- Source: Sabelianisme
Di ranah teologi Kristen, Sabelianisme adalah keyakinan bahwa hanya ada satu Oknum (hipostasis, istilah Yunani yang dipakai dalam kontroversi Arian pada abad ke-4) di dalam Ke-Allah-an. Sebagai contoh, teolog Richard Patrick Crosland Hanson mendefinisikan Sabelianisme sebagai "keingkaran untuk mengamini kewujudan tedas Oknum-Oknum.":844 Ia mengemukakan pula bahwa "Estasius dikecam lantaran dianggap menganut Sabelianisme; keteguhannya dalam berpendirian bahwa hanya ada satu kenyataan tedas (hipostasis) di dalam Ke-Allah-an, dan kerancuannya dalam membedakan Bapa, Putra, dan Roh Kudus, menjadikannya rentan dituding seperti itu.":216 Lantaran dibidatkan, Sabelianisme ditolak oleh umat Kristen pada umumnya.
Monarkianisme
Sabelianisme pertama kali muncul pada abad ke-2 dalam bentuk Monarkianisme. Meskipun para “pengusung ajaran ini menyebut dirinya kaum 'Monarkian', bapa-bapa Yunani menyebut mereka 'kaum Sabelian', sebab Sabeliuslah orang pertama yang membabarkan ajaran ini dalam bentuk filsafatinya.”
Monarkianisme bertentangan dengan teologi-Logos. Lantaran sejak akhir abad ke-2, Kekristenan non-Yahudi didominasi oleh teologi-Logos yang mengajarkan dua-tahap kewujudan Logos, yaitu Logos senantiasa wujud di dalam diri Allah tetapi menjadi suatu wujud terpisah - suatu Kenyataan tedas - tatka Allah memutuskan untuk mencipta, kaum Monarkian pun menyatakan “bahwa teologi para Apolog menyiratkan adanya keterbelahan dalam kewujudan dan kemahaesaan Allah sehingga tidak dapat dibenarkan”, dan bahwa teologi-Logos mengajarkan kewujudan dua khalik dan dua Allah (biteisme) sehingga “tidak sejalan dengan monoteisme”.
Menurut Monarkianisme, “Bapa dan Putra adalah pengungkapan yang berlainan dari satu kewujudan yang sama, tanpa pembedaan pribadi di antara keduanya. Dengan kata lain, Bapa jualah Putra itu, dan oleh karena itu mengalami kelemahan-kelemahan insani Putra.” “Jika mengutip kata-kata Noetos, … Bapa … sendiri menjadi Putra-Nya.” “Itulah sebabnya Allah terlahir dari rahim seorang perawan dan menyatakan diri sebagai sebagai Putra Allah kepada umat manusia. Di atas kayu salib, Allah menyerahkan roh-Nya kepada diri-Nya sendiri, tatkala Ia berlaku seakan-akan mati, tetapi sesungguhnya Ia tidak mati, kendati Ia bangkitkan diri-Nya sendiri pada hari yang ketiga.”
Tertulianus adalah salah seorang teolog Logos yang menentang keras Monarkianisme. “Risalah Melawan Prakseas diakui di mana-mana karya sastra terbesar mengenai Tritunggal yang dihasilkan Tertulianus. Pandangan yang diduga diajarkan oleh Prakseas pada akhirnya disebut ‘modalisme’, mengikuti istilah yang digunakan oleh Adolf von Harnack di dalam bukunya, History of Dogma (terbit tahun 1897). Tertulianus hanya menyebut lawannya itu sebagai seorang ‘monarkian’.”
“Adolph Von Harnack memunculkan istilah 'Modalisme' sebagai sebutan bagi ajaran abad ke-2 ini, yakni ajaran yang mengatakan bahwa Tritunggal terdiri atas 'tiga moda atau tiga aspek dari satu kewujudan ilahi'.”
Mengikuti langkah Tertulianus, “bapa-bapa Latin … menyebut mereka 'kaum patripasian' lantaran mereka sudah menyama-nyamakan Bapa dan Putra sedemikian rupa sampai-sampai mengimani bahwa Bapalah yang menderita sengsara dan wafat di atas kayu salib.”
Sabelius
"Sabelianisme" terambil dari nama Sabelius (berkiprah sekitar tahun 215), orang yang mengajarkan salah satu ragam Monarkianisme di Roma pada abad ke-3. Tidak satu pun karya tulisnya yang sintas, dan semua keterangan mengenai dirinya berasal dari berbagai karya tulis lawan-lawannya, yang bukanlah sumber terandal.
Monarkianisme didapatkan Sabelius dari ajaran-ajaran Noetos dan Prakseas. Noetos diekskomunikasi dari Gereja sesudah diuji di hadapan sidang rohaniwan, sementara Prakseas kabarnya sudah mengakui kekeliruan pandangan-pandangan modalistisnya secara tertulis, dan kembali mengajarkan akidah yang semula dianutnya. Nasib yang sama menimpa Sabelius. Ia diekskomunikasi oleh sidang rohaniwan di Aleksandria, dan lantaran naik banding ke Roma, diselenggarakaanlah sidang kedua di Roma yang juga membidatkan ajarannya.
"Sabelius mengimani kemahaesaan sederhana dari oknum dan hakikat Allah." Meskipun demikian, ragam Sabelianisme yang diajarkan Sabelius tidak sama dengan Monarkianisme. Ia tidak percaya bahwa Bapa, Putra, dan Roh Kudus hanya sekadar tiga nama bagi satu Kenyataan. Von Mosheim, teolog Lutheran Jerman pencetus aliran pragmatis di kalangan ahli sejarah Gereja, berpandangan bahwa dari satu segi Sabelius memang menyifatkan Allah itu tiga, tetapi dari segi lain menyifatkan-Nya satu. Ia "mengimani perbedaan Bapa, Putra, dan Roh Kudus, seperti yang dijabarkan di dalam Kitab Suci, sebagai suatu perbedaan yang nyata, bukan sekadar perbedaan penyebutan atau perbedaan nama belaka." Ia berpendirian bahwa, sama seperti manusia itu satu oknum, tetapi memiliki raga, jiwa, dan roh, demikian pula Allah itu satu Oknum, tetapi di dalam Oknum yang satu itu, Bapa,Putra, dan Roh Kudus dapat dibedakan satu sama lain.
