- Source: Rongorongo
Rongorongo (Rapa Nui: [ˈɾoŋoˈɾoŋo]) merupakan sebuah sistem glif yang ditemukan pada abad ke-19 di Pulau Paskah yang kemungkinan berupa sistem penulisan ataupun proto sistem penulisan. Terdapat beberapa percobaan untuk menguraikan tulisan tersebut, tetapi tidak ada yang berhasil. Tidak ada satupun dari glif tersebut yang dapat benar-benar dibaca, walaupun beberapa petunjuk yang kemungkinan merupakan bukti terhadap adanya informasi genealogikal telah ditemukan. Jika rongorongo terbukti sebagai sistem penulisan dan ciptaan independen, maka ia akan menjadi salah satu dari segelintir kecil ciptaan sistem penulisan independen yang ada pada sejarah manusia.
Sekitar dua lusin objek kayu yang digolongkan sebagai prasasti rongorongo dikumpulkan pada akhir abad ke-19 dan sekarang tersebar di berbagai musium, beberapa diantaranya mengalami pelapukan parah, terbakar, ataupun rusak. Sedangkan tidak ada prasasti rongorongo yang tersisa di Pulau Paskah. Objek-objek tersebut kebanyakan berupa tablet yang berbentuk tidak beraturan dan terbuat dari kayu ataupun kayu apung. Terdapat juga beberapa petroglif yang mengandung tulisan rongorongo pendek didalamnya. Berdasarkan sejarah dari lisan ke lisan, hanya sejumlah kecil orang berilmu ataupun petinggi yang dapat membaca tulisan tersebut, juga, tablet yang ada dianggap sebagai barang yang sakral.
Teks rongorongo otentik ditulis dengan arah penulisan alternatif, sebuah sistem yang disebut sebagai boustrofedon terbalik. Selain itu, terdapat ukiran melintang pada sepertiga dari tablet. Glif yang terdapat pada teks-teks merupakan garis luar dari manusia, hewan, tumbuhan, artefak, dan bentuk-bentuk geometris. Banyak dari glif berbentuk manusia dan hewan, seperti glif 200 dan 280 , memiliki garis lekukan pada sisi kepala, kemungkinan digunakan untuk melambangkan mata.
Secara konvensional, teks rongorongo individual dinamai sebagai huruf kapital tunggal ataupun diberikan sebuah nama, seperti Tablet C dan Tablet Mamari. Selain itu, penamaan tablet dapat berupa nama deskriptif atau indikasikan dimana objek tersebut disimpan, seperti Oar, the Snuffbox, Tablet Santiago Kecil, dan Tongkat Santiago.
Etimologi dan nama lainnya
Rongorongo dalam bahasa Rapa Nui berarti "untuk membaca, untuk menyatakan, untuk melantunkan".
Nama asli—ataupun mungkin nama deskriptif—dari aksara tersebut kemungkinan adalah kohau motu mo rongorongo, nama tersebut berarti "garis yang ditorehkan untuk menyairkan", atau diringkas menjadi kohau rongorongo atau "garis [untuk] menyairkan" menurut beberapa cerita lisan. Terdapat juga beberapa nama spesifik lain yang pernah digunakan sebelumnya untuk menamai sebuah teks yang didasarkan pada topik yang ada didalam teks. Sebagai contoh, kohau taꞌu ("garis suatu masa") merupakan penggambaran terhadap suatu sejarah, kohau îka ("garis atas banyak ikan") merupakan penggambaran orang-orang yang meninggal dan terbunuh dalam perang (îka "ikan" secara homofonus merupakan figur dan lambang yang melambangkan "kerusakan atas perang), dan kohau ranga "barisan pelarian" adalah daftar pengungsi perang.
Beberapa sumber jurnal telah memahami benar bahwa taꞌu dalam kohau taꞌu merupakan sebuah sistem penulisan yang berbeda dan terpisah dari rongorongo. Thomas Barthel menyatakan bahwa: "Penduduk pulau tersebut memiliki sistem penulisan yang lain (dan dinamakan sebagai aksara "taꞌu") yang menceritakan sejarah mereka dan hal-hal sekuler lainnya, tetapi bukti atas tulisan ini telah hilang." Akan tetapi, Fischer menuliskan bahwa "taꞌu aslinya merupakan jenis lain dari inskripsi rongorongo. Dan pada tahun 1880-an, sekelompok petinggi menciptakan sebuah "aksara" turunan [yang juga] disebut sebagai taꞌu yang kemudian digunakan untuk mendekorasi ukiran-ukiran yang dipergunakan untuk meningkatkan harga jual barang tersebut. Dan aksara ini merupakan bentuk imitasi primitif dari rongorongo." Selain itu, terdapat aksara ketiga yang diduga tercantum dalam beberapa publikasi pada pertengahan abad ke-20 merupakan sebuah "ciptaan geometrik [ataupun dekoratif yang diciptakan] pada awal abad ke-20", yang dinamakan sebagai mama atau vaꞌevaꞌe.
