- Source: Heinrich IV, Kaisar Romawi Suci
Heinrich IV (11 November 1050 – 7 August 1106) adalah Kaisar Romawi Suci dari tahun 1084 sampai tahun 1105, Raja Jerman dari tahun 1054 sampai tahun 1105, Raja Italia sekaligus Burgundia dari tahun 1056 sampai tahun 1105, dan Adipati Bayern dari tahun 1052 sampai tahun 1054. Ayahnya adalah Heinrich III, Kaisar Romawi Suci kedua dari wangsa Sali, dan ibunya adalah Agnes dari Poitou, putri Adipati Aquitania. Ketika ayahnya mangkat pada tanggal 5 Oktober 1056, Heinrich belum cukup umur untuk memerintah sendiri, sehingga ibunya yang menjalankan pemerintahan selaku pemangku takhta. Ibu Heinrich mengaruniakan banyak anugerah kepada para menak Jerman demi mengekalkan dukungan mereka. Tidak seperti mendiang suaminya, Agnes tidak berdaya mengendalikan proses pemilihan paus, sehingga gagasan "kemerdekaan Gereja" menguat pada masa pemerintahannya. Kelemahan Agnes dimanfaatkan Hanno II, Uskup Agung Köln. Hanno menculik Heinrich pada bulan April 1062, kemudian memerintah Jerman selaku pemangku takhta sampai Heinrich cukup umur untuk memerintah sendiri pada tahun 1065.
Heinrich berusaha menguasai kembali tanah-tanah pertuanan raja yang lepas selama masa perwaliannya. Ia menugaskan pejabat-pejabat rendahan untuk menjalankan kebijakan-kebijakan barunya, sehingga membuat gerah Kadipaten Sachsen dan Kadipaten Thüringen. Heinrich berhasil mengamankan kerusuhan di Kadipaten Sachsen pada tahun 1069, dan memadamkan pemberontakan Otto dari Nordheim, seorang menak Sachsen, pada tahun 1071. Pengangkatan orang-orang dari kalangan rakyat jelata menjadi pejabat tinggi membuat para menak Jerman kehilangan muka. Banyak yang mengundurkan diri dari majelis istana. Heinrich bersikeras menjalankan hak prerogatifnya untuk mengangkat uskup dan abas, sekalipun para rohaniwan reformis mengecam tindakan tersebut sebagai praktik simoni (lelang jabatan gerejawi). Paus Aleksander II menyalahkan para penasihat Heinrich sebagai dalang di balik kebijakan-kebijakan Heinrich, dan mengekskomunikasi mereka pada awal tahun 1073. Konflik Heinrich dengan Takhta Suci dan para adipati Jerman membuat kedududukannya menjadi lemah, sehingga orang Sachsen berani mengobarkan pemberontakan terbuka pada musim panas tahun 1074. Dengan memanfaatkan perselisihan antara rakyat jelata dan para menak di Sachsen, Heinrich berhasil memaksa kaum pemberontak untuk menyerah pada bulan Oktober 1075.
Heinrich menjalankan kebijakan politik aktif di Italia, sehingga membuat gerah Paus Gregorius VII, pengganti Paus Aleksander II. Sri Paus mencoba menggertak dengan ancaman ekskomuniskasi atas kejahatan simoni, tetapi Heinrich malah membujuk sebagian besar uskup Jerman untuk mengeluarkan pernyataan pada tanggal 24 Januari 1076 bahwa Sri Paus tidak terpilih secara sah. Sri Paus membalas dengan mengekskomunikasi Heinrich dan membebaskan para pangeran Kekaisaran Romawi Suci dari sumpah setia mereka kepada Heinrich. Menak-menak Jerman yang memusuhi Heinrich meminta Sri Paus menggelar sidang gelar perkara Heinrich di Jerman. Demi mencegah terlaksananya sidang tersebut, Heinrich melakukan perjalanan dari Jerman sampai ke kota Canossa di Italia untuk menghadap Sri Paus. Perjalanan menuju Canossa yang ia tempuh sebagai laku silih itu tidaklah sia-sia. Sri Paus tidak punya pilihan selain mengampuninya pada bulan Januari 1077. Seteru-seteru Heinrich di Jerman mengabaikan kenyataan bahwa Heinrich sudah diampuni Sri Paus dan memilih Rudolf dari Rheinfelden menjadi Raja Jerman tandingan pada tanggal 14 Maret 1077. Mulanya Sri Paus bersikap netral dalam konflik antara Heinrich dan Rudolf, sehingga Heinrich berkesempatan mengukuhkan kedudukannya. Heinrich melanjutkan kebijakan mengangkat sendiri pejabat-pejabat tinggi gerejawi, sehingga sekali lagi diekskomunikasi Sri Paus pada tanggal 7 Maret 1080. Sebagian besar uskup di Jerman dan kawasan utara Italia tetap setia kepada Heinrich. Mereka memilih Uskup Agung Ravenna menjadi paus tandingan dengan nama Klemens III. Rudolf dari Rheinfelden gugur dalam pertempuran, dan penggantinya, Hermann dari Salm, hanya berdaulat di Kadipaten Sachsen saja. Mulai tahun 1081, Heinrich melancarkan serangkaian kampanye militer ke Italia, dan dinobatkan menjadi Kaisar Romawi Suci oleh Antipaus Klemens III di Roma pada tanggal 1 April 1084.