Hipolitus dari Roma, yang kenal dengan Sabelius secara pribadi, menulis di dalam risalahnya, Pembantahan Segala Bidat, bahwa ia maupun pihak-pihak lain sudah berusaha menasihati Sabelius. Ia tahu bahwa Sabelius menentang teologi Tritunggal, tetapi ia menyifatkan Monarkianisme Modalis sebagai bidat yang diajarkan Noetos, bukan sebagai bidat yang diajarkan Sabelius.
Yesus Kristus
Menurut Monarkianisme (Modalistis), Yesus Kristus adalah Allah. Menurut Monarkianisme Dinamis, Yesus Kristus hanyalah manusia.
Homoousios
Diriwayatkan bahwa Sabelius memakai istilah Yunani homoousian (ὁμοούσιος, artinya 'sehakikat'), yang juga dipakai di dalam Syahadat Nikea. Istilah tersebut menyifatkan hubungan Bapa dengan Putra. Banyak pihak yang sehaluan dengan Atanasius berkeberatan menggunakan istilah tersebut lantaran menganggapnya tidak Alkitabiah, mencurigakan, dan "cenderung kesabelius-sabeliusan." Bagi Sabelius, istilah ini berarti Bapa dan Putra pada hakikatnya adalah satu oknum, yang berkarya selaku perwujudan-perwujudan atau moda-moda yang berlainan.
Pandangan bersaingan
Simonetti memandang Arianisme "sebagai reaksi ekstrem terhadap Sabelianisme yang sedang marak di Timur pada masa itu.”:95 Arianisme mengajarkan kewujudan tiga hipostasis. Doktrin Tritunggal juga mengajarkan kewujudan tiga oknum yang berlainan di dalam Ke-Allah-an. Bedanya adalah, Arianisme mengajarkan kewujudan tiga hakikat yang berlainan, sementara doktrin Tritunggal mengajarkan kewujudan tiga Oknum yang berlainan di dalam satu hakikat.
Tokoh Sabelian abad ke-4
Tiga orang tokoh utama kaum Sabelian pada abad ke-4 adalah Estasius dari Antiokhia, Marselus dari Angkira, dan Fotinus dari Sirmium. Estasius dan Marselus dicopot dari jabatannya lantaran berpaham Sabelianisme:
“Kemungkinan besar Estasius dicopot dari jabatannya pertama-tama lantaran menganut bidat Sabelianisme.”:211
“Marselus dicopot dari jabatannya karena condong ke arah Sabelianisme.”:228 Bagi Eusebius, "doktrin Marselus nyata-nyata adalah Sabelianisme, yakni kegagalan untuk membedakan Bapa dan Putra.”:224
“Paulinus adalah salah seirang lawan dari Meletius, sabahat sekaligus sekutu Basilius. … Basilius curiga jangan-jangan Paulinus diam-diam di lubuk hatinya berpaham Sabelianisme, percaya akan kewujudan satu Oknum (hipostasi) saja di dalam Ke-Allah-an. Kedekatan Paulinus dengan sisa-sisa pengikut Marselus, dan kesukaannya yang berterusan terhadap ungkapan 'satu hipostasi' … membuat dirinya dicurigai seperti itu.”:801
Basilius dari Kaisarea
Basilius dari Kaisarea berhujah membela homoousios lantaran istilah itu "juga membetulkan kekeliruan Sabelius, karena istilah itu memperkecualikan jati diri Oknum (hipostasis) … sebab tiada sesuatu pun yang sehakikat dengan dirinya sendiri." (RH, 694-695)
Sejarah dan perkembangan
Sabelianisme diterima dan dianut umat Kristen di Kirenaika, yakni umat Kristen yang dikirimi surat oleh Dionisius, Batrik Aleksandria (yang besar andilnya dalam pengambilan keputusan sidang rohaniwan Aleksandria untuk mengekskomunikasi Sabelius), berisi perjelasan yang mendustakan ajaran tersebut. Hipolitus meriwayatkan di dalam risalahnya sebagai berikut:
Beberapa orang lain diam-diam menyiarkan ajaran lain, yakni orang-orang yang sudah menjadi murid si Noetus, orang kelahiran Smirna, yang tidak terlampau jauh masa hidupnya. ... Orang ini menyiarkan suatu bidat dari pokok-pokok pikiran Heraklitus. Lantas seseorang bernama Epigonus menghamba dan berguru kepadanya, dan ketika singgah di Roma, orang ini menyebarluaskan fatwanya yang fasik. Namun Kleomenes, yang sudah berguru kepadanya, orang tidak tahu apa-apa soal adab hidup dan adat-istiadat Gereja, dialah yang tekun menyiarkan ajaran (Noetus) itu.
Demikian pula Noetus, orang Smirna menurut tempat lahirnya ... menyiarkan (di tengah-tengah kita) bidat yang bersumber dari si Epigonus ini. Bidat ini sampai ke Roma, lalu dianut Kleomenes sehingga terus bercokol sampai sekarang di kalangan para penerusnya.
