Aksara Makassar (alias Ukiri' Jangang-jangang dalam bahasa
Makassar) adalah salah satu
Aksara historis Indonesia yang pernah digunakan di Sulawesi Selatan untuk penulisan bahasa
Makassar antar abad 17 M hingga abad 19 M ketika fungsinya tergantikan oleh
Aksara Lontara Bugis.
Aksara Makassar adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari 18
Aksara dasar. Seperti
Aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan
Aksara Lontara adalah kiri ke kanan.
Aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dengan tanda baca yang minimal. Suku kata mati, atau suku kata yang diakhiri dengan konsonan, tidak ditulis dalam
Aksara Makassar, sehingga teks
Makassar secara inheren dapat memiliki banyak kerancuan kata yang hanya dapat dibedakan dengan konteks.
Sejarah
Para ahli umumnya meyakini bahwa
Aksara Makassar telah digunakan sebelum Sulawesi Selatan mendapat pengaruh Islam yang signifikan sekitar abad 16 M, berdasarkan fakta bahwa
Aksara Makassar menggunakan dasar sistem abugida Indik ketimbang huruf Arab yang menjadi lumrah di Sulawesi Selatan di kemudian harinya.
Aksara ini berakar pada
Aksara Brahmi dari India selatan, kemungkinan dibawa ke Sulawesi melalui perantara
Aksara Kawi atau
Aksara turunan Kawi lainnya. Kesamaan grafis
Aksara-
Aksara Sumatera Selatan seperti
Aksara Rejang dengan
Aksara Makassar membuat beberapa ahli mengusulkan keterkaitan antara kedua
Aksara tersebut. Teori serupa juga dijabarkan oleh Christopher Miller yang berpendapat bahwa
Aksara Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Filipina berkembang secara pararel dari purwarupa
Aksara Gujarat, India.
Setidaknya terdapat empat
Aksara yang terdokumentasi pernah digunakan di wilayah Sulawesi Selatan, secara kronologis
Aksara-
Aksara tersebut adalah
Aksara Makassar, Lontara, Arab, dan Latin. Dalam perkembangannya, keempat
Aksara ini kerap digunakan bersamaan tergantung dari konteks penulisan sehingga lazim ditemukan suatu naskah yang menggunakan lebih dari satu
Aksara, termasuk naskah beraksara
Makassar yang sering ditemukan bercampur dengan Arab Melayu.
Aksara Makassar pada awalnya diduga sebagai nenek moyang
Aksara Aksara Lontara, namun keduanya kini dianggap sebagai cabang terpisah dari suatu purwarupa
Kuno yang tidak lagi tersisa.
Beberapa penulis kadang menyebut Daeng Pamatte', syahbandar Kerajaan Gowa di awal abad 16 M, sebagai pencipta
Aksara Makassar berdasarkan kutipan dalam naskah Sejarah Gowa yang berbunyi Daeng Pamatte' ampareki lontara' Mangkasaraka, diterjemahkan sebagai "Daeng Pamatte' inilah yang menciptakan lontara
Makassar" dalam terjemahan G.J. Wolhoff dan Abdurrahim yang terbit pada tahun 1959. Namun pendapat ini ditolak oleh sebagian besar sejarawan dan ahli bahasa kini, yang mengemukakan bahwa istilah ampareki dalam konteks tersebut lebih tepat diterjemahkan sebagai "menyusun" dalam artian penyusunan perpustakaan atau penyempurnaan pencatatan sejarah dan sistem menulis alih-alih penciptaan
Aksara dari nihil.
Tulisan beraksara
Makassar tertua yang masih bertahan hingga saat ini adalah tanda tangan para delegasi Kerajaan Gowa dalam Perjanjian Bungaya dari tahun 1667 yang kini disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia. Sementara itu, salah satu naskah beraksara
Makassar paling awal dengan panjang signifikan yang masih bertahan adalah kronik Gowa-Tallo dari pertengahan abad 18 M yang disimpan di Koninklijk Instituut voor de Tropen (KIT), Amsterdam (no. koleksi KIT 668/216).
Dalam perkembangannya, penggunaan
Aksara Makassar berangsur-angsur tergantikan dengan
Aksara Lontara Bugis yang bagi penulis
Makassar kadang dirujuk sebagai "lontara baru". Pergantian ini kemungkinan dipengaruhi oleh surutnya prestise Kerajaan Gowa bersamaan dengan meningkatnya kekuatan Bugis. Seiring menurunnya pengaruh Gowa, para juru tulis
Makassar tidak lagi menggunakan
Aksara Makassar dalam pencatatan sejarah resmi atau dokumen sehari-hari, meski kadang masih digunakan untuk konteks-konteks tertentu sebagai upaya untuk membedakan identitas budaya
Makassar dari pengaruh Bugis. Naskah beraksara
Makassar paling baru yang sejauh ini diketahui adalah catatan harian seorang tumailalang (perdana menteri) Gowa dari abad 19 M yang bentuk aksaranya telah menerima pengaruh signifikan dari
Aksara Lontara Bugis. Hingga penghujung abad 19 M, penggunaan
Aksara Makassar telah tergantikan sepenuhnya dengan Lontara Bugis dan kini tidak ada lagi pembaca asli
Aksara Makassar.
