Apollonian dan Dionysian merupakan konsep yang merujuk pada gagasan filosofis
dan sastra yang menampilkan perbedaan antara tokoh Apollo
dan Dionysus dari mitologi Yunani. Popularitasnya sering dikaitkan dengan karya Friedrich Nietzsche berjudul The Birth of Tragedy meskipun sebelumnya istilah-istilah ini telah digunakan oleh penyair Friedrich Hölderlin, sejarawan Johann Joachim Winckelmann,
dan yang lainnya. Bahkan sejak tahun 1608, istilah "
Dionysian" muncul dalam risalah zoologi Edward Topsell yang berjudul The History of Serpents. Konsep ini telah menjadi fokus perdebatan yang luas dalam sejarah filsafat
dan sastra Barat.
Dalam mitologi Yunani, Dewa Apollo sering disebut sebagai Dewa Cinta
dan Dewa Keindahan. Ia melambangkan ketenangan, keteraturan, cinta,
dan keindahan. Prinsip
Apollonian, khususnya dalam konteks estetika, menggambarkan keindahan yang lembut, di mana dunia dilihat melalui kacamata intelektualitas daripada hawa nafsu yang tak terarah. Dewa Apollo mewakili konsep Yunani klasik tentang keindahan yang sejati, menjadi sosok yang menciptakan harmoni
dan keindahan, serta memiliki kemampuan untuk membentuk karakter manusia sebagaimana seni membentuk sebuah karya seni.
Di sisi lain, Dewa Dionysus, yang juga dikenal sebagai Dewa Mabuk, melambangkan irasionalitas, kekacauan, serta menggambarkan gairah, emosi,
dan naluri. Meskipun keduanya memiliki perbedaan yang mencolok, dalam budaya Yunani kuno, mereka tidak dianggap sebagai musuh atau pesaing,
dan sering kali terhubung secara alami satu sama lain.
Persepsi Nietze
Friedrich Wilhelm Nietzsche, yang dikenal karena memopulerkan konsep dialektika Apolonia
dan Dionysian, merinci pemahaman ini dalam salah satu karyanya, yaitu Friedrich Nietzsche:
Apollonian dan Dionysian.
Nietzsche menemukan dalam karya-karya tragis klasik Athena sesuatu yang melebihi pandangan pesimis yang terkandung dalam apa yang disebut kebijaksanaan Silenus. Ketika penonton Yunani kuno menyaksikan karakter-karakter di atas panggung menggambarkan penderitaan manusia dengan intensitas yang memukau, mereka melakukannya dengan semangat
dan kegembiraan, menyatakan bahwa kehidupan ini layak untuk dijalani.
Tema sentral yang muncul dalam The Birth of Tragedy adalah bagaimana perpaduan Kunsttriebe (nafsu seni) yang
Dionysian dan Apollonian membentuk seni dramatis atau tragedi. Nietzsche berpendapat bahwa harmoni, kemajuan, kejelasan, logika,
dan prinsip individuasi mewakili Apollo, sedangkan ketidakteraturan, keracunan, emosi, ekstasi,
dan kesatuan (dengan menghilangkan prinsip individuasi) diwakili oleh Dionysus. Nietzsche melihat kedua kekuatan ini sebagai prinsip-prinsip mendasar dalam budaya Yunani, dengan
Apollonian menggambarkan keadaan bermimpi yang penuh dengan ilusi, sedangkan
Dionysian menggambarkan keadaan mabuk yang mewakili pembebasan naluri
dan pencabutan batasan.
Dalam konsep ini, seseorang bisa tampil sebagai satir, merasa ngeri dengan kehancuran prinsip individualitas
dan sekaligus menikmati kehancuran itu sendiri.
Pertentangan antara
Apollonian dan Dionysian terbaca dalam tragedi, di mana pahlawan tragis, protagonis utama, berjuang untuk menciptakan ketertiban (
Apollonian) dari nasib yang tak adil
dan kacau (
Dionysian), bahkan jika akhirnya ia mati tanpa mencapai tujuannya. Nietzsche menggambarkan Hamlet sebagai contoh intelektual yang tidak bisa mengambil keputusan, berlawanan dengan manusia yang bertindak. Menurut Nietzsche, tokoh
Dionysian memiliki pemahaman bahwa tindakan mereka tidak akan mengubah keseimbangan abadi, yang membuatnya merasa jijik
dan akhirnya memilih untuk tidak bertindak sama sekali.
