- Source: Manonga Napitupulu
Manonga Langit Napitupulu (3 Juli 1920 – 20 Februari 1998) merupakan seorang politikus dan perwira tinggi angkatan laut dari Indonesia. Ia menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dari tahun 1960 hingga 1964 dan Panglima Daerah Angkatan Laut V/Kalimantan dari tahun 1970 hingga 1972.
Manonga Napitupulu lahir di kota Balige, Sumatera Utara, sebagai anak seorang nelayan. Perjalanan pendidikannya dimulai di kampung halamannya saat ia bersekolah di berbagai sekolah. Ia kemudian pindah ke Bandung untuk studi lebih lanjut. Pada tahun 1942, ia lulus dari Sekolah Kadaster. Setelah lulus, ia mulai bekerja sebagai surveyor. Namun, kariernya mengalami kemunduran pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Saat itu, ia bergabung di Sekolah Menengah Angkatan Laut (SPT) dan meniti karier sebagai perwira angkatan laut.
Karier militer Napitupulu ditandai dengan keterlibatannya dalam Revolusi Nasional Indonesia. Ia berperan penting dalam membentuk dan memimpin angkatan laut di Sumatra. Keterlibatannya juga meliputi pembebasan Irian Barat dari kendali Belanda. Sepanjang karirnya di TNI Angkatan Laut, berbagai jabatan penting pernah dijabatnya, seperti Kepala Operasi, Wakil Kepala Staf Komando Pertahanan Antar Daerah Sumatera dan Panglima Daerah Angkatan Laut. Ia juga pernah mengabdi di DPR-GR dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Perjalanan hidupnya berakhir pada tahun 1998. Sebagai pengakuan atas pengabdiannya, ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata.
Masa kecil dan karier awal
Manonga Napitupulu lahir pada tanggal 3 Juli 1920 di Balige sebagai anak dari A. Panggalak Napitupulu, seorang nelayan di Danau Toba, dan H. br. Simanjuntak. Panggalak Napitupulu sebelumnya menikah dengan H. br. Tampubolon dan memiliki seorang anak perempuan dari perkawinannya tersebut. Namun, beberapa saat kemudian, istrinya meninggal. Napitupulu kemudian menikahi H. br. Simanjuntak. Panggalak kemudian meminta izin kepada sesepuh di desanya untuk menamai Manonga dengan nama nenek moyangnya, yakni Manonga Langit. Napitupulu memiliki seorang kakak tiri yang bernama Jentan br. Napitupulu dan seorang adik dan kakak kandung yang masing-masing bernama Waldemar Napitupulu dan Victor Napitupulu.
Napitupulu dimasukkan ke sekolah rakyat (setingkat sekolah dasar) oleh orang tuanya. Di sekolah rakyat, Napitupulu dikenal pandai dalam pelajaran berhitung. Setelah lulus dari sekolah rakyat, orang tua Napitupulu berencana untuk memasukkannya ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS, sekolah menengah pertama negeri dengan bahasa pengantar Belanda), namun orangtuanya tidak mampu karena kondisi ekonomi mereka yang tidak memadai. Napitupulu akhirnya meneruskan pendidikannya ke Gouvernement School, sebuah sekolah swasta yang dikelola oleh orang-orang Belanda di Balige, berkat rekomendasi seorang pejabat di Balige.
Setelah bersekolah selama setahun di Gouvernement School hingga tahun 1939, orangtuanya memutuskan untuk memindahkannya ke Schakelschool Sonakmalela yang memiliki lebih banyak jurusan. Seperti halnya HIS, sekolah tersebut menggunakan bahasa pengantar Belanda sehingga ia harus mengikuti kursus bahasa Belanda. Napitupulu pun akhirnya fasih berbahasa Belanda dan ia lulus dari sekolah tersebut dalam jangka waktu yang singkat. Orang-orang terdekat Napitupulu merekomendasikan agar ia melanjutkan pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), namun ia memutuskan untuk merantau ke Bandung dan bersekolah di Kadasterschool (Sekolah Agraria).
Napitupulu berangkat dari Balige ke Batavia (sekarang Jakarta) pada bulan November 1939 bersama saudaranya yang bernama Leo Napitupulu. Dari Batavia, ia kemudian berangkat ke Bandung dan menjalani pendidikannya di Kadasterschool. Ia lulus dari Kadasterschool pada tahun 1942 dengan nilai terbaik. Setelah lulus, Manonga pindah ke Batavia dan bekerja di kantor agraria. Beberapa saat kemudian, Jepang menduduki Hindia Belanda dan mengambil alih kantor agraria sehingga Napitupulu kehilangan pekerjaannya. Napitupulu kemudian berjualan emping di Pasar Senen dan memperoleh keuntungan sehingga ia bisa mengirimkan sejumlah uang kepada orang tuanya di Balige.
