- Source: Sejarah pemerintahan daerah di Indonesia
Sejarah Pemerintahan Daerah di Republik Indonesia tidaklah berusia pendek. Lebih dari setengah abad lembaga pemerintah lokal ini telah mengisi perjalanan bangsa. Dari waktu ke waktu pemerintahan daerah telah mengalami perubahan bentuknya. Setidaknya ada tujuh tahapan hingga bentuk pemerintahan daerah seperti sekarang ini (2009). Pembagian tahapan ini didasarkan pada masa berlakunya Undang-Undang yang mengatur pemerintahan lokal secara umum.
Tiap-tiap periode pemerintahan daerah memiliki bentuk dan susunan yang berbeda-beda berdasarkan aturan umum yang ditetapkan melalui undang-undang. Patut juga dicatat bahwa konstitusi yang digunakan juga turut memengaruhi corak dari undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah. Dalam artikel ini tidak semua hal yang ada pada pemerintahan daerah dikemukakan. Dalam artikel ini hanya akan dibahas mengenai susunan daerah otonom dan pemegang kekuasaan pemerintahan daerah di bidang legislatif dan eksekutif serta beberapa kejadian yang khas untuk masing-masing periode pemerintahan daerah.
Periode I (1945-1948)
Pada periode ini belum terdapat sebuah undang-undang yang mengatur Pemerintahan Daerah secara khusus. Aturan yang digunakan adalah aturan yang ditetapkan oleh PPKI. Selain itu digunakan pula aturan UU No 1 Tahun 1945 yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari oleh Komite Nasional Daerah. PPKI dalam rapatnya pada 19 Agustus 1945 menetapkan pembagian daerah dan pelaksanaan pemerintahan secara umum dengan melanjutkan pelaksanaan yang sudah ada. PPKI hanya menetapkan adanya Komite Nasional di Daerah untuk membantu pekerjaan kepala daerah seperti yang dilakukan di pusat dengan adanya KNI Pusat.
Oleh PPKI, secara umum, wilayah Indonesia dibagi menjadi provinsi-provinsi. Tiap-tiap provinsi dibagi lagi menjadi karesidenan-karesidenan. Masing-masing provinsi dikepalai oleh Gubernur. Sedangkan karesidenan dikepalai oleh Residen. Gubernur dan Residen dalam melaksanakan pemerintahan dibantu oleh Komite Nasional Daerah. Selebihnya susunan dan bentuk pemerintahan daerah dilanjutkan menurut kondisi yang sudah ada. Dengan demikian provinsi dan karesidenan hanya sebagai daerah administratif dan belum mendapat otonomi.
Selain itu PPKI juga memutuskan disamping adanya provinsi terdapat pula 公地 Kooti (Zelfbestuurende Landschappen/Kerajaan) dan Kota (Gemeente/Haminte) yang kedudukan dan pemerintahan lokalnya tetap diteruskan sampai diatur lebih lanjut. Wilayah-wilayah Provinsi yang ada tersebut tidak mencakup wilayah-wilayah kooti (Zelfbestuurende Landschappen/Kerajaan). Wilayah-wilayah kooti berada di bawah pemerintahan pusat baik secara langsung maupun melalui perwakilan yang disebut dengan Komisaris.
Otonomi bagi daerah baru dirintis dengan keluarnya UU No. 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. UU No. 1 Tahun 1945 menyebutkan setidaknya ada tiga jenis daerah yang memiliki otonomi yaitu: Karesidenan, Kota otonom dan Kabupaten serta lain-lain daerah yang dianggap perlu (kecuali daerah Surakarta dan Yogyakarta). Pemberian otonomi itu dilakukan dengan membentuk Komite Nasional Daerah sebagai Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Sebagai penyelenggara pemerintahan daerah adalah Komite Nasional Daerah bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah. Untuk pemerintahan sehari-hari dibentuk Badan Eksekutif dari dan oleh Komite Nasional Daerah dan dipimpin oleh Kepala Daerah.
Mengingat situasi dan kondisi pada masa itu tidak semua daerah dapat membentuk dan melaksanakan pemerintahan daerah. Daerah-daerah Maluku (termasuk didalamnya Papua), Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan bahkan harus dihapuskan dari wilayah Indonesia sesuai isi Perjanjian Linggajati. Begitu pula dengan daerah-daerah Sumatra Timur, Riau, Bangka, Belitung, Sumatera Selatan bagian timur, Jawa Barat, Jawa Tengah bagian barat, Jawa Timur bagian timur, dan Madura juga harus dilepaskan dengan Perjanjian Renville.
Periode II (1948-1957)
Pada periode ini berlaku Undang-Undang Pokok No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini adalah UU pertama kalinya yang mengatur susunan dan kedudukan pemerintahan daerah di Indonesia. Secara umum Indonesia memiliki dua jenis daerah berotonomi yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom khusus yang disebut dengan daerah istimewa. Daerah otonom khusus yang diberi nomenklatur "Daerah Istimewa" adalah daerah kerajaan/kesultanan dengan kedudukan zelfbesturende landschappen/kooti/daerah swapraja yang telah ada sebelum Indonesia merdeka dan masih dikuasai oleh dinasti pemerintahannya. Masing-masing daerah berotonomi tersebut memiliki tiga tingkatan dan nomenklatur yang berbeda-beda yaitu:
Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintahan lokal terdiri dari:
Legislatif
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Eksekutif
Dewan Pemerintah Daerah (DPD)
DPRD mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Anggota DPRD dipilih dalam sebuah pemilihan yang diatur oleh UU pembentukan daerah. Masa jabatan Anggota DPRD adalah lima tahun. Jumlah anggota DPRD juga diatur dalam UU pembentukan daerah yang bersangkutan. Ketua dan Wakil Ketua DPRD dipilih oleh dan dari anggota DPRD yang bersangkutan.
