- Source: Johan Huizinga
Johan Huizinga (lahir 7 Desember 1872 di Groningen, Belanda - meninggal 1 Februari 1945 di De Steeg, Belanda pada umur 72 tahun) adalah seorang sejarawan dan teoritikus budaya yang diakui secara internasional karena karya-karyanya, seperti esai tentang filsafat sejarah dan bukunya tentang sejarah kebudayaan yang berjudul "Herfsttij der middeleeuwen" (1919; The Waning of the Middle Ages). Salah satu karyanya yang sangat terkenal adalah Homo Ludens (Man the Player) yang mengulas pentingnya elemen-elemen permainan dalam kebudayaan dan masyarakat.
Latar Belakang Keluarga
Huizinga lahir di Groningen pada tanggal 7 Desember 1872 dalam sebuah keluarga yang memadukan nilai-nilai kesalehan religius sebagai pelayan di Gereja Baptis dan penghormatan tinggi pada ilmu pengetahuan, disebarkan oleh ayahnya yang berprofesi sebagai Doktor dan Profesor Psikologi di Universitas Groningen. Kendati sesudah dewasa Huizinga tidak menganut satu agamapun secara defenitif, sepanjang hidupnya dia mengaku sebagai orang beriman (percaya pada Tuhan). Sikap moderat ini kelak berpengaruh pada pembentukan dirinya sebagai pribadi yang toleran, menghormati privasi orang lain, berpegang teguh pada etika stoitisme (stoitism), tidak menunjukkan pendirian yang keras dalam isu-isu politik (bahkan juga dalam isu-isu sejarah).
Karya dan Pemikiran
Huizinga menempuh pendidikannya di universitas di Groningen dan Leipzig. Ia mengajar sejarah di Haarlem dan mengajar literatur India di Amsterdam. Kemudian ia diangkat menjadi profesor sejarah pertama di Universitas Groningen pada tahun 1905 hingga 1915. Di samping itu ia juga menjadi profesor di Universitas Leiden hingga tahun 1942, ketika ia berstatus sebagai tahanan oleh Nazi. Huizinga tetap berstatus tahanan terbuka hingga kematiannya. Ia juga menulis karya-karya lain seperti "Men and Mass in America" (1918), "Erasmus" (1924); yaitu sebuah biografi dari Desiderius Erasmus, "Holland's Culture in the Seventeenth Century" (1932), "In the Shadow of Tomorrow" (1935) dan "Homo Ludens" (1938).
Huizinga mendalami sejarah dengan memberi penekanan khusus pada proses perkembangan kebudayaan. Karena itu dia disebut sebagai salah satu pencetus sejarah dan teori kebudayaan modern. Dalam karya-karya Huizinga, sejarah tidak sekadar rentetan peristiwa yang diuraikan secara kronologis. Dia mengulas sejarah dengan menguarikan elemen-elemen kebudayaan dan proses perkembangannya sesuai dengan garis sejarah. Karena itulah dia banyak menghabiskan waktu meneliti artefak-artefak kebudayaan. Salah satu hasil pemikirannya yang paling terkenal adalah hubungan kebudayaan dengan permainan. Menurut Huizinga permainan merupakan asal usul dari kebudayaan. Permainan seperti tari yang awalnya dimainkan masyarakat secara spontan (tak terencana) pada akhirnya menjadi bagian dari budaya dan dikaitkan dengan nilai-nilai tertentu.
Homo Ludens
Homo Ludens adalah salah satu buku Huizinga yang sangat terkenal. Dalam buku ini dipaparkan, permainan adalah kategori utama kehidupan. Unsur-unsur utama kebudayaan
memiliki asal-usulnya dalam permainan. Penelitian yang cermat, terutama di bidang sejarah kebudayaan, menunjukkan bahwa
suatu distingsi antara permainan dan keseriusan lebih bersifat superfisial
belaka. Sejarah kebudayaan terutama melalui penelitan literatur menunjukkan
bahwa permainan juga bisa dan sering kali dilakukan dengan sangat serius.
Kebudayaan Yunani kuno tampak diilhami dengan semangat permainan dan menunjukkan suatu bakat
bermain dengan beragam bentuk. Dialog Plato adalah suatu genre seni permainan. Teman-teman dialognya menamai urusan filosofis mereka suatu pastime yang
menyenangkan dan menakjubkan. Permenides, ketika diminta untuk menguraikan
pandangan filosofisnya atas salah satu tema perngumulan paling pelik yakni
menyangkut eksistensi manusia, menamai tugas ini suatu permainan yang sulit dan
ia memang menuangkan ide-idenya dalam suatu bentuk permainan
tanya-jawab(Permenides, 137B). Perdebatan saling menyerang bagi
orang-orang Yunani adalah bentuk literatur alami untuk membahas suatu persoalan
yang sulit. Namun bukti paling utama yang menunjukkan kuatnya unsur permainan
dalam budaya yunani adalah olimpiade yang menjadi cikal bakal dan inspirasi
penyelenggaraan berbagai ajang pertandingan dengan semangat fair play dan
sportif.