Sesudah Hermann dari Salm mangkat, Heinrich menundukkan Kadipaten Sachsen dengan bantuan para menak setempat pada tahun 1088. Ia melancarkan invasi ke wilayah kekuasaan Matilde dari Toskana, sekutu utama Sri Paus di Italia, pada tahun 1089. Mathilde berhasil meyakinkan putra tertua Heinrich, Konrad II, untuk memerangi ayahnya sendiri pada tahun 1093. Persekutuan Matilde dengan Welf I, Adipati Bayern, menghalangi kepulangan Heinrich ke Jerman sampai Heinrich berdamai dengan Welf pada tahun 1096. Sepeninggal Antipaus Klemens III, Heinrich tidak mendukung pemilihan paus tandingan baru, tetapi juga tidak berdamai dengan Paus Paskalis II. Pada tahun 1103, Heinrich memberlakukan Reichsfriede (kerukunan hidup bernegara) di seantero wilayah Jerman. Ia dipaksa turun takhta oleh putra bungsunya, yang juga bernama Heinrich, pada tanggal 31 Desember 1105. Ketika berusaha merebut kembali singgasana dengan bantuan para menak Lothringen, Heinrich jatuh sakit dan akhirnya wafat sebelum hukuman ekskomunikasinya dicabut. Peran besarnya dalam Kontroversi Investitur, perjalanannya menuju Canossa, serta konfliknya dengan putra-putra maupun istrinya membuat Heinrich dikenal sebagai tokoh dengan reputasi yang kontroversial. Di satu pihak ia dipandang tidak lebih dari seorang tiran, sementara di lain pihak ia dikagumi sebagai penguasa teladan, pengayom kaum papa.
Latar belakang
Heinrich adalah kepala monarki ketiga dari wangsa Sali, wangsa yang menguasai singgasana Kerajaan Jerman dari tahun 1024 sampai tahun 1125. Pada abad ke-11, raja-raja Jerman juga berdaulat atas Italia dan Burgundia, serta berhak menyandang gelar Kaisar Romawi Suci. Wangsa Sali yakin bahwa hak menyandang gelar Kaisar Romawi Suci membuat mereka pantas menjadi pemimpin segenap umat Kristen dan mengendalikan proses pemilihan paus di Roma. Roma sesungguhnya didominasi para menak lokal, Tusculani dan Crescenzi, yang bersaing mengunggulkan orang-orang mereka menjadi calon paus. Perseteruan kedua trah ningrat tersebut menimbulkan skandal-skandal yang berpuncak pada kemunculan tiga orang paus yang menjabat bersamaan pada tahun 1045, yakni Paus Benediktus IX, Paus Silvester III, dan Paus Gregorius VI. Demi mengakhiri skisma, ayah Heinrich, Kaisar Heinrich III, berangkat ke Italia melintasi Pegunungan Alpen dan menggelar sinode di Sutri pada tanggal 20 Desember 1046. Sinode memutuskan untuk memecat ketiga paus petahana dan mengangkat prelatus asal Jerman, Suidger, Uskup Bamberg, menjadi Paus Klemens II.
Kaisar Heinrich III sangat mengedepankan matra keimaman jabatan raja, merujuk kepada amalan mengurapi raja dengan minyak suci ketika dinobatkan, sama seperti para imam ketika ditahbiskan. Sebagai orang yang taat beragama, Kaisar Heinrich III memandang dirinya sebagai "Wakil Kristus", insan yang diberi amanah untuk mewujudkan kemaslahatan negara maupun Gereja. Warga Roma memberinya gelar Patricius (bangsawan) sebagai tanda pengakuan bahwa ia dan keturunannya berhak menjadi pemberi suara pertama dalam proses pemilihan paus. Gelar baru ini memungkinkannya untuk memuluskan jalan bagi kaum rohaniwan Jerman menuju takhta kepausan. Paus Leo IX, paus ketiga yang berkebangsaan Jerman, berasal dari Lothringen, praja yang menjadi basis utama para rohaniwan reformis. Kaum rohaniwan reformis bercita-cita memurnikan Gereja melalui penerapan kembali hukum-hukum kanon kuno (atau yang diyakini kuno), dan Paus Leo IX dengan antusias mengusung gagasan-gagasan mereka di Roma. Ia melarang praktik simoni (lelang jabatan gerejawi) dan menganjurkan amalan selibat bagi rohaniwan. Campur tangan kaisar dalam hal-ihwal gerejawi pada akhirnya tidak dapat dirukunkan dengan pendirian kelompok reformis mengenai "kemerdekaan Gereja" yang menghendaki lembaga-lembaga gerejawi hanya tunduk kepada Takhta Suci. Konflik antara kedua pendirian ini memuncak pada masa pemerintahan Heinrich IV, dan berkembang menjadi konfrontasi yang dikenal dengan sebutan "Kontroversi Investitur".
