- Source: Aji Raden Muhammad Ayub
H. Sultan Aji Raden Muhammad Ayub (1917–1983) adalah mantan Bupati Berau yang pertama sekaligus Sultan Gunung Tabur yang terakhir, sebelum didirikan kembali pada tahun 2016. Ayub diangkat menjadi bupati oleh Gubernur A.P.T. Pranoto pada tahun 1960 dan menjabat sebagai bupati hingga digantikan oleh Yunuzal Yunus pada tahun 1964 akibat desakan dari Pangdam IX/Mulawarman saat itu, Brigjen Soehario.
Selain itu, Ayub juga merupakan salah satu tokoh terkemuka NU di Kalimantan Timur dan duduk sebagai anggota DPRD Provinsi Kalimantan Timur mewakili partai tersebut, sebelum pada masa Orde Baru menjadi anggota PPP.
Awal kehidupan dan karir
Ayub lahir di Gunung Tabur pada tahun 1917 dan merupakan putra dari Sultan Muhammad Siranuddin, sultan Gunung Tabur yang keenam. Dia menempuh pendidikan dasarnya di Inlandsche School dan tamat pada tahun 1930. Dia sempat melanjutkan di Normaalschool pada tahun berikutnya, namun tidak tamat.
Pada tahun 1937, Ayub bekerja sebagai juru tulis di kantor Kesultanan Gunung Tabur hingga sekitar tahun 1945. Pada tahun berikutnya, dia menjabat sebagai Asisten Wedana Kepulauan Derawan, sebelum pada tahun 1948 menjadi pegawai di kantor Dewan Kalimantan Timur di Samarinda. Ia bekerja di sana selama setahun, lalu menjabat sebagai Asisten Wedana Gunung Tabur hingga tahun 1950.
Sebagai Kepala Swapraja
Pada tahun 1950, Ayub diangkat menjadi Kepala Bagian (Kabag) Pemerintahan Umum di Kantor Kepala Daerah Istimewa Berau, kemudian menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) hingga tahun 1951. Di tahun yang sama, dia naik tahta menggantikan ayahnya, Sultan Achmad Maulana, yang meninggal dunia pada tanggal 15 April 1951. Sebagai sultan, dia juga merangkap sebagai Kepala Swapraja Gunung Tabur hingga tahun 1960. Untuk jabatan ini, setiap dua tahun, dia bergantian dengan Sultan Muhammad Aminuddin dari Kesultanan Sambaliung. Ayub ikut serta dalam pemilihan umum tahun 1955 sebagai calon anggota Konstituante atas nama pribadi, namun tidak menang. Dia juga menjabat sebagai ketua cabang Partai NU di Berau dan bergabung dengan partai tersebut pada tahun 1952.
Masa pemerintahan Ayub diwarnai dengan merosotnya kondisi perekonomian Berau, ketidakstabilan politik, dan memanasnya sentimen antifeodal. Performa perusahaan batu bara N.V. SMP (Steenkolen Maatschappij Parapattan) yang menurun drastis akibat kerusakan ekstensif semasa Perang Dunia II sangat merugikan Berau yang perekonomiannya bergantung pada batu bara. Sebagai akibatnya, penyelundupan kopra dan ikan asin ke Tawau merajalela. Selain karena penurunan performa tambang batu bara, penyelundupan juga diperparah oleh tingginya angka pengangguran yang berasal dari pengungsi yang kembali ke Berau dan transmigran yang tertarik untuk bekerja di tambang-tambang milik SMP.
= Pembelian Aset-Aset SMP
=Pada awal tahun 1956, SMP memutuskan untuk menghentikan operasinya dan membawa pergi semua infrastruktur dan peralatan mereka. Namun, mereka terbuka untuk menyerahkan tambang-tambang yang masih bisa beroperasi penuh kepada pemerintah daerah dengan syarat kompensasi sebesar Rp 3,5 juta. Sebab pemerintah swapraja tidak mempunyai dana sebesar itu, maka mereka meminta pinjaman ke berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat di Jakarta yang didominasi oleh PNI. Departemen Dalam Negeri setuju untuk memberikan pinjaman sebesar Rp 1 juta dan sisanya dipinjamkan oleh Departemen Keuangan, sehingga pemerintah daerah dapat mengambil alih aset-aset SMP dan mengelolanya melalui sebuah perusahaan daerah.
Pembelian tersebut sangat memperkuat kedudukan PNI di Berau. Meskipun pada pemilihan umum tahun 1955 PNI menempati posisi ketiga di sana, di bawah NU dan Masjumi, tetapi pasca pengambilalihan, jabatan-jabatan strategis di berbagai instansi secara perlahan diisi oleh kader-kader PNI. Walau demikian, pemerintah swapraja tidak dapat menjalankan operasi pertambangan dengan optimal, sehingga terpaksa meminjamkan tambang-tambang tersebut kepada para pedagang Tionghoa (tauke), sebelum menjualnya kepada sebuah perusahaan swasta, N.V. Agusco Djakarta, pada tahun 1959.
