- Source: Pembunuhan Engeline
Pembunuhan Engeline Megawe merupakan peristiwa kekerasan terhadap anak perempuan berusia tujuh tahun yang terjadi di Denpasar, Bali pada tanggal 16 Mei 2015. Peristiwa ini menjadi populer dalam berbagai media di Indonesia diawali dengan pengumuman kehilangan anak tersebut (semula disebut Angeline) dari keluarga angkatnya melalui sebuah laman di Facebook berjudul "Find Angeline-Bali's Missing Child".
Besarnya perhatian dari berbagai pihak membuat terungkapnya kenyataan bahwa Engeline selama ini tinggal di rumah yang tidak layak huni dan mendapat pengasuhan yang kurang baik dari orang tua angkatnya bahkan mendapatkan penyiksaan baik fisik maupun mental. Akibat sikap yang sangat tertutup dan tidak kooperatif dari ibu angkatnya, Margriet Christina Megawe (69 tahun), muncul dugaan bahwa Engeline hilang bukan karena diculik melainkan karena dibunuh, bahkan sebelum jenazahnya ditemukan.
Jasad Engeline kemudian ditemukan terkubur di halaman belakang rumahnya di Jalan Sedap Malam, Denpasar, Bali, pada hari Rabu tanggal 10 Juni 2015 dalam keadaan membusuk tertutup sampah di bawah pohon pisang setelah polisi mencium bau menyengat dan melihat ada gundukan tanah di sana. Selanjutnya polisi menyelidiki lebih mendalam dan menetapkan dua orang tersangka pembunuh, yaitu Agus Tay Hamba May, pembantu rumah tangga, dan Margriet Christina Megawe, ibu angkatnya.
Kasus tersebut diangkat pada sebuah film berjudul Untuk Angeline.
Latar belakang
= Orang tua kandung
=Engeline lahir pada tanggal 19 Mei 2007 di sebuah klinik di daerah Canggu sebagai puteri dari seorang ibu bernama Hamidah dan ayah bernama Achmad Rosyidi. Ia adalah puteri kedua dari tiga bersaudara. Namun para anggota keluarga ini kemudian tinggal terpencar karena orangtuanya bercerai setelah melahirkan puteri ketiga. Anak sulungnya, Inna (19 tahun), tinggal bersama keluarga ayahnya di Rogojampi, Banyuwangi. Sementara Aisyah (11 tahun), anak bungsu, tinggal bersama neneknya di Desa Tulungrejo, Banyuwangi. Sementara itu, Engeline bersama orang tua angkatnya yang terakhir tinggal di Sanur, Denpasar tepatnya di Jalan Sedap Malam.
Ibu kandung Engeline, Hamidah (35 tahun), adalah wanita kelahiran Banyuwangi namun sejak usia 15 tahun sudah merantau ke Bali untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Di sana pula ia bertemu dengan suami pertamanya, ayah kandung Engeline yang bernama Achmad Rosyidi (38 tahun), seorang pekerja buruh bangunan, untuk kemudian menikah dan menetap di Bali. Namun kini mereka sudah bercerai. Hamidah sudah menikah kembali dengan seorang pemuda Bali dan mereka sudah memiliki satu orang putera. Sekarang Hamidah sudah tidak lagi bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
= Proses adopsi
=Ketika melahirkan Engeline, Hamidah tidak sanggup melunasi biaya persalinannya ke klinik. Saat sedang mengalami kesulitan demikian, seseorang mempertemukan dan memperkenalkannya dengan Margriet Christina Megawe yang menawarkan bantuan untuk melunasi biaya tersebut sekaligus bermaksud untuk mengadopsi bayinya. Waktu itu, Margriet datang ditemani suaminya yang bernama Douglas Scarborough. Untuk keperluan tersebut, Margriet mengeluarkan biaya sebesar Rp 1,8 juta, dengan rincian biaya persalinan Rp 800 ribu dan biaya perawatan Hamidah Rp 1 juta. Maka tiga hari setelah lahir, Engeline langsung dibawa oleh Margriet dan tidak pernah bertemu lagi dengan kedua orangtuanya. Saat itu, anak tersebut belum diberi nama oleh Hamidah. Nama "Engeline" diberikan oleh Margriet, mengikuti nama depan ibunya (nenek angkat Engeline), Engelina Sumilat. Dalam proses adopsi ini, Douglas ternyata tidak ikut campur. Sehingga pihak yang tercantum dalam surat perjanjian pengadopsian tersebut hanya Margriet saja.
