- Source: Muslim nondenominasi
Muslim nondenominasi (bahasa Arab: مسلمون بلا طائفة, translit. Muslimūn bi-la ṭā’ifa) adalah Muslim yang menganut ajaran Islam yang tidak terbatas pada denominasi (aliran) tertentu. Di berbagai survei yang meminta respondennya mengisi kolom denominasi agama mereka, beberapa Muslim menyebut dirinya "sekadar Muslim" atau "Muslim biasa". Dalam bahasa Arab, mereka disebut ghayr muqallids. Muslim seperti ini mempertahankan pendiriannya dengan merujuk pada Surah Al-An'am ayat 159, atau Surah Ali Imran ayat 103, yang sama-sama melarang pembentukan cabang, aliran, atau denominasi. Sedikitnya satu dari lima Muslim di 22 negara mengaku sebagai Muslim nondenominasi. Pew Research Center's Religion & Public Life Project melaporkan bahwa sebagian besar Muslim di enam negara adalah Muslim nondenominasi, yaitu Kazakhstan (74%), Albania (65%), Kirgizstan (64%), Indonesia (56%), Uzbekistan (54%), dan Mali (55%).
Etimologi
= Non-madzhabi
=Deskripsi non-madzhabi dapat digunakan misalnya dalam kaitannya dengan kajian Islam di lembaga pendidikan yang tidak terbatas ruang lingkupnya pada satu madzhab tertentu. Untuk Muslim non-denominasi, Pew menggunakan deskripsi "memilih untuk tidak berafiliasi" sementara pejabat Rusia menggunakan istilah "Muslim yang tidak terafiliasi" untuk mereka yang tidak termasuk cabang atau denominasi mana pun.
= Ghairu Muqallid
=Istilah ghair-muqallid, yang berarti "pengikut yang tidak buta", dapat digunakan untuk menggambarkan penganut gerakan Islam seperti Salafisme dan Ahl-e-Hadis yang tidak harus mengikuti aturan dari madzhab tradisional tertentu tetapi mengidentifikasi sebagai Muslim Sunni.
Ikhtisar
= Sejarah sektarianisme
=Setelah kematian Nabi Muhammad, muncul dua pandangan yang saling bertentangan tentang siapa yang harus menggantikannya sebagai pemimpin komunitas Muslim. Beberapa Muslim, yang percaya bahwa Muhammad tidak pernah secara jelas menyebutkan penggantinya, menggunakan tradisi Arab untuk memilih pemimpin mereka melalui sebuah dewan anggota komunitas yang berpengaruh. Sedangkan lain percaya bahwa Muhammad telah memilih sepupu dan menantunya Ali bin Abi Thalib untuk menggantikannya. Ketidaksepakatan ini akhirnya menghasilkan perang saudara yang mengadu domba pendukung Ali melawan pendukung pendiri dinasti Umayyah, yaitu Muawiyah, dan kedua kubu ini kemudian berkembang menjadi denominasi Sunni dan Syiah. Bagi kaum Syiah, Ali dan Imam yang menggantikannya secara bertahap menjadi perwujudan bimbingan Tuhan yang berkelanjutan, dan mereka cenderung menekankan fungsi keagamaan dari kekhalifahan dan menyesalkan kompromi politik yang telah dilakukan oleh Imam-imam mereka sebelumnya. Sunni memiliki kecenderungan untuk membatasi peran religius Khalifah dan lebih mudah menerima dimensi politik dan profan. Karena perbedaan ini semakin melekat pada kepentingan religius, mereka memunculkan dua bentuk Islam yang berbeda.
Orang-orang Sunni berasumsi bahwa Sunni mewakili Islam sebagaimana adanya sebelum perpecahan, dan harus dianggap sebagai Islam yang normatif atau standar. Persepsi ini sebagian disebabkan oleh ketergantungan pada sumber-sumber yang sangat ideologis yang telah diterima sebagai karya sejarah yang dapat diandalkan, dan juga karena sebagian besar dari populasinya adalah Sunni. Baik Sunni maupun Syiah sama-sama merupakan produk akhir dari persaingan selama beberapa abad antara ideologi. Kedua sekte menggunakan sejarah kelompok mereka satu sama lain untuk memperkuat identitas dan aliran.
Pada periode Modern awal konflik antara Syiah dan Sunni memburuk ketika dinasti Safawi dan Utsmaniyah mengubah konflik militer di antara mereka menjadi perang agama setelah Safawi menjadikan Islam Syiah sebagai agama negara di kerajaan mereka. Selama era tersebut, beberapa ulama Sunni dan Syiah untuk pertama kalinya mulai menolak untuk mengakui satu sama lain sebagai Muslim. Sektarianisme terus dieksploitasi untuk kepentingan politik hingga zaman modern. Contohnya adalah rezim Zia di Pakistan yang menggunakan perpecahan sektarian antara Sunni dan Syiah untuk melawan pengaruh geopolitik Iran yang berkembang, serta untuk mengalihkan perhatian dari masalah politik dalam negeri. . Pemerintah pasca-Zia di Pakistan terus "secara sinis memanipulasi konflik sektarian untuk keuntungan politik jangka pendek."
