- Source: Kebakaran Besar London
Kebakaran Besar London adalah suatu peristiwa kebakaran hebat yang melanda kota London, Inggris pada hari Minggu, 2 September hingga hari Rabu, 5 September 1666. Kebakaran ini memusnahkan sebagian besar wilayah kota, tetapi tidak berhasil mencapai distrik aristokrat di Westminster, Istana Raja Charles II di Whitehall, dan sebagian besar kawasan kumuh di pinggiran kota. Kebakaran Besar London menghanguskan sekitar 13.200 rumah, 87 gereja paroki, 6 kapel, termasuk Katedral Santo Paulus dan sebagian besar bangunan-bangunan penting lainnya di London. Sekitar 100.000 orang, atau seperenam penduduk London saat itu, kehilangan tempat tinggal karena peristiwa ini. Jumlah korban yang tewas akibat kebakaran ini tidak diketahui dan umumnya dianggap kecil, tercatat hanya enam kematian yang diverifikasi. Namun baru-baru ini muncul teori yang menyatakan bahwa kemungkinan ribuan kematian penduduk miskin dan kelas menengah tidak tercatat karena sebagian besar dari mereka telah hangus tanpa bisa dikenali.
Kebakaran Besar ini berawal dari toko roti milik Thomas Farriner di Pudding Lane pada Minggu dinihari tanggal 2 September 1666 dan api kemudian menjalar dengan cepat ke bagian barat kota London. Prosesi pemadaman api sempat tertunda karena adanya keraguan dari Wali kota London saat itu, Sir Thomas Bloodworth. Saat pemadaman mulai diperintahkan, angin telah membantu menyebarkan kobaran api hingga ke jantung kota London pada hari Senin dini hari. Kebakaran ini menyebabkan munculnya kehebohan di jalan-jalan di London, ditambah dengan adanya rumor mengenai orang asing yang dicurigai telah menyulut kebakaran. Kecurigaan ini terutama sekali ditujukan pada para pendatang asal Prancis dan Belanda yang merupakan musuh utama Inggris dalam Perang Inggris-Belanda Kedua yang saat itu sedang berlangsung. Kelompok imigran dari kedua negara ini menjadi sasaran kecurigaan massa dan menyebabkan terjadinya kerusuhan di jalan-jalan di London. Pada hari Selasa, api telah menyebar ke sebagian besar kota, menghanguskan Katedral Santo Paulus dan menyeberangi Sungai Fleet hingga ke dekat kediaman Raja Charless II di Whitehall, sementara itu upaya pemadaman api terus dilakukan. Pada hari Rabu tanggal 5 September 1666, upaya pemadaman berhasil dilakukan. Keberhasilan pemadaman ini menurut para sejarawan turut dibantu oleh dua faktor, yaitu meredanya angin kencang yang bertiup ke arah timur dan adanya pasukan garnisun di Menara London yang menggunakan bubuk mesiu untuk menciptakan "sekat api" efektif guna menghentikan penyebaran api lebih lanjut ke arah timur.
Musibah ini telah menyebabkan munculnya permasalahan sosial dan ekonomi yang besar di London. Evakuasi pengungsi ke tempat lain di luar London dianjurkan oleh Raja Charles II yang khawatir akan adanya pemberontakan oleh para penduduk yang telantar pasca kebakaran. Meskipun banyak pengajuan rencana soal tata kota yang baru, London akhirnya dibangun kembali dengan tata kota yang persis dengan tata kota sebelum terjadinya kebakaran. Kebakaran ini terjadi pada akhir Wabah Besar London dan dianggap telah mengakhiri wabah dengan membunuh tikus pembawa penyakit tersebut. Anggapan ini diragukan karena kebakaran terjadi pada wilayah niaga dan kawasan perumahan dan tidak menjalar hingga ke kawasan kumuh, tempat hidup tikus pembawa penyakit.
London pada tahun 1660-an
Pada tahun 1660-an, London merupakan kota terbesar di Inggris. Diperkirakan sekitar setengah juta penduduk menetap di London. Jumlah ini setara dengan gabungan jumlah penduduk dari 50 kota-kota lainnya di Inggris. Seorang penulis Inggris bernama John Evelyn membandingkan London dengan Paris, menyebutnya sebagai kota yang "penuh kayu, tidak meniru dan sesak". Evelyn juga mengingatkan akan adanya bahaya kebakaran di London yang akan ditimbulkan oleh kayu dan kesesakan tersebut. Kata "tidak meniru [Paris]" yang dimaksud Evelyn bermakna bahwa London merupakan kota yang tidak terencana dan seadanya, hasil dari pertumbuhan organik dan ledakan perkotaan yang tidak teratur. Menjadi permukiman Romawi selama empat abad, London telah tumbuh menjadi kota yang penuh sesak. Hal ini mendorong terbentuknya permukiman kumuh di daerah pinggiran seperti Shoreditch, Holborn, dan Southwark.
Pada abad ke-17, wilayah kota dibatasi oleh tembok kota dan Sungai Thames, yang meliputi wilayah sekitar 700 hektare (2,8 km2; 1,1 sq mi), dan menjadi tempat tinggal bagi lebih dari 80.000 jiwa, atau seperenam dari keseluruhan penduduk London pada waktu itu. Wilayah ini dikelilingi oleh kawasan subperkotaan pinggiran yang merupakan tempat tinggal bagi sebagian besar penduduk London. Wilayah ini kemudian menjadi jantung komersial kota dan merupakan pasar terbesar serta pelabuhan tersibuk di Inggris yang didominasi oleh kelas perdagangan dan manufaktur. Para aristokrat tinggal jauh dari kota dan memilih untuk hidup nyaman di wilayah pedesaan di luar permukiman kumuh atau di distrik Westminster, tempat kediaman Raja Charless II. Sedangkan orang-orang kaya lebih suka tinggal di tempat yang jauh dari lalu lintas yang sesak, pencemaran, tidak sehat, terutama setelah bencana Wabah Besar yang melanda London pada tahun 1665.