Penggunaan
Sebagaimana
Aksara Lontara yang juga digunakan di lingkup budaya Sulawesi Selatan yang sama,
Aksara Makassar digunakan dalam sejumlah tradisi teks berkaitan yang sebagian besarnya ditulis dalam manuskrip atau naskah kertas. Istilah lontara (kadang dieja lontaraq atau lontara' untuk menandakan bunyi hentian glotal di akhir) juga mengacu pada suatu genre sastra yang membahas sejarah dan silsilah, topik tulisan yang paling banyak dibuat dan dianggap penting oleh masyarakat Bugis dan
Makassar. Genre ini bisa dibagi ke dalam beberapa sub-jenis: silsilah (lontara' pangngoriseng), catatan harian (lontara' bilang), dan catatan sejarah atau kronik (patturioloang). Tiap kerajaan Sulawesi Selatan umumnya memiliki catatan sejarah masing-masing yang disusun dari ketiga jenis genre di atas dalam konvensi gubahan tertentu. Dibandingkan dengan catatan-catatan "sejarah" dari bagian Nusantara lainnya, catatan sejarah dalam tradisi sastra Sulawesi Selatan dianggap sebagai salah satu yang paling "realistis"; berbagai kejadian historis dijelaskan secara lugas dan masuk akal, sementara elemen legendaris relatif sedikit muncul atau disertai dengan penanda seperti kata "konon" sehingga keseluruhan catatan terkesan faktual dan realistis. Meskipun begitu, catatan sejarah seperti patturiolong
Makassar tidak terlepas dari fungsi politisnya sebagai salah satu alat pengesahan kekuasaan, keturunan, maupun klaim teritorial penguasa tertentu. Salah satu patturiolong beraksara
Makassar yang telah diteliti oleh para ahli ialah Kronik Gowa yang menguraikan riwayat raja-raja Gowa sejak berdirinya Kerajaan Gowa hingga masa pemerintahan Sultan Hasanuddin pada abad 17 M.
Penggunaan catatan harian merupakan salah satu fenomena unik sastra Sulawesi Selatan yang tidak memiliki analogi serupa dalam tradisi tulis Indonesia lainnya. Pengguna catatan harian umumnya orang dengan strata tinggi, seperti sultan, penguasa (arung), atau perdana menteri (tumailalang). Buku harian semacam ini umumnya memiliki tabel yang telah dibagi-bagi menjadi baris dan tanggal, dan pada baris tanggal yang telah disediakan penulis akan membubuhkan catatan kejadian yang ia anggap penting pada tanggal tersebut. Seringkali banyak baris dibiarkan kosong, namun apabila satu hari memiliki banyak catatan maka seringkali baris
Aksara berbelok dan berputar-putar untuk menempati segala ruang kosong yang masih tersisa dalam halaman karena satu tanggal hanya diperbolehkan untuk memuat satu baris tak terputus.
Kerancuan
Aksara Makassar tidak memiliki diakritik untuk mematikan
Aksara atau cara lain untuk menuliskan suku kata mati meskipun bahasa
Makassar memiliki banyak kata dengan suku kata mati. Tulisan baba 𑻤𑻤 dalam
Aksara Makassar dapat merujuk pada enam kemungkinan kata: baba, baba', ba'ba, ba'ba', bamba, dan bambang. Mengingat bahwa penulisan
Aksara Makassar juga tidak mengenal spasi antar kata atau pemenggalan teks yang konsisten, naskah beraksara
Makassar kerap memiliki banyak kerancuan kata yang seringkali hanya dapat dibedakan melalui konteks. Pembaca teks
Makassar memerlukan pemahaman awal yang memadai mengenai bahasa dan isi naskah yang bersangkutan untuk dapat membaca teksnya dengan lancar. Kerancuan ini dapat dianalogikan dengan penggunaan huruf Arab gundul; pembaca yang bahasa ibunya memakai huruf Arab secara intuitif paham akan vokal mana yang pantas digunakan dalam konteks kalimat yang bersangkutan, sehingga penanda vokal tidak diperlukan dalam teks standar sehari-hari.
Namun begitu, kadang konteks sekalipun tidak memadai untuk mengungkap cara baca kalimat yang rujukannya tidak diketahui oleh pembaca. Sebagai ilustrasi, Cummings dan Jukes memberikan contoh berikut untuk mengilustrasikan bagaimana penulisan
Aksara Makassar dapat menghasilkan arti yang berbeda tergantung dari cara pembaca memenggal dan mengisi bagian yang rancu:
Tanpa mengetahui maksud atau kejadian nyata yang mungkin dirujuk oleh penulis, maka pembacaan yang "benar" dari kalimat di atas tidak mungkin ditentukan sendiri oleh pembaca umum. Pembaca paling mahir sekalipun kerap perlu berhenti sejenak untuk mengintepretasikan apa yang ia baca.