= Pengembangan dan pemikiran
=Islam awalnya membawa ide egalitarianisme radikal ke dalam masyarakat yang memiliki watak kesukuan yang sangat keras, di mana status seseorang didasarkan pada keanggotaan sukunya. Al-Quran menganggap semua individu sebagai sederajat dan menghapus pentingnya status kesukuan. Identitas utama seorang "Muslim" adalah hanya menjadi "Muslim", bukan sebagai anggota suku, etnis atau jenis kelamin. Konsep Al-Quran tentang umat bergantung pada konsep kesatuan komunitas Islam ini, dan konsep ini diajukan kembali pada abad ke-19, sebagai tanggapan terhadap kolonialisme oleh kekuatan Eropa. Seorang cendekiawan Muslim yang memimpin penekanan pada persatuan Muslim adalah Muhammad Iqbal, yang pandangannya disebut sebagai "ummatis". Iqbal dengan tegas menyebut sektarianisme sebagai "berhala" yang perlu "dihancurkan selamanya". Kutipan Iqbal yang terkenal, "Saya mengutuk sektarianisme agama dan sosial terkutuk ini, tidak ada Wahabi, Syiah atau Sunni. Keberadaan lawan bukan untuk interpretasi kebenaran ketika kebenaran itu sendiri dalam bahaya." Di kemudian hari, tulisan Iqbal mulai melampaui domain sempit kenegaraan dan mulai berbicara kepada umat Islam yang tersebar di seluruh dunia, mendorong mereka untuk bersatu sebagai satu komunitas.
Pengaruh Iqbal pada Muhammad Jinnah, bapak pendiri Pakistan, juga didokumentasikan dengan baik. Jinnah yang lahir dari keluarga Syiah Ismailiyah yang kemudian pindah ke Syiah Imamiah, secara terbuka saat ia masih muda menggambarkan dirinya sebagai bukan Syiah atau Sunni, jawaban standarnya untuk pertanyaan yang memintanya untuk mendefinisikan sektenya sebagai: "Apakah Muhammad sang Nabi itu Syiah atau Sunni?".
Intelektual lain yang berbicara menentang sektarianisme selama era kolonial adalah Altaf Hussain Hali yang menyalahkan sektarianisme atas kemunduran umat Islam. Aga Khan III menyebut sektarianisme sebagai penghalang kemajuan. Sedangkan Muhammad Akram Khan, mengatakan bahwa sektarianisme membabat kapasitas intelektual para cendekiawan Muslim.
Umat Islam non-denominasi juga mempertahankan sikap mereka dengan menunjuk pada Al-Qur'an seperti Surah Ali Imran ayat 103 dan Surah Al-An'am ayat 159, yang meminta umat Islam untuk tetap bersatu dan tidak terpecah belah.
Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk. (Ali Imran 03:103)
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. (Al-An'am 06:159)
Di Pakistan, sektarianisme disebut sebagai penghalang penyatuan Hukum Islam: "Kodifikasi Hukum Islam yang berkaitan dengan keluarga dan properti berdasarkan konsep Talfiq juga harus dipertimbangkan. Talfiq akan membutuhkan opini publik yang kuat untuk mendukung penyatuan Hukum Islam ini atas dasar non-sektarian, karena tidak ada perubahan yang dianggap permanen kecuali jika perubahan itu sepenuhnya berasal dari dukungan publik."
= Akademisi
=Pada masa kini, terdapat sekolah agama dan program sarjana dengan kurikulum yang digambarkan berorientasi pada non-denominasi Islam. Muslim non-denominasi telah diadopsi oleh beberapa pemerintah teokratis ke dalam kelompok pan-Islamisme mereka sebagai sarana untuk mengatasi keberpihakan yang tidak beralasan dan takfirisme. Beberapa perusahaan penerbit pers akademik telah memberikan sebutan yang tepat untuk Muslim yang tidak memiliki afiliasi sektarian tertentu dengan mengkapitalisasi identitas mereka sebagai "Hanya seorang Muslim". Kebiasaan dan ritual yang dilakukan oleh Muslim non-denominasi di Nigeria Utara secara statistik lebih cenderung Sunni. Di tempat lain, beberapa pejabat telah menerapkan instruksi agama wajib yang konon menanamkan siswa kepada pandangan non-denominasi dalam upaya untuk menerima pluralitas, tetapi dalam praktiknya, hal yang seperti itu tidak pernah dilakukan.
