- Source: Latimeria (genus)
Latimeria adalah genus ikan langka yang berisi dua spesies coelacanth yang masih ada, yakni Coelacanth Afrika (Latimeria chalumnae) dan Ikan raja laut (Latimeria menadoensis). Mereka mengikuti garis keturunan tertua yang diketahui yaitu Sarcopterygii (ikan bersirip lobus dan tetrapoda), yang berarti mereka lebih berkerabat dekat dengan ikan paru-paru dan tetrapoda (amfibi, reptil, dan mamalia) dibandingkan dengan ikan bersirip kipas dan ikan bertulang rawan pada umumnya.
Mereka ditemukan di sepanjang garis pantai Samudera Hindia dan Indonesia. Karena hanya ada dua spesies yang diketahui dan keduanya terancam, maka latimeria adalah salah satu genus hewan yang paling terancam punah di dunia. Coelacanth afrika adalah spesies yang terancam kritis.
Karakteristik
Berdasarkan cincin pertumbuhan di tulang telinga ikan ini (otolit), para ilmuwan menyimpulkan bahwa seekor coelacanth dapat hidup selama 80 hingga 100 tahun. Coelacanth hidup di kedalaman 700 m di bawah permukaan laut, namun lebih sering ditemukan di kedalaman 90 hingga 200 m.
Latimeria chalumnae mempunyai warna biru tua yang mungkin berguna untuk menyamarkan mereka dari pemangsa, sedangkan Latimeria menadoensis berwarna coklat.
Mata Coelacanth sangat sensitif dan mempunyai tapetum lucidum. Coelacanth hampir tidak pernah ditangkap pada siang hari, namun ditangkap pada seluruh fase bulan. Mata Coelacanth memiliki banyak sel batang, reseptor di retina yang membantunya melihat dalam cahaya redup. Sel batang dan tapetum lucidum bersama-sama membantunya melihat lebih baik di air yang gelap.
Coelacanth adalah pemakan oportunistik, berburu sotong, cumi-cumi, sidat snipe, hiu kecil, dan ikan lain yang ditemukan di habitat karang dalam dan lereng vulkanik. Coelacanth juga diketahui berenang dengan kepala menunduk, mundur, atau perut ke atas untuk mencari mangsanya, mungkin menggunakan kelenjar rostralnya.
Para ilmuwan menduga bahwa salah satu alasan mengapa ikan ini begitu berhasil bertahan hidup adalah karena spesimennya mampu memperlambat metabolisme mereka sesuka hati, tenggelam ke kedalaman yang jarang dihuni, dan meminimalkan kebutuhan nutrisi mereka dalam mode hibernasi.
Coelacanth yang hidup di dekat Teluk Sodwana, Afrika Selatan, beristirahat di gua-gua pada kedalaman 90 hingga 150 m pada siang hari, serta menyebar dan berenang ke kedalaman 55 m saat berburu di malam hari. Kedalaman tidak sepenting kebutuhannya akan cahaya yang sangat redup, dan yang lebih penting air yang bersuhu 14–22 °C. Mereka akan naik atau turun untuk menemukan kondisi tersebut. Jumlah oksigen yang dapat diserap darahnya dari air melalui insang bergantung pada suhu air.
Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa coelacanth harus tinggal di air dingin yang kaya oksigen, jika tidak darahnya tidak akan dapat menyerap cukup oksigen. Ikan ini tampaknya beradaptasi dengan sangat baik terhadap lingkungannya, yang dipandang sebagai salah satu alasan mengapa ia memiliki genom yang berevolusi paling lambat dari semua vertebrata yang diketahui.
= Reproduksi
=Coelacanth betina melahirkan anak hidup, dalam kelompok yang terdiri dari lima hingga 25 anakan sekaligus; anak-anaknya mampu bertahan hidup sendiri segera setelah lahir. Perilaku reproduksi mereka tidak banyak diketahui, namun diyakini bahwa mereka belum matang secara seksual sampai setelah usia 20 tahun. Diperkirakan masa kehamilan adalah 13 hingga 15 bulan, meskipun penelitian yang dilakukan pada tahun 2021 kini menunjukkan masa kehamilan hingga lima tahun.