Karier di angkatan laut
= Masa pendudukan Jepang
=Setelah berjualan emping selama beberapa waktu, beberapa orang temannya menyarankannya untuk mendaftarkan diri sebagai siswa pada Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) di Jakarta yang didirikan oleh Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. Manonga kemudian diterima sebagai siswa SPT dan lulus beberapa saat kemudian. Ia ditempatkan sebagai mualim dengan pangkat sersan mayor laut pada kapal angkut militer Jepang dan juga sempat dipercaya sebagai mualim satu pada kapal antarpulau. Ketika tentara pendudukan Jepang mulai kehilangan cengkeramannya atas wilayah Hindia Belanda, Napitupulu bersama-sama dengan sejumlah pelaut lulusan SPT merebut persenjataan Jepang dan instalasi-instalasi pertahanan strategis yang sebelumnya dikuasai oleh Jepang.
= Masa Revolusi Nasional Indonesia
=Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya dari Jepang pada tanggal 17 Agustus 1945 dan angkatan laut Indonesia pada masa itu, Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut, dibentuk pada tanggal 10 September oleh lulusan-lulusan SPT. Sejumlah perwira lulusan SPT, termasuk Napitupulu, dikirim ke Sumatra untuk membentuk BKR Laut di pulau tersebut. Napitupulu dan perwira lainnya kemudian berlayar menuju wilayah Lampung dan berhasil membentuk BKR di kota Tanjung Karang (sekarang Kota Bandar Lampung). Napitupulu kemudian melanjutkan perjalanannya ke Sumatera Selatan dan Sumatera Timur dari Tanjung Karang. Di Sumatera Timur, Manonga sempat singgah ke rumah orangtuanya di Balige. Orangtuanya menginginkannya untuk tinggal di Balige dan menjadi pemimpin desa, namun ia menolak karena harus meninggalkan Balige untuk menjalankan tugas membentuk BKR Laut di wilayah Sumatera Timur.
Napitupulu menemukan bahwa hampir seluruh wilayah di Sumatera Timur memiliki satuan BKR yang bertempur melawan tentara Belanda. Keberadaan BKR mempermudah Napitupulu dalam menjalankan tugasnya dan dalam waktu singkat BKR Laut Sumatera Timur terbentuk. Badan Keamanan Rakyat kemudian mengalami perubahan nama menjadi Tentara Republik Indonesia dan kemudian, Tentara Republik Indonesia (TRI) Laut Sumatera Timur diresmikan pada tanggal 1 Juni 1946 oleh Panglima Komandemen Sumatera Jenderal Mayor Suhardjo Hardjowardojo. Manonga diangkat sebagai Komandan Batalyon V TRI Laut yang bermarkas di Labuhan Bilik dengan pangkat mayor. Pada bulan September 1946, nama TRI Laut Sumatera Timur diubah menjadi ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) Sumatera Timur dan nomenklatur batalyon diubah menjadi pangkalan.
Selama bertugas di angkatan laut, dia bertemu dengan seorang temannya di Schakelschool yang bernama Mutiara Tua Batubara. Keduanya saling berpacaran selama beberapa bulan hingga akhirnya Manonga meminta izin kepada orang tuanya dan orang tua Batubara untuk menikahinya. Di tengah pembicaraan tentang tanggal perkawinan, ALRI Sumatera Timur diperintahkan untuk melakukan operasi militer di wilayah Medan Area sehingga Napitupulu sebagai komandan pangkalan pun ikut terlibat. Karena hal tersebut, seluruh sanak saudara maupun warga desa tersebut ragu bahwa acara perkawinannya dapat berlangsung. Napitupulu baru kembali beberapa jam sebelum acara perkawinannya dilangsungkan pada tanggal 8 Mei 1947. Tiga hari kemudian, Napitupulu dipanggil kembali ke kesatuannya di angkatan laut sehingga ia harus meninggalkan istrinya di desa. Ia pun berangkat menemui pasukannya di Hengelo, Asahan.
Ketika tiba di Hengelo, Napitupulu menemui pasukannya sudah dalam keadaan yang tidak lagi teratur. Komandan pangkalan besar lalu melakukan reorganisasi sisa-sisa pasukan yang masih bertahan menjadi beberapa batalyon. Napitupulu kemudian ditunjuk sebagai Komandan Batalyon IV. Meskipun awalnya komandan pangkalan ALRI berencana untuk kembali berlayar ke laut, pangkalan-pangkalan yang ada sudah diduduki oleh pasukan Belanda sehingga mereka harus bergerilya di wilayah Hengelo.