= Dispersi
=Muslim kelahiran Barat lebih cenderung tidak berafiliasi pada mazhab tertentu daripada Muslim imigran, dan ketika mereka ditekan menyebut afiliasi mazhab mereka, mereka berpendapat bahwa diri mereka sebatas mencoba semaksimal untuk mengikuti teks agama Islam "sedekat mungkin dengan aslinya". Meskipun Pew telah memberikan angka komprehensif tentang Muslim dengan cabang yang tidak ditentukan atau tidak berafiliasi, penelitian sebelumnya dari tahun 2006 juga berasal dari CAIR. Beberapa penerbit dan penulis telah mengkategorikan Muslim yang tidak berafiliasi tersebut sebagai kaum liberal atau menganut progresivisme Islam. Muslim non-denominasi di Sahel telah menunjukkan keengganan terhadap tindakan keagamaan yang keras. Muslim nondenominasi di suatu tempat di India secara tegas menyatakan bahwa Islam non-denominasi lebih tradisional daripada apa yang mereka dianggap sebagai gerakan Deobandi yang lebih puritan dan reformis.
Meskipun beberapa Muslim non-denominasi sangat dipengaruhi oleh orang tua mereka, beberapa yang lain menjadi Muslim non-denominasi terlepas dari pengaruh orang tua mereka. Beberapa Muslim non-denominasi yang awam menunjukkan penolakan terhadap gagasan bahwa Islam dibagi menjadi subdivisi biner Sunni dan Syiah, sehingga menghapus ruang untuk Muslim non-denominasi yang tidak terafiliasi.
Islam non-denominasi digambarkan sebagai pendekatan generik yang luas terhadap iman. Beberapa penganut bentuk Islam non-denominasi menganggap dirinya kurang suka menghakimi yang lain. Beberapa Muslim non-denominasi menganggap sikap mereka yang tidak terafiliasi sebagai perlindungan terhadap risiko menjadi subjek pengkultusan terhadap aliran atau tokoh agama tertentu. Menurut Muslim Dewan Amerika, faset yang terjadi di antara Muslim non-denominasi berasal dari sudut pandang praktis termasuk kurangnya pertemuan atau juru bicara organisasi, dan dalam hal ajaran, pendekatan universal atau inklusif untuk semua aliran pemikiran sangat mendominasi. Menurut MCA, Muslim non-denominasi sering kali juga menyepelekan pendapat ulama, memandang fatwa mereka sebagai tidak mengikat, menolak hukum penistaan agama atau kemurtadan dalam Islam, dan mencita-citakan hukum yang sesuai dengan martabat manusia, kebebasan berekspresi dan kecerdasan manusia menurut keadaan dan situasi yang berubah, seperti bedanya konteks antara Arab masa kini dan abad ketujuh. Mereka juga menggambarkan Muslim non-denominasi memiliki posisi teologis yang mendukung penentuan nasib sendiri, kecerdasan manusia, martabat manusia, tingkat egalitarianisme yang proporsional antara berbagai agama dan jenis kelamin, dan beradaptasi dengan keadaan yang berubah. Meskipun sumber menunjukkan bahwa mereka yang mengidentifikasi diri sebagai Hanya seorang Muslim dapat mencapai total dari seperempat Muslim dunia, beberapa institusi keagamaan yang lebih mapan mungkin menyatakan permusuhan terhadap mereka yang memiliki iman yang fleksibel karena khawatir akan menghapuskan posisi ulama Islam.
= Pengaturan
=Pada tahun 2017, terdapat 144 masjid non-denominasi dan tempat ibadah lainnya di Inggris Raya, terbuka untuk semua denominasi. Masjid nondenominasi tersebut mewakili 7,4% dari total masjid dan musala di Inggris. 99% dari mereka menyediakan fasilitas untuk wanita seperti tempat salat, toilet, atau tempat wudhu. Pada 2013, ada 156 masjid non-denominasi Muslim dan tempat ibadah di Inggris Raya, meskipun menurut Mehmood Naqsybandi, jemaah tidak harus memiliki sudut pandang yang sama dengan para pengurus yang pastinya non-denominasi. Masjid non-denominasi pada tahun 2013 tersebut mewakili 3,5 persen dari total kapasitas masjid dan 9,4% dari total jumlah masjid dan musala di Inggris Raya. Mereka yang termasuk ke dalam "Muslim non-denominasi" telah melihat istilah tersebut diadopsi oleh berbagai pemahaman tertentu yang saling bertentangan satu sama lain, seperti Revivalis Muslim, Salafi, anggota aktif Ikhwanul Muslimin, dan Muslim LGBT. Bahkan beberapa lembaga perguruan tinggi seperti Ansar-ud-Din yang terletak di Negara Bagian Ota Ogun Nigeria, menggambarkan diri mereka sebagai "lembaga Muslim non-denominasi". Padahal, semua rak yang berhubungan dengan Islam yang ada di Ansar-ud-Din dipenuhi dengan buku-buku yang hanya berafiliasi dengan Ahmadiyah atau dari orientalis barat, dan Ahmadiyah dianggap sesat oleh institusi di beberapa negara mayoritas Muslim seperti Pakistan dan Indonesia.
