- Source: Nasi kucing
Nasi Kucing (bahasa Jawa: ꦱꦼꦒꦏꦸꦕꦶꦁ, translit. Sěgå Kucing) adalah makanan yang berasal dari Yogyakarta, Semarang, dan Surakarta. Porsi nasi kucing umumnya sedikit, biasanya ditambah sambal, ikan bandeng/teri, dan tempe, lalu dibungkus daun pisang.
Menu
Cakalang
Cumi Asin
Peda
Ayam Suwir
Ayam Empal
Etimologi
Kata "nasi kucing" berarti "nasi untuk kucing" karena porsinya yang kecil. Kata tersebut berasal dari kebiasaan masyarakat Jawa yang memelihara kucing dan memberikan makanan untuk peliharaannya dengan porsi kecil. Nasi kucing biasanya berisi sambal, gereh pindang, dan nasi dengan porsi yang sedikit. Gereh pindang adalah salah satu makanan kucing sehingga hal ini yang membuat nasi yang berporsi sedikit ini disebut nasi kucing.
Asal
Nasi kucing berasal dari Yogyakarta, Semarang, dan Surakarta. Nasi ini sangat digemari oleh berbagai kalangan terutama kalangan muda seperti mahasiswa, terutama pada era reformasi saat bahan pokok mengalami kenaikan harga.
Penyajian
Nasi kucing memiliki porsi kecil yang ditambah dengan berbagai macam lauk. Jenis lauk yang disediakan biasanya ikan bandeng, teri, dan tempe. Bahan lain yang dapat ditambahkan yaitu telur, ayam, dan mentimun. Disajikan dengan daun pisang dan bisa langsung disantap. Namun, seiring perkembangan zaman, ada juga tempat makan yang menghidangkan menu nasi kucing dengan menggunakan piring.
Menu pendamping nasi kucing selain telur dan ayam adalah sate, gorengan, tahu bacem, bihun goreng , dan sebagainya.
Variasi dari nasi kucing adalah sego macan, ukurannya tiga kali lebih besar dibandingkan nasi kucing. Biasanya disajikan dengan nasi yang dibakar, ikan, dan sayuran. Seperti nasi kucing, sego macan juga dibungkus daun pisang.
Penjualan
Nasi kucing biasanya dijual dengan harga murah (terkadang Rp 2000 untuk nasi kucing dan 5000 untuk sego macan) di tempat yang kecil, maupun jajanan pinggir jalan yang disebut angkringan.
Dalam buku yang berjudul Angkringan: Unik dan Tak Lekang oleh Waktu yang ditulis oleh Ratih Kartika disebutkan bahwa pada tahun 1930, seorang warga Klaten bernama Karso Djukut memulai mengenalkan angkringan di Kota Solo. Karso berjualan angkringan dengan dipikul dan berjalan mengelilingi kampung. Masyarakat lain mengikuti jejak karir Karso dengan berjualan di pusat keramaian Kota Solo seperti di sekitaran bioskop di Sriwedari dan kegiatan malam Selikuran. Pairo yang juga warga Klaten memulai menjual angkringan di Yogyakarta dengan care berkeliling. Hingga pada akhirnya Pairo memilih berjualan secara menetap di sekitar kawasan Stasiun Tugu.
Di Yogyakarta tempat berjualan nasi kucing biasa disebut "angkringan", di Kota Semarang disebut "kucingan", sedangkan di Solo biasa disebut "warung hik".
Ada juga yang menjual dengan harga Rp 8.000,00 per bungkus, contohnya di Jakarta.
"Nasi Kucing Pademangan" menjual dengan harga Rp 8.000 per bungkus untuk nasi kucingnya
Lihat pula
Nasi bogana
Nasi campur
Nasi goreng
Nasi kuning
Nasi liwet
Nasi pecel
Nasi uduk
Nasi ulam
Referensi
Daftar pustaka
Erwin, Lily T.; Erwin, Abang (2008). Peta 100 Tempat Makan Makanan Khas Daerah di Jakarta, Bekasi, Depok, Tangerang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mundayat, Aris Arif (2005). Ritual and Politics in New Order Indonesia: A Study of Discourse and Counter-Discourse in Indonesia (Tesis Doctorate). Swinburne University of Technology. http://researchbank.swinburne.edu.au/vital/access/services/Download/swin:7520/SOURCE2. Diakses pada 8 Juni 2011. Diarsipkan 2011-10-04 di Wayback Machine.
Suprihatin, Sri Emy Yuli (April 2002). "Hubungan Patron Klien Pedagang "Nasi Kucing" di Kota Yogyakarta" (PDF). Humaniora. 7 (1): 147–164. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-03-17. Diakses tanggal 8 Juli 2011.
Kata Kunci Pencarian:
- Nasi kucing
- Nasi kebuli
- Nasi liwet
- Nasi goreng
- Nasi
- Nasi campur
- Nasi pecel
- Nasi ulam
- Sega jamblang
- Nasi uduk
- Nasi kucing
- Nasi campur
- Nasi kebuli
- Nasi
- Nasi goreng
- Nasi ulam
- Nasi uduk
- Nasi kuning
- Biryani
- Nasi lemak