- Source: Kaharingan
Kaharingan adalah agama asli suku Dayak di Pulau Kalimantan. Agama Kaharingan sudah ada sejak lama di Kalimantan bahkan sebelum agama-agama lainnya memasuki Kalimantan. Kaharingan bukan merupakan animisme atau dinamisme. Saat ini Kaharingan menjadi salah satu agama leluhur di Indonesia yang masih bertahan dan dianut oleh sebagian suku Dayak, khususnya di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.
Kaharingan artinya tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan (air kehidupan). Penganut Kaharingan percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau Pencipta Alam Semesta yang mempunyai sebutan berbeda-beda di tiap daerah (Ranying Hatalla Langit / Suwara / Yustu Ha Latalla), dianut secara turun temurun dan dihayati oleh para penganutnya di Kalimantan. Ucapan salam dalam agama Kaharingan adalah "Tabe Salamat Lingu Nalatai, Salam Sahujud Karendem Malempang" yang berasal dari bahasa Sangiang dan memiliki arti "Selamat bertemu, semoga dalam keadaan bahagia". Namun kini ucapan salam tersebut disalah-artikan sebagai ucapan salam adat suku Dayak.
Agama Kaharingan mempunyai simbol tersendiri yang disebut Batang Garing, yang berarti pohon kehidupan dalam bahasa Sangiang. Simbol Batang Garing ini sudah tidak asing bagi masyarakat Dayak karena sering dijumpai pada banyak bangunan di Kalimantan bahkan menjadi motif pakaian batik suku Dayak. Akibat pemerintah Indonesia yang mewajibkan penduduk dan warganegara untuk menganut salah satu agama resmi yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia, maka sejak 20 April 1980 agama Kaharingan akhirnya dikategorikan sebagai salah satu cabang dari agama Hindu (sebutannya menjadi Hindu Kaharingan). Sehingga dalam pembuatan KTP, para penganut Kaharingan mencantumkan Hindu pada kolom agamanya. Seperti halnya agama Tolotang pada suku Bugis yang memiliki persamaan dengan Hindu dalam melaksanakan ritual pengorbanan hewan suci yang dalam agama Hindu disebut Yadnya, yang kemudian diresmikan menjadi Hindu Tolotang.
Dahulu umat Kaharingan menjadi target para Misionaris dalam menyebarkan agama Kristen Protestan dan Katolik secara besar-besaran. Dalam sejarahnya, Gereja Katolik muncul di tanah Borneo pada akhir abad ke-19. Sejarah ini dimulai dengan pembukaan sekolah misi di antara orang Dayak yang pada saat itu masih hidup komunal di dalam hutan tropis Pulau Kalimantan. Pada tahun 1835 penyebaran agama Kristen (Protestan) sudah masuk ke daerah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Upaya misionaris tersebut berhasil menjadikan sebagian rumpun suku Dayak sebagai mayoritas beragama Kristen, walau tidak secara menyeluruh dengan sebagian masih menganut kepercayaan lokal. Kegiatan pengkabaran injil masih berlaku sampai saat ini, terlebih dipedalaman Kalimantan. Ada beberapa golongan suku Dayak non-Kaharingan yang masih melakukan sebagian ritual kecil dalam agama Kaharingan sebagai tradisi adat, seperti ritual Nahunan dan ritual Hinting Pali. Dalam prosesinya, mereka akan mengundang pemuka agama Kaharingan yang mereka anggap sebagai pemuka adat Dayak untuk memimpin ritual tersebut.
Meskipun begitu, masyarakat suku Dayak yang beragama samawi tidak bisa melaksanakan ritual-ritual besar dalam agama Kaharingan seperti ritual Tiwah, Wara, Ayah'an, Ijame, dan Dallok karena ritual-ritual tersebut merupakan ritual keagamaan Kaharingan. Tidak bisa dipungkiri bahwa hampir seluruh hal yang disebut sebagai adat budaya suku Dayak bersumber dari unsur ajaran agama Kaharingan. Seringkali ritual keagamaan Kaharingan disalahgunakan sebagai simbol tradisi adat kesukuan Dayak, tanpa mengetahui makna dari ritual yang dilakukan oleh para penganut Kaharingan.