Bentuk dan susunan
Bentuk dari glif ini biasanya terbentuk dari makhluk hidup dengan kontur yang dibakukan dan bentuk-bentuk geometris dengan panjang sekitar satu centimeter. Bentuk dari tablet kayu kebanyakan tidak beraturan, dan ukiran galur terdapat dalam kebanyakan tablet (seperti tablet B, E, G, H, O, Q, dan mungkin T), dengan glif diukir secara dangkal, seperti yang bisa dilihat di tablet G disamping. Diasumsikan bahwa bentuk tidak beraturan ataupun hanya diampil dari potongan kayu dan tidak dibentuk sebagai balok dikarenakan karena nilai magis dari kayu di hutan pulau tersebut.
= Media penulisan
=Beberapa teks glif rongorongo yang masih tersisa saat ini biasanya dibuat dan diukir diatas kayu, dan teks yang diukir diatas batu (lihat bagian petroglif) ataupun digambar diatas kain kulit kayu hanya tersisa dalam jumlah yang sangat kecil.
Menurut tradisi setempat, tablet-tablet ini dibuat dari kayu toromiro. Akan tetapi pada tahun 2005, Orliac menemukan tujuh objek (tablet B, C, G, H, K, Q, dan reimiro L) yang terbuat dari Thespesia populnea dengan menggunakan mikroskop pemindai elektron dan mikroskop pembanding; dan identifikasi yang serupa telah dilakukan untuk tablet M pada 1934. Pohon tersebut dikenal sebagai makoꞌi dalam bahasa Rapanui, dan "kayu mawar Pasifik" dikarenakan warna dari batangnya. Jenis pohon dengan tinggi sekitar 15 meter tersebut telah digunakan sebagai bahan untuk membuat ukiran-ukiran sakral di daerah-daerah Polinesia yang kemudian dibawa ke pulau Paskah oleh penduduk paling awal yang menetap di pulau tersebut. Akan tetapi, tidak semua kayu yang digunakan berasal dari Pulau Paskah: Orliac (2007) mengemukakan bahwa tablet N, P, dan S dibuat dari Kayu Kuning Afrika Selatan (Podocarpus latifolius) yang dibawa oleh bangsa barat yang bersinggah ke pulau tersebut. Selain itu, Fischer mendeskripsikan tablet P sebagai "Oar Amerika ataupun Eropa yang telah rusak dan dibentuk kembali", serupa dengan bahan baku untuk membuat tablet A (yang terbuat dari Pohn Ash Eropa, Fraxinus excelsior) dan V; terdapat juga kemungkinan bahwa kayu untuk tablet rongorongo didapatkan dari serpihan kayu kapal bangsa barat menurut beberpa penuturan setempat. Selain itu, tablet P dan S digunakan kembali sebagai papan kayu untuk membuat kapal kecil Rapanui, yang menunjukkan bahwa pada masa itu, tablet-tablet tersebut tidak terlalu penting untuk penduduk pulau. Beberapa teks diukir pada kayu apung. Penggunaan kayu apung sebagai media penulisan berdampak pada struktur dari aksara itu sendiri, seperti adanya lingatur dan kemungkinan ditulis menggunakan gaya telegrafik yang mempersulit analisis tekstual. Walaupun begitu, para penduduk pulau lebih menggunakan kayu apung dibandingkan kayu dikarenakan biaya pembuatannya yang lebih murah, selain itu, kayu apung juga mudah untuk didapatkan.
Pada masa awal dari periode penelitian yang dimulai pada tahun 1864, dilaporkan bahwa wanita pulau memakai kain kulit kayu yang dihiasi dengan "simbol"; sebagian kecil dari salah satu dari simbol-simbol tersebut masih selamat hingga saat ini dan kemudian menjadi penyusun simbol-simbol rongorongo.