Hubungan antara London dengan kerajaan sangat tegang. Saat berlangsungnya Perang Sipil pada tahun 1642-1651, London menjadi kubu bagi para Republikanisme dan menjadi ancaman bagi Raja Charless II, seperti yang telah ditunjukkan oleh beberapa pemberontakan para Republikan di London pada awal 1660-an. Para hakim kota London adalah generasi yang telah berjuang dalam Perang Sipil dan bisa mengingat bagaimana kekuasaan monarki mutlak Raja Charles I telah menyebabkan trauma nasional di Inggris. Mereka bertekad untuk menggagalkan setiap kecenderungan akan pemerintahan serupa yang dilakukan oleh putranya, Charles II. Oleh sebab itu, saat Kebakaran Besar mengancam kota, mereka enggan untuk meminta bantuan pasukan dan sumber daya lainnya kepada Raja Charles II. Dalam keadaan yang sedarurat itu, gagasan untuk tidak mengerahkan pasukan kerajaan ke kota adalah murni kepentingan politik. Saat Charles II mengambil alih perintah dari Wali Kota London untuk pemadaman api, kebakaran itu sudah di luar kendali.
Bahaya kebakaran di kota
London pada abad pertengahan dibangun dengan tata kota yang kacau. Perumahan yang penuh sesak, jalan yang sempit dan berkelok-kelok dan gang berbatu. Kota ini pernah mengalami kebakaran hebat beberapa kali sebelumnya, yang terakhir pada tahun 1632. Bangunan dengan kayu dan atap rumbia telah dilarang selama berabad-abad, tetapi bahan-bahan bangunan yang harganya murah tetap saja digunakan. Bangunan berdinding batu hanya terdapat di bagian tengah kota, yang merupakan kediaman bagi para pedagang dan pialang. Wilayah ini dikelilingi oleh wilayah pinggiran dengan paroki-paroki miskin yang penuh sesak setiap incinya karena digunakan untuk menampung penduduk yang terus berkembang pesat. Dalam paroki-paroki ini juga terdapat usaha seperti pengecoran dan pengelasan. Usaha-usaha ini rentan terhadap bahaya kebakaran dan secara teoretis ditetapkan sebagai usaha yang ilegal di London, tetapi dalam praktiknya usaha ini ditoleransi. Permukiman manusia bercampur dengan sumber-sumber panas, percikan api, dan polusi yang rentan terhadap bahaya kebakaran. Konstruksi bangunan yang didirikan juga berpotensi meningkatkan risiko kebakaran: rumah kayu khas London dengan tingkat enam sampai tujuh lantai yang bergaya "jetties" (lantai atas lebih besar). Rumah-rumah ini mempunyai lantai dasar yang sempit namun dapat memaksimalkan penggunaan tanah. Pada tahun 1661, Charles II mengeluarkan peraturan yang melarang pembangunan rumah "jetties", tetapi peraturan ini diabaikan oleh pemerintah kota. Berikutnya, Charles lebih tegas. Adanya peringatan akan bahaya kebakaran pada tahun 1665 membuat Charles membongkar semua pembangunan rumah yang tidak sesuai dengan peraturan kerajaan, tetapi tindakan ini juga berdampak kecil.
Kawasan di sisi sungai juga berpotensi dalam menyebabkan kebakaran. Air Sungai Thames memang bisa digunakan untuk memadamkan api dan untuk melarikan diri menggunakan perahu. Namun kawasan-kawasan miskin dan kumuh di sepanjang tepi sungai memiliki toko dan gudang yang keseluruhannya terbuat dari kayu yang turut meningkatkan risiko kebakaran. Bangunan-bangunan di sepanjang dermaga juga sama, sebagian besar bangunan di sana berupa rumah-rumah kayu petak reyot dan gubuk-gubuk warga miskin yang terbuat dari kertas. London juga penuh dengan mesiu. Sebagian besar mantan tentara dari Perang Sipil masih menyimpan senjatanya di rumah-rumah mereka. Lima sampai enam ratus ton bubuk mesiu juga tersimpan di Menara London, ditambah dengan kapal-kapal yang merapat di dermaga yang juga menyimpan ber tong-tong mesiu, maka London semakin rentan terhadap bahaya kebakaran.
= Teknik pemadaman pada abad ke-17
=Sumber kebakaran yang banyak terjadi di London umumnya berasal dari perapian terbuka, lilin, oven, dan kayu bakar. Tidak ada polisi ataupun petugas pemadam kebakaran yang bisa dihubungi, tetapi polisi lokal London yang dikenal sebagai pasukan Trained Bands setidaknya akan membantu dalam keadaan darurat umum. Para polisi ini bersedia mengawasi penggunaan api dengan cara berpatroli di jalan-jalan London pada malam hari. Jika terjadi kebakaran, para polisi akan membunyikan lonceng gereja, lalu warga akan bergegas berkumpul dan kemudian bersama-sama memadamkan api. Secara hukum, setiap gereja paroki diwajibkan untuk memiliki peralatan pemadam kebakaran seperti: tangga panjang, ember, kampak dan "kait api" untuk membongkar bangunan (lihat gambar di kanan). Kadang-kadang bangunan yang tinggi lebih dulu dibongkar dan dibuat lubang dengan ledakan mesiu untuk menciptakan "sekat api" efektif yang akan memperlambat penyebaran api. Cara ini menurut para sejarawan berperan penting dalam pemadaman api saat terjadinya Kebakaran Besar.
Kegagalan pemadaman api
Jembatan London merupakan satu-satunya penghubung antara kota dengan sisi selatan Sungai Thames. Di sepanjang jembatan ini sendiri penuh dengan tumpukan rumah-rumah dan disebut-sebut menjadi perangkap mematikan dalam kebakaran tahun 1632. Saat kawasan ini terbakar dalam Kebakaran Besar, seorang aristokrat Inggris bernama Samuel Pepys mengamati kebakaran dari Menara London dan mencatatkan di diarinya mengenai keprihatinannnya terhadap warga yang tinggal di sepanjang jembatan. Ada kekhawatiran saat itu bahwa api akan melintasi Jembatan London dan mencapai kawasan Sothwark di sisi selatan, tetapi bahaya ini dapat dihindari dengan adanya ruang terbuka antara bangunan di atas jembatan yang berfungsi sebagai sekat api. Adanya tembok kota setinggi 18 kaki (5,5 m) yang mengelilingi kota mempersulit para tunawisma yang ingin melarikan diri dari kebakaran. Setelah kawasan sisi sungai terbakar dan jalan keluar perahu terputus, hanya ada delapan gerbang di tembok kota yang bisa digunakan sebagai pintu keluar. Pada hari pertama kebakaran, sebagian besar warga memilih untuk menyelamatkan harta benda mereka yang berharga kemudian mengungsi ke rumah aman terdekat, terutama ke gereja-gereja paroki dan Katedral Santo Paulus, tetapi mereka harus pindah tempat lagi beberapa jam kemudian karena tempat tersebut juga tidak aman. Warga harus berpindah tempat sebanyak empat sampai lima kali dalam satu hari untuk mencari tempat yang mereka pikir benar-benar aman dari jilatan api. Keputusan untuk melarikan diri dari kota baru muncul pada hari Senin, warga yang panik saling berdesakan di gerbang sempit di pintu-pintu keluar dan dengan putus asa berusaha keluar membawa buntelan harta mereka dengan berjalan kaki, mengendarai kereta, kuda, atau gerobak.
