- Source: Muhammad Ahyad al-Bughuri
Syaikh Haji Muhammad Ahyad al-Bughuri dikenal sebagai Ulama yang multi dalam menguasai berbagai disiplin keilmuan. Meskipun sudah diangkat menjadi pengajar di Masjidil Haram, Ahyad masih mengaji kepada Masyayikh Haramain, khususnya Syekh Mukhtar bin Atharid al-Bughuri. Ketika Syaikh Mukhtar wafat, Ahyad diminta untuk menggantikan posisinya dalam mengajar berbagai disiplin keilmuan di Masjidil Haram, halaqah-nya terbilang besar, ada sekitar 300 thalabah yang setia mendengarkan butiran ilmu darinya. Selain mengajar di Masjidil Haram, Ahyad juga mengajar di Masjid Nabawi dan memimpin majelis dzikir di Makkah. Syaikh Ahyad juga adalah menantu dari Syekh Mukhtar bin Atharid al-Bughuri.
Kelahiran dan silsilah
Muhammad Ahyad lahir di Bogor, Jawa Barat pada malam Rabu tanggal 21 Ramadhan 1302 H (4 Juli 1885 M ) adalah putra dari Kiai Muhammad Idris bin Abi Bakar bin Tubagus Mustofa al-Bakri al-Bughuri.
Pendidikan
= Pendidikan awal
=Mulanya Ahyad menerima didikan ilmu agama dari ayahnya dan Ulama-ulama yang ada di daerahnya. Dasar-dasar ilmu agama Islam seperti membaca Al-Qur’an, Nahwu, Sharaf, Fiqih, Hadist, dan lain-lain dikuasainya dengan baik. Metode menghafal, sorogon, dan bandongan selalu menjadi makanan keseharian Ahyad ketika masih dalam prosesi belajar di kampung halamannya.
Dalam mendidikan putra-putrinya, Kiai Idris sangat mengutamakan pengajaran agama dibanding dengan yang lainnya. Ketika sendi-sendi ajaran Islam sudah tertanam baik, maka Kiai Idris memerintahkan anaknya seperti Ahyad untuk mengkaji pelajaran umum supaya antara ilmu agama dan umum dapat selaras dan seimbang.
Untuk sekolah umum, Kiai Idris memasukkan Ahyad di Volk School hingga tamat di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), yakni sebuah sekolah yang jenjangnya setingkat dengan SMP. Di sekolah buatan Belanda ini, Ahyad dapat menguasai bahasa Belanda, Matematika, Biografi, dan ilmu umum lainnya.
= Merantau ke Haramain
=Pada tahun 1899, saat umur Ahyad 15 tahun, ia berangkat ke Haramain untuk mematangkan keilmuannya kepada Ulama yang menggelar halaqah di Masjidil Haram. Rihlah ini sudah menjadi idamannya sejak kecil, sebab ayahnya sering bercerita tentang kelebihan belajar di Haramain dibanding dengan yang lainnya. Terlebih di sana, sang ayah mempunyai sahabat yang menjadi pengajar di Masjidil Haram, yaitu Syaikh Mukhtar ibn Atharid al-Bughuri. Kegiatan belajar mengajar di Haramain sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan yang ada di Hindia Belanda (Indonesia). Kompeni selalu mengawasi setiap kegiatan agama Islam yang dianggapnya berbahaya semenjak terjadinya perlawanan para Kiai Banten pada 1888 yang dikenal dengan pemberontakan Cilegon. Pemberontakan ini terjadi sebab kompeni telah menghina sebagian ajaran Islam dan kelakuannya yang selalu menyengsarakan rakyat petani.
