- Source: Teoantropoekosentris
Istilah teoantropoekosentris adalah kreasi intelektual Prof. Dr. H. Ibrahim Siregar, Istilah ini dijadikan untuk menunjuk paradigma keilmuan yang dikembangkan di IAIN Padangsidimpuan. Menurut beliau, istilah ini terjemahan dari istilah yang populer dalam literatur ilmu-ilmu keislaman yaitu al-ilahiyah, al-insaniyah dan al-kauniyah. Ibrahim menjelaskan bahwa pembentukan istilah teoantropoekosentris terinspirasi dari ayat Al-Qur`an surat Al-Baqarah/2 ayat 30 dan surat Fussilat/41 ayat 53. Pada ayat pertama mengandung kata kunci yang penting untuk perumusan istilah teoantropoekosentris. Pada surat Al-Baqarah ayat 30 terdapat kata "rabbun", "khalifah" dan "al-ardh". Sementara pada Fussilat ayat 53 terdapat kata "sanurihim", "afaq" dan "anfus". Rabbun artinya Tuhan atau Allah, khalifah bermakna pemimpin, wakil. Kata khalifah tentu saja maksudnya adalah manusia (al-insan), dan al-ardh artinya bumi atau alam semesta. Selanjutnya pada ayat kedua, kata "sanurihim" memiliki terjemah "Kami akan memperlihatkan kepada mereka". Kata "Kami" di sana adalah kata ganti yang bersifat pengagungan (li at-ta'zhim) untuk menyebut Allah itu sendiri. Kata afaq bermakna cakrawala atau alam semesta. Sedangkan anfus bermakna diri, yaitu diri manusia. Dengan demikian kedua ayat ini menunjukkan tiga subjek penting yaitu Allah, manusia dan alam. Dari sinilah kemudian dirumuskan istilah al-ilahiyah, al-insaniyah dan al-kauniyah. Ungkapan ini tentu sepadan dengan istilah teoantropoekosentris.
Teoantropoekosentris terdiri dari kata teo, antropo, eko dan sentris. Secara etimologi, teo berasal dari kata theos (Greek) bermakna Tuhan. Sedangkan antropo (dari kata anthropos, Greek) artinya manusia. Kata eko (dari kata oikos, Greek) artinya habitat/lingkungan. Sementara sentris (dari kata center, Inggris) artinya pusat. Berdasarkan arti etimologi masing-masing kata di atas, maka secara bahasa, teoantropoekosentris dapat diartikan sebagai “yang berpusat pada Tuhan-manusia-lingkungan”. Dengan demikian, paradigma teoantropoekosentris adalah paradigma keilmuan yang berpusat atau bertumpu pada kesepaduan (integrasi) Tuhan, manusia dan lingkungan (alam).
Tuhan (Theos) dalam konsep ini dipahami sebagai ‘ilmu ilahiy atau ’ulum an-naqliyah. Sedangkan manusia (anthropos) dipahami sebagai ‘ulum al-insaniyah. Sementara ekologi (oikos) atau lingkungan di sini dipahami sebagai ‘ilm al-bi’ah. Dengan demikian, teoantropoekosentris adalah paradigma keilmuan yang menempatkan ulum an-naqliyah, ‘ulum al-insaniyyah dan ‘ilm al-bi’ah pada posisi yang integratif.