Faktor lainnya yang membuat usaha pemadaman begitu sulit adalah sempitnya jalan. Bahkan dalam keadaan normal, campuran antara gerobak dan pejalan kaki di gang-gang kecil itu hampir selalu dilanda kemacetan. Saat terjadinya kebakaran, gang-gang itu makin dipersempit lagi dengan para pengungsi yang mendirikan tenda dan meletakkan barang-barang yang bisa mereka selamatkan di sepanjang jalan, juga kerumunan pengungsi yang berusaha keluar dari pusat kebakaran, sedangkan di sisi lain para petugas pemadam juga bergerak ke arah sebaliknya untuk memadamkan api.
Menghancurkan rumah-rumah untuk membuat sekat api dengan menggunakan bahan peledak memang efektif untuk memperkecil kerusakan, tetapi pelaksanaannya tertunda berjam-jam akibat gagalnya kepemimpinan Wali kota London dalam memberikan perintah. Saat perintah datang langsung dari raja, api telah melahap lebih banyak rumah dan para petugas pemadam tidak bisa lagi melewati jalan-jalan yang semakin sesak oleh kerumunan pengungsi yang ingin melarikan diri.
Pemanfaatan air untuk memadamkan api juga mengalami kesulitan. Pada prinsipnya, air yang tersedia di London berasal dari pipa yang memasok air bagi 30.000 rumah dan dialirkan dari sebuah menara air di Cornhill. Menara air ini diisi saat air sungai pasang dan juga melalui reservoir air musim semi Hertfordshire di Islington. Ada kemungkinan untuk membuka sebuah pipa air di dekat rumah yang terbakar atau mengisi ember dengan air. Lagipula, Pudding Lane juga dekat dengan sungai. Secara teoretis, semua jalur dari sungai sampai ke toko roti dan bangunan yang berdampingan seharusnya dijaga oleh barisan pemadam kebakaran yang mengisi penuh ember lalu menggunakannya untuk memadamkan api kemudian kembali lagi ke sungai, tetapi tindakan seperti ini tidak terjadi. Pepys menuliskan di dalam buku hariannya bahwa hingga hari Minggu pagi, tidak ada satu orangpun yang berusaha untuk memadamkan api, sebaliknya mereka malah bergegas menyelamatkan harta benda mereka kemudian berlari ketakutan. Api dengan cepat menjalar ke arah sisi sungai dan menghanguskan gudang-gudang yang mudah terbakar di sepanjang dermaga. Selain itu, kebakaran tidak hanya memotong akses petugas pemadam terhadap pasokan air langsung dari sungai, tetapi juga membakar roda air di bawah Jembatan London yang berfungsi sebagai alat untuk memompa air ke menara air Cornhill.
London sudah memiliki teknologi yang tergolong maju dalam hal pemadaman kebakaran dan telah digunakan dalam skala besar dari peristiwa-peristiwa kebakaran sebelumnya. Teknik pemadaman ini menggunakan alat yang berbentuk pompa besar. Namun, tidak seperti penggunaan sekat api, penggunaan pompa besar ini terbukti tidak fleksibel atau fungsional. Cuma sedikit dari alat ini yang dilengkapi dengan roda, kebanyakan dipasang di atas kereta kencana tanpa roda. Alat ini juga harus didatangkan dari jauh dan cenderung datang terlambat. Selain itu, selang air yang dimiliki oleh alat ini juga pendek, sehingga jangkauannya terbatas. Ukuran alat yang besar juga menjadi kendala bagi para petugas pemadam karena harus diseret-seret di sepanjang jalan. Alat ini bahkan tidak bisa masuk ke kawasan Pudding Lane.
Meluasnya kebakaran
Meluasnya Kebakaran Besar London dari hari ke hari digambarkan lewat memoar dua diaris Inggris terkenal bernama Samuel Pepys (1633-1703) dan John Evelyn (1620-1706). Mereka mencatat setiap peristiwa yang terjadi selama kebakaran dalam buku harian mereka. Misalnya, mereka berdua pergi ke taman Moorfields di wilayah utara kota pada hari Rabu untuk memantau kondisi para pengungsi. Buku harian mereka adalah sumber penting bagi penceritaan kembali bencana modern. Buku-buku terkini mengenai peristiwa kebakaran, seperti buku karangan Tinniswood (2003) dan Hanson (2001), juga didasarkan pada riwayat singkat William Taswell (1651-1682), yang merupakan seorang siswa berusia empat belas tahun di Sekolah Westminster pada tahun 1666.
Setelah melewati musim panas yang panjang pada tahun 1664 dan 1665, London dilanda kekeringan yang luar biasa sejak bulan November 1665. Bangunan -bangunan kayu yang mudah terbakar menjadi semakin kering kerontang setelah berlalunya musim panas tahun 1666. Api pertama kalinya menyala di toko roti di Pudding Lane pada Minggu dinihari, kemudian dikipasi oleh angin timur ke bagian London yang lainnya.
= Minggu
=Kebakaran berawal dari toko roti milik Thomas Farriner di Pudding Lane pada Minggu dinihari tanggal 2 September 1666. Keluarga Farriner terjebak di lantai atas, tetapi berhasil menyeberang dari jendela lantai atas ke pintu rumah di sampingnya, kecuali seorang budak yang terlalu takut untuk menyeberang, sehingga dia menjadi korban pertama. Para tetangga berusaha membantu memadamkan api, tapi tidak berhasil. Satu jam kemudian, polisi kota tiba dan menyarankan untuk membongkar rumah-rumah yang berdampingan dengan rumah Farriner guna mencegah penyebaran api lebih lanjut. Pemilik rumah tidak setuju, kemudian Wali Kota London, Sir Thomas Bloodworth dipanggil untuk mengatasi keadaan. Ketika Bloodworth tiba, api sudah memamah rumah sebelahnya dan menjalar menuju gudang kertas dan toko yang mudah terbakar di bagian tepi sungai. Para petugas pemadam kebakaran tetap menyarankan untuk melakukan pembongkaran, tetapi Bloodworth menolak dengan alasan bahwa rumah yang akan dibongkar tersebut merupakan rumah sewaan dan pemilik rumahnya belum dapat ditemukan. Bloodworth dikenal sebagai orang yang mudah panik saat menghadapi keadaan darurat yang tiba-tiba. Setelah didesak, Bloodworth jadi emosi lalu berkata: "Minum! Kemudian suruh para wanita mengencinginya!", setelah itu dia pergi. Saat kebakaran berhasil dipadamkan, Pepys menuliskan dalam buku hariannya pada tanggal 7 September 1666: "Orang-orang di seluruh dunia meneriakkan kebodohan wali kota mereka, dan menyesal kenapa mereka memercayakan semuanya pada dia."