Tertulianus juga memandang modalisme sebagai gagasan baru dari luar yang menyusup masuk ke dalam Gereja, dan bertentangan dengan ajaran yang diterima melalui suksesi. Sesudah memaparkan pemahamannya tentang iman seperti apa yang sudah diterima Gereja, ia selanjutnya menjelaskan betapa "orang lugu", yang senantiasa menjadi golongan mayoritas di antara umat beriman itu, sering kali terperangah mendengar gagasan bahwa Allah Yang Mahaesa itu ada wujud dalam tiga dan menentang pemahamannya akan "kaidah iman." Para pendukung Tertulianus menegaskan bahwa yang disifatkan Tertulianus sebagai golongan mayoritas di antara umat beriman adalah "orang lugu", bukan para penentangnya. Penegasan ini dikukuhkan oleh argumen Tertulianus bahwa mereka mengemukakan gagasan-gagasan mereka sendiri, yang tidak pernah diajarkan kepada mereka oleh para tetua mereka:
Akan tetapi kami, sebagaimana yang sudah senantiasa kami perbuat (wabilkhusus lantaran kami sudah dididik baik-baik oleh Sang Paraklitus, yang menuntun manusia kepada segala kebenaran), percaya bahwa hanya ada satu Allah, tetapi di dalam kerangka penatalaksanaan atau yang disebut οἰκονομία ini, yaitu Allah yang hanya satu ini memiliki pula seorang Putra, yakni Firman-Nya, yang keluar dari Diri-Nya sendiri, yang oleh-Nya segala sesuatu dijadikan, dan yang tanpa-Nya tidak ada sesuatu pun yang dijadikan. Dia ini kami percaya sudah diutus Bapa ke dalam Sang Perawan, dan sudah lahir dari padanya—menjadi Manusia sekaligus Allah, Anak Manusia sekaligus Anak Allah, dan sudah disapa dengan nama Yesus Kristus; kami percaya Dia sudah menderita sengsara, wafat, dan dimakamkan, sesuai dengan Kitab Suci, dan kemudian Dia dibangkitkan oleh Bapa dan diangkat kembali ke surga, untuk duduk di sisi kanan Bapa, dan bahwa Dia akan datang menghakimi orang yang hidup dan mati; yang juga mengutus dari surga dari Bapa, seturut janji-Nya sendiri, Roh Kudus, yakni Sang Paraklitus, pengudus iman orang-orang yang percaya akan Bapa, dan akan Putra, dan akan Roh Kudus. Bahwasanya kaidah iman ini sudah diturunkan kepada kami sedari permulaan injil, bahkan sebelum ada satu pun ahli bidat lawas, apatah lagi Prakseas, pembual kemarin sore itu, akan tampak nyata baik dari keterlambatan tarikh kemunculan yang menjadi ciri semua bidat, maupun dari perangai anyar mutlak Prakseas kita yang baru saja rampung direka cipta itu. Bertolak dari pendirian seperti inilah mulai sekarang kita harus mengiktikadkan suatu praduga yang sama kuatnya guna menghadapi bidat mana pun juga—yakni apa-apa yang muncul pertama itulah yang benar, sedangkan apa-apa yang lancung munculnya belakangan.
Tertulianus juga memandang modalisme sebagai gagasan baru dari luar yang menyusup masuk ke dalam Gereja, dan bertentangan dengan ajaran yang diterima melalui suksesi. Sesudah memaparkan pemahamannya tentang iman seperti apa yang sudah diterima Gereja, ia selanjutnya menjelaskan betapa "orang lugu", yang senantiasa menjadi golongan mayoritas di antara umat beriman itu, sering kali terperangah mendengar gagasan bahwa Allah Yang Mahaesa itu ada wujud dalam tiga dan menentang pemahamannya akan "kaidah iman." Para pendukung Tertulianus menegaskan bahwa yang disifatkan Tertulianus sebagai golongan mayoritas di antara umat beriman adalah "orang lugu", bukan para penentangnya. Penegasan ini dikukuhkan oleh argumen Tertulianus bahwa mereka mengemukakan gagasan-gagasan mereka sendiri, yang tidak pernah diajarkan kepada mereka oleh para tetua mereka:
Memang orang lugu, (saya tidak akan menyebut mereka tidak berhikmat dan tidak terpelajar,) yang senantiasa merupakan golongan mayoritas di antara umat beriman, terperangah mendengar penatalaksanaan (dari Yang Tiga di dalam Yang Satu), bertolak dari pendirian bahwa kaidah iman mereka menarik mereka dari kejamakan ilah duniawi kepada satu-satunya Allah sejati; tanpa paham bahwa, sekalipun Dia adalah satu-satunya Allah, Dia harus diimani di dalam οἰκονομία-Nya sendiri. Runut angka dan pemilahan Tritunggal mereka sangka sebagai pemecah-belahan Kemahaesaan; padahal Kemahaesaan yang menurunkan Tritunggal dari dirinya sendiri itu sangatlah jauh dari keterpecahbelahan, malah sesungguhnya ditopang olehnya. Mereka terus-menerus menuding kami sebagai orang-orang yang mendakwahkan ajaran tentang dua ilah dan ajaran tentang tiga ilah, sementara mereka berbangga sebagai orang-orang yang menyembah Allah Yang Mahaesa; seakan-akan jika Kemahaesaan itu sendiri dengan penarikan kesimpulan lewat penalaran yang keliru tidak melahirkan bidat, sedangkan Tritunggal jika dinalar dengan benar barulah merupakan kebenaran.