Gelar Pangkalima adalah gelar tertinggi bagi pemuka agama Kaharingan yang memiliki kekuatan spiritual tinggi, dan gelar "Pangkalima" ini tidak bisa diberikan kepada sembarang orang, apalagi kepada orang yang bukan penganut agama Kaharingan. Pada masa kini, pemuka agama Kaharingan yang bergelar "Pangkalima" jumlahnya lebih sedikit daripada Basir, Balian, dan Pisor. Salah satu Pangkalima umat Kaharingan yang terkenal pada masanya adalah Pangkalima Baiyoh, yang sudah meninggal dan sudah di-Tiwahkan, begitupun dengan istrinya.
Pengakuan Agama Kaharingan
Agama Kaharingan diperkenalkan kepada publik oleh Tjilik Riwut pada tahun 1944, saat ia menjabat Residen Sampit yang berkedudukan di Banjarmasin. Pada tahun 1945, pemerintah pendudukan Jepang mengajukan Kaharingan sebagai nama agama Dayak. Bahkan agama Kaharingan mendapat penghargaan dan kedudukan yang terhormat, Jepang juga mengaitkan agama Kaharingan dengan agama Shinto (agama asli Jepang) untuk mencari dukungan rakyat Kalimantan untuk Perang Dunia II.
Pemerintah Indonesia pada masa itu tidak menganggap Kaharingan sebagai sebuah agama sedangkan sebagai kepercayaan adat sebagai contoh animisme atau dinamisme, walaupun Kaharingan merupakan agama yang mengajarkan tentang adanya Ketuhanan. Penganut Kaharingan yang tidak menerima keputusan pemerintah pada masa itu melakukan upaya untuk meresmikan agama Kaharingan sebagai agama yang diakui negara Indonesia, walau tidak berhasil. Ada banyak Agama asli Nusantara lain yang tidak diakui oleh pemerintah Indonesia, dan dikelompokkan sebagai aliran kepercayaan.
Pasca tragedi G30SPKI pada tahun 1965, para penghayat agama lokal sering dituduh dan dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia atau PKI, bahkan dituduh tidak beragama sama sekali karena tidak diakui secara resmi oleh pemerintah. Tragedi mengenaskan sempat terjadi di Sulawesi Selatan dimana kelompok Darul Islam yang ingin membentuk Negara Islam Indonesia dalam kurun waktu 1959-1965 melakukan pembantaian besar-besaran kepada suku Bugis yang menganut agama Tolotang. Kejadian ini menyebabkan banyak penganut agama Tolotang mati terbunuh dan dituduh sebagai anggota PKI. Banyak dari penganut Tolotang yang dipaksa memeluk Islam atau jika tidak mereka akan dibunuh, namun sebagian berhasil menyelamatkan diri ke pelosok yang kemudian membentuk komunitas yang membuat kesepakatan bahwa agama Tolotang suku Bugis resmi digabungkan dengan Hindu pada 4 Juli 1966. Setelah tragedi G30SPKI itulah pemerintah Indonesia mengharuskan seluruh rakyat indonesia untuk memilih dan mencantumkan satu agama resmi pada kolom KTP, sehingga banyak penganut agama lokal yang harus rela berpindah agama dari agama leluhur ke agama resmi yang diakui negara demi tidak dituduh sebagai bagian dari PKI, juga supaya lebih mudah dalam mendapat pekerjaan. Adapula beberapa agama lokal yang digabungkan dengan Hindu oleh para penganutnya.