Baik Jerman, Italia, maupun Burgundia terdiri atas praja-praja semimerdeka yang masing-masing dikepalai seorang prelatus atau seorang menak nonrohaniwan. Para prelatus (uskup atau abas) bukan hanya sekadar pemilik tanah yang kaya raya, mereka juga berperan besar dalam penyelenggaraan negara. Setahun sekali mereka wajib mempersembahkan hadiah kepada raja, dan secara berkala melaksanakan karya-karya bakti tertentu bagi kepentingan raja, antara lain memungut pajak dan menyalurkan santunan. Para adipati adalah menak-menak nonrohaniwan yang paling berkuasa di Jerman. Mereka adalah panglima-panglima militer, tetapi juga bertanggung jawab menegakkan keadilan. Raja kadang-kadang merangkap jabatan adipati atau mengusahakan agar jabatan adipati dipegang para sentana, tetapi cepat atau lambat mereka harus mengisi jabatan-jabatan adipati yang lowong, karena daulat raja bergantung kepada dukungan menak-menak terkuat.
Menjelang akhir hayatnya, Kaisar Heinrich III berselisih dengan adipati-adipati yang berpengaruh. Tanpa seizin kaisar, Gottfried Si Berewok, Adipati Lothringen Hulu, nekat memperistri Beatrix dari Toskana, seorang janda kaya. Kaisar Heinrich III juga membuat geram Adipati Sachsen, Berhard II, dengan mendukung seteru utama sang adipati, Adalbert, Uskup Agung Hamburg, menyerobot beberapa daerah di Kadipaten Sachsen. Raja-raja wangsa Sali, yang mewarisi daerah-daerah pertuanan di Sachsen dari pendahulu mereka, wangsa Otto, kerap berkunjung ke Sachsen. Kunjungan-kunjungan yang berkepanjangan tersebut membuat gerah para menak Sachsen karena mereka menjadi lebih rentan digerecoki pemerintah pusat daripada para menak di praja-praja lain. Ketidaksukaan para menak Sachsen terhadap penguasa dari wangsa Sali meletuskan beberapa kali pemberontakan pada masa pemerintahan Heinrich IV.
Negara-negara tetangga Kekaisaran Romawi Suci juga tidak kurang menimbulkan masalah. Kaisar Heinrich III melancarkan ekspedisi-ekspedisi penghukuman ke Kadipaten Bohemia dengan tujuan memaksa si adipati pembangkang, Bretislav I, untuk bersumpah setia kepadanya. Péter, Raja Hungaria, yang naik takhta dengan bantuan Kaisar Heinrich III, juga bersumpah setia kepadanya, tetapi dimakzulkan pada tahun 1046. Kaisar Heinrich III menginvasi Hungaria, tetapi tidak berhasil menundukkan pengganti Péter, András I. András mengangkat adiknya, Béla, menjadi calon penggantinya. Konflik-konflik antara András dan Béla, maupun antara putra-putra mereka, memuncak pada dasawarsa pertama masa pemerintahan Heinrich IV, dan memancing Jerman untuk memerangi Hungaria. Kaisar Heinrich III memperluas wilayah kekuasaannya dengan mendaulat negara-negara di kawasan selatan Italia, termasuk dua praja kabupaten orang Norman, Aversa dan Apulia, pada tahun 1047. Meskipun demikian, ketidakhadirannya di kawasan itu membatasi keberdayaannya meredam sepak terjang para petualang Norman, sehingga ia memutuskan untuk mewakilkan kepentingan-kepentingannya di kawasan selatan Italia kepada Sri Paus.