Pada tingkat ontologi keilmuan, cara pandang teoantropoekosentris melihat bahwa konstruk keilmuan yang terbentuk adalah hasil dialektika keilmuan antara wilayah ‘ilmu ilahiy, ilmu insaniy dan’ilmu al-bi`ah. Dalam konsep ilmuan Muslim klasik, ‘ilmu al-bi’ah sebenarnya adalah bagian dari ‘ilmu insaniy. Hanya saja dalam perkembangannya di era modern, ‘ilmu al-bi’ah memiliki otonomi sendiri. Itulah sebabnya di kalangan intelektual Muslim muncul kajian-kajian khusus tentang al-bi`ah (lingkungan). Bahkan kalangan ahli hukum Islam modern dan kontemporer menambahkan hifzh al-bi`ah (penyelamatan/pemeliharaan lingkungan) sebagai salah satu tujuan pokok syari’ah (maqashid asy-syari’ah) di samping tujuan-tujuan lainnya seperti hifzh ad-din, hifzh al-‘aql, hifzh an-nafs, hifzh al-mal dan hifzh an-nasl. Jika keenam tujuan syari’ah ini dilihat dalam perspektif keilmuan, maka hifzh ad-din masuk dalam kategori ‘ilmu ilahiy, sementara hifzh al-‘aql, hifzh an-nafs dan hifz an-nasl bagian dari kategori ‘ilmu insaniy. Sedangkan hifzh al-mal dan hifz al-bi`ah masuk dalam kategori ’ilmu al-bi`ah.
Paradigma Teoantropoekosentris
Pemeteaan keilmuan dalam paradigma teoantropoekosentris menjadi ‘ulum ad-diniyah, ‘ulum al-insaniyah dan ’ilmu al-bi`ah, atau nama lainnya yang bersinonim sesungguhnya adalah kelanjutan dari pemahaman trilogis tentang Tuhan, manusia dan alam/lingkungan (trilogi subjek). Secara terminologis dapat disinonimkan dengan hablun min allah, hablun min an-nas dan hablun min al-‘alam (trilogi objek). Trilogi subjek dan objek ini adalah trilogi yang integratif atau integralistik. Pemahaman demikian inilah yang menjadi visi dasar keilmuan yang dikembangkan di IAIN Padangsidimpuan.
Visi integralisme keilmuan yang digagas dalam paradigma teoantropoekosentris ini sebenarnya bukan visi baru. Visi demikian ini ¾sebagaimana terabstraksikan dalam sejarah intelektualisme Islam¾ telah dimiliki oleh para ilmuan klasik Muslim. Al-Kindi dalam konsep talfiq-nya secara tegas menyatakan kesatuan gagasan, pemikiran dan konseptual antara agama (‘ilm ilahiy) dan ‘ilm insaniy (dapat juga dibaca: filsafat). Al-Farabi juga memiliki pemikiran yang sama. Al-Farabi secara khusus menunjukkan konsep intergralisme keilmuannya dalam Ihsa` al-‘Ulum. Dalam karya ini, ia menunjukkan integrasi teori-teori keilmuan pada tiga bidang keilmuan (ulum an-naqliyah, ‘ulum al-insaniyyah dan ‘ilm al-bi’ah). Al-Khawarizmi, seorang ahli sains, dalam Miftah al-‘Ulum, membagi ilmu kepada ilmu-ilmu syar’iyyah atau ilmu-ulmu kearaban (fiqih, kalam, ‘ulum al-Qur`an, sirah, dll.) dan ilmu-ilmu ‘ajam (filsafat, logika, kedokteran, aritmatika, dll).
Pembagian ini tidak bersifat mempertentangkan, tetapi lebih kepada keperluan klasifikasi dan hirarki pengetahuan. Secara koheren dan konsisten, para intelektual Muslim terdahulu tidak pernah memiliki cara pandang bahwa penggolongan ini bersifat dikhotomik, apa lagi bersifat konflik. Oleh karena itu, dalam khazanah keilmuan klasik, tidak pernah ditemukan narasi penegasian total satu bidang ilmu terhadap bidang ilmu lain sebagaimana terjadi di Barat. Pandangan mainstream di kalangan ilmuan Muslim, ‘ilmu ilahiy (wahyu) adalah ilmu tertinggi (puncak). Sementara ilmu lainnya adalah ilmu tingkat di bawahnya. Ilustrasi yang didapat dari Imam al-Ghazali tentang hirarki ilmu mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi adalah pengetahuan indrawi (hissiyah), pengetahuan rasional (‘aqliyah), pengetahuan filsafat (falsafah), dan pengetahuan mistis (ladunni/tasawwuf). Secara aksiologis, pencarian ilmu yang benar ¾secara hirarkis¾ akan menyampaikan pencarian kepada tingkat tertinggi (puncak ilmu). Pandangan para ilmuan Muslim bahwa ‘ilmu ilahiy sebagai ilmu tertinggi ternyata memiliki koherensi dengan pandangan ilmuan Barat modern semisal Albert Einstein. Dalam salah satu pernyataannya Einstein mengatakan bahwa ilmu yang utuh adalah perpaduan ilmu empirik-rasional dan mistis-intuitif.
