- Source: Latief Hendraningrat
Brigadir Jenderal TNI (Purn.) Raden Mas Abdul Latief Hendraningrat (15 Februari 1911 – 14 Maret 1983) lahir dari pasangan Raden Mas Mochamad Said Hendraningrat dan Raden Ajeng Haerani. Ayah Latief adalah seorang demang atau wedana di wilayah Jatinegara yang berdarah ningrat Jawa.
Latief merupakan seorang prajurit PETA berpangkat Sudanco (komandan Kompi) dan juga pengerek bendera Sang Saka Merah Putih didampingi oleh Soehoed Sastro Koesoemo, seorang pemuda dari Barisan Pelopor, pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.
Saat menjadi petugas upacara bendera pertama sesudah proklamasi kemerdekaan, Latief Hendraningrat memakai seragam tentara Jepang karena Latief merupakan anggota pasukan Pembela Tanah Air (PETA) bentukan Jepang. Sebelum masuk PETA, Latief Hendraningrat sudah aktif di Pusat Latihan Pemuda (Seinen Kunrenshoo) yang juga bentukan Jepang. PETA dibentuk pada 3 Oktober 1943, kemudian ia mendaftar dan diterima.
Mengamankan Kemerdekaan
Pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, Latief Hendraningrat termasuk golongan muda yang mempelopori terjadinya Kemerdekaan Indonesia. Berasal dari siaran radio, kaum muda Indonesia mengetahui bahwa Jepang menyerah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945. Para pemuda menuntut Soekarno dan Hatta untuk mempercepat Kemerdekaan Indonesia, namun Soekarno menolak karena masih menunggu realisasi janji dari Jepang yang akan memberi kemerdekaan kepada Indonesia dalam waktu dekat. Para pemuda meminta Latief Hendraningrat sebagai salah satu perwira PETA tertinggi di Jakarta untuk meyakinkan Soekarno-Hatta, dan terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945. Pada saat itu, Latief Hendraningrat menjadi orang PETA yang paling bertanggungjawab atas keamanan Jakarta saat itu. Ia menggantikan tugas atasannya, Kasman Singodimejo,
Pada 17 Agustus 1945, anak-anak muda berdatangan menuju Lapangan Ikada (kini area Monumen Nasional). Mereka mendengar bahwa di sana Soekarno-Hatta akan menyatakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Namun, sesampainya di Lapangan Ikada, tentara Jepang sudah siap dengan senjata lengkap. Rupanya deklarasi Kemerdekaan Republik Indonesia bukan dilakukan di Lapangan Ikada, melainkan di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta Pusat yang merupakan kediaman Soekarno. Latief Hendraningrat tidak hanya mengamankan halaman depan rumah Soekarno yang digunakan sebagai lokasi proklamasi kemerdekaan. Ia juga menempatkan beberapa prajurit PETA pilihannya untuk berjaga-jaga di sekitar jalan kereta api yang membujur di belakang rumah itu. Usai pembacaan teks proklamasi, Latief bertindak sebagai pengibar sang saka Merah-Putih bersama Suhud Sastro Kusumo.
Karier Militer
Pasukan PETA Latief bermarkas di bekas markas pasukan Kavaleri Belanda di Kampung Jaga Monyet, yang kini bernama jalan Suryopranoto. Setelah bergabung dengan TNI, kariernya menanjak dan sempat menjadi Rektor IKIP Jakarta (Universitas Negeri Jakarta) pada tahun 1964-1965.
Dalam masa pendudukan Jepang, Abdul Latief Hendraningrat aktif dalam Pusat Latihan Pemuda (Seinen Kunrenshoo), selanjutnya dia menjadi anggota pasukan Pembela Tanah Air (PETA). Karier militer Latief Hendraningrat di PETA pun berjalan cukup baik, hingga akhirnya PETA dibubarkan pada 18 Agustus 1945, pangkat terakhir Latief adalah Chudancho (sudanco) alias Komandan Kompi, satu tingkat di bawah pangkat tertinggi untuk pribumi saat itu, yakni Daidanco atau Komandan Batalyon.
Masa setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Abdul Latief Hendraningrat terlibat dalam berbagai pertempuran. Kemudian menjabat sebagai komandan Komando Kota ketika Belanda menyerbu Yogyakarta (1948). Saat itu, Yogyakarta sebagai ibu kota RI menjadi area pertempuran yang paling genting. Latief juga berhubungan baik dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Ia juga ikut merumuskan taktik gerilya dan perencanaan Serangan Umum 1 Maret 1949.
Setelah penyerahan kedaulatan, Abdul Latief Hendraningrat awalnya ditugaskan di Markas Besar Angkatan Darat, kemudian ditunjuk sebagai atase militer Rl untuk Filipina (1952), lalu dipindahkan ke Washington hingga tahun 1956. Setelah kembali ke Indonesia ia ditugaskan memimpin Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) yang kini menjadi Seskoad. Jabatannya setelah itu sebagai Rektor IKIP Jakarta (1965). Pada tanggal 30 September 1966, Hendraningrat resmi pensiun dengan pangkat Brigadir Jenderal. Sejak itu, ia mencurahkan segala perhatian dan tenaganya bagi Yayasan Perguruan Rakyat dan Organisasi Indonesia Muda.
Ia merupakan anak dari Kakak R.A Siti Ngaisah yang merupakan istri Djojo Dirono, Bupati Lamongan yang memerintah pada tahun (1885-1937), sehingga ia juga memiliki darah dari Ken Arok, Jaka Tingkir dan Mangkunegara I.
Kehidupan pribadi
Latief menikah dengan Rr. Sophia dan dikaruniai empat anak dan delapan cucu. Salah satu putrinya, Tuning Sukobagyo, adalah ibu dari artis Muhammad Gunawan Hendromartono alias Gugun Gondrong.
Latief meninggal di Jakarta pada tanggal 14 Maret 1983 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto karena penyakit usus buntu. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta pada keesokan harinya.
Pranala luar
Gang Thiebault di Noordwijk Diarsipkan 2007-03-10 di Wayback Machine.
Sejarah Universitas Negeri Jakarta Diarsipkan 2007-09-29 di Wayback Machine.
Referensi
Kata Kunci Pencarian:
- Latief Hendraningrat
- Rukmito Hendraningrat
- Gugun Gondrong
- Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat
- Soekarno (film)
- Ilyas Karim
- Suhud Sastro Kusumo
- Pembela Tanah Air
- Badan Keamanan Rakyat
- Zulkifli Lubis
- State University of Jakarta
- People's Security Agency
- Soekarno (film)
- Ahmad Yunus Mokoginta
- Defenders of the Homeland
- Zulkifli Lubis