- Source: Hasan di Tiro
Dr. Teungku Hasan Muhammad di Tiro, M.S., M.A.,LL.D., Ph.D. (lahir Hasan Bin Leube Muhammad; 25 September 1925 – 3 Juni 2010), adalah pendiri Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sebuah organisasi yang berupaya memisahkan Aceh dari Indonesia sejak tahun 1970an. Ia menyerahkan tujuan separatisnya dan setuju untuk melucuti senjatanya seperti yang disepakati dalam perjanjian damai Helsinki tahun 2005. Ia adalah cicit dari Teungku Chik di Tiro, pahlawan nasional Indonesia yang terbunuh melawan Belanda pada tahun 1891. Pada tahun 2010 ia memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesianya sesaat sebelum kematiannya.
Kehidupan awal
Hasan Tiro berasal dari sebuah keluarga terpandang, dari Gampông Tiro di Kabupaten Pidie. Beliau merupakan putra kedua dari Leube Muhammad Tanjong Bungong dan Tengku Pocut Fatimah Tiro. Ayah Hasan Tiro merupakan pemuka agama di Tanjong Bungong, Pidie. Sementara ibunya adalah anak dari Teungku Mahyuddin dan Pocut Mirah Gambang. Teungku Mahyuddin atau Teungku Mayed Di Tiro adalah anak Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman sementara Cut Gambang adalah anak Cut Nyak Dhien dengan Teuku Umar.
Hasan Tiro belajar di Yogyakarta dan melawan Belanda saat Revolusi Nasional Indonesia. Ia kemudian memperoleh beasiswa untuk belajar di Amerika Serikat dan bekerja paruh waktu di Misi Indonesia untuk Perserikatan Bangsa Bangsa. Saat belajar di New York pada 1953, ia mendeklarasikan dirinya sebagai Menteri Luar Negeri untuk gerakan perjuangan Darul Islam, yang di Aceh dipimpin Daud Beureueh. Karena aksi ini, ia dicabut kewarganegaraan Indonesia, menyebabkan dia dipenjara di Penjara Ellis Island sebagai warga asing ilegal Perjuangan Darul Islam di Aceh sendiri berakhir dengan perjanjian damai pada 1962. Di bawah perjanjian damai, Aceh diberikan status daerah istimewa.
Mendirikan GAM
Hasan Tiro menyatakan organisasinya sebagai Front Pembebasan Nasional Aceh Sumatra, lebih dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka pada tanggal 4 Desember 1976. Di antara tujuannya adalah kemerdekaan penuh Aceh dari Indonesia. Hasan Tiro memilih kemerdekaan sebagai salah satu tujuan GAM, bukan otonomi khusus daerah, karena fokus pada sejarah Aceh sebelum masa kolonial Belanda sebagai sebuah negara merdeka. GAM berbeda dari pemberontakan Darul Islam yang berusaha untuk menggulingkan ideologi Pancasila yang sekuler dan menciptakan negara Islam Indonesia berdasarkan syariah. Dalam "Deklarasi Kemerdekaan Aceh", ia mempertanyakan hak Indonesia untuk berdiri sebagai negara, karena pada asalnya itu adalah negara multi-budaya berdasarkan kekaisaran kolonial Belanda dan terdiri dari negara-negara sebelumnya yang terdiri atas banyak sekali etnis dengan sedikit kesamaan. Sehingga, Hasan Tiro percaya bahwa rakyat Aceh harus memulihkan keadaan pra-kolonial Aceh sebagai negara merdeka dan harus terpisah dari negara Indonesia.
Karena fokus baru pada sejarah Aceh dan identitas etnik yang berbeda, beberapa kegiatan GAM melibatkan serangan terhadap para transmigran, terutama mereka yang bekerja dengan tentara Indonesia, dalam upaya untuk mengembalikan tanah Aceh untuk masyarakat Aceh. Transmigran etnis Jawa di antara mereka yang paling sering menjadi target, karena banyak di antara mereka yang berhubungan dekat mereka dengan tentara Indonesia.
Prinsip militer GAM, bagaimanapun, melibatkan serangan gerilya terhadap tentara dan polisi Indonesia.
Pada tahun 1977, setelah memimpin serangan GAM di mana salah satu insinyur Amerika Serikat tewas dan satu insinyur Amerika lain dan satu insinyur Korea Selatan terluka, Hasan Tiro diburu oleh militer Indonesia. Ia ditembak di kaki dalam sebuah penyergapan militer, dan melarikan diri ke Malaysia.
Dari tahun 1980, Hasan Tiro memilih tinggal di Stockholm, Swedia dan memiliki kewarganegaraan Swedia. Selama periode ini Zaini Abdullah, yang menjadi gubernur Aceh pada Juni 2012, adalah salah satu rekan Aceh terdekatnya di Swedia. Setelah tsunami pada bulan Desember 2004, GAM dan pemerintah Indonesia setuju untuk menandatangani perjanjian damai yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia pada Agustus 2005. Menurut ketentuan perjanjian perdamaian, yang diterima oleh pimpinan politik GAM dan disahkan oleh Hasan Tiro, Aceh mendapat status otonomi yang lebih besar. Tak lama setelah itu, sebuah Undang-Undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh disahkan oleh parlemen nasional di Jakarta untuk mendukung pelaksanaan perjanjian damai. Pada bulan Oktober 2008, setelah 30 tahun pengasingan, Hasan Tiro kembali ke Aceh.
Selama konflik, pada tiga kesempatan terpisah pemerintah Indonesia keliru menyatakan bahwa Hasan Tiro telah meninggal.
Kembali ke Aceh
Pada 11 Oktober 2008, setelah 30 tahun, dia kembali ke Banda Aceh. Masalah kesehatannya membuatnya tak berperan aktif dalam percaturan politik Aceh selanjutnya. Dia kembali ke Swedia dua pekan berikutnya.
Setahun kemudian, ia kembali ke Aceh, dan bertahan di sana sampai kematiannya. Pada 2 Juni 2010, Hasan dianugerahi status warga negara kehormatan oleh pemerintah Indonesia. Hari berikutnya, ia wafat di rumah sakit di Banda Aceh.
Referensi
Bacaan lebih lanjut
The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro
The Legal Status of Acheh-Sumatra under International Law Diarsipkan 4 Maret 2016 di Wayback Machine.
Lihat juga
Pemberontakan di Aceh
Pranala luar
(Melayu) (Inggris) : Website Acheh-Sumatra National Liberation Front Diarsipkan 2019-12-18 di Wayback Machine.
Kata Kunci Pencarian:
- Hasan di Tiro
- Teungku Chik di Tiro
- Malik Mahmud
- Gerakan Aceh Merdeka
- Pemberontakan di Aceh
- Lembaga Wali Nanggroe
- Wali Negara Aceh
- Teuku Muhammad Hasan
- Republik Aceh
- Ilyas Leube
- Hasan Tiro
- Teungku Chik di Tiro
- Free Aceh Movement
- Insurgency in Aceh
- Darul Islam rebellion
- Zaini Abdullah
- Mureu
- Suharto
- Acehnese people
- Ellis Island