- Source: Iuran televisi
Iuran televisi (disebut juga lisensi televisi maupun lisensi penyiaran televisi) adalah suatu skema sejenis pajak yang ditagihkan di berbagai negara bagi penduduk yang memiliki pesawat televisi ataupun menerima siaran televisi. Iuran televisi umumnya digunakan untuk membiayai siaran dari lembaga penyiaran publik, sehingga lembaga tersebut bisa bersiaran tanpa iklan maupun sedikit iklan (meskipun ada juga pengecualian di beberapa negara dimana iklan jauh lebih dominan dibanding sumber pembiayaan lainnya). Iuran sejenis seringkali juga diterapkan bagi penerimaan siaran radio atau kepemilikan perangkat radio.
Sejarah
Di masa-masa awal industri penyiaran, salah satu masalah yang dialami para penyiar adalah cara mengumpulkan dana untuk membiayai layanan mereka. Beberapa negara mengadopsi model iklan, tetapi banyak negara lain mengadopsi model langganan publik yang bersifat wajib, dalam bentuk lisensi siaran yang dibayar oleh rumah tangga yang memiliki perangkat radio (dan kemudian, perangkat televisi).
Britania Raya adalah negara pertama yang mengadopsi model langganan wajib dengan dana dari biaya lisensi disalurkan untuk BBC, yang dibentuk pada 1 Januari 1927 oleh piagam kerajaan untuk menghasilkan program yang didanai publik namun tetap independen dari pemerintah, baik secara manajerial maupun finansial. Lisensi ini awalnya dikenal sebagai wireless licence ("lisensi nirkabel").
Dengan hadirnya televisi, beberapa negara membuat lisensi televisi tambahan yang terpisah, sementara yang lain hanya menaikkan biaya lisensi radio untuk menutupi biaya tambahan siaran televisi, mengubah nama lisensi dari "lisensi radio" menjadi "lisensi televisi" atau "lisensi penerima". Saat ini sebagian besar negara mendanai siaran radio publik dari biaya lisensi yang sama yang digunakan untuk televisi, meskipun beberapa masih memiliki lisensi radio terpisah, atau menerapkan biaya yang lebih rendah atau bahkan tidak mematok biaya sama sekali untuk warga yang hanya memiliki radio. Beberapa negara juga memiliki biaya yang berbeda untuk pengguna dengan televisi berwarna atau monokrom. Banyak yang memberikan diskon, atau menggratiskan biaya, untuk warga lanjut usia dan/atau penyandang cacat.
Iuran penyiaran di Indonesia
= Iuran televisi
=Iuran televisi mulai diterapkan di Indonesia setahun pasca Televisi Republik Indonesia (TVRI) mulai mengudara pada Agustus 1962. Pada 20 Oktober 1963, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 218 Tahun 1963 yang mengatur bahwa setiap pemilik pesawat televisi harus mendaftarkan perangkatnya ke TVRI selambat-lambatnya pada 31 Desember 1963. Jika tidak membayar iuran sebesar Rp 300/bulan tepat waktu maka akan dikenakan denda 25%; dan jika terus menunggak, maka pesawat televisi dapat disita pemerintah. Dalam perkembangannya, pada Januari 1965 angkanya naik menjadi Rp 1.000-2.000/bulan (tergantung jenis televisi, apakah ia lokal atau impor). Seiring menurunnya angka inflasi di awal era Orde Baru, biaya iuran ini kembali menurun, sempat menjadi Rp 200/bulan pada 1969 dan Rp 500-750/bulan pada Januari 1974. Diperkirakan, pada tahun 1979, pendapatan iuran TVRI mencapai Rp 6,9 miliar (naik dari Rp 240 juta pada 1968), dan pada akhir tahun 1978, sudah ada 1.156.289 pesawat televisi yang terdaftar di pemerintah (naik dari 20.636 pada 1969). Seiring pelarangan iklan di TVRI, pada Februari 1981, tarif iuran televisi sempat dinaikkan menjadi Rp 1.500/bulan untuk televisi hitam putih dan Rp 3.000/bulan untuk televisi berwarna (dari sebelumnya masing-masing Rp 500 dan Rp 1.500).