Mengikuti jejak penganut agama Tolotang dan agama lokal lainnya yang memilih bergabung dengan Hindu, akhirnya para penganut Kaharingan pun memilih untuk mengintegrasikan agama Kaharingan dengan Hindu pada 20 April 1980 supaya umat Kaharingan bisa memperoleh hak hidup dan hak beragama yang setara dengan masyarakat beragama lainnnya di Indonesia. Keputusan ini disepakati berdasarkan hasil pengamatan bahwa ajaran Hindu bisa disesuaikan dengan budaya lokal tanpa menghilangkan ritual serta ajaran inti Kaharingan. Contohnya seperti menghaturkan sesaji dan pengorbanan hewan suci, yang mana ajaran Hindu dan Kaharingan sama-sama melakukannya dalam banyak ritual dan upacara keagamaan. Alasan lainnya adalah karena agama Hindu merupakan salah satu agama tertua yang masuk ke Kalimantan dan dianut oleh Suku Kutai zaman dulu, dibuktikan sejak adanya Kerajaan Kutai Martadipura. Meskipun agama Kaharingan tergabung ke dalam Hindu, praktik keagamaan Kaharingan masih menjadi dominan dan diutamakan oleh penganutnya. Beberapa agama lokal di Nusantara yang resmi tergabung ke dalam Hindu meliputi : • Agama Tirtha (agama asli Suku Bali, agama lokal pertama di Indonesia yang diakui sebagai agama Hindu, yang juga akhirnya membuat agama Hindu diakui sebagai agama resmi di Indonesia pada 1959) • Naurus (agama asli Suku Manusela & Suku Nuaulu, tergabung ke dalam Hindu sejak 1962). • Tolotang (agama asli Suku Bugis, tergabung ke dalam Hindu sejak 1966) • Aluk To Dolo (agama asli Suku Toraja, tergabung ke dalam Hindu sejak 1970) • Pemena (agama asli Suku Karo, tergabung ke dalam Hindu sejak 1978) • Kaharingan (agama asli suku Dayak, tergabung ke dalam Hindu sejak 1980).
Kitab suci agama Kaharingan adalah Panaturan, adapun buku-buku keagamaan Kaharingan lainnya seperti Kidung Kandayu, Talatah Basarah(Kumpulan Doa), Tawur(petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), dan sebagainya. Penganut Kaharingan di Kalimantan Tengah mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Perguruan tinggi yang menyediakan pelajaran tentang agama Kaharingan adalah IAHN Tampung Penyang yang terletak di kota Palangka Raya. Umat Kaharingan di Kalimantan Tengah setiap tahunnya akan menggelar suatu festival keagamaan yang disebut Festival Tandak Intan Kaharingan yang mana kegiatannya mencakup beberapa perlombaan keagamaan Kaharingan seperti lomba melantunkan Karungut, lomba membaca kitab suci Panaturan, lomba melantunkan kidung Kandayu, lomba tari tradisional Dayak, dan masih banyak lagi. Penutup kepala atau topi tradisional umat beragama Kaharingan saat melaksanakan ritual keagamaan di Kalimantan Tengah disebut Lawung, yang kini dikira sebagai topi adat Suku Dayak oleh banyak orang awam. Suku Dayak Ngaju pada zaman dulu pernah mendirikan kerajaan dengan corak agama Kaharingan yang bernama Kerajaan Tanjung Pematang Sawang dengan dipimpin oleh seorang ratu yang terkenal bernama Nyai Undang. Dan kini sisa peninggalan kerajaan tersebut masih bisa dijumpai pada beberapa daerah di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Gunung Mas, seperti situs "Kuta Bataguh" (benteng Bataguh) yang berada di Kabupaten Kapuas, dan situs Pasah Patahu "Tambun Bungai" serta Sandung milik "Tamanggung Sempung"(ayah Nyai Undang) yang berada di Kabupaten Gunung Mas.
Penganut Kaharingan di Kalimantan Selatan, khususnya Suku Dayak Meratus, Suku Dayak Deah, Suku Dayak Halong, dan Suku Dayak Pitap juga mempunyai tempat ibadah yang disebut Balai Adat Agama Kaharingan. Beberapa upacara keagamaan Kaharingan yang sering dilakukan di Kalimantan Selatan meliputi : • Aruh Adat • Aruh Baharin • Aruh Bawanang • Aruh Buntang, dan masih banyak lagi.Upacara Aruh tersebut bertujuan untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas penganugerahan hasil panen padi yang melimpah, dan sekaligus penghormatan terhadap arwah para leluhur yang diyakini senantiasa melindungi mereka dari malapetaka. Suku Dayak Maanyan pada zaman dulu juga pernah mendirikan kerajaan dengan corak agama Kaharingan yang bernama Nan Sarunai yang terletak di Kalimantan Selatan.
Suku Dayak di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara sudah banyak menganut Islam dan Kristen, dan tersisa sebagian kecil masyarakat Suku Kutai di Kalimantan Timur yang masih menganut Kaharingan.