DPD menjalankan pemerintahan sehari-hari. Anggota DPD secara bersama-sama atau masing-masing bertanggung jawab terhadap DPRD dan diwajibkan memberi keterangan-keterangan yang diminta oleh DPRD. DPD dipilih oleh dan dari DPRD dengan memperhatikan perimbangan komposisi kekuatan politik dalam DPRD. Masa jabatan anggota DPD sama seperti masa jabatan DPRD yang bersangkutan. Jumlah anggota DPD ditetapkan dalam UU pembentukan daerah yang bersangkutan.
Kepala Daerah menjadi ketua dan anggota DPD. Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan dengan ketentuan umum:
Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dari calon yang diajukan oleh DPRD Provinsi.
Kepala Daerah Kabupaten/Kota Besar diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari calon yang diajukan oleh DPRD Kabupaten/Kota Besar.
Kepala Daerah Desa, Negeri, Marga atau nama lain/Kota Kecil diangkat oleh Kepala Daerah Provinsi dari calon yang diajukan oleh DPRD Desa, Negeri, Marga atau nama lain/Kota Kecil.
Kepala Daerah dapat diberhentikan oleh pejabat yang mengangkat atas usul DPRD yang bersangkutan.
Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu pada zaman sebelum Republik Indonesia dengan syarat tertentu. Untuk daerah istimewa dapat diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa oleh Presiden dengan syarat yang sama dengan Kepala Daerah Istimewa. Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah anggota DPD.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 disusun berdasarkan pada konstitusi Republik I pasal 18. Pada mulanya UU ini mengatur pokok-pokok pemerintahan daerah di wilayah Indonesia yang tersisa yaitu:
A. Wilayah Sumatra meliputi: Aceh, Sumatera Utara bagian barat, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan bagian utara dan barat, Bengkulu, dan Lampung.
B. Wilayah Jawa meliputi: Banten, Jawa Tengah bagian timur, Yogyakarta, dan Jawa Timur bagian barat (daerah Mataraman)
Setelah pembentukan Republik III pada 15 Agustus 1950 UU ini berlaku untuk daerah seluruh Sumatra, seluruh Jawa, dan seluruh Kalimantan. Sedangkan pada daerah-daerah di bekas wilayah Negara Indonesia Timur yaitu wilayah Sulawesi, wilayah Nusa Tenggara, dan wilayah Maluku masih berlaku UU NIT No. 44 Tahun 1950.
Periode III (1957-1965)
Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang disebut juga Undang-undang tentang pokok-pokok pemerintahan 1956. UU ini menggantikan Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1948 dan UU NIT No. 44 Tahun 1950. Secara umum Indonesia memiliki dua jenis daerah berotonomi yaitu daerah otonom biasa yang disebut daerah swatantra dan daerah otonom khusus yang disebut dengan daerah istimewa. Masing-masing daerah berotonomi tersebut memiliki tiga tingkatan dan nomenklatur yang berbeda-beda yaitu:
Kecuali Pemerintahan Daerah Kotapraja Jakarta Raya, dalam Pemerintahan Daerah Kotapraja tidak dibentuk daerah Swatantra tingkat lebih rendah.
Selain dua macam daerah berotonomi tersebut terdapat pula Daerah Swapraja. Daerah ini merupakan kelanjutan dari sistem pemerintahan daerah zaman Hindia Belanda dan Republik II (Pemerintahan Negara Federal RIS). Menurut perkembangan keadaan Daerah Swapraja dapat dialihkan statusnya menjadi Daerah Istimewa atau Daerah Swatantra.
Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintahan lokal terdiri dari:
Legislatif
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Eksekutif
Dewan Pemerintah Daerah (DPD)
DPRD mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga daerahnya kecuali ditentukan lain dengan UU. Pemilihan dan penggantian anggota DPRD diatur dengan undang-undang tersendiri. Masa jabatan anggota DPRD adalah empat tahun. Masa jabatan anggota pengganti antar waktu hanya untuk sisa masa empat tahun tersebut. Jumlah anggota DPRD ditetapkan dalam UU pembentukan, dengan dasar perhitungan jumlah penduduk tertentu. Ketua dan Wakil Ketua DPRD dipilih oleh dan dari anggota DPRD.
Pimpinan sehari-hari Pemerintahan Daerah dijalankan oleh DPD. DPD menjalankan keputusan-keputusan DPRD. Anggota DPD dalam menjalankan tugasnya secara bersama-sama bertanggung jawab kepada DPRD dan wajib memberi keterangan-keterangan yang diminta oleh DPRD. DPD dipilih oleh dan dari DPRD dengan memperhatikan perimbangan komposisi kekuatan politik dalam DPRD. Masa jabatan anggota DPD sama seperti masa jabatan DPRD yang bersangkutan. Anggota DPD antar waktu yang dipilih memiliki masa jabatan hanya untuk sisa masa jabatan DPD yang ada. Jumlah anggota DPD ditetapkan dalam peraturan pembentukan daerah yang bersangkutan. Kepala Daerah karena jabatannya menjadi ketua dan anggota DPD. Wakil Ketua DPD dipilih oleh dan dari, anggota DPD bersangkutan.