Integrasi, Interkoneksi dan Komplementasi Keilmuan
Asumsi-asumsi teoritis-filosofis ilmuan Muslim terdahulu tentang integralisme keilmuan ini menjadi world view keilmuan yang diusung oleh paradigma teoantropoekosentris. Dengan demikian, meminjam istilah M. Amin Abdullah, paradigma teoantropoekosentris ini memadukan ilmu pada wilayah hadharat an-nas, hadharat al-falsafah dan hadharat al-‘ilmi. Secara substantif, world view keilmuan yang demikian ini turun dari Al-Qur`an. Al-Qur`an (misalnya Surat Al-Baqarah ayat 129, 151, 164; Ali Imran ayat 190-191; Al-An’am ayat 99) memberi petunjuk bahwa wahyu yang diturunkan, manusia, alam semesta dan seluruh isi dan penomenanya adalah ayat Allah. Dengan demikian seluruh objek ilmu pengetahuan adalah ayat Allah. Oleh karena itu secara mutlak semua ilmu bersumber dari Allah SWT. Dalam perspektif filsafat ilmu, Syed Muhammad Naquib al-Attas menyebut objek ilmu itu terdiri dari wahyu (ayat qauliyah/ayat tanziliyah) dan manusia-alam semesta (ayat kauniyah). Sementara Kuntowijoyo berpandangan bahwa objek ilmu terdiri dari hal-hal yang ilahiyah, nafsiah dan kauniyah. Hasan Langgulung menjelaskan bahwa hubungan ayat qauliyah dan ayat kauniyah dalam dialektika keilmuan bersifat interdependensi dan komplementer. Ayat qauliyah adalah tesaurus bagi ayat kauniyah, sementara ayat kauniyah adalah kamus bagi ayat qauliyah. Dengan demikian, secara teoritis-filosofis, tidak mungkin terjadi pertentangan antara ayat qauliyah, ayat nafsiah dan ayat kauniyah, karena sama-sama bersumber dari Allah SWT.
Dalam konteks teoantropoekosentris, pada tingkat ontologi keilmuan hubungan ayat qauliyah (theos), ayat nafsiah (anthropos) dan ayat kauniyah (eko/oikos) bersifat integratif. Namun dalam kerangka epistemologis, hubungan ketiganya selain bersifat integratif, juga bersifat interkonektif dan komplementatif. Secara agak teknis, dalam paradigma keilmuan ini seluruh kajian, pengembangan dan penelitian keilmuan dapat mengambil bentuk antara integrasi, interkoneksi atau komplementasi. Begitu pun untuk bidang ilmu tertentu seperti ilmu-ilmu sains dapat mengambil bentuk integrasi, interkoneksi dan komplementasi secara bersamaan.
Dalam peta konsep relasi agama dan ilmu, paradigma teoantropoekosentris lebih dekat kepada konsep “pengilmuan Islam”, yaitu paradigma keilmuan yang tidak memandang curiga terhadap ilmu-ilmu sekular yang datang dari dunia Barat. Ilmu-ilmu sekular Barat diposisikan dalam kritisisme nalar yang dipandu oleh wahyu. Dengan demikian ilmu-ilmu sekular Barat dan juga ilmu-ilmu sekular lainnya ¾dari mana pun sumbernya¾ diterima secara kritis-objektif. Al-Qur`an dan Sunnah dalam konsep ini secara paradigmatif diposisikan sebagai grand theory pengembangan ilmu.