Menurut Modalisme dan Sabelianisme, Allah adalah satu-satunya oknum yang menyingkapkan diri dengan beragam cara yang disebut modus, wajah, aspek, peran, atau kedok (bahasa Latin: πρόσωπα, prosopa; bahasa Latin: personae) dari Allah Yang Mahaesa, sebagaimana yang dipahami oleh orang beriman, bukannya tiga oknum yang sama-sama kekal di dalam Ke-Allah-an, atau suatu "Tritunggal yang setara satu sama lain". Bertolak dari pengamatan bahwa satu-satunya angka yang digunakan secara terang-terangan dan berulang kali untuk menyifatkan Allah di dalam Perjanjian Lama adalah Satu, kaum Modalis tidak terima jika angka tersebut ditafsirkan mengisyaratkan kesatuan (sebagai contoh, nas Kejadian 2:24) apabila diterapkan untuk Allah, dan mempertanyakan makna atau kesahihan nas-nas Perjanjian Baru terkait yang dikutip oleh golongan Tritunggalis. Comma Iohanneum, yang pada umumnya dianggap bukan unsur asli dari Surat Pertama Yohanes (1 Yohanes 5:7), yang diketahui keberadaannya terutama dari versi Raja James dan beberapa versi Textus Receptus, tetapi tidak dimasukkan ke dalam teks-teks kritis modern, adalah salah satu contoh (satu-satunya yang dinyatakan secara terang-benderang) pemakaian kata Tiga untuk menyifatkan Allah. Banyak penganut Modalisme yang mengangkat soal ketiadaan kata "Tritunggal" di dalam semua kitab suci yang kanonis.
Nas-nas seperti Ulangan 6:4–5, Ulangan 32:12, 2 Raja–Raja 19:15–19, Ayub 6:10, Ayub 31:13–15, Mazmur 71:22, Mazmur 83:16, Mazmur 83:18, Yesaya 42:8, Yesaya 45:5–7, Yesaya 48:2, Yesaya 48:9, Yesaya 48:11–13, Maleakhi 2:8, Maleakhi 2:10, Matius 19:17, Roma 3:30, 2 Korintus 11:2–3, Galatia 3:20, dan Yudas 1:25 adalah nas-nas yang dirujuk kaum Modalis sebagai nas-nas yang mengukuhkan bahwa kemahaesaan Allah itu adalah satu mutlak, dan sekalipun dikenal dalam beberapa moda, memustahilkan segala macam konsep kewujudan-bersama. Hipolitus memaparkan penalaran yang sama dari Noetus dan para pengikutnya sebagai berikut:
Sekarang mereka berusaha memperlihatkan landasan dogma mereka dengan mengutip ayat di dalam hukum, “Akulah Allah nenek moyangmu: jangan ada padamu ilah selain Aku;” juga di dalam ayat lain, “Akulah yang awal,” Firmannya, “dan yang akhir; dan tidak ada ilah selain Aku.” Demikianlah katanya mereka membuktikan bahwa Allah itu satu.... Dan mustahillah kami mengungkapkan keimanan kami selain yang demikian, katanya; lantaran rasul-rasul juga mengamini satu Allah, ketika ia berkata, “Mereka adalah keturunan bapa-bapa leluhur, yang menurunkan Mesias dalam keadaan-Nya sebagai manusia, yang ada di atas segala sesuatu. Ia adalah Allah yang harus dipuji sampai selama-lamanya.”
Beberapa penganut Modalisme pada zaman modern, yang menyebut diri sebagai golongan Pentakosta Keesaan, menyatakan bahwa nas Kolose 1:12–20 mengacu kepada hubungan Kristus dengan Bapa dalam pengertian keberagaman peran Allah:
dan mengucap syukur dengan sukacita kepada Bapa, yang melayakkan kamu untuk mendapat bagian dalam apa yang ditentukan untuk orang-orang kudus di dalam kerajaan terang. Ia telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan Anak-Nya yang kekasih; di dalam Dia kita memiliki penebusan kita, yaitu pengampunan dosa. Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia. Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia yang lebih utama dalam segala sesuatu. Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia, dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus.
Golongan Pentakosta Keesaan juga mengutip tanggapan Kristus terhadap keingintahuan Filipus akan Bapa (Yohanes 14:10) untuk mendukung pernyataan mereka tersebut:
Kata Yesus kepadanya: "Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami?"
Umat Kristen Tritunggalis berpendirian bahwa nas-nas semacam Kolose 1:12–20 menghilangkan segala keragu-raguan mantiki bahwa Kitab Suci memang mengajarkan tentang Putra, yang adalah Firman Allah (Yohanes 1:1–3), secara harfiah "hidup," dan secara harfiah adalah Sang Khalik sarwa sekalian alam bersama-sama dengan Allah Bapa dan Roh Allah. Menurut pemahaman kaum Tritunggalis, pernyataan golongan Pentakosta Keesaan di atas tidak hanya menceraikan nas Yohanes 14:10 dari konteks langsungnya, tetapi juga benar-benar bertolak belakang dengan keselarasan Injil Yohanes secara keseluruhan, dan diduga kuat mengandung sesat pikir petītiō principiī di dalam penafsirannya. Kaum Tritunggalis memahami nas Yohanes 14:10 tidak lepas dari pokok pikiran nas-nas paralel seperti Yohanes 1:14 dan Yohanes 1:18, dan sebagai nas-nas yang mengukuhkan persatuan kekal Putra dengan Bapa-Nya:
Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran... Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya.