Drama semacam itu memungkinkan penonton merasakan apa yang Nietzsche sebut sebagai Kesatuan Primordial, yang membangkitkan sifat
Dionysian. Kesatuan Primordial dilihatnya sebagai peningkatan kekuatan, pengalaman penuh
dan meluapkan diri yang diberikan oleh kegilaan. Kegilaan di sini berperan sebagai zat beracun yang penting untuk kondisi fisik yang memungkinkan penciptaan seni.
Dalam keadaan ini, individu menghasilkan segala sesuatu dari kekayaan batinnya sendiri: apa pun yang mereka lihat, kehendak mereka menggebu-gebu, kuat,
dan penuh energi. Segala sesuatu yang mereka ubah mencerminkan kekuatan mereka sendiri, hingga hal tersebut mencerminkan kesempurnaan. Transformasi dari keharusan menjadi kesempurnaan adalah inti dari seni.
Nietzsche dengan keras menegaskan bahwa karya-karya Aeschylus
dan Sophocles adalah puncak dari penciptaan artistik, merupakan pengejawantahan sejati dari esensi tragedi. Di sisi lain, dengan karya Euripides, tragedi mulai mengalami kemerosotan
dan terperosok (sebagaimana arti harfiah dari "Untergang" adalah 'terpuruk' atau 'menurun'), yang mencakup penurunan, kemerosotan, kehancuran,
dan kematian, antara lain. Nietzsche sangat keberatan dengan penggunaan rasionalisme
dan moralitas Socrates oleh Euripides dalam karyanya, karena menurutnya, hal itu merusak esensi tragedi dengan memasukkan etika
dan pemikiran rasional ke dalamnya. Dalam pandangan Nietzsche, ini mencabut dasar dari tragedi itu sendiri, yaitu keseimbangan yang rapuh antara
Dionysian dan Apollonian.
Socrates mengedepankan akal secara berlebihan, hingga menggantikan nilai-nilai mitos
dan penderitaan dengan pengetahuan manusiawi. Plato melanjutkan pendekatan ini dalam tulisannya,
dan akhirnya dunia modern mewarisi penekanan pada akal budi sambil mengorbankan dorongan artistik yang ditemukan dalam dikotomi
Apollonian dan Dionysian. Nietzsche menekankan bahwa
Apollonian adalah elemen yang memberikan bentuk
dan struktur bagi
Dionysian untuk menciptakan sebuah karya seni yang koheren, sementara
Dionysian memberikan vitalitas
dan gairah yang diperlukan bagi
Apollonian. Hanya melalui interaksi yang harmonis dari kedua kekuatan ini bahwa seni yang mewakili tragedi Yunani yang terbaik bisa lahir.
Penerapan
= Filsafat Kontinental
=
Interpretasi beragam mengenai gagasan Nietzsche sebagai cerminan dari kesadaran yang terpecah atau eksistensi yang labil oleh sejumlah penulis modern
dan pascamodern, terutama oleh tokoh seperti Martin Heidegger, Michel Foucault,
dan Gilles Deleuze. Menurut pandangan Peter Sloterdijk, hubungan antara
Dionysian dan Apollonian membentuk sebuah dialektika; keduanya saling berlawanan, tetapi Nietzsche tidak bermaksud untuk memberikan prioritas pada salah satu di atas yang lain. Intinya adalah bahwa penderitaan primordial adalah bagian tak terpisahkan dari keberadaan kita yang ditentukan oleh dinamika
Dionysian/
Apollonian.
Selain itu, ekstensi pemahaman
Apollonian dan Dionysian hingga ke dalam argumen tentang interaksi antara pemikiran manusia
dan lingkungan fisik telah diperluas oleh Abraham Akkerman. Dia menunjukkan bagaimana konsep ini dapat digunakan untuk merinci ciri-ciri maskulin
dan feminin dalam bentuk-bentuk perkotaan.