Masa muda
Heinrich lahir pada tanggal 11 November 1050. Ayahnya adalah Heinrich III, Kaisar Romawi Suci, dan ibunya adalah Agnes dari Poitou, istri kedua Heinrich III. Heinrich junior mungkin sekali lahir di kediaman ayahnya, Istana Kaisar di Goslar. Kelahirannya sudah lama dinanti-nanti, karena sekalipun Kaisar Heinrich III sudah dikaruniai empat orang putri, kawulanya telanjur percaya bahwa hanya ahli waris laki-laki sajalah yang mampu memelihara "ketenteraman negara" (sebagaimana yang dikemukakan Hermann II, Uskup Agung Köln, dalam salah satu khotbahnya). Mulanya Heinrich junior diberi nama Konrad, mengikuti nama kakeknya, Kaisar Konrad II, tetapi Hugo, Abas Biara Cluny, yang ditunjuk Kaisar Heinrich III menjadi wali baptis Heinrich junior, meyakinkan sang kaisar agar menamai ahli warisnya mengikuti nama dirinya sendiri. Dalam perayaan Natal tahun 1050 di Pöhlde, Sachsen, Kaisar Heinrich III menetapkan Heinrich junior yang masih bayi menjadi putra mahkota.
Heinrich junior dibaptis Uskup Agung Hermann di Köln pada hari Minggu Paskah tahun 1051. Pada bulan November, Kaisar Heinrich III menggelar sidang menak di Tribur guna mengukuhkan status Heinrich junior sebagai putra mahkota. Pangeran-pangeran Kekaisaran Romawi Suci yang hadir dalam sidang tersebut memilih Heinrich junior yang baru berumur satu tahun menjadi Raja Jerman. Mereka mengajukan persyaratan yang menegaskan bahwa mereka hanya akan bersedia mengakui kesahihan jabatan Heinrich junior selaku pengganti ayahnya jika ia berperilaku selayaknya seorang "penguasa yang adil" selama ayahnya masih hidup. Sejarawan Ian S. Robinson menduga bahwa pangeran-pangeran Kekaisaran Romawi Suci sesungguhnya ingin meyakinkan Kaisar Heinrich III untuk mengubah metode-metode ketatanegaraannya karena raja kanak-kanak tidak punya peran dalam penyelenggaraan negara. Pada hari Natal tahun 1052, Kaisar Heinrich III mengangkat Heinrich junior menjadi Adipati Bayern.
Heinrich junior dinobatkan Uskup Agung Hermann menjadi Raja Jerman di Aachen pada tanggal 17 Juli 1054. Mungkin sekali pada kesempatan yang sama, Konrad, adik Heinrich yang baru berumur dua tahun, diangkat menjadi Adipati Bayern oleh Kaisar Heinrich III. Sesudah Konrad wafat pada tahun 1055, pemerintahan Kadipaten Bayern diserahkan kaisar kepada Permaisuri Agnes. Kaisar Heinrich III menjodohkan Heinrich junior dengan Berta dari Savoia menjelang akhir tahun 1055. Orang tua Berta, Adelaide, Bupati Turin, dan Otto, Bupati Savoia, menguasai kawasan barat laut Italia. Kaisar Heinrich III ingin mengukuhkan persekutuannya dengan mereka dalam rangka menghadapi adipati pembangkang, Gottfried Si Berewok.
Kaisar Heinrich III mendadak sakit parah seusai menyantap hati rusa jantan pada akhir bulan September 1056. Menurut sejarawan Herbert Schutz, sakit yang diderita sang kaisar disebabkan oleh kelelahan. Dalam sakratulmaut, sang kaisar mempercayakan putranya kepada perlindungan Paus Viktor II yang jauh-jauh datang ke Jerman untuk meminta perlindungan kaisar menghadapi sepak terjang para penguasa Norman di kawasan selatan Italia. Kaisar Heinrich III tutup usia pada tanggal 5 Oktober 1056.
Menjadi Raja Jerman
= Masa perwalian
=Pada usia enam tahun, Heinrich menjadi penguasa tunggal Kekaisaran Romawi Suci. Paus Viktor II mendudukkan Heinrich di atas singgasana kiani di Aachen dan membujuk para menak Jerman untuk bersumpah setia kepada raja baru mereka yang masih kanak-kanak itu. Ibu Suri Agnes terpaksa mengurungkan rencananya menjadi biarawati karena diangkat menjadi pemangku takhta mewakili putranya. Agnes mengurusi pendidikan putranya dengan bantuan seorang ministerialis (abdi dalem) bernama Kuno. Ia mengukuhkan dukungan menak-menak terkuat dengan jalan mengaruniakan banyak anugerah kepada mereka. Agnes juga berdamai dengan Gottfried Si Berewok, dan mengangkat seteru lain dari mendiang suaminya, Konrad dari wangsa Ezzo, menjadi Adipati Kärnten.