Demografi
Menurut Pew Research Center's Religion & Public Life Project, setidaknya satu dari lima Muslim di 22 negara mengidentifikasi diri sebagai "Muslim yang adil". Negara dengan proporsi Muslim tertinggi yang mengidentifikasi diri mereka sebagai bukan pengikut aliran tertentu adalah Kazakhstan sebesar 74%. Juga dilaporkan bahwa responden tersebut merupakan mayoritas Muslim di delapan negara (dan pluralitas di tiga negara lainnya): Albania (65%), Kirgizstan (64%), Kosovo (58%), Indonesia (56%), Mali (55%), Bosnia dan Herzegovina (54%), Uzbekistan (54%), Azerbaijan (45%), Rusia (45%), dan Nigeria (42%). Negara lain dengan persentase yang signifikan adalah: Kamerun (40%), Tunisia (40%), Guinea Bissau (36%), Uganda (33%), Maroko (30%), Senegal (27%), Chad (23%), Ethiopia (23%), Liberia (22%), Niger (20%), Tanzania (20%), dan Pakistan (15%).
Komentar
Muslim non-denominasi telah digambarkan sebagai fenomena yang memperoleh momentum di abad ke-20. Meskipun secara tumpang tindih mereka mengadopsi Sunni ortodoks, pada intinya orang-orang tersebut tidak menganut mazhab tertentu. Dalam komentar yang membahas tentang Surah Al-Mu’minun ayat 53, Abdullah Yusuf Ali menyatakan:
Orang-orang yang mulai memperdagangkan nama para nabi kemudian memutuskan persatuan agama dan menciptakan sekte; dan setiap sekte sangat bangga dengan doktrin sempitnya sendiri alih-alih mengambil ajaran tauhid yang universal dari Allah. Kekacauan karena sektarian ini adalah buatan manusia. Kekacauan tersebut akan bertahan untuk sementara waktu, tetapi sinar kebenaran dan persatuan akhirnya akan menghilangkannya. Kekayaan, kekuasaan, dan pengaruh duniawi mungkin hanyalah cobaan. Janganlah pemiliknya berpikir bahwa mereka adalah hal-hal yang pasti akan memberi mereka kebahagiaan.
Organisasi
Tolu-e-Islam; terinspirasi oleh prinsip-prinsip filosofi Muhammad Iqbal, dipimpin oleh Ghulam Ahmed Pervez, Tolu-e-Islam adalah sebuah organisasi yang berbasis di Pakistan. Organisasi tersebut tidak berafiliasi dengan partai politik atau sekte agama mana pun. Tujuannya adalah untuk menyebarkan prinsip-prinsip Al-Qur'an, dengan tujuan untuk membawa kebangkitan Islam.
The People's Mosque; sebuah gerakan Muslim nondenominasi daring yang berusaha membedakan dirinya dengan mengontraskan prinsip mereka dengan Muslim politik ultra-konservatif.
Cambridge Central Mosque; masjid non-denominasi.
"Perguruan Tinggi" Ansar-ud-Din, sebuah perguruan tinggi di negara bagian Ogun, Nigeria.
Orang-orang terkenal
Muhammad Ali Mirza
Muhammad Iqbal
Israr Ahmed
Jamaluddin Al-Afghani
Tariq Jamil
Lihat pula
Islam dan demokrasi
* * Islam dan sekularisme
Muktazilah (mazhab Islam yang rasionalis)
Persekusi terhadap orang Syiah oleh orang Sunni
Spiritual tetapi tidak religius
Gerakan Reformasi dalam Islam:
Feminisme Islam
Modernisme Islam
Liberalisme dan progresivisme dalam Islam
Quranisme
Agama lain:
Kristen nondenominasi
Yudaisme nondenominasi
Buddhisme sekuler
Referensi
Kata Kunci Pencarian:
- Muslim nondenominasi
- Denominasi
- Sunni
- Jibuti
- Hari raya Muslim
- Islam di Pakistan
- Nebraska
- Maturidiyah
- Ilmu pengetahuan Islam abad pertengahan
- Pengubahan tempat ibadah non-Islam menjadi masjid