Penemuan
= Pencarian Pertama di Afrika Selatan
=Pada tanggal 23 Desember 1938, Hendrik Goosen, seorang kapten kapal pukat Nerine, kembali ke pelabuhan di London Timur, Afrika Selatan, setelah melakukan pukat di antara Sungai Chalumna dan Ncera. Seperti yang sering dia lakukan, dia menelepon temannya yakni Marjorie Courtenay-Latimer, seorang kurator di museum kecil London Timur, untuk menanyakan apakah dia ingin melihat-lihat isi hasil tangkapan untuk mencari sesuatu yang menarik, dan memberitahunya tentang ikan aneh yang dia sisihkan untuknya.
Korespondensi dalam arsip Institut Keanekaragaman Hayati Perairan Afrika Selatan (SAIAB, sebelumnya Institut Iktiologi JLB Smith) menunjukkan bahwa Goosen berusaha keras untuk menghindari kerusakan pada ikan ini dan memerintahkan krunya untuk menyimpannya di Museum London Timur. Goosen kemudian menceritakan bagaimana ikan itu berwarna biru tajam saat pertama kali dilihat, namun saat kapal Nerine memasuki pelabuhan London Timur beberapa jam kemudian, ikan tersebut telah berubah menjadi abu-abu gelap.
Karena gagal menemukan deskripsi ikan itu di salah satu bukunya, dia berusaha menghubungi temannya yakni Profesor James Leonard Brierley Smith, tetapi temannya sedang pergi saat Natal. Karena tidak dapat mengawetkan ikannya, dia dengan enggan mengirimkannya ke ahli taksidermi. Ketika Smith kembali, dia langsung mengenalinya sebagai sejenis coelacanth, sekelompok ikan yang sebelumnya hanya diketahui dari fosil. Smith menamai coelacanth barunya tersebut dengan nama Latimeria chalumnae dengan tujuan untuk menghormati temannya (Marjorie Courtenay-Latimer) dan perairan tempat ikannya ditemukan. Kedua penemunya langsung mendapat pengakuan, dan ikan tersebut dikenal sebagai "fosil hidup". Coelacanth tahun 1938 masih dipajang di museum London Timur, Afrika Selatan.
Namun karena spesimen telah diisi, insang dan kerangkanya tidak tersedia untuk diperiksa, dan oleh karena itu masih ada keraguan apakah itu benar-benar spesies yang sama. Smith mulai berburu spesimen kedua yang memakan waktu lebih dari satu dekade.
= Komoro
=Smith membagikan ribuan brosur berisi foto ikan, deskripsi, dan hadiahnya, tetapi Perang Dunia II menghentikan pencarian tersebut. Dia juga tidak mengetahui bahwa spesimen tahun 1938 di dekat Afrika Selatan berada sekitar 2.900 km di selatan habitat normalnya. Hadiah sebesar 100 Pound sterling merupakan jumlah yang sangat besar bagi rata-rata nelayan subsisten pada saat itu. Empat belas tahun kemudian satu spesimen ditemukan di Komoro, namun ikan tersebut sudah tidak asing lagi bagi penduduk setempat. Di pelabuhan Domoni di pulau Anjouan, Komoro, orang-orang sana bingung karena diberi imbalan berupa "gombessa" atau "mame", nama untuk ikan yang hampir tidak bisa dimakan yang terkadang tidak sengaja ditangkap oleh para nelayan mereka.
Spesimen kedua ditemukan sebelum Natal 1952 oleh nelayan Komoro Ahamadi Abdallah, dideskripsikan sebagai spesies yang berbeda, pertama sebagai Malania hunter dan kemudian sebagai Malania anjounae, setelah Daniel François Malan, seorang Perdana Menteri Afrika Selatan yang mengirimkan SAAF Douglas C-47 Skytrain atas perintah Profesor Smith untuk mengambil spesimen tersebut. Belakangan diketahui bahwa tidak adanya sirip punggung pertama yang pada awalnya dianggap signifikan, disebabkan karena cedera pada awal kehidupan spesimen tersebut. Malan adalah seorang kreasionis yang gigih, ketika dia pertama kali diperlihatkan ikan primitif itu, dia berseru sambil mengedipkan mata, "Ya ampun, itu jelek. Maksudmu kita pernah terlihat seperti itu?" Spesimen yang diambil oleh Smith dipajang di SAIAB di Grahamstown, Afrika Selatan, tempat dia bekerja.
Spesimen ketiga ditangkap pada bulan September 1953 dan spesimen keempat pada bulan Januari 1954. Masyarakat Komoro kini menyadari pentingnya spesies genting ini, dan telah membuat program untuk mengembalikan coelacanth yang tertangkap secara tidak sengaja ke perairan dalam.