Agnes memegang kendali penuh atas penyelengaraan negara selaku pemangku takhta sesudah Paus Viktor II meninggalkan Jerman pada awal tahun 1057, tetapi ia kurang memperhatian Burgundia dan Italia. Heinrich mewarisi gelar Patricius yang didapatkan mendiang ayahnya dari warga Roma, tetapi konsep "kemerdekaan Gereja" kian mengental di Roma pada masa perwaliannya. Pengganti Paus Viktor II, Paus Stefanus IX, adik Gottfried Si Berewok, terpilih pada awal bulan Agustus tanpa campur tangan pemerintah kekaisaran.
Sekelompok menak Sachsen berkomplot untuk menjatuhkan Heinrich. Mereka khawatir, jika sudah cukup umur untuk memerintah sendiri, Heinrich akan melanjutkan kebijakan-kebijakan opresif mendiang ayahnya. Mereka membujuk Otto dari Nordmark, yang baru saja pulang dari pengasingan, untuk melakukan kudeta. Dua orang kerabat Heinrich, Bruno II dan Ekbert I dari Braunschweig, menyergap anggota-anggota komplotan makar. Meskipun berhasil menewaskan Otto, Bruno terluka parah dalam aksi penyergapan.
Pada tahun 1057, Agnes mengangkat seorang menak kaya, Rudolf dari Rheinfelden, menjadi Adipati Schwaben, dan mempercayakan pemerintahan Burgundia kepadanya. Gottfried Si Berewok mengambil alih pemerintahan praja Kadipaten Spoleto dan praja Kabupaten Fermo, mungkin sekali sebagai anugerah pemerintah kekaisaran. Selentingan-selentingan tentang niat Gottfried untuk merebut takhta kekaisaran dengan bantuan Paus Stefanus IX tersiar di Italia, tetapi Sri Paus wafat tanpa diduga-duga pada tanggal 29 Maret 1058.
Tanpa berembuk terlebih dahulu dengan wakil-wakil Heinrich, para menak Roma memilih salah seorang dari antara mereka menjadi paus baru, yakni Giovanni, Kardinal-Uskup Velletri. Giovanni memutuskan memakai nama Benediktus X selaku paus, tetapi Petrus Damianus, Kardinal-Uskup Ostia, menolak melantiknya. Menurut tradisi, melantik paus baru adalah kewenangan istimewa Uskup Ostia. Para kardinal bersidang di Firenze, tempat Paus Stefanus IX tutup usia, untuk membicarakan pemilihan penggantinya. Mereka berencana memilih Uskup Firenze, Gerard, menjadi paus baru, dan mengirim utusan ke Jerman untuk mengabarkan rencana mereka kepada Heinrich. "Sesudah bermufakat dengan para pangeran", Heinrich mengukuhkan pencalonan Gerard pada tanggal 7 Juni di Augsburg. Raja Hungaria, András I, juga mengirim perutusan ke Jerman pada bulan September 1058. András hendak menobatkan Salomon, putranya yang baru berumur lima tahun, menjadi penggantinya, dengan dengan demikian mengabaikan hak adiknya untuk mewarisi takhta Kerajaan Hungaria sepeninggal dirinya. Utusan-utusan Hungaria dan wakil-wakil Heinrich berhasil mencapai kata sepakat, dan kakak Heinrich, Judith, dipertunangkan dengan Salomon.
Kaum rohaniwan reformis memilih Gerard menjadi paus baru di Firenze pada bulan Desember 1058. Selaku paus, Gerard memakai nama Nikolaus II. Gottfried Si Berewok menyertai keberangkatan Paus Nikolaus II ke Roma dan memaksa Antipaus Benediktus X untuk hengkang dari kota itu. Penasihatnya, rahib Hildebrand, bertekad mengukuhkan otonomi lembaga kepausan. Sri Paus menggelar sinode yang menghasilkan maklumat In nomine Domini. Maklumat ini menetapkan para kardinal sebagai pihak yang berwenang memilih paus, berlawanan dengan adat pemilihan paus oleh warga dan rohaniwan Roma, yang pernah dimanipulasi Kaisar Heinrich III. Maklumat yang menyebut Heinrich IV sebagai "raja yang sekarang bertakhta dan dengan pertolongan Allah niscaya kelak menjadi kaisar" ini juga mengakui hak-hak prerogatif Kaisar Romawi Suci terkait proses pemilihan paus, tetapi tidak memerincinya. Meskipun demikian, Humbertus, Kardinal-Uskup Silva Candida, sudah mulai mempertanyakan hak raja-raja untuk mengangkat rohaniwan menjadi uskup atau abas dalam risalah-risalah penentangan simoni yang ia tulis seawal-awalnya antara tahun 1057 sampai 1058.