Banyak pertukaran pandangan doktrinal antara kaum Modalis dan kaum Tritunggalis yang mirip dengan di atas. Nas-nas semacam Kejadian 1:26–27, Kejadian 16:11–13, Kejadian 32:24, Kejadian 32:30, Hakim–Hakim 6:11–16, Yesaya 48:16, Zakharia 2:8–9, Matius 3:16–17, Markus 13:32, Lukas 12:10, Yohanes 5:18–27, Yohanes 14:26–28, Yohanes 15:26, Yohanes 16:13–16, Yohanes 17:5, Yohanes 17ː20–24, Kisah Para Rasul 1:6–9, Ibrani 1:1–3, dan Ibrani 1ː8–10 dirujuk kaum Tritunggalis sebagai nas-nas yang membenarkan pandangan bahwa kewujudan Allah yang Mahaesa itu bersifat kekal, pribadi, dan merupakan persekutuan Bapa [Allah], Putra [Firman Allah], dan Roh Kudus [Roh Allah] yang saling bersemayam satu di dalam yang lain. Untuk menanggapi kenyataan bahwa kata Tritunggal tidak muncul di dalam Kitab Suci, kaum Tritunggalis membuktikan bahwa bahasa doktrinal di luar Alkitab sering kali merangkum pemahaman Kitab Suci secara singkat dan jelas—sama saja dengan kata modalisme, modus, dan peran—dan penggunaan bahasa semacam itu pada hakikatnya tidak mencerminkan keakuratan maupun ketidakakuratan. Selain itu, implikasi akusatif bahwa kata Tritunggal menjadi lazim dipakai di luar dari kesetiaan yang prayitna lagi saleh kepada Kitab Suci dapat dikaitkan dengan argumentasi ad hominem. Hipolitus menyifatkan tanggapannya sendiri terhadap doktrin Noetus, dengan mengklaim bahwa kebenaran lebih terbukti ketimbang Arianisme dan Sabelianisme yang saling bertentangan itu, sebagai berikut:
Jadi beginilah cara mereka memaparkan perkara-perkara itu, dan mereka hanya memakai satu golongan nas, setali tiga uang dengan cara sepihak yang dipakai Teodotus manakala berikhtiar membuktikan bahwa Kristus hanyalah manusia biasa. Namun baik pihak yang satu maupun pihak yang lain tidak memahami duduk perkaranya dengan benar, sebab Kita Suci sendiri membantah ketidakberakalan mereka, dan bersaksi membela kebenaran. Lihatlah, saudara-saudara sekalian, betapa gegabah dan lancangnya dogma yang sudah mereka kemukakan... Sebab siapakah yang tidak akan bersaksi bahwa Allah itu esa adanya? Tetapi dengan bersaksi demikian tidaklah akan dipungkirinya oikonomia Allah [yakni angka dan kedudukan pribadi-pribadi di dalam Tritunggal]. Oleh sebab itu, cara yang pantas untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah pertama-tama membantah penafsiran orang-orang itu atas nas-nas tersebut, barulah kemudian menjelaskan maknanya yang sejati.
Tertulianus membeberkan sikap para pengikut Prakseas sebagai berikut:
Lantaran dibantah dari semua sisi dalam ihwal perbedaan antara Bapa dan Putra, yang kita pegang teguh tanpa mencederai kesatuannya yang tak terceraikan... mereka pun berusaha menafsirkan perbedaan itu dengan cara yang bagaimana pun juga akan selaras dengan pendapat mereka sendiri, yaitu sehingga semuanya di dalam satu Oknum. Mereka membedakan keduanya, Bapa dan Putra, dengan memaknai Putra sebagai daging, yakni manusia, yaitu Yesus; dan memaknai Bapa sebagai roh, yakni Allah, yaitu Kritus. Oleh sebab itu, sekalipun menyimpulkan bahwa Bapa dan Putra adalah satu dan sama, pada kenyataannya kesimpulan tersebut mereka awali dengan memecah-belah alih-alih menyatukan Bapa dan Putra.”
Perbandingan pernyataan Tertulianus di atas dengan contoh pernyataan golongan Pentakosta Keesaan berikut ini cukup menarik: "Yesus adalah Anak Allah menurut daging... dan Ia sendiri adalah Allah yang sejati menurut Roh...."
Bentuk Nama Tuhan yang muncul di dalam ayat ke-19 Amanat Agung (Matius 28:16–20) juga secara historis dilisankan dalam upacara pembaptisan Kristen, umat Kristen Tritunggalis mengimani kewujudan tiga Oknum berlainan Tritunggal Mahakudus, sekalipun saling bersemayam satu di dalam yang lain, kewujudan Oknum-Oknum Tritunggal dipermaklumkan oleh baptisan Yesus. Banyak modalis tidak menggunakan rumusan ini sebagai Nama Tuhan. Sejumlah kritikus dari pihak Pentakosta Keesaan modern juga mengemukakan bahwa nas Matius 28:19 bukanlah bagian dari karya tulis aslinya, karena Esebius dari Kaisarea menyitir nas tersebut dengan menggunakan frasa "di dalam nama-Ku", dan di dalam sumber pustaka tersebut tidak disinggung baptisan pada ayat itu. Meskipun demikian, Eusebius juga menyitir rumusan "tritunggal" di dalam risalah-risalahnya yang terkemudian. (Conybeare (Hibbert Journal i (1902-3), halaman 102). Nas Matius 28:19 juga dikutip di dalam Didakhe (Didakhe 7:1) yang diperkirakan berasal dari akhir abad pertama atau awal abad ke-2 Masehi), dan di dalam Diateseron (Diateseron 55:5-7), penyejajaran ayat Injil-Injil Sinoptis yang diperkirakan berasal dari pertengahan abad ke-2 Masehi. Injil Matius Ibrani Syem-Tob (George Howard), yang ditulis pada abad ke-14, juga tidak menyebutkan baptisan maupun rumusan "tritunggalis" di dalam nas Matius 28:19. Meskipun demikian, juga benar bahwa tidak ada satu pun naskah Yunani dari Injil Matius yang sudah ditemukan yang tidak memuat nas Matius 28:19. Naskah-naskah salinan tertua Injil Matius yang masih ada saat ini diperkirakan berasal dari abad ke-3, dan semuanya memuat nas Matius 28:19. Oleh sebab itu para sarjana pada umumnya sepakat bahwa kemungkinan besar nas Matius 28:19 memang merupakan bagian dari Injil Matius yang asli, kendati segelintir segelintir sarjana menyanggahnya.