Adapun Catatan Smith tentang kisah coelacanth muncul dalam buku Old Fourlegs yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1956. Bukunya Sea Fishes of the Indian Ocean yang diilustrasikan dan ditulis bersama oleh istrinya Margaret, tetap menjadi standar referensi iktiologi untuk wilayah tersebut.
Pada tahun 1988, ahli biologi kelautan Hans Fricke menjadi orang pertama yang memotret spesies ini di habitat aslinya 180 meter di lepas pantai barat Pulau Komoro Besar.
= Spesies Kedua dari Indonesia
=Pada tanggal 18 September 1997, Arnaz dan Mark Erdmann saat mereka melakukan perjalanan bulan madu di Indonesia, melihat seekor ikan aneh memasuki pasar di Pulau Manado Tua. Mark mengira itu adalah gombessa (sebutan untuk Coelacanth afrika di komoro) meskipun warnanya coklat & bukan biru. Seorang ahli memperhatikan foto-foto mereka di Internet dan menyadari pentingnya gambar tersebut. Selanjutnya, keluarga Erdmann menghubungi nelayan setempat dan meminta agar hasil tangkapan ikan di kemudian waktu dapat diberikan kepada mereka.
Spesimen Indonesia kedua sepanjang 1,2 m dan seberat 29 kg ditangkap hidup-hidup pada tanggal 30 Juli 1998. Ikan itu hidup selama enam jam sehingga para ilmuwan dapat mendokumentasikan warna, pergerakan sirip, dan perilaku umumnya secara fotografis. Spesimen tersebut diawetkan dan disumbangkan ke Museum Zoologi Bogor, bagian dari LIPI.
Tes DNA mengungkapkan spesimen ini berbeda secara genetik dari coelacanth yang ditemukan di Komoro. Secara sekilas, coelacanth Indonesia yang secara lokal disebut ikan raja laut tampak sama dengan coelacanth yang ditemukan di Komoro, hanya saja warna latar belakang kulitnya adalah abu-abu kecoklatan bukan kebiruan. Ikan ini dijelaskan dalam Comptes Rendus de l'Académie des sciences Paris edisi 1999 oleh Pouyaud dkk. Kemudian ikan diberi nama ilmiah Latimeria menadoensis. Sebuah studi molekuler baru-baru ini memperkirakan waktu divergensi antara dua spesies coelacanth adalah 40–30 juta tahun lalu.
Pada tanggal 19 Mei 2007, Justinus Lahama, seorang nelayan asal Indonesia, menangkap seekor coelacanth sepanjang 1,3 meter dan seberat 50 kg di lepas pantai dekat Manado, Sulawesi Utara dekat Taman Nasional Bunaken. Setelah 30 menit keluar dari air, ikan yang masih hidup itu ditempatkan di kolam berjaring di depan sebuah restoran di pinggir laut. Ikan itu bertahan selama 17 jam. Coelacanth biasanya hidup di kedalaman 200–1.000 meter. Ikan tersebut difilmkan oleh pihak berwenang setempat saat berenang di kolam sedalam satu meter, kemudian dibekukan setelah mati. AFP mengklaim ilmuwan Perancis, Jepang, dan Indonesia yang bekerja dengan Institut Pengembangan dan Penelitian Perancis melakukan nekropsi pada coelacanth dengan analisis genetik sebagai tindak lanjutnya. Universitas setempat kini sedang mempelajari bangkai ikan tersebut.
= Penemuan di Taman Basah iSimangaliso, Afrika Selatan
=Di Afrika Selatan, pencarian terus berlanjut selama bertahun-tahun. Seorang penyelam berusia 46 tahun yakni Rehan Bouwer, kehilangan nyawanya saat mencari coelacanth pada bulan Juni 1998. Pada tanggal 28 Oktober 2000, tepat di sebelah selatan perbatasan Mozambik di Teluk Sodwana di Kawasan Taman Basah iSimangaliso, tiga penyelam perairan dalam yakni Pieter Venter, Peter Timm, dan Etienne le Roux menyelam hingga kedalaman 104 meter dan tiba-tiba melihat seekor ikan coelacanth.
Menyebut diri mereka "SA Coelacanth Expedition 2000", rombongan kembali dengan peralatan fotografi dan beberapa anggota tambahan. Pada tanggal 27 November setelah penyelaman awal yang gagal pada hari sebelumnya, empat anggota kelompok yakni Pieter Venter, Gilbert Gunn, Christo Serfontein, dan Dennis Harding menemukan tiga ekor coelacanth. Yang terbesar memiliki panjang antara 1,5–1,8 meter; dua lainnya berukuran 1,0 hingga 1,2 meter. Ikan itu berenang dengan kepala menghadap ke bawah dan tampak sedang mencari makan dari tepian gua. Rombongan kembali dengan membawa rekaman video dan foto ikan coelacanth.