Paus Nikolaus II mengangkat dua orang pemimpin orang Norman, Robert Guiscard dan Richard I dari Capua, menjadi penguasa praja-praja kadipaten di kawasan selatan Italia pada tahun 1059. Sebagai balasannya, orang Norman bersumpah setia kepada Sri Paus dan berjanji akan membantu melawan musuh-musuhnya. Mungkin sekali musuh-musuh yang dimaksud adalah para menak Roma. Meskipun praja-praja kadipaten di kawasan selatan Italia adalah bagian dari wilayah kedaulatan Kekaisaran Romawi Suci, tindakan Sri Paus tersebut tidak dapat dianggap melangkahi hak-hak kaisar, karena sudah satu dasawarsa lamanya para paus bertindak selaku wakil kaisar di kawasan selatan Italia. meskipun demikian, mufakat antara Sri Paus dan orang Norman melahirkan persekutuan yang bertahan lama.
Pada tahun 1060, Adipati Béla memberontak melawan abangnya, András I, Raja Hungaria. Agnes mengerahkan angkatan bersenjata Bayern, Sachsen, dan Bohemia untuk melawan Béla beserta sekutu-sekutu Polandianya, tetapi pasukan-pasukan ketiga praja tersebut tidak mengoordinasi aksi-aksi mereka. Béla berhasil mengalahkan abangnya, yang terluka parah dan akhirnya mangkat. Keluarga András mengungsi ke Jerman, dan Béla dinobatkan menjadi Raja Hungaria pada tanggal 6 Desember. Sesudah Béla meraih kemenangan, pemerintahan kadipaten-kadipaten Jerman di sepanjang perbatasan dengan Hungaria harus diperkuat. Agnes mempercayakan pemerintahan Kadipaten Bayern kepada Otto dari Nordheim, seorang menak Sachsen yang kaya raya, dan mengganti Adipati Kärnten, Konrad III, dengan Berthold dari Zähringen pada awal tahun 1061.
Pada tahun 1061, hubungan Paus Nikolaus II dengan para prelatus Jerman menegang karena alasan-alasan yang tidak diketahui. Ketika Paus Nikolaus II wafat pada tanggal 20 Juli 1061, para menak Roma mengirim utusan ke Jerman untuk meminta Heinrich mengajukan calon paus baru. Rahib Hildebrand dan tokoh-tokoh rohaniwan reformis lainnya memilih Anselmus dari Baggio, Uskup Lucca, menjadi paus baru pada tanggal 30 September tanpa pengesahan Heinrich. Selaku paus, Anselmus memakai nama Aleksander II. Heinrich memanggil uskup-uskup Italia untuk bersidang dalam sinode yang digelar di kota Basel guna membicarakan situasi saat itu. Ia menghadiri persidangan dengan mengenakan tanda-tanda kebesaran statusnya selaku Patricius Roma. Sinode memilih Cadalus, Uskup Parma, menjadi paus tandingan (memakai nama Honorius II selaku paus) pada tanggal 28 Oktober.
Keberadaan dua orang paus membuat rohaniwan Jerman terpecah. Beberapa uskup mendukung Honorius II, sementara yang lain mendukung Aleksander II. Adalbert, Uskup Agung Hamburg, mendukung Honorius II, sementara Hanno II, Uskup Agung Köln, mendukung Aleksander II. Ibu Suri Agnes mendukung Honorius II, sehingga para penasihatnya diekskomunikasi Paus Aleksander II. Tindakannya menganakemaskan Heinrich II, Uskup Augsburg, secara terang-terangan dan kegagalan kampanye militer Jerman di Hungaria melunturkan wibawa Agnes di mata kawulanya. Skisma membuat kekesalan mereka terhadap pemerintahan Agnes kian menjadi-jadi. Uskup Agung Hanno, Ekbert dari Braunschweig, Otto dari Nordheim, dan menak-menak lain yang tidak berpuas hati memutuskan untuk melengserkan Agnes dari jabatan pemangku takhta. Uskup Agung Hanno menyiapkan sebuah perahu yang "dibuat sangat elok" dan berlayar menyusuri Sungai Rhein sampai ke sebuah pulau dekat istana raja di Kaiserswerth pada bulan April 1062. Heinrich terkagum-kagum melihat perahu itu, sehingga mudah dibujuk Hanno untuk menaikinya. Begitu Heinrich menjejakkan kakinya di atas geladak, perahu langsung dikayuh menjauhi tepian. Karena takut dibunuh para penculiknya, Heinrich menceburkan diri ke sungai. Ia nyaris tenggelam, tetapi diselamatkan Ekbert dari Braunschweig.