Menjabat sebagai Bupati
Pada tahun 1960, Ayub diangkat oleh Gubernur A.P.T. Pranoto menjadi Bupati Berau. Pengangkatan tersebut berkaitan erat dengan kebijakan Pranoto untuk memperkuat kedudukan politik golongan bangsawan di Kalimantan Timur. Selain itu, kekuatan politik aristokrat yang mengakar di Berau dan dukungan dari PNI yang saat itu menjadi partai yang dominan juga menjadi faktor penting atas pengangkatannya.
Walaupun seorang bangsawan, Ayub dapat bertahan cukup lama sebagai bupati berkat posisinya sebagai tokoh NU yang berpengaruh di tingkat provinsi. Meski demikian, pengaruhnya sebagai bangsawan Berau melemah. Di sisi lain, pengaruh militer dalam birokrasi dan perekonomian Berau semakin menguat, terutama saat berlangsungnya Konfrontasi. Jabatan-jabatan sipil mulai diisi oleh militer dan mereka pun terlibat dalam perdagangan gelap yang telah merajalela di Berau kala itu akibat krisis ekonomi yang terjadi, termasuk penyelundupan ke Borneo Utara. Perdagangan ilegal menjadi satu-satunya cara agar barang-barang kebutuhan dan pendapatan dapat diperoleh, baik untuk kepentingan pribadi maupun lembaga. Guna menunjang Konfrontasi, pada tahun 1962 dibangun sebuah lapangan terbang yang kemudian, pada tahun 1976, diresmikan menjadi Bandar Udara Kalimarau. Selain itu, dilakukan pula proyek perbaikan jalan antara Berau dengan Bulungan.
Kondisi demikian, menurut Pangdam IX/Mulawarman Brigjen Soehario, disebabkan oleh kolusi antara kaum bangsawan dengan pihak-pihak asing, baik yang ada di dalam negeri (Tionghoa) maupun dari luar. Oleh karenanya, Soehario menggencarkan kampanye untuk melemahkan kekuatan politik para bangsawan, termasuk dengan menekan Ayub agar berhenti dari jabatannya sebagai bupati. Dia digantikan oleh Yunuzal Yunus, salah seorang pendukung Soehario.
Karir pasca Bupati
Setelah berhenti menjadi bupati, Ayub duduk di DPRD Kabupaten Berau sejak tahun 1967. Pada tahun 1972, dia terpilih sebagai anggota MPR mewakili Kalimantan Timur hingga tahun 1977. Kemudian, pada tahun 1977, Ayub ditunjuk menjadi ketua Fraksi PPP di parlemen provinsi. Dia kembali terpilih menjadi anggota MPR pada tahun 1982, kini mewakili Fraksi PPP.
Kematian
Ayub wafat di RSUD Abdul Wahab Syahranie, Samarinda, pada tahun 1983. Dia kemudian dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Muslimin Kebon Sayur di Samarinda. Pada tahun 2022, Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Berau, Atilagarnadi, mengusulkan agar makamnya dipindah ke TMP Wijaya Kusuma di Tanjung Redeb. Rencana tersebut disetujui oleh Bupati Berau, Sri Juniarsih Mas, dan sebuah pertemuan sempat diadakan dengan pihak keluarga Kesultanan Gunung Tabur untuk menindaklanjuti rencana tersebut.
Penghargaan
Namanya diabadikan menjadi nama ruas jalan utama yang melintasi Kecamatan Gunung Tabur dan Teluk Bayur di Kabupaten Berau.
Catatan
Referensi
Daftar Pustaka
Magenda, Burhan Djabier (1991). East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy. Ithaca: Cornell University.
Obidzinski, Krystof (2003). Logging in East Kalimantan, Indonesia. The Historical Expedience of Illegality (PDF). University of Amsterdam.
Lembaga Pemilihan Umum (1972). Riwayat Hidup Anggota-Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Hasil Pemilihan Umum 1971. Jakarta: Lembaga Pemilihan Umum.
Lembaga Pemilihan Umum (1980). Ringkasan Riwayat Hidup Anggota DPRD-I Hasil Pemilihan Umum Tahun 1977 Untuk Wilayah Kalimantan dan Sulawesi. Jakarta: Lembaga Pemilihan Umum.
Lembaga Pemilihan Umum (1982). Ringkasan Riwayat Hidup dan Riwayat Perjuangan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Hasil Pemilihan Umum Tahun 1982 yang Bukan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Jakarta: Lembaga Pemilihan Umum.
Panitia Pemilihan Daerah (1977). Pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 1977 di Kalimantan Timur. Samarinda: Panitia Pemilihan Daerah.
Herawati, Yudianti (2013). Cerita Rakyat Paser dan Berau (PDF). Samarinda: Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur.
Kata Kunci Pencarian:
- Aji Raden Muhammad Ayub
- Kabupaten Berau
- A.P.T. Pranoto
- Yunuzal Yunus
- Kesultanan Gunung Tabur
- Daftar Bupati Berau
- Soekarno
- Brigadir Jenderal
- Daftar tokoh Dayak
- Kerajaan Sanggau