Menutur penuturan penduduk setempat, dikarenakan kayu memiliki nilai yang sangat berharga, hanya petinggi suku yang boleh menggunakan, sementara penduduk biasa hanya menulis pada daun pisang. Seorang etnologis Jerman, Thomas Barthel, mempercayai bahwa ukiran pada kayu merupakan tahap perkembangan sekunder dari aksara tersebut yang didasarkan pada tahap awal yabg menggunakan daun pisang ataupun sayatan dari batang pisang dengan alat pengukir yang terbuat dari tulang, hal ini menyebabkan penggunaan daun pisang berkurang dalam menulis aksara tersebut dengan maksud agar tablet kayu dapat lebih banyak dibuat. Dia bereksperimen dengan menggunakan daun pisang dan menemukan bahwa glif yang ditulis dapat terlihat dengan jelas dikarenakan sayatan yang terbentuk dan mengering diatas permukaannya. Akan tetapi, daun tersebut menjadi sangat rawan dan tidak akan bertahan lama setelah mengering.
Barthel berspekulasi bahwa daun pisang kemungkinan digunakan sebagai prototipe untuk tulisan pada tablet, sedangkan galur yang ada pada permukaan tablet merupakan gambaran dari struktur pembuluh daun itu sendiri:
Eksperimen praktikal dengan material yang ada pada [Pulau Paskah] telah membuktikan bahwa bagian atas dari pohon pisang tidak hanya merupakan media penulisan yang ideal, tetapi juga memiliki korespondensi yang selaras antara jarak aksara yang dituliskan dengan jarak diantara jaringan pembuluh dan tulang dari pohon pisang. Inskripsi klasik dapat dibuat dalam dua kelompok menurut tingginya (10–12 mm dan 15 mm); dan tinggi tersebut dapat berubah-ubah, tergantung diposisi jarak antara jaringan pembuluh dan penopang batang pisang (rata-rata setinggi 10 mm pada bagian lebih bawah dari pohon berukuran sedang) ataupun pada daun pisang ([...] maksimal setinggi 15mm).
= Arah penulisan
=Glif rongorongo ditulis dalam arah boustrofendon terbalik, dari kiri ke kanan dan dari bawah ke atas. Sehingga pembaca harus memulai dari sisi kiri paling bawah, dan membaca dari arah kiri ke kanan, kemudian tablet diputar 180 derajat untuk melanjutkan bacaan pada baris berikutnya. Saat membaca satu baris, garis pada sisi atas dan bawah akan terlihat terbalik seperti pada gambar dibawah ini.
Akan tetapi, jika tulisan masih dilanjutkan pada sisi kedua dari tablet yang menghasilkan nilai ganjil, seperti dalam tablet K, N, P, dan Q, maka, baris paling awal dari tablet akan mulai pada pojok "atas" bagian kiri dan arah penulisannya akan berganti menjadi dari atas ke bawah.
Inskripsi pada tablet yang lebih besar ataupun pada sebatang tongkat mungkin dapat dibaca tanpa diputar jika pembaca dapat membacanya tanpa memutarbalikkan media penulisannya.
Arah penulisan ditentukan oleh adanya glif yang menjadi simbol perbalikan arah, glif tersebut diletakkan pada akhir setiap kata ataupun pesan paralel antara tablet satu dengan yang lainnya saat tablet tidak memiliki satupun penanda.
= Instrumen penulisan
=Menurut sejarah yang dituturkan, para pengukir menggunakan pecahan obsidian ataupun gigi hiu kecil, alat tersebut diduku juga digunakan untuk memotong kayu di daerah Polinesia, membuat galur ataupun memoles tablet, dan untuk kegunaan penulisan glif itu sendiri. Kebanyakan glif sering dibuat dengan ukiran yang dalam dan halus, walaupun beberapa ukiran dangkal dan garis tipis juga ditemukan. Dalam gambar diatas, sebuah glif terdiri atas dua bagian yang dihubungkan oleh garis tipis. Beberapa peneliti, termasik Barthel, mempercayai bahwa potongan kecil tersebut dibuat dengan menggunakan serpihan obsidian, dan teks tersebut diukir dalam dua tahapan: sketsa teks dibuat dengan menggunakan obsidian, sedangkan penebalan dan penambahan kedalaman ukiran dibuat dengan menggunakan gigi hiu. Sedangkan potongan tipis yang lain merupakan sebuah kesalahan, konvensi desain, ataupun sebagai unsur dekoratif.