Peristiwa "Kudeta di Kaiserswerth" meruntuhkan rasa percaya diri ibu suri. Ia mengundurkan diri dan menyepi ke daerah pertuanannya. Hanno mengambil alih jabatannya sebagai kepala pemerintahan. Gelar barunya, magister (empu), menunjukkan bahwa ia juga mengurusi pendidikan Heinrich. Hanno bertekad mengakhiri skisma. Pada bulan Oktober 1062, sinode waligereja Jerman mengangkat kemenakan Hanno, Burchard II, Uskup Halberstadt, untuk membuka negosiasi dengan Paus Aleksander II. Pada bulan itu juga, teolog Petrus Damianus merampungkan penulisan risalah pembelaan legalitas pemilihan Paus Aleksander II. Lewat risalah tersebut, ia menegaskan bahwa "hak Heinrich untuk berpartisipasi dalam sidang pemilihan paus ... setiap kali harus dikonfirmasi ulang oleh Sri Paus". Dalil yang dikemukakan Petrus Damianus menyiratkan bahwa Heinrich hanya mewarisi klaim atas hal prerogatif kaisar terkait pemilihan paus, dan sewaktu-waktu dapat saja kehilangan klaim tersebut. Rasa hormat kepada kepala negara juga memudar di Jerman. Sebagai contoh, para kawula Widerad, Abas Biara Fulda, dan para kawula Hezilo, Uskup Hildesheim, tidak menghiraukan perintah-perintah yang diserukan Heinrich ketika timbul bentrok di antara mereka di depan mata Heinrich di dalam sebuah gereja di kota Goslar pada bulan Juni 1063.
Béla I, Raja Hungaria, menyatakan keinginannya untuk berdamai dengan Heinrich demi melindungi kedudukannya dari klaim kemenakannya, Salomon, yang mendapatkan suaka politik di Jerman. Meskipun demikian, Heinrich beserta para penasihatnya ingin agar Salomon kembali menjadi Raja Hungaria, dan oleh karena itu mengerahkan angkatan bersenjata untuk menginvasi Hungaria pada bulan Agustus 1063. Heinrich mendapatkan pengalaman tempurnya yang pertama dari kampanye militer ini. Béla mangkat tanpa diduga-duga akibat kecelakaan, dan angkatan bersenjata Jerman bergerak memasuki kota Székesfehérvár. Heinrich membantu Salomon naik takhta menjadi Raja Hungaria dan menghadiri upacara perkawinannya dengan Judith sebelum pulang ke Jerman. Adalbert dari Bremen menyertai Heinrich dalam kampanye militer Jerman di Hungaria dan menjalin persahabatan dengannya. Adalbert disebut sebagai "pelindung" Heinrich dalam surat-surat kenegaraan sejak tahun 1063. Sebutan tersebut adalah indikasi bahwa kedudukan Adalbert sejajar dengan kedudukan Hanno. Hanno berangkat ke Italia untuk menghadiri sinode pengakuan keabsahan jabatan Paus Aleksander II yang digelar di Mantua pada bulan Mei 1064. Selama kepergiannya, Adalbert berkesempatan mengeratkan cengkeraman pengaruhnya atas diri Heinrich.
= Tahun-tahun pertama masa dewasa
=Heinrich menjalani upacara pemasangan pedang pada ikat pinggang sebagai tanda kedewasaan di kota Worms pada tanggal 29 Maret 1065. Menurut keterangan sezaman dalam tawarikh yang ditulis Lampert dari Hersfeld, Heinrich menyerang Uskup Agung Hanno seusai upacara pemasangan pedang, dan hanya dapat ditenangkan oleh ibunya. Keterangan Lampert tidak sepenuhnya dapat dipercaya, tetapi diketahui bahwa Hanno disingkirkan dari majelis istana Heinrich. Di kota Worms, Heinrich menerima undangan Paus Aleksander II untuk berkunjung ke Roma. Ibu Suri Agnes memulihkan pengaruhnya, tetapi ia berangkat ke Italia dua bulan kemudian, dan Adalbert, Uskup Agung Bremen, sepenuhnya mengambil alih kewenangan penyelenggaraan pemerintahan. Kunjungan Heinrich ke Roma mula-mula ditunda sampai musim gugur, dan kemudian ditangguhkan tanpa batas waktu, meskipun Sri Paus membutuhkan kehadiran Heinrich untuk mengatasi para pendukung Antipaus Honorius II di Italia. Bukannya berangkat ke Roma, Heinrich malah berkunjung ke Burgundia pada bulan Juni 1065. Surat-surat kenegaraan Burgundia menunjukkan bahwa para menak setempat menganggap tanggal kunjungan tersebut sebagai tanggal permulaan masa pemerintahannya. Dari Burgundia, Heinrich berangkat ke Lothringen, dan menganugerahkan daerah Lothringen Hilir kepada Gottfried Si Berewok pada bulan Oktober.