Pada hari Minggu pagi, Pepys, yang merupakan seorang pejabat senior di Kantor Angkatan Laut, naik ke Menara London untuk melihat kebakaran dari atas menara. Pepys mencatat dalam buku hariannya bahwa angin timur telah menyulutnya menjadi kebakaran besar. Api telah membakar beberapa gereja dan lebih dari 300 rumah hingga ke bagian sisi Sungai Thames, menghanguskan rumah-rumah yang berdiri di sepanjang Jembatan London. Pepys kemudian naik perahu dan menyusuri sungai untuk memantau kerusakan di sekitar Pudding Lane dari jarak dekat. Pepys menyatakan: "sungguh menyedihkan, semua orang berupaya untuk menyelamatkan barang-barang mereka dengan melemparkannya ke sungai atau membawanya jauh dari api, orang-orang miskin tetap bertahan di rumah mereka masing-masing sampai api datang semakin dekat, lalu berlari ke perahu atau memanjati tangga menuju sisi sungai yang lain". Pepys terus memantau ke arah barat sungai hingga ke Istana Whitehall: "di sana orang-orang datang padaku, dan menyuruhku meminta bantuan raja. Lalu aku memanggilnya, menjelaskan pada raja dan Adipati York mengenai apa yang kulihat. Kemudian yang mulia memerintahkan agar melakukan pembongkaran terhadap rumah-rumah untuk mencegah meluasnya kebakaran. Masih banyak warga yang tidak setuju, lalu raja memerintahkanku pergi ke kantor wali kota, dan memerintahkannya untuk membongkar semua rumah tanpa terkecuali". Saudara Raja Charles II, James, Adipati York menawarkan penggunaan Tentara Kerajaan untuk membantu memadamkan api.
Satu mil di sebelah barat Pudding Lane, seorang siswa muda bernama William Taswell kabur dari pelayanan paginya di gereja Westminster Abbey dan melihat beberapa pengungsi tiba dengan menggunakan perahu, para pengungsi itu kebanyakan bertelanjang dan hanya ditutupi selimut. Sewa perahu mendadak menjadi sangat mahal, dan hanya pengungsi yang paling beruntung yang akan mendapat tempat dalam perahu.
Api menyebar dengan cepat karena angin yang kencang. Pada pertengahan pagi pada hari Minggu, orang-orang menghentikan upayanya untuk memadamkan api dan mulai melarikan diri dari lokasi kebakaran. Massa yang panik berlarian membawa harta benda mereka, menghalangi jalur yang dilewati oleh petugas pemadam kebakaran. Pepys kemudian kembali lagi ke kota dari Whitehall, tetapi ia hanya bisa mencapai Katedral Santo Paulus, setelah itu ia harus keluar dari perahu dan berjalan kaki. Kereta-kereta penuh barang dan para pejalan kaki berjejeran dimana-mana. Pepys juga melihat Bloodworth, yang sedang mengkoordinasikan upaya pemadaman tanpa harus melakukan pembongkaran, "dia seperti wanita yang sedang pingsan, menangis menanggapi pesan raja yang menyuruhnya untuk membongkar rumah-rumah, tetapi api menyusul kita dengan cepat maka [sic] kita bisa melakukannya", tulis Pepys. Berpegang pada martabatnya, Bloodworth menolak bantuan tentara dari James II kemudian dia pulang ke rumahnya. Raja Charles II mengunjungi kota untuk memantau kondisi di tempat kejadian. Raja yang menemukan bahwa rumah-rumah masih belum dibongkar kemudian memerintahkan dilakukannya pembongkaran, tetapi hal ini sia-sia saja, karena api sudah di luar kendali.
Pada Minggu sore, 18 jam setelah peringatan berbunyi di Pudding Lane, api telah menjadi badai yang mengamuk yang menciptakan cuaca sendiri. Sebuah awan hitam besar terbentuk di udara yang panas di atas kobaran api. Malam harinya, Pepys beserta istri dan beberapa teman menyusuri sungai lagi untuk memantau keadaan, Pepys menulis: "api masih berkobar, sangat dekat hingga sepertinya kami bisa menyalakan rokok di seluruh Thames." Ketika panasnya menjadi semakin tak tertahankan, Pepys beserta rombongan pergi ke sebuah rumah minum di sisi selatan sungai dan tinggal di sana sampai kegelapan datang dan mereka bisa melihat api menyala di Jembatan London sampai ke seberang sungai. Pepys menulis: "Melihatnya membuatku menangis, apinya seolah-olah tampak seperti 'sebuah busur panah tuhan dengan titik yang bersinar di dalamnya'."
= Senin
=Pada Senin dinihari, kebakaran telah meluas ke arah utara dan barat London. Gejolak badai api telah mendorong api kedua yang menyala di utara lebih besar dari hari sebelumnya. Penyebaran api ke selatan terhambat oleh sungai, tetapi api telah membakar rumah-rumah di sepanjang Jembatan London dan mengancam akan menyeberangi jembatan serta membahayakan kawasan Southwark yang berada di sisi selatan sungai. Bara api yang beterbangan berhasil mencapai Southwark namun hal itu cepat berhenti. Api juga menjalar ke sebelah utara hingga mencapai kawasan jantung keuangan Kota. Rumah-rumah para bankir di Lombard Street mulai terbakar pada Senin sore, hal ini mendorong para bankir untuk buru-buru menyelamatkan tumpukan koin emas mereka sebelum meleleh dilahap api. Beberapa pengamat menyatakan tentang adanya keputusasaan dan ketidakberdayaan yang menyelimuti London pada hari kedua kebakaran dan kurangnya upaya untuk melakukan penyelamatan, terutama di kawasan-kawasan kaya dan modis seperti toko-toko barang mewah di Cheapside dan Royal Exchange, yang merupakan pasar saham dan pusat perbelanjaan terbesar di London. Royal Exchange terbakar pada sore hari diikuti oleh gedung-gedung di sebelah timurnya. John Evelyn, seorang penggawa kerajaan dan diaris Inggris menulis di buku hariannya:
Kebakaran itu begitu universal, semua orang menjadi kebingungan, tidak tahu dengan apa yang akan terjadi pada nasib mereka. Tak ada yang berani melihat atau mendengar, semuanya menangis dan meratap, berjalan di sekitar seperti makhluk yang tidak terganggu sama sekali dan mencoba menyelamatkan lebih banyak harta bendanya, seolah-olah diliputi kekhawatiran aneh tentang apa yang akan terjadi di depan mereka.