Kepala Daerah dipilih, diangkat, dan diberhentikan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. Untuk sementara waktu Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dengan syarat-syarat tertentu dan disahkan oleh Presiden untuk Kepala Daerah dari tingkat ke I atau Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya untuk Kepala Daerah dari tingkat ke II dan ke III. Kepala Daerah dipilih untuk satu masa jabatan DPRD atau bagi mereka yang dipilih antar waktu guna mengisi lowongan Kepala Daerah, untuk sisa masa jabatan tersebut.
Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu pada zaman sebelum Republik dengan memperhatikan syarat tertentu dan diangkat serta diberhentikan oleh Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I atau Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya bagi Daerah Istimewa tingkat II dan III. Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan tata cara seperti Kepala Daerah Istimewa. Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi Ketua serta anggota dan Wakil Ketua serta anggota dari Dewan Pemerintah Daerah.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 disusun berdasarkan aturan Konstitusi Republik III pasal 131, 132, dan 133. Namun dalam perjalanan waktu, peraturan tersebut mengalami perubahan pada 1959 dan 1960 karena menyesuaikan dengan sistem ketata negaraan Republik IV. Penyesuaian pada tahun 1959 dilaksanakan dengan Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959. Menurut peraturan itu pemerintahan daerah terdiri dari:
Eksekutif
Kepala Daerah dengan dibantu Badan Pemerintah Harian (BPH)
Legislatif
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden bagi Daerah Tingkat I dan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah bagi Daerah Tingkat II dengan syarat tertentu. Kepala Daerah dapat diangkat baik dari calon yang diajukan DPRD maupun dari luar calon yang diusulkan DPRD. Masa jabatan Kepala Daerah sama seperti masa jabatan DPRD. Kepala Daerah adalah Pegawai Negara dan karenanya tidak dapat diberhentikan karena keputusan DPRD.
Kepala Daerah Istimewa diangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan di daerah pada zaman sebelum Republik Indonesia dengan syarat tertentu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan tata cara yang sama dengan Kepala Daerah Istimewa.
BPH terdiri dari 3 sampai 5 anggota kecuali yang berasal dari anggota DPD sebelumnya. Anggota BPH diangkat dan diberhentikan menurut aturan yang ditetapkan Mendagri dan Otda.
Penyesuaian pada tahun 1960 dilaksanakan dengan Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1960. Peraturan ini mengatur tentang DPRD Gotong Royong (DPRD-GR) dan Sekretariat Daerah. Dalam aturan ini pula ditetapkan bahwa Kepala Daerah karena jabatannya adalah Ketua DPRD-GR. Masa jabatan Kepala Daerah dan BPH disesuaikan dengan masa jabatan DPRD-GR.
Periode IV (1965-1974)
Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959; Penetapan Presiden No. 2 tahun 1960; Penetapan Presiden No. 5 tahun 1960 jo Penetapan Presiden No. 7 tahun 1965. Menurut UU ini secara umum Indonesia hanya mengenal satu jenis daerah otonomi. Daerah otonomi tersebut dibagi menjadi tiga tingkatan daerah.
Daerah-daerah yang memiliki otonomi khusus menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 boleh dikatakan dihapus secara sistematis dan diseragamkan dengan daerah otonomi biasa. Selain itu untuk mempersiapkan pembentukan daerah otonom tingkat III maka dikeluarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh Wilayah Indonesia yang dalam artikel ini disingkat menjadi "UU Desapraja".
Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintah Daerah berhak dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah-tangga daerahnya. Pemerintahan lokal terdiri dari:
Legislatif
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Eksekutif
Kepala Daerah, dibantu Wakil Kepala Daerah dan Badan Pemerintah Harian
Jumlah anggota DPRD ditetapkan dalam UU pembentukan daerah dengan dasar perhitungan jumlah penduduk tertentu. Masa jabatan anggota DPRD adalah 5 tahun. Anggota DPRD antar waktu masa jabatannya hanya untuk sisa masa lima tahun tersebut. Pemilihan, pengangkatan dan penggantian anggota DPRD diatur dengan UU tersendiri. Pimpinan DPRD terdiri dari seorang Ketua dan beberapa orang Wakil Ketua yang mencerminkan poros Nasakom. Pimpinan DPRD dalam menjalankan tugasnya mempertanggung-jawabkan kepada Kepala Daerah.
Masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, serta Anggota BPH adalah 5 tahun. Kepala Daerah adalah pegawai Negara. Kepala Daerah merupakan wakil pemerintah pusat sekaligus pejabat dalam pemerintahan daerah. Oleh karena itu Kepala Daerah harus melaksanakan politik pemerintah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri menurut hierarki yang ada. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta Anggota BPH diangkat dan diberhentikan oleh:
a. Presiden bagi Daerah tingkat I,
b. Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden bagi Daerah tingkat II, dan
c. Kepala Daerah tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat III yang ada dalam Daerah tingkat I.