Pengadopsian tersebut sebetulnya belum disahkan melalui pengadilan. Mereka hanya membuat perjanjian di notaris yang tertulis dalam Akta Pengakuan Pengangkatan Anak Nomor 18 tertanggal 24 Mei 2007 di notaris Anne Wibowo. Proses adopsi yang tidak sesuai dengan prosedur hukum tersebut membuat Komnas Perlindungan Anak sempat hendak mengembalikan hak asuh Engeline kepada orang tua kandungnya.
Dalam akta perjanjian yang dibuat di notaris, sebenarnya telah ada klausul yang menyatakan bahwa Margriet sebagai ibu angkat harus menyayangi Engeline sebagaimana anak kandungnya sendiri. Namun kenyataan terakhir yang dialami Engeline jauh berbeda, sehingga Rosyidi menyesal telah membuat perjanjian tersebut.
Bagian lain dari perjanjian tersebut menyatakan bahwa keluarga Margriet Christina Megawe, akan menjadikan Engeline sebagai ahli warisnya di kemudian hari. Sementara keluarga Hamidah, ibu kandung Angeline, melepaskan semua hak waris yang melekat pada anak tersebut. Juga disebutkan jika Engeline meninggal maka hak waris akan menjadi milik ahli waris Margriet. Selain itu, mereka juga menyepakati agar kedua orang tua kandung Engeline tidak menemui anak kandungnya tersebut sampai ia berusia 18 tahun.
= Pengasuhan orang tua angkat
=Engeline diterima di keluarga angkatnya dan diperlakukan sebagaimana anak kandung Margriet lainnya. Ia mempunyai dua kakak angkat yaitu Yvonne Caroline Megawe (46 tahun) dan Christina Telly Megawe (37 tahun). Engeline tumbuh sebagai anak ceria yang selalu berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris dengan Margriet. Keluarga ini sempat berpindah-pindah tempat tinggal diantaranya ke Pekanbaru, Bekasi, dan Bali. Ayah angkat Engeline, Douglas, dikabarkan sangat menyayangi anak angkatnya tersebut. Namun kemudian Douglas meninggal dunia pada tanggal 17 September 2008. Margriet tampak terpukul dengan kematian suami keduanya tersebut.
Dalam pengasuhan Margriet sebagai orang tua tunggal, pada tahun-tahun terakhirnya diduga Engeline mengalami banyak kekerasan baik secara fisik maupun mental. Diketahui bahwa ibu angkatnya tersebut menjadi seorang yang temperamental. Dari foto-foto yang ada dan kesaksian dari guru di sekolahnya tampak bahwa pada tahun terakhir kehidupannya ia mengalami penurunan berat badan. Engeline juga tinggal di rumah yang tidak layak huni, karena dikelilingi oleh kandang ayam dan berbau tidak sedap walaupun mereka adalah keluarga yang secara ekonomi berkecukupan.
Setiap hari Engeline diberi tugas untuk mencuci baju, mengepel lantai, membersihkan rumah, serta memberi makan binatang-binatang peliharaan ibu angkatnya berupa ayam, anjing, dan kucing. Bila ia lupa melakukannya, maka ia pasti mendapatkan perlakuan kasar dari ibu angkatnya. Padahal jumlah ayam yang dimiliki ibu angkatnya tersebut mencapai puluhan ekor. Akibat tugas tersebut, ia sering datang ke sekolah dalam keadaan baju yang lusuh serta badan dan rambut yang bau. Bahkan pernah ia dilaporkan oleh teman-teman sekelas kepada guru kelasnya di kelas 2B, Putu Sri Wijayanti, karena baunya. Ternyata saat itu di rambut Angeline banyak gumpalan kotoran ayam sehingga ia harus dimandikan dan dikeramasi rambutnya oleh Wijayanti.
Di sekolahnya, SD 12 Sanur, Denpasar, khususnya setelah menginjak kelas 2, Engeline terlihat sebagai anak yang memiliki sifat pendiam, pemurung, lusuh, berwajah sendu, dan sering terlambat. Dia bersekolah pukul 12.00 WITA dan pulang pukul 17.00 WITA. Ia harus mempersiapkan bekal sekolahnya sendiri dan pergi ke sekolah dengan berjalan kaki sejauh 2 km bila melaui jalan raya atau 1 km bila melalui pematang sawah. Rutinitas pekerjaan yang tidak sewajarnya bagi seorang anak ini mengakibatkan Engeline tampak kelelahan, tidak sehat, dan terganggu perkembangannya. Namun Engeline bersifat tertutup dan tidak mau bercerita tentang penderitaan yang ia alami kepada gurunya. Hanya setelah didesak akhirnya ia mau mengatakan kepada gurunya bahwa ia sering pusing di sekolah karena belum makan. Mengenai hal ini, Margriet membela diri bahwa Engeline memang tidak suka makan dan cuma mau minum susu saja. Padahal ketika diberi makan di sekolah oleh gurunya, ternyata Engeline bisa sampai menghabiskan dua piring makanan yang disediakan.