Evelyn tinggal di Deptford, sekitar empat mil (6 km) dari kota London. Oleh sebab itu, Evelyn tidak melihat gambaran awal musibah tersebut. Pada hari Senin, Evelyn bersama penduduk kelas atas lainnya pergi ke Southwark dan melihat kondisi kebakaran seperti yang telah dilihat oleh Pepys sebelumnya. Kebakaran menjadi jauh lebih besar sekarang, Evelyn menulis: "Keseluruhan kota dilingkupi oleh api yang mengerikan. Semua rumah di sepanjang sisi sungai, di jembatan, Cheapside sampai ke Three Cranes sudah dikonsumsi api." Pada malam hari, Evelyn melaporkan bahwa sungai telah tertutup oleh kapal tongkang dan perahu yang berisi tumpukan barang-barang dan orang-orang yang menyelamatkan diri. Evelyn mengamati adanya eksodus besar gerobak dan pejalan kaki yang berbondong-bondong melewati gerbang kota, kemudian membangun tenda pengungsian di ladang terbuka di sebelah utara dan timur. "Oh! Sebuah bencana dan tontonan yang mengerikan!", tulis Evelyn.
Di saat yang bersamaan, rumor mengenai kecurigaan bahwa kebakaran ini disengaja segera merebak di kota. Angin yang bertiup menerbangkan bara api hingga ke atap jerami di rumah-rumah yang tampaknya tidak berhubungan dengan sumber awal kebakaran. Orang-orang asing segera dicurigai, terutama sekali saat itu sedang berlangsung Perang Kedua antara Inggris dengan Belanda dan Prancis. Pada hari senin, beberapa isu merebak. Dilaporkan bahwa seorang penduduk asing terlihat sedang melemparkan "bola api" ke sebuah rumah, atau yang tertangkap dengan memegang granat di tangan. Kekerasan mulai menyebar di jalan-jalan di London. William Taswell melihat segerombolan massa yang menjarah toko milik seorang pelukis Prancis dan menyaksikan dengan ngeri saat seorang pandai besi memukul kepala salah satu warga Prancis dengan sebatang besi. Kekhawatiran terhadap terorisme turut diperkuat dengan adanya gangguan komunikasi akibatnya terbakarnya berbagai fasilitas. Kantor Pos Umum di Threadneedle Street, tempat keluar masuknya pos ke luar negeri, terbakar pada Senin pagi. Surat kabar London Gazette berhasil menerbitkan surat kabar edisi Senin sebelum seluruh mesin cetak habis terbakar (memberitakan mengenai rumor yang beredar di masyarakat dan sedikit catatan kecil mengenai api yang mulai berkobar pada Minggu pagi). Di saat seluruh bangsa bergantung pada komunikasi ini, surat kabar tersebut malah mengisi pemberitaannya dengan rumor. Ada juga isu mengenai kebangkitan kembali gerakan Plot Bubuk Mesiu. Kecurigaan terus meningkat dan berubah menjadi paranoia kolektif. Pada hari Senin, pasukan Trained Bands dan Coldstream Guards menghentikan upaya pemadaman dan memfokuskan upayanya untuk mengumpulkan orang-orang asing, penganut Katolik, dan setiap orang yang terlihat mencurigakan, kemudian menangkap atau menyelamatkan mereka dari amukan massa, atau keduanya.
Para penduduk, terutama dari kalangan kelas atas, mulai kesulitan dan putus asa untuk memindahkan barang-barang mereka dari kota. Hal ini menjadi sumber penghasilan baru bagi para warga miskin yang disewa sebagai kuli untuk mengangkut barang mereka, terutama bagi pemilik gerobak dan perahu. Menyewa kereta cuma menghabiskan beberapa shilling pada hari Sabtu sebelum kebakaran, tetapi pada hari Senin, biaya sewa ini meningkat menjadi sebesar £40 (£4600 pada tahun 2012). Menumpuknya gerobak dan kereta ditambah dengan gerombolan penduduk yang panik ingin keluar menyebabkan terjadinya kekacauan di pintu gerbang sempit di jalan keluar. Kekacauan itu menyebabkan Dewan Kota memerintahkan agar gerbang ditutup pada Senin sore, dengan harapan akan mengalihkan perhatian para penduduk kepada upaya menyelamatkan barang-barang dan memadamkan api. "Tak ada lagi harapan untuk menyelamatkan barang-barang yang tersisa. Mereka dengan sia-sia dan putus asa berusaha memadamkan api." Peraturan ini gagal dan dicabut kembali pada hari berikutnya.
Api terus mengamuk tak terkendali. Bloodworth, wali kota yang bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan pemadam kebakaran telah meninggalkan kota. Dalam keadaan darurat, Charles II mengesampingkan otoritas kota dan menunjuk saudaranya, James, Adipati York untuk mengambil alih operasi pemadaman kebakaran. James kemudian mendirikan pos komando di sekitar lokasi dan merekrut setiap penduduk kelas bawah yang ditemukan di jalan-jalan untuk bergabung ke dalam tim pemadam kebakaran dengan bayaran uang dan jaminan makanan yang cukup. Tiga penggawa istana ditugaskan untuk mengepalai setiap pos, dengan otoritas berada pada Raja Charles II. James dan pasukannya terus turun ke jalan-jalan pada hari Senin, menyelamatkan warga asing dari amukan massa dan tetap berusaha menjaga ketertiban. "Adipati York telah memenangkan hati rakyat dengan terus-menerus berusaha tak kenal lelah pada malam itu dalam membantu memadamkan api neraka," tulis seorang saksi dalam surat pada tanggal 8 September.