Ada sebagian penganut Kaharingan yang masih memperjuangkan hak, yaitu menuntut pemerintah Indonesia khususnya Mahkamah Konstitusi supaya mengakui agama Kaharingan sebagai agama resmi di Indonesia. Upaya ini dilakukan karena ada beberapa kelompok suku Dayak penganut agama samawi yang melaksanakan ritual agama Kaharingan dengan mengubah beberapa prosesi ritual yang dianggap musyrik oleh ajaran agama tersebut. Sehingga dimodifikasi supaya bisa disebut sebagai adat dan bisa dilaksanakan secara umum. Hal ini ditakutkan akan menggeser identitas penganut agama Kaharingan. Masih ada banyak hal yang menyebabkan sebagian penganut Kaharingan memperjuangkan agamanya, alasan lainnya karena sejatinya agama Kaharingan adalah agama asli Kalimantan yang termasuk ke dalam wilayah Negara Indonesia, namun tidak diakui sebagai agama.
Ketika membuat E-KTP, banyak masyarakat Dayak Meratus penganut agama Kaharingan yang memilih mengosongkan kolom agamanya, namun sebagian lainnya memilih mencantumkan Hindu. Sejak adanya keputusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2017 yang memperbolehkan penganut agama leluhur untuk mencantumkan agama nya pada KTP, kini sudah ada beberapa masyarakat Dayak Meratus yang memilih agama Kaharingan ke dalam kolom agama, sehingga tertulis "Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa".
Organisasi keagamaan Hindu Kaharingan adalah Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) yang pusatnya di Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Dan sebagian penganut Kaharingan yang menentang integrasi dengan agama Hindu dan berpaham Kaharingan sebagai agama mandiri akhirnya mendirikan Majelis Agama Kaharingan Indonesia (MAKI) di Kalimantan Tengah serta Majelis Umat Kepercayaan Kaharingan (MUKK) di Kalimantan Selatan.
Kerajaan Kaharingan di Kalimantan pada masa lampau
= Kerajaan Tanjung Pematang Sawang
=Kerajaan ini diperkirakan sudah ada pada abad ke-8 sampai abad ke-14 Masehi dengan ratu yang terkenal akan kecantikannya yaitu Ratu Nyai Undang, didampingi oleh dua rekannya yang juga terkenal yaitu Pangeran Tamanggung Tambun yang merupakan anak dari Tamanggung Sarupoi (Raja Kerajaan Suku Ot Danum), serta Pangeran Tamanggung Bungai yang merupakan adik kandung Nyai Undang. Tambun dan Bungai mendapat gelar dari Nyai Undang Raja di Pematang Sawang yaitu gelar “Tamanggung Tambun Terjun Ringkin Duhung” dan “Tamanggung Bungai Andin Sindai” karena keberanian mereka berdua dalam berperang mempertahankan kerajaan. Kini nama Tambun dan Bungai diabadikan sebagai julukan bagi Provinsi Kalimantan Tengah, julukannya yaitu "Bumi Tambun Bungai".
= Kerajaan Nan Sarunai
=Kerajaan Nan Sarunai adalah pemerintahan masa lampau yang muncul dan berkembang di wilayah yang sekarang termasuk dalam daerah administratif Provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia, tepatnya di antara wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Kabupaten Tabalong. Daerah-daerah yang menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Nan Sarunai adalah meliputi sebagian besar tempat yang sekarang termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan. Diperkirakan, wilayah kekuasaan Kerajaan Nan Sarunai terbentang luas dari Tabalong hingga ke daerah Paser. Orang-orang Suku Dayak Maanyan, ketika sudah mendirikan Kerajaan Nan Sarunai, sering berpindah-pindah tempat bermukim, namun masih berlokasi di sekitar Sungai Tabalong dan dekat dengan Pegunungan Meratus. Beberapa tempat yang pernah menjadi wilayah permukiman orang-orang Suku Dayak Maanyan sekaligus sebagai wilayah kekuasaan Kerajaan Nan Sarunai antara lain: Tumpuk Lalung Kuwung Gumi Rarak Ransai, Tumpuk Pupur Purumatung, Tumpuk Sida Matung, Tumpuk Laliku Meah, Pulau Hujung Tanah, Kuripan, Margoni, Sinobala, dan Lalung Nyawung.