Setibanya di Haramain, Ahyad ikut bergabung dengan halaqah Masyayikh Haramain, baik yang ada di Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan di kediaman mereka. Kepada Ulama Haramain ini, terlebih Syaikh Mukhtar yang menjadi guru sandaran utamanya, Ahyad mendalami ilmu Fiqih Syafii, Tafsir, Hadist, Ushul, Faraidh, Falak, Nahwu, Sharaf, Balaghah, dan Arûdh. Jika sudah menghatamkan satu disiplin ilmu dari awal hingga akhir, maka Syaikh Mukhtar akan membacakan sanad atau silsilah keilmuan kitab tersebut kepada santri-santrinya termasuk Ahyad.
Nantinya, meskipun Ahyad sudah diangkat menjadi pengajar di Masjidil Haram, ia tetap merasa masih haus dengan kajian keilmuan. Ia sering mendatangi halaqah Masyayikh Haramain, terlebih Syaikh Mukhtar hingga akhir hayatnya.
= Guru-gurunya
=Dakwah, ketokohan & pengaruh
= Mengajar di Masjidil Haram
=Dengan penuh ketekunan dan kesungguhan, Ahyad mempelajari apa yang transmisikan oleh Masyayikh Haramain. Ia kelihatan lebih menonjol dibandingkan dengan yang lainnya. Karena kealiman yang tersemat dalam dirinya, Syaikh Mukhtar mengusulkan kepada Masyayikh Masjidil Haram agar mengikut sertakan Ahyad dalam mengajar di tempat yang penuh dengan keberkahan tersebut. Usulan tersebut diterima dan akhirnya Ahyad diberi amanah untuk ikut mengajar di Masjidil Haram pada 1346 H (1927), tepatnya di Bab al-Nabi Muhammad ﷺ. Adapun waktunya adalah sebelum shalat Dzuhur, sesudah shalat Shubuh, sesudah shalat Magrib, dan sesudah shalat Isya, sedangkan materi yang diajarkan adalah bermula tentang seputar Faraidh dan Fiqih asy-Syafii.
Saat mengajar di Masjidil Haram, banyak thalabah yang terkesan dengan materi yang disampaikan Ahyad, mereka merasakan betul bagaimana petuah keilmuan Ahyad merasuk dalam hati sanubari, hingga tiada bosan-bosan mereka menghadiri majelis Ahyad karena merasa masih haus dengan keilmuan Ahyad. Maka sebagian thalabah, khususnya yang dari Melayu, Indonesia-Malaysia meminta jadwal tambahan agar Ahyad berkenan membuka majelis taklim di kediamannya dan akhirnya permintaan itupun disanggupinya.
= Metode pengajaran
=Saat mengajar santri-santrinya, Ahyad sering mempraktikkan sebagian amalan ibadah yang perlu untuk dipraktikkan, seperti tayamum, maka Ahyad mengambil debu suci untuk bertayamum yang dikerjakan di hadapan santri-santrinya yang sesusai dengan apa yang ia pelajari dari guru-gurunya hingga sanadnya muttasil sampai Rasulullah ﷺ. Praktikum juga dilakukan Ahyad ketika mengajar Falak dengan pedoman kitab karya Syaikh Mukhtar yang berjudul al-Rubu’ al-Mujayyab.
Untuk mengetahui nama bintang-bintang yang ada di langit, Ahyad mengajak santri-santrinya supaya mengamati langsung dengan mata telanjang atas pemandangan langit yang dipenuhi dengan bintang-bintang yang beraneka ragam. Metode mengajar Ahyad ini, yakni teori dan praktikum telah diwarisi oleh santri-santrinya, salah satunya adalah Syaikh Yasin ibn Isa al-Fadani yang sering mengajak santrinya untuk mengamati bintang-bintang di padang pasir ketika matahari tenggelam hingga waktu fajar menyongsong. Dikenalkanlah nama-nama bintang dan planet satu persatu dan tanda-tanda yang melekat padanya.