Anggota BPH bagi masing-masing tingkatan daerah adalah:
a. bagi Daerah tingkat I sekurang-kurangnya 7 orang.
b. bagi Daerah tingkat II sekurang-kurangnya 5 orang.
c. bagi Daerah tingkat III sekurang-kurangnya 3 orang.
Desapraja merupakan kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri. Alat-alat kelengkapan pemerintahan desapraja terdiri atas Kepala Desapraja, Badan Musyawarah Desapraja, Pamong Desapraja, Panitera Desapraja, Petugas Desapraja, dan Badan Pertimbangan Desapraja.
Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 disusun berdasar pasal 18 Konstitusi Republik IV. Namun berbeda dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, UU ini secara tegas tidak lagi mengakomodasi daerah-daerah dengan otonomi khusus dan secara sistematis berusaha menghapuskan daerah otonomi khusus tersebut sebagaimana yang tercantum dalam pasal 88. Hal tersebut juga diterangkan dengan lebih gamblang dalam penjelasan Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 pasal 1-2 serta pasal 88. Akan tetapi, badai politik tahun 1965, yang terjadi hanya 29 hari setelah Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 disahkan, menyebabkan UU pemerintahan daerah ini tidak dapat diberlakukan secara mulus. Perubahan konstelasi politik yang terjadi sepanjang akhir 1965 sampai dengan tahun 1968 mengakibatkan UU Pemerintahan Daerah dan UU Desapraja tidak dapat diberlakukan.
Periode V (1974-1999)
Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 yang dinyatakan tidak dapat diterapkan. Menurut UU ini secara umum Indonesia dibagi menjadi satu macam Daerah Otonom sebagai pelaksanaan asas desentralisasi dan Wilayah Administratif sebagai pelaksanaan asas dekonsentrasi.
Daerah Otonom
Wilayah Administrasi
Nama dan batas Daerah Tingkat I adalah sama dengan nama dan batas Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara. Ibu kota Daerah Tingkat I adalah ibu kota Wilayah Provinsi. Nama dan batas Daerah Tingkat II adalah sama dengan nama dan batas Wilayah Kabupaten atau Kotamadya. Ibu kota Daerah Tingkat II adalah ibu kota Wilayah Kabupaten. Penyebutan Wilayah Administratif dan Daerah Otonom disatukan.
Untuk Wilayah Administratif Provinsi dan Daerah Otonom Tingkat I disebut Provinsi Daerah Tingkat I. Sebagai contoh adalah Provinsi Daerah Tingkat I Riau.
Untuk Wilayah Administratif Ibukota Negara dan Daerah Otonomi Khusus Ibukota Jakarta disebut Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Untuk Wilayah Administratif Provinsi dan Daerah Otonomi Istimewa disebut Provinsi Daerah Istimewa. Untuk Aceh disebut Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Untuk Yogyakarta disebut Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Untuk Wilayah Administratif Kabupaten dan Daerah Otonom Tingkat II disebut Kabupaten Daerah Tingkat II. Sebagai contoh adalah Kabupaten Daerah Tingkat II Kampar.
Untuk Wilayah Administratif Kotamadya dan Daerah Otonom Tingkat II disebut Kotamadya Daerah Tingkat II. Sebagai contoh adalah Kotamadya Daerah Tingkat II Pekanbaru.
Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintahan lokal terdiri dari:
Legislatif
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Eksekutif
Kepala Daerah
Daerah berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Titik berat Otonomi Daerah diletakkan pada Daerah Tingkat II. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah dibentuk Sekretariat Daerah dan Dinas-dinas Daerah.
Susunan, keanggotaan, dan pimpinan DPRD, begitu juga sumpah/janji, masa keanggotaan, dan larangan rangkapan jabatan bagi anggota-anggotanya diatur dengan UU tersendiri.
Kepala Daerah adalah Pejabat Negara. Kepala Daerah diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun terhitung mulai tanggal pelantikannya dan dapat diangkat kembali, untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Kepala Daerah Tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh DPRD Tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri dan selanjutnya diangkat oleh Presiden. Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh DPRD Tingkat II dengan persetujuan Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I dan selanjutnya diangkat oleh Menteri Dalam Negeri.
Wakil Kepala Daerah adalah Pejabat Negara. Wakil Kepala Daerah Tingkat I diangkat oleh Presiden dari Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan. Wakil Kepala Daerah Tingkat II diangkat oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden dari Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan. Apabila dipandang perlu, Menteri Dalam Negeri dapat menunjuk Pembantu Gubernur, Pembantu Bupati atau Pembantu Walikotamadya yang mempunyai wilayah kerja tertentu dalam rangka dekonsentrasi.
Kepala Daerah Tingkat I karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara. Wakil Kepala Daerah Tingkat I karena jabatannya adalah Wakil Kepala Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara dan disebut Wakil Gubernur. Kepala Daerah Tingkat II karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Kabupaten atau Kotamadya. Wakil Kepala Daerah Tingkat II karena jabatannya adalah Wakil Kepala Wilayah Kabupaten atau Kotamadya, dan disebut Wakil Bupati atau Wakil Walikotamadya.
Sebutan Kepala Wilayah dan Kepala Daerah disatukan.