Rumah tangga
Istri pertama Heinrich, Berta dari Savoia, hanya setahun lebih muda darinya. Heinrich secara teratur menyebut Berta sebagai "permaisuri kerajaan dan biduk rumah tangga kami" dalam surat-surat kenegaraan sampai tanggal 5 Agustus 1068. Hilangnya nama Berta dari surat-surat kenegaraan Heinrich adalah tanda merenggangnya hubungan di antara keduanya. Heinrich berikhtiar menceraikan Berta dengan mengungkapkan di hadapan sidang umum menak Jerman pada bulan Juni 1069 bahwa ikatan perkawinannya dengan Berta belum disempurnakan dengan sanggama. Sidang menak mengajukan permohonan pembatalan perkawinan Heinrich dan Berta kepada sinode, dan sinode meneruskannya ke Takhta Suci pada awal bulan Oktober. Paus Aleksander II mengeluarkan keputusan tegas bahwa Heinrich hanya dapat dinobatkan menjadi kaisar jika bersedia mengurungkan niatnya menceraikan Berta. Heinrich mematuhi keputusan Sri Paus, dan nama Berta kembali tercantum dalam surat-surat kenegaraannya sejak tanggal 26 Oktober 1069. Berta wafat pada tanggal 27 Desember 1087.
Perkawinan Heinrich dan Berta dikaruniai lima orang anak. Dua di antaranya wafat selagi masih bayi, yakni Adelheid dan Heinrich. Tiga anak yang bertahan hidup hingga dewasa adalah:
Agnes, lahir tahun 1072 atau 1073, diperistri Friedrich dari Büren, ditinggal mati suami, kemudian diperistri Leopold III dari Austria.
Konrad, anak yang memerangi ayahnya, lahir tahun 1074.
Heinrich, anak yang memaksa ayahnya turun takhta, lahir tahun 1086.
Morkinskinna, tawarikh tertua raja-raja Norwegia, memuat keterangan tentang seorang putri bernama Mathilde, anak seorang kaisar. Berdasarkan kecocokan waktu, kaisar yang dimaksud mestinya adalah Heinrich IV. Menurut Morkinskinna, Magnus III dari Norwegia pernah saling berkirim pesan dengan putri Mathilde, dan pernah pula merangkai sebait puisi untuknya. Dalam sumber-sumber primer lain, tidak ada anak Heinrich yang bernama Mathilde.
Istri kedua Heinrich, Yevpraksia dari Kiev (dikenal dengan nama Adelheid di Jerman), lahir sekitar tahun 1068. Yevpraksia adalah putri Pangeran Besar Kiev, Vsevolod I, tetapi bukan ikatan dengan Rus Kiev yang menjadikannya pasangan ideal bagi Heinrich IV, melainkan statusnya sebagai janda cerai mati Heinrich dari Stade sejak tahun 1087. Mendiang Heinrich dari Stade adalah menak Sachsen yang kaya raya, dan tindakan mengawini jandanya membantu merukunkan Heinrich IV dengan orang-orang Sachsen. Heinrich IV dan Yevpraksia bertunangan pada tahun 1088. Tidak seperti Berta, nama Yevpraksia hanya satu kali tercantum dalam surat kenegaraan Heinrich. Fakta ini menunjukkan bahwa Yevpraksia tidak kunjung mendapatkan kepercayaan Heinrich. Sesudah perkawinan mereka berakhir dengan skandal, Yevpraksia pulang ke negeri asalnya dan menetap di Kiev sampai tutup usia pada tanggal 10 Juli 1109.
Beatrix, anak Gunhilda dari Denmark dan Kaisar Heinrich III, tidak turut ditampilkan pada bagan di atas. Beatrix adalah Abdis Biara Quedlinburg dan Biara Gandersheim sampai akhir hayatnya pada tahun 1061.
Baca juga
Silsilah raja-raja Jerman
Enrico IV
Rujukan
Sumber
Bacaan lanjutan
Pranala luar
Kata Kunci Pencarian:
- Kekaisaran Romawi Suci
- Heinrich IV, Kaisar Romawi Suci
- Friedrich I, Kaisar Romawi Suci
- Heinrich V, Kaisar Romawi Suci
- Kaisar Romawi Suci
- Heinrich II, Kaisar Romawi Suci
- Heinrich VII, Kaisar Romawi Suci
- Heinrich III, Kaisar Romawi Suci
- Heinrich VI, Kaisar Romawi Suci
- Lothar II, Kaisar Romawi Suci