Dalam praksis keilmuan, selain sebagai grand theory, Al-Qur`an dan Sunnah juga dipandang sebagai sumber ilmu pengetahuan. Sebagai sumber ilmu, maka Al-Qur`an dan Sunnah diyakini sebagai sumber bagi gagasan, konsep dan teori keilmuan. Tentu saja, secara metodologis dibutuhkan interaksi-dialektis yang intens antara Al-Qur`an dan Sunnah dengan kekayaan intelektual manusia dan kekayaan rahasia ekologis. Pada tahap seperti inilah paradigma teoantropoekosentris menunjukkan bentuknya dalam kerja keilmuan. Meski demikian, secara hirarkis, Al-Qur`an tetap menempati posisi sentral dalam pengembangan ilmu. Jika diibaratkan dengan sistem tata surya, maka ilmu-ilmu ilahiyah, ilmu-ilmu nafsiah dan ilmu-ilmu ekologis berposisi sebagai planet yang disinari dan mengitari matahari. Ketiga bidang keilmuan ini tidak pernah keluar dari garis edarnya. Jika keluar dari sistem tata surya keilmuan maka berakibat terhadap chaos-nya sistem keilmuan yang terbangun oleh paradigma teoantropoekosentris.
Keilmuan Berbasis Teoantropoekosentris di Perguruan Tinggi
Pascasarjana IAIN Padangsidimpuan kembali menggelar seminar Ilmiah di awal tahun 2020 ini dengan menghadirkan Prof. Dr. M. Amin Abdulllah seorang pakar bidang filosofi islam jebolan Turki di Aula Gedung Perpustakaan Lantai III IAIN Padangsidimpuan, Kamis 30 Januari 2020. Adapun seminar ini mengusung tema "Membangun Paradigma dan Struktur Keilmuan Berbasis Teoantropoekosentris". Rektor IAIN Padangsidimpuan, Prof. Dr. H. Ibrahim Siregar mengatakan seminar ini diadakan dalam rangka membangun dan memberikan penguatan dari berbagai sisi terhadap kepada seluruh civitas ademika IAIN Padangsidimpuan. Istilah teoantropoekosentris yang saat ini telah menjadi ikonik bagi IAIN Padangsidimpuan dalam ranah bidang keilmuan yang tidak dimiliki oleh universitas lain di Indonesia. Untuk itu pentingnya pemahaman dan penguatan teoantropoekosentris tidak hanya pada bidang tenaga pendidik tetapi juga tenaga kependidikan di IAIN Padangsidimpuan. Hal ini terlihat bahwa peserta yang hadir dalam undangan adalah pegawai dan unsur kependidikan.
Rektor IAIN Padangsidimpuan Prof. Dr. H. Ibrahim Siregar mengatakan konferensi Internasional tentang Humanistic Tauhid tersebut merupakan salah satu upaya IAIN P.Sidimpuan untuk memberikan penguatan terhadap ilmu pendidikan dalam mengkoneksikan ilmu teknologi dan ilmu agama dalam konsep pendidikan. "Paradigma teoantropoekosentris yang menjadi paradigma keilmuan IAIN Padangsidimpuan, menjadi world view keilmuan bagi seluruh civitas akademika IAIN Padangsidimpuan dalam melahirkan generasi yang berilmu dan beriman," kata Prof. Dr. H. Ibrahim Siregar. "Secara bahasa, teoantropoekosentris dapat diartikan sebagai yang berpusat pada Tuhan-manusia dan lingkungan. Dengan demikian, paradigma teoantropoekosentris adalah paradigm keilmuan yang berpusat atau bertumpu pada kesepaduan (integrasi) Tuhan, manusia dan lingkungan (alam)," jelasnya.