Untuk Kepala Wilayah Provinsi/Kepala Daerah Tingkat I disebut Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Sebagai contoh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah.
Untuk Kepala Wilayah Ibukota Negara/Daerah Khusus Ibukota Jakarta disebut Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Untuk Kepala Wilayah Provinsi/Daerah Istimewa disebut Gubernur Kepala Daerah Istimewa. Untuk DI Aceh disebut Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh. Untuk DI Yogyakarta disebut Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
Untuk Kepala Wilayah Kabupaten/Daerah Tingkat II disebut Bupati Kepala Daerah Tingkat II. Sebagai contoh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Barito Selatan.
Untuk Kepala Wilayah Kotamadya/Daerah Tingkat II disebut Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II. Sebagai contoh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Palangkaraya.
Pemerintahan Desa diatur tersendiri dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Dalam menjalankan pemerintahan Kepala Desa dibantu oleh Perangkat Desa yang terdiri atas Sekretaris Desa, Kepala-kepala Dusun, dan Kepala-kepala Urusan. Kepala Desa karena jabatannya adalah Ketua LMD. Sekretaris Desa karena jabatannya adalah Sekretaris LMD.
Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 juga diatur mengenai Kelurahan. Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Pemerintah Kelurahan terdiri atas Kepala Kelurahan dan Perangkat Kelurahan yang meliputi Sekretaris Kelurahan, Kepala-kepala Lingkungan, dan Kepala-kepala Urusan.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 disusun berdasarkan pasal 18 Konstitusi Republik IV dan dikembangkan lebih jauh dengan mengadopsi "ide-ide" yang ada dalam penjelasan Konstitusi. UU ini cukup lama bertahan yaitu selama 25 tahun. Dalam perjalanannya Indonesia mengalami penambahan wilayah baru yang berasal dari koloni Portugis pada 1976 dan dibentuk sebagai sebuah provinsi yaitu Provinsi Daerah Tingkat I Timor Timur dengan Undang-Undang No 7 Tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor-Timur ke Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Timor-Timur. Pada tahun 1990 Kota Jakarta mendapat status Daerah Khusus dengan tingkatan daerah otonom Daerah Tingkat I melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu kota Negara Republik Indonesia Jakarta. Selain itu tidak banyak yang menonjol dari pemerintahan daerah.
Periode VI (1999-2004)
Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979. Menurut UU ini Indonesia dibagi menjadi satu macam daerah otonom dengan mengakui kekhususan yang ada pada tiga daerah yaitu Aceh, Jakarta, dan Yogyakarta dan satu tingkat wilayah administratif.
Tiga jenis daerah otonom adalah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota. Ketiga jenis daerah tersebut berkedudukan setara dalam artian tidak ada hierarki daerah otonom. Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai wilayah administratif.
Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintahan Daerah". Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas Desentralisasi. Daerah Otonom (disebut Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota) adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintahan lokal terdiri dari:
Badan Legislatif Daerah
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Badan Eksekutif Daerah
Pemerintah Daerah, yang terdiri atas Kepala Daerah dan Perangkat Daerah.
DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah. Kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak, keanggotaan, pimpinan, dan alat kelengkapan DPRD diatur dengan undang-undang tersendiri.
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan. Kepala Daerah dilantik oleh Presiden atau pejabat lain yang ditunjuk untuk bertindak atas nama Presiden.
Kepala Daerah Provinsi disebut Gubernur, yang karena jabatannya adalah juga sebagai wakil Pemerintah. Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagai Kepala Daerah, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD Provinsi. Kepala Daerah Kabupaten disebut Bupati. Kepala Daerah Kota disebut Wali kota. Dalam menjalankan tugas dan kewenangan selaku Kepala Daerah, Bupati/Wali kota bertanggungiawab kepada DPRD Kabupaten/Kota.
Peraturan mengenai Desa dipisahkan dalam bab yang berbeda dari peraturan mengenai daerah otonom provinsi/kabupaten/kota. Ini dikarenakan Desa atau yang disebut dengan nama lain (Nagari,Kampung, Huta, Bori, Marga dan lain sebagainya) memiliki susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.
Pemerintahan Desa terdiri atas Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa. Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan perangkat Desa. Kepala Desa dipilih langsung oleh Penduduk Desa. Masa jabatan Kepala Desa paling lama sepuluh tahun atau dua kali masa jabatan terhitung sejak tanggal ditetapkan. Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Anggota Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh penduduk Desa yang memenuhi persyaratan. Pimpinan Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh anggota. Di Desa dapat dibentuk lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan Desa dan ditetapkan dengan Peraturan Desa.
UU ini disusun berdasarkan Konstitusi Republik IV pasal 18 dan dikembangkan dengan mengadopsi beberapa ide dalam penjelasan konstitusi pasal 18 khususnya bagian II. UU ini cukup istimewa karena diberlakukan dalam masa Republik IV, Republik V, dan Republik VI. Dalam perjalanannya Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta diatur dengan Undang-Undang No. 34 Tahun 1999. Provinsi Aceh juga ditegaskan keistimewaannya dengan Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 dan diberi otonomi khusus dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 serta perubahan nomenklatur menjadi Aceh. Selain itu Provinsi Irian Jaya juga diberi otonomi khusus dengan UU No. 21 Tahun 2001 serta perubahan nomenklatur menjadi Provinsi Papua. Selain pemberian penegasan dan pemberian status khusus, beberapa provinsi lainnya mengalami pemekaran menjadi provinsi baru. Provinsi Timor-Timur juga memperoleh kemerdekaan penuh pada 2002 dengan nama Timor Leste/Timor Lorosae dari Pemerintahan Transisi PBB. Kemerdekaan tersebut berdasarkan hasil referendum atas status koloni Portugis pada 1999 setelah sekitar 23 tahun bergabung dengan Indonesia.
