- Source: Heldy Djafar
Heldy Djafar (11 Juni 1947 – 10 Oktober 2021) adalah istri kesepuluh Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia. Heldy Djafar lahir dari pasangan Hj. Djafar dan Hjh. Hamiah. Ia bungsu dari sembilan bersaudara. Ia menikah dengan Soekarno pada tahun 1966. Kala itu Soekarno berusia 65 tahun sementara Heldy Djafar berusia 18 tahun. Saksinya Ketua DPA Idham Chalid dan Menteri Agama Saifuddin Zuhri.
Pernikahan keduanya hanya bertahan dua tahun. Kala itu situasi politik sudah semakin tidak menentu. Komunikasi tak berjalan lancar setelah Soekarno menjadi tahanan di Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto. Heldy sempat mengucap ingin berpisah, tetapi Soekarno bertahan. Soekarno hanya ingin dipisahkan oleh maut.
Akhirnya, pada tanggal 19 Juni 1968, Heldy yang berusia 21 tahun menikah lagi dengan Gusti Suriansyah Noor, keturunan dari Kerajaan Banjar. Kala itu Heldy yang sedang hamil tua mendapat kabar Soekarno wafat. Soekarno tutup usia pada tanggal 21 Juni 1970, dalam usia 69 tahun. Belakangan, satu dari enam orang anaknya, Maya Firanti Noor, menikah dengan Ari Sigit, cucu Presiden RI Soeharto.
Kehidupan awal
Heldy lahir di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, pada tanggal 10 Agustus 1947 dari pasangan H Djafar dan Hj Hamiah. Ia bungsu dari sembilan bersaudara. Ketika Hj Hamiah mengandung Heldy, wanita itu sempat melihat bulan bulat seutuhnya (bulan purnama). Lalu seorang rekan H Djafar yang sedang bertandang ke rumahnya (seorang Tionghoa) mengatakan bahwa saat bayinya lahir harus dijaga hati-hati sampai beranjak dewasa, dan saat Heldy duduk di bangku SMP, seorang tante yang dianggap pandai meramal dan biasa disapa Mbok Nong mengatakan bahwa kelak jika dewasa, ia akan mendapatkan "orang besar". Sejak kecil, ia sudah khatam membaca Al-Qur'an.
Erham, kakak kandung Heldy yang paling tua menyebut, orang tua mereka cukup terpandang di daerahnya. Rumah orang tua Heldy adalah rumah panggung. Bangunannya memanjang ke samping mencapai 30 meter dan memanjang ke belakang 40 meter. Terbuat dari kayu pilihan dengan plafon rumah setinggi empat meter dan memiliki jendela yang berukuran panjang ke bawah dengan kisi-kisi kayu, lalu berlapis kaca pada bagian luarnya. Jumlah jendelanya pun cukup banyak. Di atas pintu masuk depan rumah tertulis tahun dibangunnya rumah tersebut, tahun 1938.
Pada saat penumpang mobil menyebarkan selebaran berisi pengumuman bahwa akan ada pidato Presiden Soekarno di Samarinda, kakak kandung Heldy, Yus, ikut memunggut lembaran kertas itu sambil berdiri di balik pagar rumahnya, Jalan Mangkurawang. Heldy pun merengek ingin bertemu Presiden, namun ditolak.
Merantau ke Jakarta
Waktu terus berjalan. Heldy beranjak menjadi remaja yang menarik perhatian rekan-rekannya. Ketika itu ia masih duduk di bangku SMP yang letaknya di Gunung Pedidi, Jalan Rondong, Demang Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Saat ia duduk di bangku SMP kelas tiga, Heldy pindah sekolah ke sebuah SMP di Samarinda. Kepindahan Heldy dilakukan karena adanya nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Akibatnya, H Djafar, ayah Heldy untuk sementara waktu beristirahat dari pekerjaannya di Oost Borneo Maatschapppij.
Setelah tamat dari SMP, Heldy hijrah ke Jakarta menyusul kakaknya untuk mencari ilmu. Cita-cita nya menjadi seorang desainer interior. Kendati jarak antara Samarinda-Jakarta lumayan jauh, namun Heldy tak pernah surut untuk melangkahkan kakinya meraih asa. Dari Samarinda, ia menumpang kapal menuju Balikpapan. Selanjutnya ia naik kapal laut Naira dari Pelabuhan Semayang, Balikpapan, menuju ke Surabaya ditemani kakaknya, Milot (jamilah) dan Idzhar iparnya. Selanjutnya dari Surabaya mereka menumpang kereta api menuju Jakarta dan berhenti di Stasiun Gambir. Saat kakinya kali pertama menyentuh Jakarta, Heldy merasa bangga.
Apalagi pada tahun 1963, jalanan di Jakarta sudah beraspal, jembatan Semanggi yang lebar dan membentuk lengkungan menarik, rumah dan gedung terbuat dari beton dan rimbunnya dedaunan pohon-pohon besar di tepi jalan. Di kota metropolitan, Heldy tinggal di rumah kakaknya Erham, di Jalan Ciawi III nomor 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Erham sendiri bekerja di sebuah perusahaan bank dan sudah memiliki tiga orang anak. Sementara Yus, kakak Heldy, waktu itu masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia memilih tinggal di asrama Kalimantan, Jalan Cimahi 16, Menteng, Jakarta Pusat.
Yus dikenal sebagai aktivis organisasi. Ketika masih kuliah ia sudah didapuk menjadi Ketua Perhimpunan Pemuda Kalimantan Timur. Seminggu berada di Jakarta, Heldy diajak Yus main-main ke asrama. Di sana ada pemuda bernama Adji, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kehadiran Heldy menarik perhatian Adji. Sejak itu, kendati usianya terpaut lima tahun, keduanya saling mengunjungi.