Iuran televisi dipungut atas nama Yayasan TVRI (untuk kemudian disalurkan ke pemerintah dan dialirkan ke TVRI), oleh PN Pos dan Giro sejak 1973, yang seringkali juga melakukan inspeksi ke rumah-rumah demi menarik iuran ini. Sebagai "balas jasa" atas kerjasama ini, pihak Pos dan Giro mendapat keuntungan 10% dari iuran yang didapatkan. Walaupun demikian, ada saja publik yang seringkali tidak patuh/menolak membayar iuran ini, misalnya dengan menyembunyikan pesawat televisi mereka ketika petugas pos datang. Salah satunya, karena melihat penerimaan siaran TVRI yang buruk. Hal ini tentu cukup memengaruhi anggaran TVRI, yang makin kecil jumlahnya pasca 1981. Diperkirakan, pada 1988, kepatuhan publik membayar iuran televisi hanya berada di 40%. Seiring waktu, metode pembayaran iuran televisi juga diperluas seperti dengan bantuan bank. Angkanya pun semakin meningkat, dari Rp 56 miliar (6 juta pengguna televisi) pada 1988, menjadi Rp 70,3 miliar pada 1991. Walaupun demikian, karena pendapatan dengan metode ini selama ini masih dirasa kurang dari target (hanya 70%), maka pemerintah mulai memikirkan cara baru dalam penarikan iuran dari publik.
Pada 13 September 1990, Presiden Soeharto menandatangani Keppres Nomor 40 Tahun 1990 yang menggantikan Keppres Nomor 218 Tahun 1963. Salah satu poin utama perubahan dalam Keppres ini adalah dibolehkannya kerjasama dengan pihak swasta dalam penarikan iuran tersebut. Walaupun awalnya mungkin baik, namun kemudian diketahui yang mendapat keuntungan dari kebijakan ini adalah perusahaan bernama PT Mekatama Raya, yang dimiliki oleh Sigit Harjojudanto (anak kedua Presiden), Sudwikatmono (sepupu Presiden) dan Henry Pribadi; hal tersebut menunjukkan praktik KKN pada era Orde Baru karena penunjukannya dilakukan tanpa proses tender. Perusahaan tersebut kemudian ditunjuk oleh pemerintah sebagai partner TVRI dalam penarikan iuran selama 15 tahun, lewat penandatanganan kerjasama dengan TVRI pada Desember 1990, lalu disahkan lewat SK Menteri Penerangan No. 158/1990 dan mulai beroperasi pada 1 Januari 1991. TVRI mematok target agar pada 1991 perusahaan tersebut bisa meraih Rp 90 miliar dari iuran televisi. Sayangnya, bukannya hasil positif yang didapat karena perusahaan ini justru tidak memenuhi target. Ini dikarenakan banyak hal, seperti persiapan yang tergesa-gesa (awalnya direncanakan dimulai pada 1993, namun dipercepat pada 1991); kurangnya komunikasi tentang perusahaan baru ini dan profesionalisme pegawainya yang seringkali bersikap kasar; korupsi pegawai/bawahannya, dan masalah di daerah dimana para pemerintah daerah memilih mematok iuran televisinya sendiri. Akibatnya, dari target pemasukan tersebut, maupun pemasukan bulanan yang diwajibkan TVRI kepada PT Mekatama Raya pun tidak terpenuhi.
Menjelang 1992, kinerja PT Mekatama Raya pun semakin memburuk dan dikabarkan hampir bangkrut karena merugi sebesar Rp 50 miliar, sehingga mulai menghentikan operasionalnya pada Januari 1992. Respon pemerintah pun sayangnya tidak positif dengan menaikkan tarif iuran sebesar 100% pada 1 Februari 1992, dengan alasan karena iuran sejak 1981 tidak pernah meningkat di tengah biaya operasional yang terus bertambah. Hal tersebut akhirnya menimbulkan protes dari sejumlah kalangan (termasuk dari DPR dan media massa), dan bahkan hampir muncul gerakan boikot membayar iuran pada saat itu seperti dari YLKI dan YLBHI maupun gugatan ke PTUN. Pada 14 April 1992, pemerintah pun akhirnya memutuskan mencabut hak pengelolaan iuran televisi dari PT Mekatama Raya. Sejak saat itu, perusahaan tersebut hanya menjadi konsultan TVRI dalam penarikan iuran, walaupun masih mendapat komisi sebesar 10% pada beberapa tahun kemudian (1994).
Sejak Mei 1992, Yayasan TVRI kembali menjadi pengelola dalam penarikan iuran televisi, dan kali ini penagihannya dilakukan langsung oleh kolektor rekrutan TVRI. Meskipun tercatat mengalami penurunan pendapatan dari April 1993-Mei 1996, namun pimpinan TVRI saat itu mengklaim masih banyak masyarakat yang patuh melunasi kewajibannya. Namun, layaknya sebelum-sebelumnya, aturan penarikan iuran pun seringkali masih menimbulkan kontroversi. Pada Agustus 1997 saja, penarikan iuran menjadi masalah ketika pemungut iuran TVRI menggandeng perwira ABRI melalui Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional Daerah (Bakorstanasda) dalam pemungutan itu sehingga dirasa sangat represif. Beberapa pihak juga berpendapat bahwa landasan pemungutan iuran lewat Keppres terkesan kurang kuat, sehingga kewajiban iuran bisa dicabut (dan TVRI boleh beriklan lagi) ataupun aturannya diatur dalam undang-undang/perda. Angka tarifnya kemudian tetap meningkat (tidak diturunkan sejak 1992), antara Rp 1.000-6.000/bulan untuk rentang televisi di bawah 16 inci sampai di atas 19 inci. Hal ini kemudian masih memicu protes dan boikot membayar iuran selama beberapa kali, seperti pada 1997. Untuk menenangkan publik, pihak TVRI menyatakan bahwa mereka tidak pernah melakukan penyitaan pesawat televisi dari para penunggak.