Mengetahui keadaan yang dialami Engeline, Kepala Sekolahnya - I Ketut Ruta - sempat berniat untuk mengadopsi anak tersebut. Ia meminta wali kelas Engeline untuk menyampaikan niatnya kepada Margriet. Namun Margriet melarangnya dengan alasan Engeline mempunyai tanggung jawab berupa berbagai tugas dan kewajiban yang harus dilakukannya di rumah.
Walaupun banyak bukti yang menyatakan Margriet adalah seorang yang temperamental, tetapi ia tetap tidak mau mengakui kesalahannya sebagai ibu angkat yang tidak mengasuh Engeline dengan baik apalagi sampai melakukan kekerasan. Ia malah mengaku menyayangi Engeline dan anak itu pun menyayangi dia. Ia berdalih memberi berbagai tugas kepada Engeline semata hanya untuk mendidiknya agar mandiri. Ia mengaku tidak mau dipisahkan dengan Engeline, sehingga ketika mendengar bahwa Komnas Perlindungan Anak akan mengambil hak asuh anaknya, ia berang dan menyatakan akan membunuh siapapun yang akan mengambil anak itu dari sisinya. Kasih sayang Margriet kepada Engeline juga diungkapkan oleh mantan tetangganya di Pekanbaru. Saat mereka berkunjung ke Pekanbaru, ia melihat hubungan Margriet dengan anak angkatnya itu selayaknya hubungan ibu dengan anak kandungnya. Pengacara Margriet, Hotma Sitompul, juga menyatakan bahwa salah satu bukti Margriet menyayangi anak angkatnya itu adalah pemberian nama ibu kandung Margriet kepada anak tersebut.
= Hilangnya Engeline
=Kasus yang menimpa Engeline pertama kali mengemuka dengan beredarnya kabar tentang hilangnya anak tersebut. Kabar tersebut tersebar luas antara lain akibat dibuatnya sebuah laman di jejaring sosial facebook berjudul "Find Angeline-Bali's Missing Child". Laman tersebut dibuat oleh salah satu kakak angkat Engeline yang sedang kuliah di Amerika Serikat, yaitu Christine, pada tanggal 16 Mei 2015 sekitar pukul 17.00 WITA. Sementara Yvonne membuat selebaran mengenai hilangnya Engeline.
Keesokan harinya berbagai media massa turut memberitakan kehilangan tersebut.
Berdasarkan informasi dari Yvonne, dikabarkan bahwa adiknya hilang saat mereka bermain di depan rumah sekitar pukul 15.00 WITA. Setelah tidak juga ditemukan sampai pukul 18.00, maka kemudian Yvonne melaporkannya ke polisi. Tim pencari anak hilang dari kepolisian lantas mencarinya dari Denpasar sampai ke Banyuwangi, tampat lahir orang tua kandungnya. Berbagai upaya dilakukan oleh polisi, seperti mengamati CCTV di sekitar lokasi, menganalisis telepon seluler orang tua kandung dan orang tua angkatnya, serta menggunakan anjing pelacak. Namun anjing tersebut tidak menemukan jejak Engeline dan hanya berputar-putar di sekitar rumah saja. Keluarga Engeline yang berasal dari luar Bali pun berdatangan ke kediaman Engeline untuk membantu mencari anak tersebut.
Kasus kehilangan anak ini juga menarik perhatian Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sehingga ketuanya, Arist Merdeka Sirait, beserta dua anggota timnya datang ke Bali untuk melakukan dialog dengan Polresta Denpasar dan Polda Bali. Mereka juga kemudian berkunjung dan menemui Margriet di rumahnya. Saat itu, Margriet memperkenankan mereka untuk melihat kamar dan ruangan dalam rumah. Dari hasil kunjungan itu, Arist berkesimpulan bahwa selama ini Engeline tinggal di rumah yang kondisinya sangat buruk dan tidak layak huni dengan halaman dipenuhi kandang ayam berjumlah sekitar seratus ayam sehingga akan membuat anak tidak bisa berkembang dengan baik. KPAI juga menyatakan maksudnya akan mengambil alih sementara hak asuh Margriet atas Engeline, sehingga membuat Margriet menangis histeris. Dia mengaku tidak terima, bahkan mengancam akan membunuh siapa pun yang akan mengambil anaknya itu karena dia menyayangi Engeline dan Engeline pun menyayanginya.