Periode VII (mulai 2004)
Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Menurut UU ini Indonesia dibagi menjadi satu jenis daerah otonom dengan perincian Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Selain itu Negara mengakui kekhususan dan/atau keistimewaan yang ada pada empat daerah yaitu Aceh, Jakarta, Papua, dan Yogyakarta. Negara juga mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat (Desa atau nama lain) beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan.
Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintahan lokal secara umum terdiri dari:
Legislatif
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Eksekutif
Pemerintah Daerah, yang terdiri atas Kepala Daerah dan Perangkat Daerah.
Pemerintahan daerah provinsi terdiri atas Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD Provinsi. Untuk Provinsi Aceh disebut Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPR Aceh). Khusus Aceh terdapat Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang menjadi mitra DPR Aceh dan Pemda Aceh. Untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat masing-masing disebut Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPR Papua) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPR Papua Barat). Khusus Papua dan Papua Barat juga terdapat masing-masing Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) sebagai representasi kultural orang asli Papua.
Pemerintahan daerah Kabupaten/Kota terdiri atas Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupaten/Kota. Untuk Kabupaten/Kota di lingkungan Provinsi Aceh disebut Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPR Kabupaten/Kota). Khusus Kabupaten/Kota di lingkungan Provinsi Aceh terdapat Majelis Permusyawaratan Ulama Kabupaten/Kota (MPU) yang menjadi mitra DPR Kabupaten/Kota dan Pemda Kabupaten/Kota di dalam lingkungan Provinsi Aceh.
DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Ketentuan tentang DPRD sepanjang tidak diatur secara khusus berlaku ketentuan undang-undang yang mengatur Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Khusus untuk DPR Aceh, DPR Papua, dan DPRD Provinsi DKI Jakarta dapat memiliki anggota sebanyak 125% dari jumlah yang ditentukan dalam UU yang mengatur mengenai DPRD.
Kepala daerah untuk provinsi disebut Gubernur, untuk kabupaten disebut Bupati, dan untuk kota disebut Wali kota. Wakil kepala daerah untuk provinsi disebut Wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut Wakil Bupati dan untuk kota disebut Wakil Wali kota. Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Perangkat daerah provinsi secara umum terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. Perangkat daerah kabupaten/kota secara umum terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan.
Desa atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara. Termasuk dalam pengertian ini adalah Nagari di Sumatera Barat, Gampong di provinsi Aceh, Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan Papua, Negeri di Maluku. Secara bertahap, Desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan.
Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa dan Perangkat Desa. Kepala Desa dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa. Masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Anggota badan permusyawaratan desa adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Masa jabatan anggota badan permusyawaratan desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih lagi untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 disusun berdasarkan Konstitusi Republik VI pasal 18, 18A, dan 18B. Dalam perjalanannya UU ini telah diubah sebanyak dua kali dengan Perppu No. 3 Tahun 2005 (ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 8 Tahun 2005) dan dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008. Selanjutnya daerah Aceh dan Jakarta kembali diatur dengan UU tersendiri. Aceh diatur secara penuh dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sedangkan Jakarta diatur kembali dengan UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Provinsi Papua tetap diatur dengan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Provinsi Papua Barat sebagai pemekaran dari Provinsi Papua juga mendapatkan otonomi khusus sebagaimana provinsi induknya dengan Perppu No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 35 Tahun 2008).
Appendix
= Appendix I: Zaman Hindia Belanda
=Menurut Regeering Reglement (RR) 1854, Hindia Belanda diperintah oleh gubernur jenderal atas nama raja atau ratu Belanda secara sentralistis. Daerah Hindia Belanda dibagi dalam dua kategori besar yaitu daerah indirect gebied dan direct gebied.
Daerah indirect gebied adalah daerah yang diperintah secara tidak langsung oleh penguasa Batavia. Daerah ini biasanya berbentuk kerajaan atau kesultanan yang terikat dengan perjanjian politik baik jangka panjang maupun jangka pendek. Perjanjian ini dilakukan oleh raja atau sultan dari kerajaan atau kesultanan lokal dengan residen atau gubernur sebagai wakil gubernur jenderal atas nama raja atau ratu Belanda. Dengan perjanjian tersebut kerajaan atau kesultanan memiliki status "negara semi merdeka" dalam lingkungan Kerajaan Belanda. Daerah-daerah tersebut diperintah sendiri oleh penguasa pribumi dan memiliki struktur pemerintahan lokal sendiri. Pemerintah Hindia Belanda hanya menempatkan para pengawas dengan pangkat asisten residen, residen, atau gubernur sesuai dengan tingkatan daerah yang didasarkan pada kepentingan Pemerintah Hindia Belanda. Dari sinilah kemudian muncul kedudukan khusus suatu daerah yang dikenal dengan nomenklatur Zelfbesturende Lanschappen (Daerah Swapraja [berpemerintahan sendiri] atau otonom).