Di Jakarta, Heldy masuk ke Sekolah Guru Kepandaian Putri (SGKP) yang kemudian berubah nama menjadi Sekolah Kepandaian Keputrian Atas (SKKA). Sekarang sekolah itu diubah lagi menjadi Sekolah Menengah Kepandaian Keputrian (SMKK). Letak sekolahnya di daerah Pasar Baru. Di sekolah ini, sejumlah gadis dari daerah, menimba ilmu tentang dunia masak-memasak dan mengurus rumah tangga. Sejak sekolah di tempat itu, setiap hari Heldy naik bus menuju ke sekolahnya. Kadang ia dijemput oleh rekannya bernama Sri.
Di sekolahnya, khusus buat murid yang beragama Islam, diadakan pencarian bakat siapa yang mahir membaca Al Qur'an. Kepala sekolah memberikan pengumuman kepada para murid yang bisa membaca Al-Qur'an disarankan ke kantor kepala sekolah untuk dites. Dari sekian banyak murid dipilihlah Heldy. Kepandaiannya membaca Al Qur'an membuat Heldy makin dikenal di sekolahnya. Suatu hari Heldy diundang sebagai qoriah dalam acara peringatan Nuzulul Qur'an di asrama mahasiswa Universitas Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat.
Heldy diundang oleh guru kimianya yang waktu itu juga tercatat sebagai mahasiswa kedokteran UI. Namanya Zulkifli TS Tjaniago (kini menjadi dokter spesialis kandungan). Sejak saat itu Heldy tak hanya dikenal di sekolahnya saja. Para mahasiswa banyak yang mengenal namanya. Bahkan, ia pernah dipilih menjadi sampul majalah Pantjawarna. Di sampul tersebut, Heldy memakai busana khas Tenggarong, lengkap dengan sanggul cepol di atas dan tusuk kembang goyang.
Bertemu Sukarno
Pada tahun 1964, Yus dipercaya oleh protokol kepresidenan untuk menyiapkan barisan Bhinneka Tunggal Ika ke Istana Negara dalam rangka penyambutan tim Piala Thomas. Heldy terpilih sebagai bagian dari barisan tersebut sebagai wakil dari Kalimantan. Begitu juga sepupu dan keponakannya. Presiden Soekarno menaiki anak tangga Istana melalui barisan Bhineka Tunggal Ika yang sudah rapi berbaris dan berdiri di setiap anak tangga. Bung Karno menaiki anak tangga satu persatu sambil melihat ke kanan dan ke kiri. Tepat saat mendekati barisan di belakang Heldy, ia menyapa dengan caranya yang khas.
Selanjutnya, pertemuanantara Heldy dengan Bung Karno terjadi, ketika kepala sekolahnya, mengajak murid-muridnya, termasuk Heldy, ke Istana Bogor untuk masuk ke dalam barisan Bhineka Tunggal Ika. Mereka berangkat menumpang bus khusus. Sesampainya di Istana Bogor, para pagar ayu diminta berbaris dan menempati posisinya masing-masing untuk siap-siap menerima tamu. Saat itu, Heldy memilih berdiri di pojok, takut dilihat Sukarno. Ketika Presiden Sukarno memasuki ruangan untuk melihat barisan Bhineka Tunggal Ika, matanya mendadak menatap Heldy. Melalui ajudannya, Heldy lalu dipanggil Soekarno.
Setelah itu, pertemuan antara Soekarno dengan Heldy terjadi kembali, saat anggota barisan Bhineka Tunggal Ika diwajibkan menyanyi di depan presiden, satu persatu. Dari sekian anggota, Heldy mendapat urutan nomor satu untuk menyanyi. Ia pun tarik olah vokal, menyanyikan lagu asal Kalimantan. Usai menyanyikan lagu berjudul 'Bajiku Batang' (padi), Bung Karno meminta Heldy untuk menyanyikannya sekali lagi.
Pertemuan selanjutnya terjadi saat Yus kakak kandung Heldy meminta ke Istana untuk menjadi pagar ayu kembali. Saat Bung Karno masuk ruangan, kedua matanya menyapu semua sudut ruangan. Lalu, Bung Karno memperhatikan Heldy yang ketika itu mengenakan kebaya warna hijau. Lalu dipanggilah Heldy. Heldy pun diminta untuk menampilkan tari lenso. Ia takut melakukan kesalahan saat lenso dengan presiden. Untungnya, selama di Jakarta, ia pernah diajari menari lenso oleh kakaknya. Malam itu, tamu negara yang hadir diantaranya ada Titiek Puspa, Rita Zahara dan Feti Fatimah. Heldy lalu duduk di kursi yang letaknya persis di belakang presiden. Selama ini siapapun yang dipilih Bung Karno untuk menari lenso, selalu duduk di dekatnya. Saat berlenso dimulai, Bung Karno mulai mengajak Heldy.
Sumber
Bacaan tambahan
Heldy cinta terakhir Bung Karno - Google Books Diarsipkan 2023-08-17 di Wayback Machine.
Kata Kunci Pencarian:
- Heldy Djafar
- Soekarno
- Daftar tokoh Kutai
- Oktober 2021
- Amas Mattaram
- Sultan Amrullah dari Sumbawa
- Dewa Mappaconga Mustafa
- 2021
- Technische Hoogeschool te Bandoeng
- Dewa Masmawa Sultan Mahmud
- Sukarno