= Glif
=Glif yang ada memiliki bentuk menyerupai manusia, hewan, sayuran, dan bentuk bentuk geometris, dan sering juga berupa bentuk gabungan. Hampir semua glif yang memiliki kepala, bagian kepala diposisikan menghadap ke atas ataupun ke pembaca, dan dapat ditambahkan penanda di sisi kanan glif tersebut dengan cara menghubungkan langsung garis luar antara kedua komponen glif. Masih belum diketahui alasan pasti dari glif kepala yang tidak pernah diukir menghadap kiri ataupun bawah. Kepala pada glif sering memiliki karakteristik berupa proyeksi pada kedua sisinya yang kemungkinan menggambarkan bagian mata (seperti pada glif penyu dibawah ini) ataupun telinga (seperti dalam petroglif antromorpik di bagian selanjutnya). Selain itu, glif juga sering berbentuk burung ataupun unggas; banyak diantaranya melambangkan burung cikalang (lihat gambar dibawah) yang memiliki keterkaitan dengan maha dewa Makemake. Glif lain mengambil bentuk dari ikan ataupun antropoda. Beberapa diantaranya mirip denhan petroglif yang ditemukan di seluruh penjuru pulau.
Penguraian
Seperti kebanyakan aksara yang belum terurai, terdapat banyak interpretasi dan penerjemahan terstruktur dari rongorongo yang pernah dibuat. Namun, terlepas dari salah satu tablet yang menunjukan kalender bulan dari kalender Rapa Nui, tidak ada satupun dari teks tersebut yang dapat dibaca. Terdapat tiga kendala serius saat menguraikan aksara ini jika aksara ini benar-benar merupakan suatu sistem penulisan, yakni: kecilnya jumplah teks yang tersisa saat ini, konteks yang cukup kurang, dan penelitian yang sangat minim terhadap bahasa Rapanui Kuno, dikarenakan bahasa Rapanui moderen telah tercampur secara kental dengan bahasa Tahitian, dan kemungkinan bahasa tersebut tidak dapat dicocokkan dengan tablet tersebut sama sekali.
Terdapat juga beberapa gagasan bahwasanya rongorongo bukanlah sistem penulisan yang sesungguhnya, namun sebuah proto-penulisan, atau bahkan dalam cangkupan yang lebih kecil dapat berupa sarana mnemonik untuk kegunaan geanalogi, koreografi, navigasi, astronomi, ataupun agrikultur. Sebagai contoh, Atlas of Languages menyatakan bahwa: "Aksara ini kemungkinan digunakan untuk hafalan ataupun untuk tujuan dekoratif, dan bukan suatu sistem penulisan bagi penduduk pulau untuk bahasa Rapanui." Jika aksara ini memang bukan suatu sistem penulisan, maka, hanya terdapat sedikit kemungkinan bahwa aksara ini dapat diuraikan. Aksara ini kemungkinan merupakan logografik ataupun silabik, walaupun aksara ini tidak muncul sebagai logografi murni, ataupun silabik murni, dan penentuan jenis ini telah menjadi perdebatan diantara kalangan yang menganggap bahwa rongorongo merupakan sistem penulisan.
Lihat pula
Penguraian rongorongo
Catatan
Referensi
Bacaan lebih lanjut
Pranala luar
The Rongorongo of Easter Island– the most complete and balanced description of rongorongo on the internet. (Offline since 2009. Incompletely archived from the originalDiarsipkan 2007-10-17 di Wayback Machine. on 2007 October 17. Earlier archives available.)
Media tentang Rongorongo di Wikimedia Commons
Michael Everson's draft Unicode proposal for Rongorongo
The Rock Art of Rapa Nui Diarsipkan 2007-12-14 di Wayback Machine. by Georgia Lee
Additional coverage on Spanish Wikipedia
Kata Kunci Pencarian:
- Rongorongo
- Penguraian rongorongo
- Pulau Paskah
- Basilika Bunda Pengasih, Santiago
- Rumpun suku bangsa Austronesia
- Weltmuseum Wien
- Bahasa Rapa Nui
- Rumpun bahasa Polinesia
- Rikitea
- Yuri Knorozov
- Rongorongo
- Decipherment of rongorongo
- Boustrophedon
- Austronesian peoples
- Ngaꞌara
- Easter Island
- Rongorongo (mythology)
- Rongorongo text C
- Rapa Nui people
- Southeast Asia