Namun selama penyelaman Serfontein kehilangan kesadaran, dan Dennis Harding yang berusia 34 tahun naik ke permukaan bersamanya dalam pendakian yang tidak terkendali. Harding mengeluh sakit leher dan meninggal karena embolisme otak saat berada di kapal. Serfontein pulih setelah dibawa ke dalam air untuk pengobatan penyakit dekompresi.
Pada bulan Maret – April 2002, Tim Penyelam Jago Submersible & Fricke turun ke kedalaman Sodwana dan mengamati 15 ekor coelacanth. Penyelidikan panah digunakan untuk mengumpulkan sampel jaringan.
= Tanzania
=Coelacanth telah ditangkap di lepas pantai Tanzania sejak tahun 2004. Dua ekor coelacanth awalnya dilaporkan ditangkap di Songo Mnara, sebuah pulau kecil di tepi Samudra Hindia pada bulan Agustus 2003. dari 19 spesimen ikan yang sangat langka ini dengan berat antara 25–80 kg dilaporkan terjaring dalam kurun waktu lima bulan berikutnya, dengan spesimen lain ditangkap pada bulan Januari 2005. Seekor coelacanth dengan berat sebanyak 110 kg dilaporkan oleh The Observer pada tahun 2006.
Pejabat Program Konservasi dan Pengembangan Zona Pesisir Tanga yang memiliki strategi jangka panjang untuk melindungi spesies ini, melihat adanya hubungan dengan waktu penangkapan dengan pukat, terutama oleh kapal-kapal Jepang di dekat habitat coelacanth, karena dalam beberapa hari setelah kapal pukat menebarkan jaringnya, coelacanth telah muncul di jaring insang perairan dalam yang dimaksudkan untuk menangkap hiu. Kemunculan coelacanth yang tiba-tiba di lepas pantai Tanzania telah menimbulkan kekhawatiran nyata akan masa depannya karena kerusakan yang terjadi pada populasi coelacanth akibat metode penangkapan ikan yang tidak pandang bulu dan kerusakan habitat.
Koordinator program yakni Hassan Kolombo mengatakan "Jika kita tidak memiliki kapal pukat, kita tidak akan mendapatkan ikan coelacanth, sesederhana itu." Rekannya yakni Solomon Makoloweka mengatakan mereka telah menekan pemerintah Tanzania untuk membatasi aktivitas kapal pukat. Dia berkata "Saya kira kita harus berterima kasih kepada kapal pukat ini, karena mereka telah mengungkap populasi ikan yang menakjubkan dan unik ini. Namun kami khawatir mereka dapat menghancurkan benda-benda berharga ini. Kami ingin pemerintah membatasi aktivitas mereka dan membantu mendanai program penelitian yang tepat sehingga kita dapat mempelajari lebih lanjut tentang coelacanth dan melindungi mereka".
Dalam laporan pada bulan Maret 2008, the Tanzania Natural Resource Forum, yakni sebuah organisasi non-pemerintah lingkungan hidup setempat, memperingatkan bahwa usulan proyek pelabuhan di Teluk Mwambani dapat mengancam populasi coelacanth di pesisir pantai.
Hubungan Evolusi
Latimeria adalah genus tipe dalam Latimeriidae, sekelompok coelacanth yang pertama kali muncul pada zaman Trias Awal. Dalam Latimeriidae, berdasarkan analisis kladistika genus ini ditemukan berkerabat paling dekat dengan genus Swenzia yang berasal dari zaman Jurasik Akhir di Eropa, meninggalkan garis keturunan hantu yang panjang lebih dari 150 juta tahun dari kerabat terdekatnya.
Referensi
Kata Kunci Pencarian:
- Latimeria (genus)
- Ikan raja laut
- Coelacanth
- Coelacanth Afrika
- Latimeriidae
- Takson Lazarus
- Museum Paleozoologi Tiongkok
- Latimeria
- West Indian Ocean coelacanth
- Indonesian coelacanth
- Coelacanth
- Arapaima
- Coelacanthidae
- Specific name (zoology)
- Coelacanthus
- Swenzia
- Binomial nomenclature