Organisasi
Kaharingan Dayak Maanyan Hiang Piumpang
Babolin
Basorah
Ajaran
Ketuhanan
Masyarakat Dayak yang masih memegang teguh agama Kaharingan percaya adanya Tuhan tunggal yang mempunyai beberapa sebutan berbeda antara satu suku Dayak dan suku Dayak lainnya, namun mayoritas umat Kaharingan menyebut Tuhan dengan sebutan "Ranying Hatalla Langit". Walaupun penyebutannya berbeda, tetap saja memiliki arti sebagai 'Tuhan Yang Maha Esa' atau Pencipta Alam Semesta. Beberapa penyebutan Tuhan dalam agama Kaharingan diantaranya : "Ranying Hatalla Langit" (bahasa Sangiang), "Suwara" (bahasa Dayak Meratus), "Yustu Ha Lattala" (bahasa Dayak Dusun), "Lahtala" (bahasa Dayak Benuaq), "Moho Tara Danum Diang" (bahasa Dayak Siang dan Bahasa Ot Danum/Kadorih), "Talamana Tuah Hukat" (bahasa Dayak Maanyan), "Jubata" (bahasa Dayak Kanayatn), "Petara" (bahasa Dayak Kenyah), "Penompa" (bahasa Dayak Jangkang), dan masih banyak lagi. Kemudian penganut Kaharingan percaya bahwa ada penguasa lain dibawah kekuasaan Tuhan seperti: Raja Sangiang (Dayak Ngaju), Raja Sangen, Puyang Gana (Dayak mualang) sebagai penguasa tanah , Raja Juata (penguasa Air), Kama”Baba (penguasa Darat), Apet Kuyan'gh (Dayak Mali), Uwokng (Dayak Benuaq), dan masih banyak lagi.
Konsep Kepercayaan
Ada banyak sekali konsep kepercayaan yang dihayati oleh penganut Kaharingan, dengan penyebutan Tuhan yang berbeda, hal ini terjadi karena bahasa yang digunakan pun berbeda-beda pula di tiap daerah Kalimantan.
1. Konsep Kepercayaan Kaharingan dalam bahasa Dayak Meratus meliputi :
Suwara, artinya Tuhan Yang Maha Esa.
Nining Bathara, adalah sebutan untuk manifestasi Tuhan yang bersifat sebagai pengatur rejeki. Penganut Kaharingan percaya adanya pengatur rejeki, sehingga hendaknya melakukan ritual keagamaan dengan tulus ikhlas, niscaya suatu saat akan ada rejeki melimpah yang datang melalui berbagai usaha atau pekerjaan.
Sangkawanang, adalah sebutan untuk manifestasi Tuhan yang bersifat sebagai pemelihara padi. Hal ini berkaitan dengan ritual Aruh Baharin, dipercaya hasil panen akan selalu baik.
Pujut, adalah sebutan untuk manifestasi Tuhan yang bersifat sebagai pemelihara hutan dan gunung. Masyarakat Dayak Meratus sampai saat ini masih mempertahankan hutan adat mereka dan menolak adanya pembangunan perusahaan pertambangan yang dapat merusak alam, karena kerusakan alam bisa sang Pujut murka dan mendatangkan marabahaya.
Sia Sia Banua, adalah manifestasi Tuhan yang bersifat sebagai penjaga kampung/desa.
2. Konsep Kepercayaan Kaharingan dalam bahasa Dayak Sangiang disebut Lime Sarahan, artinya "lima pengakuan" yang meliputi :
Ranying Hatalla Langit Katamparan. (Tuhan yang maha esa adalah awal dari segalanya). Pengakuan keimanan ini memiliki arti bahwa Tuhan adalah sumber pertama yang ada sehingga patut dipercaya dan pada akhirnya manusia akan kembali kepada-Nya.
Langit Katambuan. (Langit menjadi tumpuan). Artinya manusia berkeyakinan bahwa langit menjadi atap bagi makhluk di bumi dan sebagai penerangan di bumi.
Petak Tapajakan. (Tanah tempat berpijak). Kalimat ini mempunyai arti bahwa manusia meyakini bumi sebagai tempat untuk melakukan aktivitas, juga tempat dimana manusia mendapatkan balasan atas perbuatan baik maupun buruk yang kita lakukan pada orang lain.
Nyalung Kapanduian. (Air untuk membersihkan diri). Kalimat ini berarti manusia berterimakasih pada Tuhan yang telah menciptakan air yang bisa digunakan untuk mensucikan tubuh manusia. Manusia dipercaya terlahir dengan keadaan suci, dan kelak jika sudah meninggal akan dimandikan lagi sebagai wujud kepercayaan bahwa manusia akan kembali kepada-Nya dalam keadaan yang suci juga.