= Ruth Benedict
=
Ruth Benedict—seorang antropolog, mengadopsi istilah ini untuk menggambarkan budaya yang memiliki nilai-nilai pengendalian diri
dan etika (
Apollonian), serta budaya yang mementingkan kesombongan
dan ekstravagansi (
Dionysian). Benedict mengilustrasikan budaya
Apollonian dengan contoh seperti suku Zuñi, sementara suku Kwakiutl dianggap sebagai contoh budaya
Dionysian. Konsep ini diperluas oleh Benedict dalam karyanya yang terkenal, "Patterns of Culture."
= Albert Szent-Györgyi
=
Albert mengemukakan bahwa "penemuan harus memiliki karakteristik yang berbeda dari pengetahuan yang sudah ada," membagi ilmuwan menjadi dua kategori:
Apollonian dan Dionysian. Ia merujuk pada para ilmuwan yang berani menjelajahi wilayah-wilayah pengetahuan yang belum terjamah sebagai
Dionysian. Albert mengungkapkan, "Dalam dunia sains, kelompok
Apollonian cenderung mengembangkan konsep-konsep yang sudah ada menuju kesempurnaan, sementara kelompok
Dionysian lebih mengandalkan intuisi
dan cenderung membuka jalan baru yang tak terduga dalam penelitian. Masa depan perkembangan manusia sangat bergantung pada kemajuan dalam ilmu pengetahuan,
dan kemajuan dalam pengetahuan itu sendiri bergantung pada dukungan yang diberikan. Dalam banyak kasus, dukungan tersebut berupa hibah,
dan cara distribusi hibah saat ini lebih menguntungkan kelompok
Apollonian."
= Camille Paglia
=
Seorang cendekiawan humaniora Amerika Camille Paglia mengeksplorasi konsep
Apollonian dan Dionysian dalam karyanya yang populer tahun 1990 berjudul Sexual Personae. Dasar dari konsep ini berasal dari filsafat Nietzsche, meskipun Paglia mengembangkan pandangannya sendiri yang berbeda secara signifikan.
Bagi Paglia, konsep
Apollonian dan Dionysian adalah sebuah dikotomi yang membentuk dasar bagi teorinya tentang seni
dan budaya. Baginya,
Apollonian menggambarkan hal-hal yang ringan
dan terstruktur, sementara
Dionysian merupakan sifat yang gelap
dan bawah tanah (dia lebih suka menggunakan istilah "Chthonic" daripada
Dionysian dalam karya-karyanya). Menurutnya,
Dionysian sering dikaitkan dengan sifat wanita, kekacauan,
dan seksualitas yang tidak terbatas. Sementara itu,
Apollonian terhubung dengan maskulinitas, kejelasan, selibat, rasionalitas,
dan kemajuan yang terencana. Dia mengklaim bahwa banyak hal besar dalam peradaban Barat berasal dari perjuangan melawan sifat alamiah kita.
Paglia berpendapat bahwa ada dasar biologis untuk dikotomi
Apollonian/
Dionysian, dengan mengaitkannya dengan perbedaan antara korteks yang lebih tinggi
dan otak limbik
dan reptil yang lebih primitif. Selain itu, Paglia menghubungkan kemajuan peradaban manusia dengan perlawanan maskulinitas terhadap kekuatan alam yang "Chthonic," serta peralihan menuju sifat
Apollonian yang lebih teratur.
Dionysian melambangkan kekuatan kacau
dan kehancuran, yang merupakan gambaran dari alam liar yang memikat
dan berantakan. Menurut Paglia, perlawanan terhadap Chthonic oleh nilai-nilai sosial Apollonia telah menghasilkan dominasi historis laki-laki dalam berbagai bidang seperti sains, sastra, seni, teknologi,
dan politik. Dia menunjukkan bahwa orientasi budaya Athena klasik, sebagai contoh, tidak hanya dipicu oleh kebencian terhadap wanita, tetapi juga oleh penciptaan karya-karya hebat yang mengangkat Athena sebagai pusatnya.
Referensi