Nas-nas Kitab Suci seperti Matius 3:16–17, yang memisahkan Bapa, Putra, dan Roh Kudus dalam teks maupun kesaksian, dipandang kaum modalis sebagai nas-nas yang mengukuhkan as kemahahadiran Allah, dan kemampuan Allah untuk sesuka hati memanifestasikan diri. Kaum Pentakosta Keesaan dan kaum Modalis berusaha membantah doktrin tradisional tentang kesatuan kewujudan bersama yang kekal, sembari mengamini doktrin tentang Allah yang menjadi manusia sebagai Yesus Kristus. Seperti kaum Tritunggalis, para penganut doktrin Keesaan percaya bahwa yesus Kristus adalah sepenuhnya Allah sekaligus sepenuhnya manusia. Meskipun demikian, kaum Tritunggalis percaya bahwa "Sabda Allah," Oknum kekal yang kedua dari Tritunggal, bermanifestasi sebagai Putra Allah dengan memasukkan kemanusiaan ke dalam diri-Nya sendiri dan dengan mengangkat kemanusiaan tersebut ke taraf setara dengan Allah melalui kebangkitan-Nya, dalam kesatuan kekal dengan keilahian-Nya sendiri. Para penganut doktrin Keesaan sebaliknya percaya bahwa Allah yang Esa dan satu-satunya yang sejati berkuasa memanifestasikan diri-Nya dengan cara apa saja yang Ia pilih, termasuk memanifestasikan diri sebagai Bapa, sebagai Putra, maupun sebagai Roh Kudus (kendati tidak memilih untuk melakukannya secara serentak dan kekal), dan Allah yang Esa dan satu-satunya yang sejati itulah yang menjadi manusia untuk menjalani peran sementara sebagai Putra. Banyak pihak Pentakosta Keesaan juga sudah mengemukakan pandangan tentang perbedaan antara kemanusiaan dan keilahian Yesus yang sangat berbau Nestorian seperti pada contoh yang dibandingkan dengan pernyataan Tertulianus di atas.
Golongan Pentakosta Keesaan dan golongan-golongan modalis lainnya dicap sebagai ahli bidat oleh umat Kristen Katolik, Kristen Ortodoks, dan golongan-golongan umat Kristen arus utama lainnya, lantaran mendustakan kewujudan harfiah Putra terkasih Allah yang turun dari Surga, termasuk kewujudan-Nya yang kekal; menolak suksesi langsung karunia-karunia dan wewenang rasuli melalui pentahbisan uskup; mendustakan jati diri umat Kristen arus utama sebagai Tubuh yang diperanakkan Allah dan Gereja yang didirikan Kristus; serta menolak ketetapan konsili-konsili oikumene seperti Konsili Nikea dan Konsili Konstantinopel, termasuk keimanan kepada Tritunggal Mahakudus. Jika banyak kaum Tunggalis adalah penganut Arianisme, maka kaum modalis justru membedakan dirinya dari kaum Tunggalis-Arian maupun kaum Tunggalis-Semiarian dengan mengamini Ke-Allah-an paripurna Kristus, sementara pandangan Arian maupun Semiarian menyatakan bahwa Kristus tidak sehakikat (bahasa Yunani: οὐσία, ousia) dengan Allah Bapa, dan oleh karena itu tidak setara dengan Allah Bapa. Dionisius, Uskup Roma, memaparkan pemahaman Kristen tradisional tentang Arianisme maupun Sabelianisme di dalam risalah Melawan Kaum Sabelian, sekitar tahun 262. Sama seperti Hipolitus, ia juga menyifatkan kedua bidat itu sebagai dua kutub ekstrem yang saling berseberangan dalam usaha memahami Putra Allah, karena Arianisme menyalahartikan ketidaksamaan Putra dengan Bapa, sementara Sabelianisme menyalahartikan kesetaraan Putra dengan Bapa. Ia juga menolak gagasan tentang tiga Allah sebagai gagasan yang keliru. Meskipun Arianisme dan Sabelianisme tampak betul-betul saling berseberangan, lantaran Arianisme menyifatkan Kristus sebagai ciptaan sementara Sabelianisme menyifatkan Kristus sebagai Allah, kedua-duanya sama-sama mendustakan keimanan Tritunggalis bahwa Kristus adalah Allah Yang Kekal di dalam Kemanusiaan-Nya, dan bahwa inilah dasar hakiki pengharapan manusia akan keselamatan. "Satu, bukan dengan mengalihwujudkan Ke-Allah-an ke dalam daging, melainkan dengan memasukkan kemanusiaan ke dalam Allah."
Hipolitus meriwayatkan pengekskomunikasian Noetus sebagai berikut:
Tatkala para presbiter mubarak mendengarnya, mereka memanggil dia ke hadapan Gereja, lalu menguji dia. Mula-mula dia menyangkal berpandangan seperti itu, tetapi belakangan, sesudah berlindung kepada beberapa orang, dan menghimpun di sekelilingnya beberapa orang lain yang sudah menganut kekeliruan yang sama, dengan terang-terangan dia menghendaki ajarannya dianggap benar. Maka para presbiter mubarak sekali lagi memanggil dia menghadap mereka, lalu menguji dia. Namun dia tegak menentang mereka, katanya, “jadi apa jahatnya yang aku lakukan dalam memuliakan Kristus?” Para presbiter menjawab, “kami pun tahu kebenaran akan satu Allah; kami tahu Kristus; kami tahu bahwa Putra menderita sengsara pada saat Ia menderita sengsara, dan mati pada saat Ia mati, dan bangkit kembali pada hari yang ketiga, dan sekarang berada di sebelah kanan Bapa, dan datang untuk mengadili orang yang hidup dan yang mati, dan semua perkara yang sudah kami pelajari ini kami persaksikan.” Lalu, sesudah menguji dia, mereka mengusir dia dari Gereja. Dan dia terjerumus ke dalam kesombongan yang sedemikian tingginya, sampai-sampai dia mendirikan sebuah perguruan.