Kalata Padadukan. (Dunia tempat berkedudukan manusia untuk sementara). Artinya manusia percaya bahwa segala sesuatu yang di dunia hanya bersifat sementara. Maka dari itu manusia tidak boleh terlalu fokus dengan godaan duniawi, namun juga harus ingat dengan Tuhan yang menciptakan alam dan seisinya.
Peribadahan
= Basarah / Sembahyang / Ibadah
=Istilah persembahyangan dalam agama Kaharingan yang sering terdengar di kalangan suku Dayak adalah Basarah, khususnya suku Dayak di Kalimantan Tengah. Basarah artinya berserah diri kepada Ranying Hatalla (Tuhan). Terdapat 3 macam Basarah, yakni:
Basarah umum, yaitu ibadah wajib bagi umat Kaharingan yang diadakan rutin setiap hari Kamis (malam Jumat) seminggu sekali, dilaksanakan di Balai Basarah dan dihadiri oleh banyak umat. Pemuka agama atau pemimpin dalam Basarah umum adalah Mantir Basarah, namun jika diperlukan akan ada seorang lagi yang bertugas sebagai pembaca susunan ibadah. Sikap tubuh saat berlangsungnya Basarah umum adalah duduk bersila di lantai mengelilingi Sangku Tambak Raja. Ada aturan dalam Basarah bahwa perempuan yang sedang datang bulan tidak diperkenankan mengikuti peribadahan.
Basarah keluarga, biasanya dilakukan oleh sebuah keluarga, pelaksaannya bisa di rumah maupun tempat tertentu yang disesuaikan dengan keadaan yang terjadi, misalnya basarah kawin adat (pernikahan), basarah syukuran, basarah Bayar Hajat, basarah di tempat orang yang meninggal, dan sebagainya. Pelaksanaan Basarah keluarga mempunyai syarat yang sama dengan Basarah umum.
Basarah perorangan, yaitu berdoa/beribadah seorang diri dengan cara meletakan telur, menabur beras atau sesaji lainnya pada tempat-tempat khusus yang keramat, misalnya di Pasah Patahu, Balai Paseban, dan Keramat.
Dalam melaksanakan Basarah umum dan Basarah keluarga, sarana persembahyangan yang wajib disediakan adalah Sangku Tambak Raja, yang meliputi :
Sangku Tambak, sejenis wadah/mangkok yang terbuat dari tembaga atau kuningan (mirip seperti wadah Sasanggan dalam adat Banjar). Sangku Tambak diletakan di atas meja dan di tengah-tengah orang yang beribadah.
Behas, yaitu beras yang dipakai untuk mengisi Sangku Tambak secukupnya.
Dandang Tingang, yaitu bulu ekor dari burung Tingang dan ditancapkan ke dalam beras Sangku Tambak
Sipa / Giling Pinang, yaitu gulungan daun sirih yang diolesi kapur dan diisi pinang, diletakan ke dalam Sangku Tambak
Rukun Tarahan, yaitu rokok tembakau, diletakan ke dalam Sangku Tambak
Bulau Pungkal Raja / Duit Singah Sangku, yaitu uang persembahan yang diletakan ke dalam Sangku Tambak secara sukarela oleh umat yang beribadah
Behas Hambaruan, adalah 7 butir beras yang diambil dari beras biasa namun hanya dipilih yang bersih, bening dan tidak rusak sedikitpun, kemudian dibungkus dengan kain kecil, dan diletakan ke dalam Sangku Tambak
Undus Tanak, yaitu minyak kelapa yang dimuat dalam wadah kecil, juga diletakan ke dalam Sangku Tambak
Tampung Tawar, yaitu gelas kecil berisi air yang disucikan, di campur dengan minyak wangi dan dibubuhkan ketupat telur sebagai alat untuk memercikan airnya, diletakan ke dalam Sangku Tambak
Kambang sukup macam, yaitu bermacam jenis bunga secukupnya diletakan ke dalam sangku
Lapik Sangku, yaitu kain sebagai alas sangku
Tanteluh manuk manta, yaitu telur ayam kampung mentah yang di buka sedikit dengan uang koin, juga diletakan ke dalam Sangku Tambak
Parapen, yaitu perapian yang berisi dupa, kemenyan, dan kayu gaharu yang dibakar, yang nantinya digunakan untuk mensucikan Sangku Tambak beserta isinya.