Pada Senin malam, api sudah menjalar mendekati Istana Baynard, Blackfriars dan bagian barat Menara London. Api akhirnya mampu mencapai istana bersejarah Kerajaan Inggris ini dan tempat ini terbakar sepanjang malam. Sebuah sumber kontemporer mengatakan bahwa pada hari itu, Raja Charles langsung bekerja secara manual dalam membantu menyiramkan air ke api dan juga turut membantu merobohkan bangunan untuk membuat "sekat api".
= Selasa
=Selasa, 4 September, adalah hari kehancuran terbesar. Pos didirikan oleh Adipati York di Temple Bar, Strand dan Fleet Street yang dimaksudkan untuk menghentikan penyebaran api ke arah barat menuju Istana Whitehall. Jembatan Fleet diturunkan ke Sungai Thames, James berharap bahwa Sungai Fleet akan membentuk "sekat api" alami. Namun, pada Selasa pagi, api melompati Sungai Fleet dan mengepung mereka, memaksa mereka untuk melarikan diri. Ada kekhawatiran api akan semakin menjalar ke arah barat dan mendekati istana. "Oh! Istana diliputi ketakutan", tulis Evelyn.
Pada akhirnya, petugas pemadam James membuat "sekat api" besar di sebelah utara lokasi kebakaran. Pada sore harinya api mulai menjalar dan menghanguskan pusat-pusat perbelanjaan mewah di Cheapside. Awalnya, semua orang beranggapan bahwa Katedral Santo Paulus adalah tempat perlindungan yang aman karena dinding batunya yang tebal dan adanya "sekat api" alami berupa sebuah tanah lapang kosong disekitar katedral. Katedral tersebut dijejali dengan barang-barang yang bisa terselamatkan dan ruang bawah tanahnya dipenuhi oleh pencetak dan buku-buku yang berasal dari jalan disebelahnya. Namun tidak ada yang menyadari bahwa bangunan itu tertutup oleh Perancah kayu dan perlahan-lahan mulai terbakar pada Selasa malam. William Taswell muda menyaksikan dari tangga di Westminster api mulai merayap mengelilingi katedral dan membakar perancah. Dalam waktu setengah jam, atap timbal mencair, buku-buku dan kertas-kertas di ruang bawah tanah katedral menyerbuk dimamah api. "Batu-batu katedral beterbangan seperti granat ke jalan-jalan dan sungai di sekitarnya. Trotoar bersinar kemerahan karena bara api hingga tak ada satupun orang ataupun kuda yang mampu menginjaknya. Katedral runtuh dengan cepat", tulis Evelyn dalam buku hariannya.
Pada siang hari, api mulai bergerak ke arah timur Pudding Lane, tempat kediaman Pepys di Seething Lane dan gudang mesiu di Menara London. Setelah menunggu sepanjang hari bantuan dari pasukan pemadam kebakaran resmi James yang tak juga kunjung datang, para garnisun di Menara London mengambil keputusan untuk membuat "sekat api" sendiri. Rumah-rumah di sekitar menara diledakkan dalam skala besar untuk mencegah meluasnya penyebaran api.
= Rabu
=Angin mulai bertiup pada hari Selasa malam, dan "sekat api" yang diciptakan oleh para garnisun akhirnya mulai berpengaruh pada hari Rabu tanggal 5 September. Pepys berjalan ke seluruh kota yang membara dan mendapati telapak kakinya panas. Pepys menaiki menara Gereja Barking, di sana ia bisa memandang kota yang hancur, "pemandangan kebinasaan yang paling menyedihkan yang pernah kulihat," tulis Pepys. Ada kebakaran terpisah yang masih menyala sendiri, tetapi Kebakaran Besar telah usai. Pepys mengunjungi Moorfields, sebuah taman umum yang besar di sebelah utara kota, dan melihat perkemahan besar para pengungsi tunawisma, "orang-orang miskin yang malang membawa barang-barang mereka kesana, dan setiap orang menjaga barang mereka masing-masing". Pepys mencatat bahwa harga roti di lingkungan sekitar taman telah naik dua kali lipat. Evelyn juga pergi mengunjungi Moorfields yang telah berubah menjadi titik utama pengungsian bagi para tunawisma dan merasa ngeri melihat jumlah orang yang tertekan di sana. Beberapa berlindung di bawah tenda, yang lainnya di gubuk-gubuk sementara, "banyak yang tidak memiliki pakaian, tempat tidur atau peralatan-peralatan lainnya. Sungguh kesengsaraan yang luar biasa". Evelyn terkesan dengan pendirian warga London, "hampir binasa karena kelaparan dan kemiskinan namun belum meminta bantuan satu peni pun".
Kekhawatiran terhadap teroris asing dan invasi dari warga Prancis dan Belanda masih kuat di antara para korban kebakaran yang trauma. Pada hari Rabu malam, kepanikan melanda perkemahan pengungsi di Bukit Parlemen, Moorfields dan Islington. Sekitar 50.000 imigran Prancis dan Belanda yang dirumorkan menyulut kebakaran menyerbu perkemahan dan memotong leher para pria, memperkosa para wanita dan merampas harta yang tersisa. Gelombang massa yang panik tumpah ke jalan-jalan dan ketakutan pada setiap orang asing yang mereka jumpai. Evelyn menggambarkan kondisi itu seperti: "kesakitan yang tidak terbatas dan kesulitan yang besar". Kepanikan ini berhasil diredakan dan dengan susah payah berhasil didorong kembali untuk memasuki perkemahan oleh pasukan Trained Bands, Life Guards, dan anggota kerajaan. Suasana saat itu begitu mudah tersulut, Charles khawatir suasana seperti ini akan menyebabkan pemberontakan dalam skala penuh dari warga London untuk melawan monarki. Charles lalu mengumumkan bahwa pasokan roti akan di bawa ke kota setiap harinya, dan menjamin bahwa situasi di pasar aman. Pasar memang aman untuk membeli dan menjual, tetapi tidak ada pernyataan mengenai pendistribusian bantuan darurat bagi para pengungsi.