Semenjak akhir 1990-an, apalagi seiring dengan krisis ekonomi 1997-1998, kesadaran publik untuk membayar iuran televisi semakin merosot. Di tahun 1999, angka pemasukan TVRI dari iuran sudah anjlok ke Rp 20 miliar dan pada 2001 turun lagi menjadi Rp 7 miliar. Perubahan status TVRI beberapa kali pada 2000-an pun membuatnya makin sulit mengurusi hal ini. Akhirnya, sejak awal 2000-an, praktik pengumpulan iuran oleh TVRI pun perlahan tidak dilakukan lagi. Sempat ada proposal dari TVRI pada Juni 2004 untuk menghidupkan kembali penarikan iuran ini dengan digabungkan bersama tagihan listrik PLN, namun hal itu ditolak berbagai pihak, seperti YLKI yang menganggap bahwa status PT (Persero) di TVRI membuatnya tidak boleh lagi menarik iuran, maupun pendapat lain bahwa penggabungan dengan tarif listrik akan menjadi sulit ataupun kekhawatiran akan merugikan rakyat kecil.
Sesungguhnya, walaupun mengalami perubahan status berkali-kali pada 2000-an, pemerintah masih mengizinkan TVRI menerima iuran televisi. Hal ini dapat dilihat baik pada pasal 8 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2000 yang mengubah status TVRI menjadi perusahaan jawatan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002, maupun dalam pasal 34 PP Nomor 13 Tahun 2005 yang mengubah status TVRI menjadi Lembaga Penyiaran Publik seperti saat ini. Walaupun demikian, hal tersebut tidak dilakukan karena sulit diterima publik, ditambah dengan hal bahwa iuran televisi – seperti halnya sumbangan masyarakat – belum pernah diatur sebagai PNBP untuk TVRI.
= Iuran radio
=Kebijakan penerapan iuran radio pertama kali diberlakukan di era Hindia Belanda pada masa radio NIROM, dikenal dengan nama luistrebijdrage dan berlaku sejak 1934. Walaupun ada beberapa stasiun radio pada masa itu, namun iuran/pajak radio hanya diberlakukan bagi dan oleh NIROM mengingat statusnya sebagai radio resmi pemerintah kolonial. Pasca didirikannya Radio Republik Indonesia (RRI) pada 1945, pemerintah berniat untuk mengumpulkan pajak tersebut demi membiayai siaran RRI. Iuran tersebut kemudian secara resmi mulai hadir, berdasar pada Undang-Undang No. 5/1947, yang berlaku pada 1 Mei 1947. Secara dasar, undang-undang itu menetapkan bahwa semua perangkat radio yang dimiliki publik, dijadikan objek Pajak Radio sebesar Rp 5/bulan, dengan pengecualian bagi radio yang diberi segel sehingga tidak bisa digunakan. Jika menunggak, maka si penunggak bisa dikenakan denda. Pengurusan dan pemungutan pajak dilakukan oleh kantor Pos, Telegraf, dan Telepon (PTT). Pemerintah pada saat itu memperkirakan ada keuntungan Rp 2 juta yang bisa diraih dari pajak ini (dari sekitar 30.000 pesawat radio yang terdata pada 18 Juli 1946). Baru setahun berlaku, pada 12 Juni 1948 melalui UU No. 21/1948, pemerintah melakukan perubahan atas UU tersebut. Perubahan yang dimaksud adalah dengan menambahkan pesawat radio yang tidak diberi pajak (radio di instansi penyiaran, radio yang dimiliki dan digunakan militer, radio yang ada di toko, radio yang dipakai di perwakilan negara sahabat (seperti duta dan konsul), dan radio yang diberi segel oleh petugas PTT). Selain itu, aturan baru ini juga mengizinkan penagihan denda pajak dengan selain uang (seperti harta dan perangkat radio wajib pajak), lalu hak pengembalian kelebihan pajak, dan beberapa perubahan redaksional lain.