Adapun kidung suci yang di nyanyikan saat Basarah Umum dan Basarah Keluarga, yaitu :
Kandayu Manyarah Sangku Tambak Raja,
Kandayu Mantang Kayu Erang,
Kandayu Parawei, dan
Kandayu Mambuwur Behas Hambaruan.
Basarah Umum diawali dengan mensucikan Sangku Tambak, disebut dengan Manggaru Sangku Tambak Raja. Sangku Tambak yang sudah lengkap akan diangkat dan disucikan secara memutar di atas Parapen sembari melantunkan kidung Tandak, yaitu doa untuk mensucikan Sangku yang dinyanyikan dengan nada dan cengkok yang khas. Manggaru Sangku dilakukan oleh Mantir Basarah atau bisa juga salah satu umat yang bersedia atas permintaan Mantir Basarah, hal ini dilakukan dengan tujuan memberikan kesempatan pada semua umat Kaharingan untuk percaya diri dan semangat dalam beribadah. Karena Tandak dan Karungut adalah seni suara yang diwariskan melalui umat agama Kaharingan.
Setelah Manggaru Sangku, kemudian dilanjutkan dengan do'a Tamparan Basarah(memulai Basarah) yang dipimpin oleh Mantir Basarah, setelah itu dilanjut dengan melantunkan Kandayu Manyarah Sangku Tambak Raja yang dinyanyikan secara massal. Tahapan selanjutnya adalah pembacaan kitab suci Panaturan oleh Mantir Basarah, disusul dengan menyanyikan Kandayu Mantang Kayu Erang bersama-sama. Di pertengahan basarah, tibalah saatnya mendengarkan Pandehen(wejangan/ceramah) dari Mantir Basarah yang berlandaskan isi dari kitab suci Panaturan maupun peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, lalu dilanjutkan dengan menyanyikan Kandayu Parawei bersama-sama. Mendekati akhir peribadahan, Mantir Basarah akan memimpin do'a penutup Basarah, lalu mengucapkan Sahey sebanyak 3 kali di akhir do'a. Sahey adalah mantra penutup do'a dalam agama Kaharingan, memiliki makna yang sama dengan "Amin" dalam agama lain.
Dan tahapan Basarah yang paling akhir adalah menyanyikan Kandayu Mambuwur Behas Hambaruan yang diiringi dengan pemberian berkat kepada semua yang beribadah menggunakan 4 sarana yang diambil dari Sangku Tambak Raja, yaitu:
Tampung tawar
Undus tanak(minyak kelapa)
Telur ayam kampung mentah
Tujuh butir beras Hambaruan yang dicampur dengan beras Sangku, supaya jumlahnya agak banyak
Pemberian berkat ini dilakukan oleh empat orang kepada seluruh orang yang Basarah, termasuk keempat pemberi berkat itu sendiri. Tahapan Pemberian berkat dilakukan secara berututan, diawali dari menabur beras Hambaruan pada pucuk kepala, kemudian memercikan air Tampung Tawar pada pucuk kepala maupun telapak tangan, kemudian mengoleskan telur ayam mentah pada dahi menggunakan uang koin atau bulu ekor burung tingang, dan yang terakhir adalah mengoleskan minyak kelapa pada rambut. Kandayu Mambuwur Behas Hambaruan tidak boleh berhenti dinyanyikan jika semua orang yang beribadah belum diberikan ke-empat berkat tersebut.
Ritual Keagamaan
Burung Enggang/Tingang dalam Mitologi Kaharingan
Masyarakat Dayak sangat menjunjung tinggi keberadaan burung Enggang badak atau Rangkong badak karena burung ini dianggap sebagai lambang kebesaran, perdamaian, dan persatuan. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak, burung Enggang senantiasa ada dalam bentuk patung keramat tempat ibadah umat Kaharingan, lukisan, pakaian adat, bangunan rumah, balai desa, monumen, pintu-pintu gerbang, bahkan digunakan sebagai hiasan antik di rumah maupun ukiran patung di kuburan.
Dalam agama Kaharingan, burung Enggang memiliki makna yang luas. Berdasarkan mitologi agama Kaharingan, di Lewu Batu Nindan Tarung (alam atas), Tingang Rangga Bapantung Nyahu(burung Tingang/Enggang/Rangkong) adalah salah satu manifestasi Ranying Hatalla melalui perubahan wujud Luhing Pantung Tingang (Lawung/penutup atau ikat kepala) yang dipakai oleh Raja Bunu ketika ia menerima Danum Nyalung Kaharingan Belum(air suci kehidupan).