Setelah bergerilya selama beberapa bulan, Napitupulu bersama dengan pasukannya keluar dari hutan pada tahun 1949. Pada bulan Oktober di tahun tersebut, Napitupulu, yang kini sudah mengemban jabatan sebagai Wakil Komandan Sektor "S" ALRI Sumatera Timur, mengirimkan kabar ke istrinya bahwa ia berada di Sihorbo, Barus. Napitupulu akhirnya bertemu dengan istrinya di desa Sorkam, sebuah desa yang terletak dekat dengan Sihorbo. Ia pun mengajak istrinya kembali ke Sihorbo dan menetap untuk sementara waktu disana. Istri Napitupulu kemudian membantunya dalam menangani tentara-tentara korban perang di sebuah rumah sakit yang baru dibuka setelah tutup selama beberapa waktu. Revolusi Nasional Indonesia berakhir dengan pengakuan kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 dan Napitupulu bersama dengan istrinya kembali ke Pangkalan Besar ALRI di Sibolga.
= Penugasan di Aceh, Surabaya, Jakarta, dan Makassar
=Setelah revolusi usai, Napitupulu ditempatkan sementara sebagai staf yang berkedudukan langsung di bawah Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL). Pada tahun 1951, Napitupulu dimutasi ke Aceh dan ditempatkan sebagai Komandan Stasiun ALRI di Sabang, menggantikan Mayor Margono. Ia lalu dipindahkan ke Komando Daerah Maritim Surabaya (KDMS) pada awal tahun 1952 dan kembali dipindahkan beberapa waktu kemudian ke KRI Gadjah Mada, sebuah kapal yang berada di bawah kedudukan KDMS, sebagai staf operasi. Pada masa tersebut, KDMS mengalami kekurangan material dan personil sehingga mengoptimalkan sumber daya yang ada agar kapal-kapal yang dimiliki mampu beroperasi dengan baik.
Setelah menjadi staf operasi selama beberapa tahun, pada bulan Januari 1955 Napitupulu dijadikan sebagai komandan KRI Tenggiri yang berpangkalan di KDMS. Dari KDMS, Napitupulu dipindahkan ke Jakarta pada tahun 1956 dan bertugas sebagai Komandan Kesatrian Angkatan Laut Djakarta (KALD) di Jalan Kwini. Napitupulu kembali ke KDMS pada tahun 1958 dan kembali bertugas sebagai komandan kapal pada KRI Rajawali.
Pada saat Napitupulu bertugas di KRI Rajawali, pemberontakan separatis Permesta sedang berlangsung di wilayah Sulawesi. Para tokoh-tokoh militer di wilayah tersebut mengambil alih pemerintahan sipil dan menuntut otonomi yang lebih luas. Pemerintah pusat Indonesia mengambil tindakan dan melancarkan serangan untuk menaklukkan Permesta melalui sebuah operasi militer yang dibagi dalam dua bagian yakni Operasi Merdeka I dan II. Setelah Permesta berhasil ditaklukkan, pada tanggal 21 Oktober 1959 Napitupulu diangkat oleh KSAL menjadi Komandan Komando Daerah Maritim Makassar (KDMM) dengan wilayah tugas meliputi perairan Kalimantan Selatan hingga ke Sulawesi.
= Anggota DPR dan penugasan selanjutnya
=Beberapa bulan sebelum Napitupulu menjabat sebagai Komandan KDMM, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang mengubah struktur ketatanegaraan Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang sebelumnya terbentuk melalui pemilihan umum legislatif Indonesia 1955 dibubarkan dan digantikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang berisi anggota-anggota yang ditunjuk secara langsung oleh presiden. Napitupulu ditunjuk oleh Soekarno untuk mewakili angkatan laut dalam Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong dan ia bersama dengan anggota-anggota lainnya dilantik pada tanggal 25 Juni 1960.
Karena DPR-GR berada di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Napitupulu juga merangkap sebagai anggota MPRS dan memiliki keanggotaan dalam komisi DPR-GR dan MPRS. Dalam kedua lembaga tersebut, Napitupulu menjadi anggota komisi D yang mengurus masalah produksi.
Selama bertugas di Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, Napitupulu juga mengembat jabatan sebagai Kepala Operasi di Markas Besar Angkatan Laut dari tahun 1961 hingga 1962. Dalam kapasitasnya tersebut, Napitupulu terlibat dalam Operasi Jayawijaya, sebuah operasi lanjutan setelah Operasi Trikora yang melibatkan pendaratan dan penerjunan pasukan besar-besaran ke wilayah Irian Barat untuk merebut wilayah tersebut dari tangan Belanda. Namun, operasi tersebut dibatalkan karena upaya diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia berhasil membuat Belanda menyerahkan Irian Barat ke Indonesia.