Selain oleh KPAI, rumah Margriet juga didatangi oleh dua menteri Kabinet Kerja, yaitu Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandi, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise. Namun Margriet menolak menemui keduanya dan kedua menteri itu tidak diperbolehkan memasuki rumahnya.
Hilangnya Engeline juga dibantu penanganannya oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Denpasar, yang merupakan perpanjangan tangan Pemerintah Kota Denpasar yang menangani perempuan dan anak. Mereka sudah memiliki kekhawatiran bahwa hilangnya Angeline bukan karena diculik atau melarikan diri, tapi justru dibunuh. Hal ini dinyatakan oleh pendamping hukum P2TP2A, Siti Sapurah tanpa mencurigai siapa pun termasuk ibu angkatnya. Hal tersebut didasari minimnya indikasi yang mereka temukan bahwa Engeline hilang di sekitar rumah atau diambil seseorang. Sehingga mereka menduga bahwa Engeline dihilangkan, dikubur atau dibunuh. Apalagi saat polisi melakukan pemeriksaan Margriet tidak koperatif dan ada ruang di rumah Margriet yang tidak boleh dimasuki orang lain kecuali orang terdekatnya dia. Ditambah lagi karena mantan pembantu Margriet, yaitu Agus Tay Hamba May, pernah mengatakan bahwa satu hari sebelum dilaporkan hilang, hidung Engeline berdarah karena dipukul ibunya.
Pencarian Engeline terhenti setelah ia ditemukan dalam keadaan tewas terkubur di halaman belakang rumahnya pada hari Rabu, 10 Juni 2015. Jasadnya dalam kondisi membusuk di bawah pohon pisang, ditutup sampah, terkubur bersama bonekanya. Otopsi segera dilakukan di Instalasi Forensik di RSUP Sanglah pimpinan dr Ida Bagus Putu Alit, DMF, SpF. Dari hasil otopsi, Engeline diketahui meninggal sejak tiga minggu sebelumnya. Di tubuh jenazah ditemukan luka-luka kekerasan berupa memar pada wajah, leher, serta anggota gerak atas dan bawah. Di punggung kanan jenazah ditemukan luka sundutan rokok. Selain itu, ditemukan juga luka lilitan dari tali plastik sebanyak empat lilitan. Sebab kematiannya dipastikan karena kekerasan benda tumpul pada wajah dan kepala yang mengakibatkan pendarahan pada otak. Jasad Engeline kemudian dimakamkan di Dusun Wadung Pal, Desa Tulungrejo, Kecamatan Glenmore, Kabupaten Banyuwangi yang merupakan kampung halaman dari ibu kandungnya.
Kasus hukum
= Penyidikan
=Setelah ditemukannya jasad Engeline pada tanggal 10 Juni 2015, Kepolisian Resor Kota Denpasar segera mengadakan pemeriksaan terhadap tujuh orang, yaitu Margriet (ibu angkat), Yvonne dan Christina (kakak angkat), Agus Tay (pembantu), dua penghuni indekos (suami istri Rahmat Handono dan Susiani), dan petugas keamanan (satpam, Dewa Ketut Raka), yang disewa khusus oleh Margriet untuk menjaga rumah itu setelah ramainya pemberitaan terkait Angeline. Dari hasil pemeriksaan awal tersebut, polisi menetapkan Agus Tay Hamba May sebagai tersangka pembunuh Engeline yang mengakui telah membunuh dan memperkosa Engeline pada tanggal 16 Mei 2015 sekitar pukul 13.00 WITA, tepat pada hari hilangnya anak tersebut, dan kemudian menguburkan jasadnya di belakang rumah majikannya itu pada pukul 20.00 WITA.
Pada tanggal 14 Juni 2015, Kepolisian Daerah Bali menetapkan ibu angkat Angeline, Margriet Megawe, sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelantaran anak dan menempatkannya di tahanan Mapolda Bali.
Pada tanggal 28 Juni 2015, Margriet ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan berdasarkan tiga alat bukti, yaitu pengakuan Agus, bukti-bukti kedokteran forensik RS Sanglah, dan hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) oleh tim forensik Polresta Denpasar, Inafis (Indonesia Automatic Finger Print Identification System) Polda Bali, dengan bantuan Inafis Mabes Polri. Dari bukti-bukti tersebut Margriet diduga menjadi otak pembunuhan, dan Agus hanya membantu menguburkan jasad Engeline. Namun tim pengacara tersangka Margriet mempermasalahkan penetapan tersangka Margriet terkait kasus pembunuhan Engeline dan mendaftarkan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Denpasar pada tanggal 2 Juli 2015.