Setelah beberapa tahun, pada 26 September 1959 harga iuran radio kembali dinaikkan menjadi Rp 7,50/bulan lewat Perpu No. 9/1959. Lalu, pada Januari 1964, pemerintah kembali memberlakukan aturan baru tentang pajak radio lewat Keppres No. 4/1964. Secara dasar, aturan ini mewajibkan seluruh radio di Indonesia didaftarkan ulang selambat-lambatnya pada 31 Maret 1964. Pajak radio dinaikkan menjadi Rp 25/bulan (kecuali di Irian Barat dan Kepulauan Riau, yaitu sebesar Rp 5). Sementara itu, untuk aturan yang lain tidak jauh berbeda, seperti pihak penagih (PTT), pengecualian pajak dan adanya denda. Melalui Keppres No. 22/1966 (berlaku pada 1 Januari 1966), pemerintah kemudian menurunkan kembali tarifnya setelah redenominasi rupiah, menjadi Rp 2,50/bulan dan kini berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Layaknya iuran televisi, iuran radio juga dalam pelaksanaannya sering diwarnai ketidakpatuhan oleh masyarakat.
Munculnya Orde Baru kemudian juga ditandai dengan perubahan dalam pemungutan pajak radio. Pada saat itu, pemerintah memutuskan untuk mulai menghentikan pemungutan pajak radio mulai 1 Januari 1967 dikarenakan meterai pengesahan pajak tersebut jauh lebih mahal dibanding pajaknya. Sebagai penggantinya, pemerintah kini mengeluarkan kebijakan "sumbangan iuran radio", yang dalam Keppres No. 86/1968 ditetapkan sebesar Rp 30/bulan, ditambah bea Rp 6; dan bagi yang melanggar lebih dari 3 bulan akan dikenakan denda Rp 360. Kemudian, sejak 1 Maret 1969, pemerintah lewat UU No. 10/1968 dan Peraturan Pemerintah No. 5/1969 menyerahkan kewenangan pemungutan iuran radio kepada pemerintah daerah.
Dengan diserahkannya kebijakan pajak/iuran radio kepada pemda, maka kebijakan iuran pada saat itu akan berbeda-beda menurut daerah (misalnya di DKI Jakarta mencapai Rp 600/tahun dan bisa dicicil 4 kali; sedangkan di Bali sebesar Rp 30/bulan), dan RRI harus bekerjasama dengan pemda demi mendapatkan dana hasil iuran tersebut. Pemerintah (pusat) saat itu hanya melakukan pendekatan agar kebijakan ini diberlakukan secara efektif. Misalnya, dengan mendorong agar pemda tetap bekerjasama dengan Perum Pos dan Giro (nama baru PTT) di berbagai daerah. Pada akhir 1978 pemerintah memperkirakan ada 53 kantor pos di berbagai daerah yang melanjutkan pemungutan iuran; terdapat 1.666.603 pesawat radio yang terdaftar, dan diperkirakan penerimaan yang didapat dari pajak radio mencapai kurang lebih Rp 100 juta. Meskipun demikian, seiring dengan munculnya perangkat radio yang makin kecil dan murah, maka jumlah radio semakin banyak sehingga pemungutannya menjadi lebih susah. Akhirnya, perlahan-lahan sejak 1980-an, iuran ini tidak dipungut lagi ke publik, meskipun ada juga yang masih memungutnya (seperti di Kabupaten Malang pada tahun 1993). Sesungguhnya, landasan-landasan hukum pajak/iuran radio seperti UU No. 5/1947, UU No. 21/1948, UU No. 10/1968 dan PP No. 5/1969 masih berlaku pada saat itu, hingga akhirnya dicabut dengan UU No. 18/1997 yang berlaku pada 23 Mei 1997.
Saat ini, aturan yang mengatur tentang RRI (PP No. 12/2005, pasal 34) dan UU Penyiaran No. 32/2002 masih menyebutkan iuran sebagai salah satu sumber dana bagi RRI. Namun, saat ini klausul tersebut tidak pernah diberlakukan lagi.
Rujukan
Pranala luar
= Otoritas lisensi televisi
=A list of TV licence authorities by the European Audiovisual Observatory
Billag (Switzerland)
PEMRA (Pakistan)
GEZ (Germany)
ORF-GIS (Austria) Diarsipkan 2005-03-08 di Wayback Machine.
Radiotjänst (Sweden)
TV Licences (South Africa)
TV Licensing (United Kingdom)
TV-maksuhallinto (Finland)
Kata Kunci Pencarian:
- Iuran televisi
- Televisi Republik Indonesia
- RCTI
- Televisi di Indonesia
- Korean Broadcasting System
- ARD (penyiar)
- TVRI World
- Televisi
- NHK
- Lembaga Penyiaran Publik
- RCTI
- Samarinda TV
- Television licence