Napitupulu juga menjalani pendidikan lanjutan selama bertugas sebagai wakil rakyat. Ia sempat berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 1962, namun tidak tamat karena ia ditugaskan untuk mengkuti pendidikan staf dan komando di Akademi Angkatan Laut Uni Soviet. Napitupulu berangkat ke Uni Soviet pada bulan Oktober 1962 dan menjalani pendidikan selama beberapa bulan di negara tersebut. Ia mengakhiri pendidikan pada tahun 1963 dan pangkatnya kemudian dinaikkan menjadi kolonel beberapa hari sebelum ia pulang ke Indonesia.
Napitupulu mengakhiri masa jabatannya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong melalui keputusan presiden pada tanggal 5 September 1963 dan digantikan oleh Letnan Kolonel Pelaut Soedarsono pada tanggal 30 Januari 1964. Pada tahun 1965, Napitupulu diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Komando Pertahanan Antar Daerah Sumatera (Wakaskoandahan Sumatera) yang bermarkas di Medan. Pada masa tersebut, terjadi upaya kudeta melalui Gerakan 30 September yang melibatkan sejumlah perwira militer. Sebagai salah satu kepala militer di wilayah tersebut, Napitupulu memimpin penumpasan gerakan tersebut. Pada awal tahun 1967, namanya juga sempat masuk ke dalam bursa calon gubernur Sumatera Utara, namun ia tidak lolos sebagai calon gubernur.
Usai bertugas sebagai Wakaskoandahan Sumatera, Napitupulu ditempatkan sementara sebagai perwira menengah yang diperbantukan pada Markas Besar Angkatan Laut. Beberapa waktu kemudian, pada tahun 1968, pangkatnya dinaikkan menjadi bintang satu (komodor) dan ia kembali ke Sumatera untuk menjalani penugasan sebagai Kepala Staf Komando Kawasan Maritim Barat.
Dari Sumatera, Napitupulu dipindahkan ke Kalimantan pada tahun 1970 untuk menjabat sebagai Panglima Daerah Angkatan Laut V/Kalimantan. Pada saat itu, kampanye untuk pemilihan umum legislatif Indonesia sedang berlangsung dan Napitupulu diminta oleh Kepala Staf Angkatan Laut untuk berkampanye mendukung Golongan Karya. Istrinya juga diusulkan oleh organisasi istri tentara Dharma Pertiwi sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk Golkar, namun Napitupulu menolak usulan tersebut dan memintanya fokus dalam urusan organisasi dan keluarga saja. Napitupulu mengakhiri masa jabatannya sebagai Panglima Daerah Angkatan Laut pada tahun 1972 dan memasuki masa persiapan pensiun.
Pensiun dan kematian
Napitupulu pensiun dari kemiliteran pada tahun 1973. Setelah pensiun, ia mengikuti kursus di Lembaga Pembina Usahawan dari bulan November 1973 hingga April 1974. Ia sempat ditempatkan sebagai direksi pada sejumlah perusahaan yang beroperasi di bawah Yayasan Angkatan Laut seperti perusahaan Gita Bahari dan EMKL, namun ia mengundurkan diri karena praktik kolusi dan penggelembungan dana yang marak di perusahaan-perusahaan tersebut.
Usia Napitupulu yang semakin menua membuat kondisi fisiknya semakin lemah. Pada tahun 1997, Napitupulu dibawa ke Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo karena leukemia. Pihak rumah sakit menginformasikan keluarga Napitupulu bahwa biaya untuk perawatan intensifnya akan sangat besar sehingga keluarganya membuat surat permohonan permintaan bantuan dana kepada Presiden Soeharto melalui Sudomo, Ketua Dewan Pertimbangan Agung. Sebelum surat itu dapat diantarkan pada presiden, Napitupulu meninggal dunia pada pukul 14.00 WIB tanggal 19 Februari 1998. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dalam upacara militer yang dipimpin oleh Laksamana Pertama TNI Supartowo.
Setelah kematiannya, nama Napitupulu diabadikan sebagai nama sebuah jalan di Kecamatan Pandan, Kabupaten Tapanuli Tengah.
Referensi
Daftar pustaka
Sutendy, Uten (2002), Kesetiaan, Kejujuran dan Kesederhanaan untuk Bangsa: Romantisme Perjuangan Komodor Laut Laksamana Pertama TNI M. Napitupulu, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, ISBN 9794167355
Kata Kunci Pencarian:
- Manonga Napitupulu
- Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut VI
- Daftar anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong 1960–1965
- Daftar anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong 1965–1966
- Daftar anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong 1966–1971