Bentuk
=
Aksara dasar (ð‘»±ð‘»ð‘»¶ð‘»®ð‘»¶ð‘»¦ð‘» anrong lontara’ ) dalam
Aksara Makassar merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/. Terdapat 18
Aksara dasar dalam
Aksara Makassar, sebagaimana berikut:
Perlu diperhatikan bahwa
Aksara Makassar tidak pernah mengalami proses standardisasi sebagaimana
Aksara Lontara Bugis di kemudian harinya, sehingga terdapat banyak variasi penulisan yang dapat ditemukan dalam naskah-naskah
Makassar. Bentuk pada tabel di atas disadur dari
Aksara yang digunakan dalam buku harian Pangeran Gowa koleksi Tropenmuseum, no koleksi KIT 668-216.
= Diakritik
=
Diakritik (𑻱𑻨𑻮𑻶𑻦𑻠ana’ lontara’) adalah tanda yang melekat pada
Aksara utama untuk mengubah vokal inheren
Aksara utama yang bersangkutan. Terdapat 4 diakritik dalam
Aksara Makassar, sebagaimana berikut:
= Tanda baca
=
Teks historis
Makassar ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dan tidak banyak menggunakan tanda baca.
Aksara Makassar diketahui hanya memiliki dua tanda baca asli: passimbang dan tanda pengakhir bagian. Passimbang berfungsi seperti titik atau koma dalam huruf Latin dengan membagi teks ke dalam penggalan yang mirip (namun tidak sama) dengan bait atau kalimat, sementara tanda pengakhir bagian digunakan untuk membelah teks ke dalam satuan yang menyerupai bab.
Pada naskah tertentu, tanda pengakhir bagian digantikan dengan tanda baca yang menyerupai pohon palem (🌴), dan untuk akhir bagian yang lebih besar umum digunakan stilisasi kata tammat yang menggunakan huruf Arab (تمت).
= Pengulangan suku kata
=
Suku kata berunut dengan konsonan awal yang sama seringkali ditulis dalam bentuk singkatan menggunakan diakritik ganda atau tanda pengulang angka yang kemudian dapat dilekatkan lagi dengan diakritik. Penggunaannya dapat dilihat sebagaimana berikut:
Contoh teks
Berikut ini adalah kutipan dari Sejarah Gowa yang mengisahkan jalannya sebuah pertempuran antara Gowa dan Tallo yang berujung pada persekutuan keduanya semasa pemerintahan Karaeng Gowa Tumapa'risi' Kallonna dan Karaeng Tallo Tunipasuru'.
Perbandingan dengan Aksara Lontara
Dalam perkembangannya, penggunaan
Aksara Makassar berangsur-angsur tergantikan dengan
Aksara Lontara Bugis yang bagi penulis
Makassar kadang dirujuk sebagai "lontara baru". Kedua
Aksara yang berkerabat dekat ini memiliki aturan tulis yang hampir identik, meski secara rupa terlihat cukup berbeda. Perbandingan kedua
Aksara tersebut dapat dilihat sebagaimana berikut:
Unicode
Aksara Makassar telah ditambahkan ke dalam Unicode Standard pada bulan Juni 2018 dengan versi rilis 11.0.
Blok Unicode untuk
Aksara Makassar adalah U+11EE0–U+11EFF dan mengandung 25 karakter:
Catatan
Rujukan
= Daftar Pustaka
=
Cense, A (1966). "Old Buginese and Macassarese diaries" (PDF). Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Leiden. 122 (4): 416-428.
Cummings, William P. (January 1, 2007). A Chain of Kings: The Makassarese Chronicles of Gowa and Talloq. KITLV Press. ISBN 978-9067182874.
Jukes, Anthony (2019-12-02). A Grammar of Makasar: A Language of South Sulawesi, Indonesia (dalam bahasa Inggris). Brill. ISBN 978-90-04-41266-8.
Jukes, Anthony (2014). "Writing and Reading Makassarese". International Workshop of Endangered Scripts of Island Southeast Asia: Proceedings (dalam bahasa Inggris). LingDy2 Project, Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa, Tokyo University of Foreign Studies.
Noorduyn, Jacobus (1993). "Variation in the Bugis/Makasarese script". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. KITLV, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies. 149 (3): 533–570.
Pandey, Anshuman (02-11-2015). "Proposal for encoding the
Makassar script in Unicode" (PDF). ISO/IEC JTC1/SC2/WG2. Unicode (L2/15-233).
Tol, Roger (1996). "A Separate Empire: Writings of South Sulawesi". Dalam Ann Kumar; John H. McGlynn. Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Lontar Foundation. ISBN 0834803496.
Lihat pula
Bahasa
Makassar
Aksara Lontara
Pranala luar
= Naskah digital
=
Kumpulan dokumen berbahasa dan beraksara
Makassar antar abad 18 hingga 19 M, koleksi British Library no. Add MS 12351
= Lainnya
=
Proposal Unicode untuk
Aksara Makassar
Proposal Awal Unicode untuk
Aksara Makassar
Unduh font
Aksara Makassar di
Aksara di Nusantara atau di sini