= Menggantikan Syaikh Mukhtar
=Ketika Syaikh Mukhtar wafat, maka Ahyad diamanahi untuk menggantikan posisinya sebagai pengajar di Masjidil Haram yang mempunyai tanggung jawab banyak dalam mengajar berbagai disiplin ilmu, sebab ia adalah Masyayikh Haramain yang halaqahnya paling ramai dihadiri di Masjidil Haram, yaitu ada sekitar 400 thalabah dari penjuru dunia, khususnya kalangan Jawa (Asia Tenggara/ Melayu). Ketika tugas Syaikh Mukhtar dilimpahkan kepada Ahyad, maka kebanyakan santri-santrinya pindah belajar kepadanya, halaqah Ahyad meskipun tidak seramai dengan halaqah Syekh Mukhtar, namun terbilang besar sebab dihadiri sekitar 300 thalabah. Diantara kitab-kitab yang diajarkannya di Masjidil Haram adalah Fathul Wahab, Al Iqna Fi Hilli Al Fazhi Abi Syuja', Al Muhalla 'Ala Al Qolyubi, Riyadh Ash Sholihin, Minhaj Al 'Abiclin sebuah kitab tasawuf, Umdah Al Abror sebuah kitab mantiq, Fath Al Qodir Fi Nusuk Al Ajir.
Hampir semua tugas yang diemban Syaikh Mukhtar dilimpahkan kepada Ahyad, sebab selain dirinya adalah santri kesayangannya, ia juga adalah menantu Syekh Mukhtar. Ketika membina rumah tangga dengan putri Syaikh Mukhtar, Ahyad dikarunia keturunan 7, di antaranya adalah Muhammad Thayyib, Idris, Sa’dullah, dan Abdullah. Amanah yang diemban Ahyad selama berkiprah di Haramain tidak hanya mengajar, akan tetapi ia juga aktif memimpin majelis dzikir dan menyampaikan mawaid yang dahulunya dipimpin oleh gurunya, Syaikh Mukhtar Atharid. Majelis dzikir peninggalan Syekh Mukhtar ini jamaahnya mayoritas mengikuti tarekat Qadiriyah wa al-Naqsabandiyah. Ahyad menerima baiatan tarekat tersebut dari Syaikh Mukhtar dan ia juga diangkat menjadi khalifahnya (penggantinya).
= Mengajar di Masjid Nabawi
=Gema kealiman Ahyad yang menjadi bahan pembicaraan ahlu al-ilmi di kalangan Ulama dan thalabah Makkah terdengar hingga ke Madinah al-Munawarah, tempat yang pernah disinggahinya dalam menuntut ilmu kepada ulama terkemuka di sana, yaitu Syaikh Abbas bin Muhammad bin Ahmad Ridwan al-Madani dan Syaikh Ahmad Muhammad bin Ahmad Ridwan al-Madani. Oleh sang guru yang merupakan ulama terhormat di Madinah, Ahyad diminta untuk ikut serta mengajar di Masjid an-Nabawi. Dengan penuh ketaatan, Ahyad menjalankan titah yang diperintahkan gurunya.
= Murid-Muridnya
== Karya Tulis
=Aktivitas & Wafat
Dalam kesehariannya, Ahyad sering menggunakan waktunya untuk kemanfaatan, seperti mengajar, belajar, beribadah, dan mengarang sebuah kitab. Aktivitas mulianya ini dijalani hingga ia kembali ke Rahmatullah pada malam Sabtu tanggal 9 bulan Shafar 1372 (29 Oktober 1952 M ) dengan usia kurang lebih 67 tahun, dan dimakamkan di Ma’la.
Catatan akhir
Daftar Pustaka
Pranala luar
(Indonesia) Zakariya Bela Al Andunisi
(Indonesia) Syeikh Zakariya Bila
Lihat Pula
Syaikh Raden Haji Muhammad Mukhtar bin ‘Athârid al-Bûghûrî al-Makki
Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib bin Hassan al-Mandaili
Al-Habib Salim bin Djindan
Al-Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi
Al-Habib Ali bin Husein Al-Attas
Wiki Aswaja NU Diarsipkan 2018-04-24 di Wayback Machine.