Pada tanggal 6 Juli 2015, Polresta Denpasar menggelar rekonstruksi pembunuhan Engeline di Tempat Kejadian Perkara di Jalan Sedap Malam 26 Denpasar dihadiri dua tersangka.
Tanggal 29 Juli 2015, praperadilan yang diajukan Margriet ditolak oleh Pengadilan Negeri Denpasar. Hakim tunggal Achmad Peten Sili menilai bahwa pihak pemohon, Margriet, melalui kuasa hukumnya, Hotma Sitompoel & Associates, tidak bisa membuktikan dalil-dalil permohonannya bahwa termohon (Polda Bali) dalam menetapkan tersangka (Margriet) tidak didasari adanya alat bukti yang sah adalah argumentasi yang tidak beralasan.
Pada tanggal 7 September 2015, berkas perkara tentang pembunuhan Engeline dinyatakan sudah lengkap (P21) dan diserahkan ke Kejaksaan Negeri Denpasar bersama dengan dua tersangkanya untuk segera dilimpahkan ke pengadilan. Dalam berkas tersebut, tertera sejumlah pasal yang disangkakan kepada Margriet yaitu pasal pembunuhan berencana, pembunuhan, penganiayaan mengakibatkan korban meninggal, dan penelantaran anak.
= Peradilan
=Sidang perdana kasus pembuhunan Engeline digelar pada tanggal 22 Oktober 2015, pada sidang tersebut jaksa menyebutkan jika Margriet menyuruh Agus Tay untuk menguburkan jasad Engeline dengan iming-iming uang, Margriet pula yang menyuruh Agus untuk menyalakan rokok dan menyundutkannya ke tubuh Engeline, dan hal tersebut sesuai dengan hasil visum RSUP Sanglah Denpasar. Dalam persidangan tersebut jaksa mengungkapkan bahwa tanggal 16 Mei 2015, Margriet memukuli Engeline berkali kali pada bagian wajah dengan tangan kosong hingga hidung dan telinga Engeline mengeluarkan darah. Pembunuhan Engeline kemudian direncanakan dengan maksud untuk menghilangkan jejak. Sementara dalam persidangan tersebut Margriet menolak tuduhan jaksa yang menyatakan bahwa dirinya yang telah membunuh Engeline, Margriet menyatakan bahwa dirinya menyayangi Engeline sebagaimana layaknya anaknya.
Atas kasus ini, jaksa penuntut umum menuntut Agus Tay dengan vonis 12 tahun penjara dan denda 1 miliar Rupiah (subsider 6 bulan penjara) pada Selasa, 2 Februari 2016. Agustay tidak didakwa sebagai pembunuh Engeline, tetapi melakukan pembiaran yang menyebabkan meninggalnya Engeline. Dua hari berselang, Margriet dituntut dengan penjara seumur hidup. Menanggapi tuntutan ini, kuasa hukum Margriet menyatakan bahwa tuntutan ini adalah "imajinatif". Pada 29 Februari 2016, hakim mengabulkan tuntutan jaksa dengan menjatuhkan vonis seumur hidup kepada Margriet, Pada hari yang sama, hakim menjatuhkan vonis 10 tahun penjara kepada Agus Tay. Ibu kandung Engeline, Hamidah menyatakan ketidakpuasannya dengan menyatakan bahwa seharusnya Margriet dijatuhi hukuman mati.
Baik Margriet dan Agus Tay mengajukan banding atas vonis majelis hakim PN Denpasar. Dalam memori banding, Margriet menyatakan dalam video bahwa Agus Tay merupakan pelaku pembunuhan Engeline. Namun demikian, pada Mei 2016, hakim PT Bali menguatkan vonis yang dijatuhkan oleh PN Denpasar. Kembali tidak puas atas vonis hakim, keduanya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun demikian, vonis tetap tidak berubah setelah hakim agung menguatkan putusan sebelumnya pada Februari 2017.
Lihat pula
Pembunuhan Junko Furuta
Pembunuhan Eno Farihah
Rujukan
Pranala luar
"Pandangan jalan rumah Margriet, TKP Pembunuhan Engeline".
"Situs Kenangan Ayah angkat Engeline". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-06-30. Diakses tanggal 2015-10-13.
Kata Kunci Pencarian:
- Pembunuhan Engeline
- Pembunuhan Muhamad Rizky Rudiana dan Vina Dewi Arsita
- Naomi Ivo
- Pembunuhan Eno Farihah
- Pembunuhan Junko Furuta
- Untuk Angeline
- Bakteri
- Organised crime in Indonesia