Kematian dan kerusakan
Hanya beberapa kematian dari musibah tersebut yang tercatat secara resmi, dan secara tradisional angka kematian diyakini sedikit. Porter berpendapat bahwa ada delapan kematian, dan Tinniswood menyatakan jumlah kematiannya "dalam angka tunggal", meskipun ia menambahkan bahwa beberapa kematian ada yang tidak tercatat, terutama karena kematian tidak hanya disebabkan oleh api dan asap, para pengungsi juga tewas di kamp-kamp dadakan. Sedangkan Hanson mengemukakan bahwa hanya ada sedikit kematian yang diketahui melalui paparan di antara yang selamat dari musibah tersebut, jumlah kematian meningkat pasca-kebakaran akibat kelaparan dan hipotermia saat musim dingin yang menyusul setelahnya, "meringkuk di gubuk atau hidup di antara reruntuhan yang dulunya rumah mereka", papar Hanson. Di antara orang-orang ini termasuk seorang dramawan Inggris bernama James Shirley dan istrinya. Hanson juga menyatakan: "terlalu mudah dipercayai bahwa orang-orang Katolik dan orang asing yang kemudian dipukuli sampai mati atau digantung adalah orang-orang yang diselamatkan oleh Adipati York". Angka resmi mengatakan bahwa cuma sedikit yang diketahui mengenai nasib orang miskin yang tidak berdokumen, dan fakta bahwa api kebakaran jauh lebih panas daripada api rumah biasa yang cukup untuk menghanguskan tubuh sepenuhnya, atau meninggalkan sedikit tengkorak tanpa bisa dikenali. Api kebakaran tidak hanya memakan kayu, kain, dan jerami, tetapi juga minyak, aspal, batubara, lemak, gula, alkohol, terpentin, dan bubuk mesiu yang tersimpan di kawasan di tepi sungai, melelehkan baja impor yang berada di sepanjang dermaga (titik lebur antara 1.250 °C (2.300 F) dan 1.480 °C (2.700 F)) dan rantai besi besar serta kunci di gerbang kota (titik lebur antara 1.100 °C (2.000 F) dan 1.650 °C (3000 F)). Tulang belulang warga tak dikenal yang terkubur di puing-puing tidak menyurutkan niat para korban yang kelaparan untuk memilah-milah puluhan ribu ton reruntuhan dan puing-puing setelah kebakaran, mencari barang berharga, atau para pekerja yang membersihkan reruntuhan untuk melakukan pembangunan kembali. Hanson juga menekankan bahwa api melahap habis rumah-rumah petak kumuh warga miskin dengan beringas, setidaknya pasti menjebak "yang tua renta, yang sangat muda, yang sakit, yang pincang, dan yang lumpuh", lalu memanggang mereka hidup-hidup dan mengubur debu dan abu dari tulang belulang mereka di bawah reruntuhan rumah. Kepastian mengenai korban yang tewas bukanlah empat atau delapan, melainkan "beberapa ratus atau mungkin beberapa ribu jiwa".
Kerusakan material yang telah dihitung sebesar 13.500 rumah, 87 gereja paroki, 44 gedung perusahaan, Royal Exchange, custom house, Katedral Santo Paulus, Istana Bridewell, penjara kota, Kantor Pos Umum, tiga gerbang barat kota, Ludgate, Newgate, dan Aldersgate. Nominal kerugian pada awalnya ditaksir mencapai £100.000.000 dalam nilai mata uang saat itu, kemudian diturunkan lagi menjadi £10.000.000, (£1.66 miliar pada tahun 2024). Evelyn menulis bahwa dia melihat lebih dari 200.000 orang dari seluruh kelas dan jajaran berbaring bertumpukan bersama-sama di tanah lapang di wilayah Islington dan Highgate.
Pasca-kebakaran
Keinginan untuk mengidentifikasi kambing hitam sebagai pihak penyebab kebakaran terwujud saat seorang pembuat jam asal Prancis bernama Robert Hubert mengaku bahwa dia adalah seorang agen dari Paus yang telah memulai Kebakaran Besar di Westminster. Hubert kemudian mengubah ceritanya dengan mengatakan bahwa dialah yang menyulut api di toko roti di Pudding Lane. Hubert dihukum, meskipun beberapa pihak meragukan kewarasannya, dan digantung di Tyburn pada tanggal 28 September 1666. Setelah kematiannya, terungkap bahwa ia baru berada di London dua hari setelah kebakaran dimulai. Tuduhan-tuduhan mengenai api yang disulut oleh umat Katolik mulai dieksploitasi sebagai propaganda politik oleh penentang pemerintahan pro-Katolik Charles II, sebagian besar berlangsung selama masa Popish Plot, berkenaan dengan krisis eksklusi yang terjadi selama masa pemerintahannya.
Di luar Inggris, Belanda memandang Kebakaran Besar London sebagai pembalasan atas peristiwa Api Unggun Holmes, yaitu tragedi pembumihangusan kota-kota Belanda oleh Inggris saat terjadinya Perang Inggris-Belanda Kedua.
Dalam kekacauan dan kerusuhan setelah kebakaran, Raja Charles II dicemaskan atas kemungkinan pemberontakan yang datang dari London. Dia memerintahkan para tunawisma untuk pindah dari London dan menetap di tempat lain. Charles II mengeluarkan pernyataan yang berbunyi: "Semua kota wajib tanpa pengecualian untuk menerima orang-orang yang menderita dan mengizinkan mereka membuka usaha perdagangan". Sebuah Pengadilan Kasus Kebakaran khusus didirikan untuk menangani perselisihan antara penyewa dengan tuan tanah dan memutuskan siapa yang berhak untuk membangun kembali berdasarkan kemampuan mereka untuk membayar. Pengadilan ini dilaksanakan dari bulan Februari 1667 sampai September 1672. Kasus yang diajukan biasanya putusannya diberikan dalam waktu sehari. Tanpa proses pengadilan, sistem hukum yang berbelit-belit akan menunda program pembangunan kembali, yang mana hal itu sangat diperlukan jika London ingin pulih lagi. Atas inisiatif Charles II, rencana pembangunan radikal untuk London mulai mengalir masuk dari berbagai pihak. Jika London dibangun kembali sesuai dengan beberapa rencana-rencana tersebut, maka London akan bisa menyaingi Paris dalam hal keindahan barok (lihat rencana Evelyn di sebelah kiri). Kerajaan dan Pemerintah Kota berusaha menerapkan aturan "kepada siapa rumah dan tanah itu seharusnya dimiliki" untuk bernegosiasi dengan para pemilik tanah mengenai kompensasi atas renovasi besar-besaran yang dijanjikan jika rencana tersebut berhasil, tetapi aturan tersebut tidak realistis dan akhirnya ditinggalkan. Ide mengenai perekrutan pekerja untuk menggusur rumah-rumah yang telah berdiri diabaikan oleh orang-orang yang khawatir atas keberlangsungan hidup mereka dan juga karena sebagian besar penduduk sudah meninggalkan kota. Oleh karena kurangnya pekerja setelah kebakaran, tidak mungkin untuk melaksanakan rencana-rencana tersebut. Selain Wren dan Evelyn, diketahui bahwa Robert Hooke, Valentine Knight dan Richard Newcourt juga turut mengusulkan rencana pembangunan kembali London.