Berfokus pada awal abad pertengahan di Eropa, perubahan kepercayaan bangsa
Teutonik Goth Barat dari kepercayaan Asia ke iman Katolik Roma diinisiasikan di
Taledo, Spanyol, 529 M, dengan suatu turnamen teologis yang mempertemukan para
teolog terkenal dalam permainan adu argumen. Aktivitas-aktivitas
universitas-universitas abad pertengahan juga memiliki suatu tekanan yang kuat
pada permainan. Contoh yang paling jelas adalah Academia Platina Karolus Agung.
Pengembangan pendidikan di sana mengambil inspirasi dari cara belajar orang
Yunani Kuno. Pantas dicatat sebagai contoh, peran permainan yang dimainkan di
sana adalah usaha untuk mempersonalisasikan tokoh-tokoh Yunani Kuno dan
tokoh-tokoh Kitab Suci: Karolus sendiri sebagai Raja Daud dan Alkuin sebagai
Horaz, yang lain sebagai Homer, dan seterusnya.
Mentalitas Yunani kuno mengemuka
lagi dalam nuansa permainan pada periode Renaisans dan Humanisme. Contoh paling
nyata terdapat dalam karya-karya Erasmus, tokoh humanis paling masyur dalam
periode ini, yang sangat kental dengan suatu gaya bermain, termasuk
karya-karyanya yang murni teologis. Unsur permainan ini juga tampak dalam
karya-karya Shakespeare terutama di bidang opera.
Kritik Terhadap Budaya Modern
MeHuizinga dalam Homo Ludens mengokohkan sifat ludik (bermain) sebagai sifat hakiki manusia. Namun, masuki abad modern dan
selanjutnya, unsur-unsur permainan itu semakin hilang atau mengalami reduksi,
padahal untuk dapat berkembang mencapai kualitas yang tertinggi sebuah
kebudayaan mesti selalu berada dalam semangat bermain yang menjunjung
nilai-nilai sportifitas, etis dan estetis serta menunjukkan sifat spontan
manusia.
Revolusi industri yang menjadi
faktor esensial lahirnya budaya modern menggiring manusia pada orientasi
produksi belaka. Untuk mencapai kuantitas dan kualitas produksi industri yang
setinggi-tingginya para pemangku kebijakan publik selalu menekankan suatu etos
kerja yang jauh dari segala sifat bermain. Pelan-pelan tapi pasti manusia
modern dijejali suatu paradigma empirik, saintifik dan teknokratik yang
pada akhirnya bermuara pada apa yang disebut Max Horheimer—filsuf kelahiran
Jerman 1895 dan dikenal sebagai salah seorang pendiri Mazhad Kritis
Franfurt—rasionalitas instrumental karena hanya berkonsentrasi pada cara,
jalan, sarana dan instrumen yang paling cepat dan efektif meraih hasil atau
tujuan tanpa peduli pada segi-segi moral, etis dan estetis.
Degradasi nilai-nilai permainan
dalam budaya modern ini juga berarti hilangnya nilai-nilai sosial, sportifitas,
estetis dan juga etis. Sebab permainan yang sesuai dengan sifat ludik manusia
yang murni selalu mengandung dan mengajarkan nilai-nilai tersebut. Memang
seiring perkembangan zaman jenis-jenis permainan semakin banyak dan intensitas
bermain juga semakin tinggi terutama dengan lahirnya klub-klub olahraga dan
komunitas-komunitas kesenian, tetapi dalam kategori Huizinga hal itu tidak dapat
lagi disebut permainan yang murni dan hanya menyumbang sedikit sekali—untuk
tidak mengatakan tidak ada—pada perkembangan budaya sebab di dalamnya terdapat
banyak intervensi pihak luar demi tujuan-tujuan komersial dan industrial guna
mendapat keuntungan material yang sebesar-besarnya. Namun Huizinga juga mencatat
bahwa semakin pudarnya unsur permainan dalam budaya kita tidak serta merta
mematikan sifat bermain dari dalam diri kita. Adakalanya sifat yang terpendam
itu menjelma menjadi kekuatan yang menyeret manusia pada tindakan-tindakan irasional.
Referensi
Kata Kunci Pencarian:
- Johan Huizinga
- Putri raja dan naga
- Jendela peringatan di Gedung Akademi (Leiden)
- Jan Marius Romein
- Homo ludens
- Johan Hansma
- Deus Ludens
- Wangsa Valois-Burgundy
- H.J. de Graaf
- Desiderius Erasmus
- Johan Huizinga
- Huizinga
- Homo Ludens
- The Autumn of the Middle Ages
- History of the Netherlands
- Dutch-language literature
- Roman de la Rose
- Burgundian State
- Nine Worthies
- Jacob Burckhardt