Daerah direct gebied adalah yang diperintah secara langsung oleh Batavia secara hirarkis. Pemerintahannya bersifat administratif atau sering disebut "pemerintahan pangreh praja". Pemerintahan ini pun dibedakan antara pemerintahan di wilayah Jawa dan Madura dengan luar Jawa dan Madura.
Di wilayah Jawa dan Madura, secara berurutan tingkatan pemerintahan dan kepala pemerintahannya (dalam tanda kurung), adalah: provinsi (gubernur), keresidenan (residen), kabupaten (asisten residen dan bupati), kawedanaan (kontrolir dan wedana), kecamatan (asisten kontrolir dan asisten wedana), dan desa (lurah atau kepala desa).
Di Luar wilayah Jawa dan Madura, secara berurutan tingkatan pemerintahan dan kepala pemerintahannya (dalam tanda kurung), adalah: provinsi (gubernur), keresidenan (residen), afdeling (asisten residen), Onderafdeling (kontrolir), distrik atau kawedanaan (demang), Onderdistrict atau kecamatan (asisten demang), desa, marga, kuria, nagari, atau nama lain (kepala desa atau nama lain).
Gubernur sampai asisten residen untuk Jawa dan kontrolir untuk luar Jawa adalah berkebangsaan Belanda dan disebut Eurpese Bestuurambtenaren. Sedangkan bupati sampai lurah atau kepala desa untuk Jawa dan Demang sampai kepala desa atau nama lain untuk luar Jawa berkebangsaan pribumi dan disebut Inlandse Bestuurambtenaren.
Dengan adanya Decentralisatie Wet 1903 (Stbl 1903 No. 329) prinsip otonomi mulai diperkenalkan. Di beberapa daerah mulai dibentuk Locale Raad (semacam DPRD). Perkembangan selanjutnya muncul Wet Op de Bestuurshervormings 1922 (Stbl 1922 No. 216). Sebagai Badan Pemerintahan Harian di tingkat provinsi terdapat College van Gedeputeerden yang dipimpin oleh gubernur. Di tingkat kabupaten terdapat College van Gecomitteerden yang dipimpin oleh bupati (Regent). Sedang di kotapraja terdapat College van Burgermeester en Wethouders yang dipimpin oleh wali kota).
= Appendix II: Zaman Pendudukan Militer Jepang
=Pada masa pendudukan militer Jepang, 東印度 To Indo dikuasai oleh tiga divisi besar tentara pendudukan yang berbeda. Wilayah Jawa dikuasai oleh Divisi XVI Angkatan Darat (軍政監部ジャワ Gunseikanbu Jawa) yang berpusat di Jakarta. Wilayah Sumatra dikuasai oleh Divisi XXV Angkatan Darat (軍政監部 Gunseikanbu Sumatra) yang berpusat di Bukittinggi. Sedangkan wilayah Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua dikuasai oleh Angkatan Laut (民政部 海軍 Minseibu/Kaigun) yang berpusat di Makassar.
Khususnya Jawa, pemerintahan tertinggi berada di tangan 最高指揮官 Saikoo Sikikan (Gunsereikan). Nomenkaltur daerah diganti menurut bahasa Jepang. Beberapa tingkatan daerah dihapuskan. Begitu pula dengan Locale Raad-nya dibekukan/dibubarkan. Pada masa pendudukan Jepang tingkatan daerahnya menjadi:
州 Syuu (karesidenan) dipimpin oleh 州長官 Syuutyookan, 市 Si (kota)/ 縣 Ken (kabupaten) dipimpin oleh 市長/縣長 Sityoo/Kentyoo, 郡 Gun (distrik) dipimpin oleh 郡長 Guntyoo, 村 Son (kecamatan) dipimpin oleh 村長 Sontyoo, dan 區 Ku (desa) dipimpin oleh 區長 Kutyoo.
Daerah dengan kedudukan Zelfbesturende Lanschappen diganti nomenklaturnya menjadi 公地 Kooti. Daerah ini masih diperkenankan memiliki pemerintahan sendiri, namun dengan pengawasan yang sangat ketat dari pemerintahan militer dengan menempatkan pejabat 公地事務局長官 Kooti-Zimukyoku-tyookan.
Pada akhir masa pendudukan, Jepang kembali menghidupkan Locale Raad dengan nomenklatur 州参議会 Syuu Sangi-kai bagi Syuu dan 特別市参議会Tokubetsu Si Sangi-kai bagi Si.
= Appendix III: Konsep BPUPKI-PPKI
=Konsep pemikiran mengenai pemerintahan daerah di dalam Sidang BPUPKI berkembang secara dinamis. Beberapa ide yang muncul antara lain dari Muh. Yamin, Supomo, dan Hatta. Dari sidang-sidang dihasilkan beberapa hasil antara lain: Negara Indonesia akan berbentuk Republik, Wilayah Negara akan meliputi Hindia Belanda ditambah Malaya, Borneo Utara, Papua (Inggris), Timor Portugis dan pulau sekelilingnya, Negara Indonesia akan berbentuk Kesatuan,Negara Indonesia akan dibagi menjadi daerah besar dan daerah kecil, Di daerah besar dan kecil itu akan diadakan dewan permusyawaratan daerah, Zelfbestuur/Kooti akan berkedudukan sebagai daerah otonom khusus bukan lagi sebagai negara, Susunan asli pemerintahan zelfbestuurende landschappen dan volksgemeinschaften akan dihormati dan diperhatikan.