Dengan kompleksitas kepemilikan yang belum terselesaikan, tidak ada skema barok megah bagi kota yang dapat direalisasikan, tak seorangpun yang bernegosiasi dan juga tidak ada cara untuk menghitung berapa banyak kompensasi yang harus dibayar. Sebaliknya, struktur jalan-jalan lama mulai dibangun kembali di kota baru, dengan perbaikan soal keselamatan dari ancaman kebakaran, jalan-jalan dibangun lebih luas, dermaga lebih terbuka dan dapat diakses sepanjang Sungai Thames dengan tidak ada rumah yang menghalangi akses ke sungai, dan yang paling penting, semua bangunan terbuat dari batu bata dan batu, bukan kayu. Bangunan-bangunan baru diciptakan untuk menggantikan bangunan pendahulunya yang musnah akibat kebakaran, di antaranya yang paling terkenal adalah Katedral Santo Paulus dan 50 gereja baru Christopher Wren.
Atas inisiatif Raja Charles II, Monumen Kebakaran Besar London didirikan di Pudding Lane. Monumen ini dirancang oleh Christopher Wren dan Robert Hooke, dengan tinggi mencapai 61 meter dan lebih dikenal dengan sebutan "The Monument". Monumen ini telah menjadi ikon di City of London dan namanya juga digunakan sebagai nama stasiun. Pada tahun 1668, kata-kata tambahan yang berupa tuduhan terhadap umat Katolik ditambahkan ke dalam prasasti monumen. Kata-kata tersebut berbunyi:
"Di sini dengan izin dari surga, neraka pecah di kota Protestan... pembakaran yang paling mengerikan yang pernah melanda kota ini; yang dimulai dan dinyalakan oleh pengkhianatan dan kedengkian dari faksi Popish... kegilaan Popish yang menyalakan kengerian ini, belum padam..."
Selain dari empat tahun masa pemerintahan Raja James II (1685-1689), tulisan diatas tetap berlaku sampai tahun 1830 dan kemudian dihapus setelah disahkannya Undang-Undang Emansipasi Katolik.
Sebelum Kebakaran Besar, bencana Wabah Besar melanda London pada tahun 1665 dan diperkirakan telah merenggut nyawa sekitar 80.000 orang atau seperenam penduduk London pada waktu itu. Wabah ini tidak muncul lagi di London setelah kebakaran. Dikatakan bahwa api telah ikut menyelamatkan nyawa penduduk dalam jangka panjang dengan membakar perumahan tidak sehat yang penuh dengan kutu dan tikus yang mentransmisikan wabah tersebut. Ada beberapa perdebatan mengenai kebenaran teori ini. Museum London mengklaim bahwa ada hubungannya antara kebakaran dengan berakhirnya wabah. Sedangkan sejarawan Roy Porter menyatakan bahwa api sama sekali tidak menyentuh bagian terpenting yang paling berperan dalam merusak kesehatan di London, yaitu kawasan pinggiran kota yang kumuh. Penjelasan epidemiologi alternatif lainnya juga telah diajukan dan menyatakan bahwa wabah ini menghilang dari hampir setiap kota lainnya di Eropa pada waktu yang sama.
Setelah kebakaran, jalan utama di Queen Street dan King Street yang baru ditata ulang, menghilangkan unsur-unsur kuno dari jalan sebelumnya. Jalan ini membuat rute baru dari Thames ke Guildhall. Jalan-jalan tersebut adalah jalan yang terkenal di banyak kota setelah kehancuran akibat Kebakaran Besar.
Catatan
Referensi
Evelyn, John (1854). Diary and Correspondence of John Evelyn, F.R.S. London: Hurst and Blackett. Diakses tanggal 5 November 2006.
Hanson, Neil (2001). The Dreadful Judgement: The True Story of the Great Fire of London. New York: Doubleday. For a review of Hanson's work, see Lauzanne, Alain. "Revue pluridisciplinaire du monde anglophone". Cercles. Diakses tanggal 12 October 2006.
Hanson, Neil (2002). The Great Fire of London: In That Apocalyptic Year, 1666. Hoboken, New Jersey: John Wiley and Sons. A "substantially different" version of Hanson's The Dreadful Judgement (front matter).
Leasor, James. (1961, 2011). The Plague and the Fire Diarsipkan 2016-04-03 di Wayback Machine.. ISBN 978-1-908291-22-6
Morgan, Kenneth O. (2000). Oxford Illustrated History of Britain. Oxford: Oxford.
Pepys, Samuel (1995). Robert Latham dan William Matthews (eds.), ed. The Diary of Samuel Pepys, Vol. 7. London: Harper Collins. ISBN 0-00-499027-7. Pemeliharaan CS1: Teks tambahan: editors list (link) First published between 1970 and 1983, by Bell & Hyman, London. Quotations from and details involving Pepys are taken from this standard, and copyright, edition. All web versions of the diaries are based on public domain 19th century editions and unfortunately contain many errors, as the shorthand in which Pepys' diaries were originally written was not accurately transcribed until the pioneering work of Latham and Matthews.
Porter, Roy (1994). London: A Social History. Cambridge: Harvard.
Reddaway, T. F. (1940). The Rebuilding of London after the Great Fire. London: Jonathan Cape.
Robinson, Bruce. London: Brighter Lights, Bigger City. BBC. Diakses tanggal 12 August 2006.
Sheppard, Francis (1998). London: A History. Oxford: Oxford.
Tinniswood, Adrian (2003). By Permission of Heaven: The Story of the Great Fire of London. London: Jonathan Cape.
Pranala luar
Great Fire of London di In Our Time di BBC. (listen now)
(Inggris) BBC history site
(Inggris) Museum of London answers questions
(Inggris) Channel 4 animation of the spread of the fire
(Inggris) Child-friendly Great Fire of London site Diarsipkan 2014-08-14 di Wayback Machine.
(Inggris) Fire of London website di produksi oleh the Museum of London, The National Archives, London Fire Brigade Museum dan London Metropolitan Archives
Kata Kunci Pencarian:
- Kebakaran Besar London
- London
- The London Gazette
- Pasukan pemadam kebakaran
- Banjir bir London
- Kebakaran Besar Smyrna
- Kebakaran Besar New York
- Abu Bakar ash-Shiddiq
- Pudding Lane
- Kebakaran Buncefield
- 2017 in Malaysia