selesai mulai di percepat menyusul diadakannya Sidang Sinode V pada tanggal 5 April 1995 - 11 April 1995 di Jemaat Riedel Wawalintouan.
Tahun 2020 menjadi tahun yang sulit bagi Jemaat akibat pandemi Covid-19 yang menyebabkan peribadatan dari rumah masing-masing jemaat pada Maret 2020. Dalam menyikapi hal ini, Jemaat mulai melakukan peribadatan melalui toa gereja kemudian beberapa minggu kemudian mulai dilakukan juga ibadah daring secara siaran langsung di Fans Page Facebook Riedel Wawalintouan. Menjelang pertengahan tahun 2020 muncul pembicaraan untuk mengadakan siaran radio jemaat Riedel hingga pada 25 Juni 2020 diresmikanlah radio jemaat yang kenal dengan Radio Riedel 107.2 FM. Pada tahun 2019 muncul wacana untuk melakukan perubahan altar gereja. Pembentukan Tim Kerja Pembangunan Altar Gereja dilakukan pada tahun 2021 dan di lantik pada 24 Januari 2021 yang diketuai oleh Glady P.E. Kandouw, SE (Ketua DPRD Kabupaten Minahasa).
Pada ibadah Hari Ulang Tahun Ke-34 Jemaat Riedel, Jemaat Riedel mendapatkan pujian oleh Wakil Ketua Bidang Pengembangan Sumber Daya dan Diakonia Sinode GMIM atas kualitas hidup berjemaat melalui pelayanan dan diakonia.
Karya Seni
Karya seni berikut belum ditelusuri lebih lanjut
Kristus Dimahkotai Duri
Yesus yang Berdoa (Lukisan)
Perjamuan Malam Terakhir (Tapestery)
Yesus Menyambut Segala bangsa (Kaca Patri)
Yesus dan Anak-Anak (Rail-Kaca Patri)
Yesus berdoa di Taman Getsemani (Rail-Kaca Patri)
Relief Johann Friedrich Riedel
Relief Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi
Relief Khotbah di Bukit
Peristiwa Penting
14 Desember 1986, Peletakan Batu Pertama Jemaat GMIM di Wawalintouan
18 Agustus 1989, Rapat Pemilihan Badan Pekerja Majelis Jemaat GMIM di Wawalintouan yang pertama
27 Agustus 1989, Peresmian GMIM Jemaat Pniel III oleh Pnt. Drs. Senduk
25 Januari 1991, re-dedikasi GMIM Jemaat Pniel III menjadi Riedel
1993, Jemaat mulai beribadah di gedung gereja yang baru
5 April 1995 - 11, April 1995, Sidang Sinode V GMIM di Jemaat Riedel Wawalintouan
29 Agustus 2004, Baptisan Masal dalam rangka HUT XI Jemaat Riedel Wawalintouan oleh Pdt. Dr. A.F. Parengkuan, Ketua Sinode GMIM
18 September 2008 - 20 September 2008, Festival Seni Pemuda Gereja (FSPG) & CCA Sinode GMIM - Vocal Group Seri B
28 Januri 2011, Hari Persatuan Remaja & Hut Remaja GMIM XXI di wilayah Tondano II - Lomba Gerak Jalan
Agustus 2011, Peresmian Bangsal Jemaat Riedel dan HUT ke 22 Jemaat Riedel Wawalintouan
3 Juli 2015 - 4 Juli 2015, Festival Anak Sekolah Minggu (FAS) Sinode GMIM - Vocal Group
14 Juli 2017, Peresmian Taman Kanak-kanak (TK) Riedel oleh Bupati Minahasa Drs. Jantje W. Sajow, Msi dan Olga Sajouw-Singkoh
1 November 2017 - 3 November 2017, Sidang Sinode Am VII Gereja-gereja di Sulutteng
18 Oktober 2019 - 19 Oktober 2019, Lomba Paduan Suara Kategori Middle Choir Seri A dalam rangka HUT PKB GMIM ke-57
29 Maret 2021, Sidang Majelis Sinode Istimewa Gereja Masehi Injili di Minahasa (SMSI) LXXX - Cluster 36 Wilayah Tondano II & III
25-26 November 2022, Lomba Paduan Suara Kategori Middle Choir HUT W/KI GMIM ke-85
5 November 2023, Ibadah Syukur Hari Jadi Minahasa Ke-595
Fasilitas
Gedung Gereja berkapasitas ± 800 orang
Bangsal berkapasitas ± 500 orang
TK Riedel
Lapangan Parkir
Lapangan Badminton
Kantin
Taman