Dalam sidang PPKI Supomo kembali menjelaskan susunan dan kedudukan daerah. Pemerintahan daerah akan disusun dalam undang-undang. Dalam pemerintahan daerah akan bersifat permusyawaratan dengan adanya Dewan Perwakilan Daerah. Zelfbestuurende Landschappen (Kooti, Sultanaat) akan berkedudukan sebagai daerah istimewa (daerah yang mempunyai sifat istimewa, mempunyai susunan asli) bukan sebagai negara karena hanya ada satu negara. Daerah istimewa itu akan menjadi bagian dari Staat Indonesia dan akan dihormati susunan asli pemerintahannya. Zelfstandige gemeenschappen atau Inheemsche Rechtsgemeenschappen seperti desa, nagari, marga dan sebagainya akan dihormati susunan aslinya. Suasana sidang pembahasan Pemerintahan Daerah di Indonesia berlangsung dengan hangat dan berkembang secara dinamis. Keputusan resmi PPKI dapat dilihat pada periode I di atas.
= Appendix IV: RIS dan NIT
=Konstitusi Republik II mengatur hubungan antara Negara Federal dengan Negara Bagian dan menyerahkan pengaturan pemerintahan daerah pada masing-masing negara bagian. Hanya saja konstitusi memerintahkan bahwa daerah swapraja yang terdapat di dalam lingkungan negara bagian diatur dengan perjanjian politik (kontrak) antara negara bagian dengan daerah swapraja. Namun sampai konstitusi Republik II berakhir masa berlakunya belum ada UU Federal yang mengatur mengenai daerah Swapraja.
Sesuai dengan konstitusi Federal yang menyerahkan pengaturan pemerintahan daerah pada masing-masing negara bagian, maka Pemerintahan daerah di Negara Bagian Republik Indonesia (Yogyakarta) tetap diatur dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948. Sedangkan Negara Bagian Negara Indonesia Timur diatur dengan Undang-Undang NIT No. 44 Tahun 1950 yang mulai berlaku pada 15 Juni 1950. Dalam UU ini NIT dibagi dalam tiga tingkatan daerah otonomi.
Di wilayah NIT sebelum negara bagian itu melebur menjadi Negara Kesatuan sempat ada tiga belas Daerah yang terbentuk. Ketiga belas daerah itu adalah: (1) Sulawesi Selatan; (2) Minahasa; (3) Kepulauan Sangihe dan Talaud; (4) Sulawesi Utara; (5) Sulawesi Tengah; (6) Bali; (7) Lombok; (8) Sumbawa; (9) Flores; (10) Sumba; (11) Timor dan kepulaunnya; (12) Maluku Selatan; dan (13) Maluku Utara. Daerah Bagian dan Daerah Anak Bagian berdasarkan UU tersebut belum sempat terbentuk sampai NIT melebur menjadi Negara Kesatuan.
Isi UU NIT No. 44 Tahun 1950 sebagian besar mengadopsi isi Undang-Undang RI-Yogyakarta No. 22 Tahun 1948. UU ini tetap berlaku pada masa Republik III di wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku sampai tahun 1957.
Catatan
Referensi
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS 1949)
Undang-Undang RIS No. 7 Tahun 1950 (UUD Sementara 1950)
UU Pokok No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah (RI-Yogyakarta)
UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (LN Tahun 1957 No. 6)
UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (LN Tahun 1965 No. 83; TLN No. 2778)
UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (LN Tahun 1974 No. 38; TLN No. 3037)
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (LN Tahun 1999 No. 60; TLN No. 3839)
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (LN Tahun 2004 No. 125; TLN No. 4437)
Aries Djaenuri et. al. (2003) Hubungan Pusat dan Daerah. Cet 4. Jakarta* Universitas Terbuka
Hanif Nurcholis. (2002) Administrasi Pemerintahan Daerah. Edisi 1. Cet 1. Jakarta: Universitas Terbuka.
Kartiko Purnomo. (2001) Administrasi Pemerintahan Daerah II. Cet 3. Jakarta: Universitas Terbuka.
Saafroedin Bahar et. al. (Ed). (1993) Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945 – 19 Agustus 1945. Edisi II. Cetakan 4. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Lihat pula
Pemerintahan daerah
Pemerintah daerah
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Sejarah Indonesia
Hindia Belanda
Daftar provinsi di Indonesia sepanjang masa
Kata Kunci Pencarian:
- Sejarah pemerintahan daerah di Indonesia
- Sejarah Indonesia
- Pemerintah daerah di Indonesia
- Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
- Sejarah Indonesia (1945–1949)
- Sejarah provinsi di Indonesia
- Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta
- Pemilihan kepala daerah di Indonesia
- Orde Baru
- Provinsi di Indonesia
- 2024 Indonesian local elections
- Indonesia
- Regency (Indonesia)
- City status in Indonesia
- Thousand Islands (Indonesia)
- Indonesian National Revolution
- Bogor
- List of political parties in Indonesia
- Central Papua
- Samarinda