Organisasi-organisasi Pentakosta Keesaan dewasa ini memisahkan diri dari organisasi induknya ketika sidang para pemimpin jemaat Pentakosta secara resmi mengadopsi doktrin Tritunggal. Sejak memisahkan diri, kaum Pentakosta Keesaan telah mendirikan berbagai sekolah tinggi teologi.
Kira-kira pada tahun 375, Epifanius (Adversus Haereses 62) menyebutkan bahwa pengikut Sabelius masih ramai dijumpai, baik di Mesopotamia maupun di Roma. Konsili Konstantinopel I tahun 381, di dalam kanon VII, dan Konsili Konstantinopel III tahun 680, di dalam kanon XCV, menyatakan baptisan Sabelius tidak sah. Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa Sabelianisme masih merajalela pada masa itu.
Patripasianisme
Pengecam utama Sabelianisme adalah Tertulianus dan Hipolitus. Di dalam risalahnya, Adversus Praxeas, Bab I, Tertulianus mengemukakan bahwa "Dengan demikian Prakseas sudah dua kali lipat melayani iblis di Roma. Dia menyingkirkan nubuat sekaligus memasukkan bidat; dia menghalau Paraklitus sekaligus menyalibkan Bapa." Dengan nada yang sama, Hipolitus mengemukakan di dalam risalahnya sebagai berikutː
Tampakkah olehmu, demikian ujarnya, betapa Kitab Suci mempermaklumkan satu Allah? Dan lantaran perkara ini terpampang dengan jelas, dan ayat-ayat ini bersaksi membenarkannya, maka wajiblah saya, demikian ujarnya, lantaran satu yang diketahui, untuk menjadikan yang Satu ini pihak yang menderita. Sebab Kristus adalah Allah, dan menderita demi kita, Ia jua Bapa itu, supaya Ia dapat menyelamatkan kita.... Lihatlah Saudara sekalian, betapa gegabah dan lancangnya ajaran yang mereka dakwahkan itu, manakala tanpa malu-malu mereka berkata, Bapa jua Kristus itu, Ia jua Putra itu, Ia jua yang lahir, Ia jua yang menderita, Ia jua yang membangkitkan diri-Nya sendiri, padahal bukan demikian adanya.
Dari pernyataan-pernyataan semacam inilah muncul istilah ejekan "Patripasianisme" yang dilekatkan kepada bidat tersebut, dari kata Latin pater yang berarti "bapa" dan passus yang berarti "menderita", lantaran menyiratkan bahwa Bapa menderita di atas kayu salib.
Perlu diingat bahwa sumber-sumber pustaka yang masih dapat ditelaah sekarang ini demi memahami Sabelianisme hanyalah sumber-sumber pustaka peninggalan pihak-pihak yang menentangnya. Para sarjana dewasa ini tidak sependapat mengenai apa yang sebenarnya diajarkan Sabelius maupun Prakseas. Tidak sulit untuk berprasangka bahwa Tertulianus dan Hipolitus, setidaknya sesekali, bisa saja keliru menafsirkan pendapat lawan-lawan mereka.
Pandangan Ortodoks Timur
Kristen Ortodoks Yunani mengajarkan bahwa hakikat Allah tidak dapat diperbandingkan dengan apa pun sebab Allah Bapa tidak berasal-usul, kekal, dan ananta. Oleh karena itu keliru jika wujud-wujud disifatkan "fisis" atau "metafisis", tetapi benar jika disifatkan "tercipta" atau "tak-tercipta." Allah Bapa adalah asal dan sumber Tritunggal, yang dari pada-Nya Putra diperanakkan dan Roh Kudus keluar, ketiga-tiganya Tak-tercipta. Oleh sebab itu, kesadaran Allah tidak dapat diperoleh makhluk ciptaan baik semasa hidup di dunia ini maupun kelak di akhirat (lih. apofatisme). Melalui kerjasama dengan Roh Kudus (disebut teosis), umat manusia dapat menjadi baik (seperti Allah), bukan menjadi tak-tercipta, tetapi mengambil bagian di dalam kuasa ilahi-Nya (2 Petrus 1:4). Lewat jalan inilah umat manusia dapat dimaafkan memiliki Pengetahuan Tentang Yang Baik dan Yang Jahat yang ia peroleh di Taman Eden (lih. Kejatuhan manusia), dengan demikian hakikat tercipta manusia mengambil bagian di dalam hakikat tak-tercipta Allah melalui persemayaman kehadiran Putra Allah yang menjelma secara kekal dan Bapa-Nya (Filipi 3:21) melalui perantaraan Roh Kudus (Yohanes 17:22–24, Roma 8:11, Roma 8:16-17 16-17).
Penganut dewasa ini
Saat berlangsungnya Rapat Perkemahan Sedunia II di Arroyo Seco pada tahun 1913, pendeta Injili asal Kanada, R.E. McAlister, dalam suatu kebaktian pembaptisan, berkhotbah bahwa para rasul hanya membaptis dalam nama Yesus saja, bukan dalam Nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Malam itu juga, John G. Schaeppe, seorang imigran asal Jerman, mengaku menyaksikan penampakan diri Yesus, lantas membangunkan seisi perkemahan dengan teriakan lantang, bahwasanya nama Yesus harus dimuliakan. Mulai dari saat itu, Frank J. Ewart mulai mewajibkan orang-orang yang sudah pernah dibaptis dengan rumusan Tritunggal untuk dibaptis ulang dalam nama Yesus “saja.” Dukungan terhadap pendirian semacam ini mulai merebak, bersamaan dengan keyakinan akan satu Oknum di dalam Ke-Allah-an, yang bertindak dalam modus atau kedudukan yang berbeda-beda.