Seperti yang terdapat pada ayat-ayat kitab suci Panaturan, yaitu pasal 27 ayat 21 :
"Hayak auh nyahu batengkung ngaruntung langit,Homboh malentar kilat basiring hawunLuhing pantung tingang basaluh manjari Tingang Rangga Bapantung Nyahu."
Artinya :
"Bersama bunyi guntur menggemuruh memenuhi alam semestaPetir halilintar menggetarkan buanaLuhing Pantung Tingang berubah menjadi Tingang Rangga Bapantung Nyahu (burung Tingang/Enggang/Rangkong)."
Kemudian burung Tingang tersebut tinggal dan menempati Lunuk Jayang Tingang Sempeng Tulang Tambarirang (pohon beringin). Sehingga pada saat umat Kaharingan melakukan upacara Balian Balaku Untung, wujud burung Enggang/Tingang yang ada dalam pohon beringin akan memberkati kehidupan manusia melalui perjalanan Banama Tingang(perahu). Oleh karena itu umat Kaharingan tidak boleh bersikap sembarangan di depan pohon beringin, dan jika ingin menebang pohon beringin haruslah melakukan ritual terlebih dahulu. Oleh karena itu pula dalam ibadah rutin Basarah yang dilakukan umat Kaharingan, diharuskan adanya Dandang Tingang(bulu ekor burung Tingang/Enggang) sebagai sarana wajib di dalam Sangku Tambak Raja supaya umat yang beribadah mendapatkan Bulau Untung Aseng Panjang(berkat dan karunia-NYA).
Dari filsafat agama Kaharingan, warna dari Dandang Tingang(bulu ekor Enggang) memiliki makna simbolis dalam kehidupan umat Kaharingan, yaitu :
Warna putih di bagian atas bulu, bermakna sebagai alam kekuasaan Ranying Hatalla beserta manifestasi-manifestasi NYA.
Warna hitam di bagian tengah bulu, yaitu alam kehidupan manusia di Pantai Danum Kalunen(dunia) yang penuh dengan rintangan dan cobaan.
Warna putih di bagian bawah bulu, bermakna sebagai alam kekuasaan Jatha Balawang Bulau.
Adat Rukun Kematian Agama Kaharingan Dayak Ma'anyan
Jenis atau istilah adat rukun kematian agama Kaharingan dalam suku Dayak Maanyan meliputi Ngalangkang, Nambak, Ngatet Panuk, Wara, Wara Myalimbat, Ijambe, Bontang, Kedaton, Manenga Lewu, dan Marabia "Hanya boleh dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan September setiap tahun". Kecuali upacara kematian agama Kaharingan suku Dayak Lawangan, upacara kematiannya hanya Wara.
Ketentuan waktu lamanya upacara adat rukun kematian agama Kaharingan meliputi:
Ngalangkang bisa paling lama 2 (dua) hari atau menyesuaikan tradisi leluhur.
Wara bisa 3 (tiga) hari, (tidak sampai memotong kerbau)
Wara bisa 5 (lima) hari membunuh kerbau
Wara Nyalimbat 14 (empat belas) hari
Nambak bisa 3 (tiga) hari
Ijambe bisa 7 (tujuh) hari
Marabia bisa 7 (tujuh) hari
Manenga Lewu 7 (tujuh) hari
Kedaton bisa 9 (sembilan) hari
Ngatet Panuk 2 (dua) hari
Ngandrei Apui Ramai 3 (tiga) hari, dan 7 (tujuh) hari hanya untuk para tokoh agama Kaharingan.
Hal-hal yang berkaitan dengan Kaharingan
Galeri
Referensi
Kata Kunci Pencarian:
- Kaharingan
- Tiwah
- Kalimantan Tengah
- Festival Tandak Intan Kaharingan
- Suku Dayak Ngaju
- Suku Dayak
- Tolotang
- Panaturan
- Agama asli Nusantara
- Mitologi dalam agama Kaharingan
- Kaharingan
- Dayak people
- Indonesia
- List of Hindu temples in Indonesia
- Religion
- Baháʼí Faith
- List of religious texts
- Pontianak
- List of ethnic religions
- Central Kalimantan