Pada bulan Oktober 1916, Sidang Raya gereja-gereja Sidang Jemaat Allah diselenggarakan di St. Louis, Missouri, untuk mengukuhkan keimanan mereka kepada ortodoksi Tritunggal. Kubu Keesaan harus menghadapi kubu mayoritas yang mewajibkan penerimaan rumusan baptis Tritunggal dan doktrin ortodoks Tritunggal kalau tidak mau dianggap sudah sukarela keluar dari denominasi Sidang Jemaat Allah. Pada akhirnya sekitar seperempat dari pendeta Sidang Jemaat Allah memutuskan mengundurkan diri.
Pentakosta Keesaan mengajarkan bahwa Allah adalah satu oknum, dan Bapa (roh) manunggal dengan Yesus (daging) menjadi Putra Allah. Meskipun demikian, Pentakosta Keesaan sedikit tampil beda dengan menolak Modalisme Sekuensial, dan dengan sepenuhnya mengamini kelahiran insani Putra, yang tidak khadim sifatnya, yakni insan Yesus yang dilahirkan, wafat di salib, lalu bangkit, dan bukan ilah. Kepercayaan semacam ini secara langsung bertentangan dengan keprawujudan Putra selaku salah satu modus prawujud, yang secara umum tidak ditentang Sabelianisme.
Golongan Pentakosta Keesaan percaya bahwa Yesus adalah "Putra" hanya selama menjadi manusia di muka bumi, tetapi adalah "Bapa" sebelum menjadi manusia. Mereka menyebut Bapa sebagai "Roh" dan menyebut Putra sebagai "Daging", tetapi mereka percaya bahwa Yesus dan Bapa pada hakikatnya adalah satu Oknum, kendati berkiprah dalam beragam "perwujudan" atau "modus". Golongan Pentakosta Keesaan mendustakan doktrin Tritunggal, karena menganggapnya bersifat pagan dan tidak Alkitabiah, serta menganut doktrin Nama Yesus terkait pembaptisan. Mereka sering dijuluki golongan "Modalis" atau golongan "Yesus Saja". Pentakosta Keesaan dapat diperbandingkan dengan Sabelianisme, dan dapat pula disifatkan sebagai keimanan kepada salah satu ragam dari Sabelianisme, karena sama-sama Awatritunggal dan sama-sama mengimani Yesus sebagai "Allah Yang Mahaperkasa dalam Wujud Manusia", meskipun kedua-duanya tidak persis sama.
Tidak dapat dipastikan apakah Sabelius memang mengajarkan Modalisme seperti yang diajarkan dewasa ini dengan nama doktrin Keesaan, karena hanya segelintir fragmen karya tulisnya yang masih ada, dan oleh karena itu segala sesuatu yang diketahui tentang ajaran-ajarannya bersumber dari karya-karya tulis para penentangnya.
Kutipan-kutipan yang memperlihatkan beberapa ciri khas Sabelianisme purba di bawah ini dapat dicermati untuk dibandingkan dengan doktrin-doktrin gerakan Keesaan pada zaman modern:
Siprianus mengemukakan di dalam karya tulisnya sebagai berikutː "...bagaimana caranya, apabila Allah Bapa tidak dikenal, bukan lagi, malah dihujat, dapatkah orang-orang di kalangan ahli bidat yang konon dibaptis dalam nama Kristus, diabsahkan sudah beroleh pengampunan dosa?
Hipolitus (170–236) menulis tentang mereka sebagai berikutː "dan beberapa di antara mereka mengamini kaum bidat pengikut Noetos, dan bersikukuh bahwa Bapa jualah Sang Putra itu..."
Paus Dionisius, Uskup Roma dari tahun 259 sampai 269, mengemukakan di dalam karya tulisnya sebagai berikutː "Sabelius...menghujat Allah dengan mengatakan bahwa Putra itu sendiri adalah Bapa, demikian pula sebaliknya."
Tertulianus menegaskan di dalam karya tulisnya sebagai berikutː "ia mengamanatkan kepada mereka agar membaptis orang dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, bukan dalam nama Allah yang berpribadi tunggal. Dan memang bukan hanya sekali, melainkan tiga kali, kita dibenamkan ke dalam tiga pribadi, tiap-tiap kali nama mereka dilisankan.”
Penentangan dewasa ini
Meskipun golongan Pentakosta Keesaan berusaha membedakan akidahnya dari Sabelianisme purba, teolog-teolog modern semisal James R. White dan Robert Morey tidak mendapati perbedaan yang cukup berarti di antara bidat purba Sabelianisme dan akidah mutakhir Pentakosta Keesaan. Penilaian mereka didasarkan atas penyangkalan golongan Pentakosta Keesaan akan Tritunggal, lantaran percaya bahwa tidak ada perbedaan di antara Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Bagi mereka, baik Sabelianisme, Patripasianisme, Monarkianisme Modalistis, Fungsionalisme, Yesus Saja, Bapa Saja, maupun Pentakosta Keesaan berakar pada doktrin filsafat Platon yang mengatakan bahwa Allah adalah Monas (tunggal) yang tak terbagi dan mustahil dipilah-pilah menjadi beberapa oknum berlainan.
Baca juga
Adopsionisme
Injil orang Mesir bahasa Yunani
Monarkianisme
Rujukan
Pranala luar
Sabelianisme menurut Encyclopædia Britannica
Kata Kunci Pencarian:
- Sabelianisme
- Marcellus dari Ancyra
- Daftar bidat menurut Gereja Katolik
- Montanisme
- Daftar Bapa Gereja
- Prosopon
- Pentakosta Keesaan