- Source: Arthavest
PT Arthavest Tbk adalah sebuah perusahaan publik di Indonesia (IDX: ARTA) yang bergerak sebagai perusahaan investasi, terutama di perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perhotelan dan keuangan. Berkantor pusat di Sahid Sudirman Center, Jl. Jend. Sudirman, Jakarta Pusat, perusahaan ini tercatat telah mengganti nama dan bidang usaha yang digelutinya sejak awal berdiri.
Manajemen
Komisaris Utama: Henry F. Jusuf
Komisaris: Inggrid
Direktur Utama: Yeremy Vincentius
Direktur: Tsun Tien Wen Lie
Direktur: Chan Shih Mei
Kepemilikan
Lucas: 88,69%
Masyarkat: 11,31%
Anak usaha
PT Sanggraha Dhika (51%): Beraset Rp 327,7 miliar pada 2020, PT Sanggraha Dhika adalah pemilik sekaligus pengelola Hotel Redtop, sebuah hotel berbintang empat yang berlokasi di Jl. Pecenongan No. 72, Jakarta Pusat. Hotel Redtop berdiri di atas area seluas 8.205 m2 dengan luas lantai 42.461 m2 dan terdiri dari 15 lantai dan 390 kamar/suite. Tingkat keterisiannya pada 2020 mencapai 21%, sedangkan pada 2019 sebesar 45%.
PT Sentral Pembayaran Indonesia (52%): PT Sentral Pembayaran Indonesia merupakan perusahaan patungan antara PT Arthavest Tbk dan PT Solusi Net International, bergerak di bidang teknologi informasi dan sistem pembayaran; serta menjalankan usaha bidang perdagangan seperti peralatan dan perlengkapan komputer serta software.
Sejarah
= Perusahaan efek
=PT Arthavest Tbk didirikan pada tanggal 29 Juni 1990 dengan nama PT Artha Securities Prima. Sesuai namanya, perusahaan ini awalnya beroperasi sebagai perusahaan efek yang bergerak di bidang perantara perdagangan efek, khususnya bagi nasabah ritel dan institusi (sejak 21 Maret 1992) dan penjamin emisi efek (sejak 11 Oktober 2001). Artha Securities juga melayani jasa penasihat keuangan dan memperdagangkan obligasi serta efek hutang lainnya. Sejak 1995, Artha Securities telah menjadi anggota dari Bursa Efek Jakarta dan selanjutnya Surabaya sejak 2000. Walaupun demikian, Artha Securities juga sempat mengalami tantangan seperti sanksi dari Bapepam (bersama sejumlah perusahaan efek lain) akibat pernah terlibat dalam kasus perdagangan Bank Pikko (kini Bank J Trust Indonesia). Di tahun 1998, perusahaan memiliki aset Rp 12,209 miliar dan pendapatan Rp 665 juta. Di tahun 2000-an, perusahaan ini juga berusaha mengembangkan teknologinya, seperti lewat kerjasama dengan PT Sejatibina Delta Informatika.
Sejak awal, perusahaan dirintis oleh sejumlah pengusaha asal Medan, seperti Hasan Hartarto Ng, Jake Pison Hawilla, Sukardi Tang dan Tony Tandijono yang kemudian menyatukan kepemilikannya dalam PT Artha Perdana Investama (72,5%) dan PT Artha Capital Indonesia (27,5%), dan mereka juga terlibat dalam manajemen Artha Securities. Pada 24 Mei 2002, nama PT Artha Securities Prima berganti menjadi PT Artha Securities, dan mengembangkan bisnisnya dalam bidang fixed income dan investment banking. Selain berkantor pusat di Jakarta, perusahaan kemudian juga memiliki kantor cabang di Medan dan Surabaya serta mempekerjakan 72 karyawan. Mulai 5 November 2002, PT Artha Securities resmi menjadi perusahaan publik dengan melepas 24,14% (145 juta) sahamnya di Bursa Efek Jakarta dengan harga penawaran Rp 225. Dana yang diperoleh dari proses IPO ini ditujukan bagi pengembangan divisinya. Artha Securities Tbk kemudian juga sempat tercatat memiliki saham di sejumlah perusahaan, seperti PT Bank Kesawan Tbk (19,95%) pada akhir 2005.
Belakangan, pada tanggal 5 September 2005, Artha Securities Tbk mendirikan anak usaha baru, bernama PT Artha Securities Indonesia. Sejak 2005-2006, seluruh usaha, operasional dan jasa-jasa sekuritas PT Artha Securities Tbk telah dialihkan ke PT Artha Securities Indonesia yang efektif beroperasi sejak 2006, sehingga perusahaan ini berubah sebagai perusahaan investasi (perusahaan induk) saja. Perubahan usaha ini juga diiringi dengan perubahan nama perusahaan dari PT Artha Securities Tbk menjadi PT Arthavest Tbk sejak 29 Juni 2005. Kemudian, di tanggal 24 November 2006 dan 19 Desember 2006, keanggotaan perusahaan ini di BEJ dan BES resmi dicabut, dan izinnya sebagai perusahaan efek resmi dicabut oleh Bapepam-LK pada 19 Januari 2007. Meskipun demikian, pemilik lama dalam PT Artha Perdana Investama masih memiliki 53,5% saham PT Arthavest Tbk, sisanya publik. Ketika proses tersebut berlangsung, di bulan Juli 2005 dan Januari 2006, perusahaan ini juga sempat melakukan beberapa aksi korporasi berupa rights issue dan pencatatan waran. Di tahun 2007, tercatat Arthavest mencatatkan pendapatan Rp 20,219 miliar, laba bersih Rp 5,475 miliar dan aset Rp 260,25 miliar.
= Perubahan kepemilikan dan usaha
=Pada tanggal 14 Februari 2011, Arthavest Tbk memutuskan menjual anak usaha utamanya, PT Artha Securities Indonesia kepada induknya, PT Artha Perdana Investama sebanyak Rp 90 miliar, yang kemudian akan digunakan untuk membeli 51% saham sebuah perusahaan hotel bernama PT Sanggara Dhika. Penjualan dan pembelian itu diklaim karena bisnis hotel jauh lebih stabil dibanding bisnis perusahaan efek. Kemudian, direncanakan juga perubahan direksi dan komisaris perusahaan. Hal ini dijustifikasi dengan melihat keuangan PT Artha Securities dan PT Sanggara, dimana yang satu laba bersihnya merosot (dari Rp 4 miliar menjadi Rp 471 juta), sedangkan yang lainnya naik 77% menjadi Rp 6,9 miliar masing-masing pada 2010. Di akhir tahun yang sama, Arthavest Tbk mencatatkan perubahan kepemilikan yang signifikan, dengan kepemilikan PT Artha Perdana Investama yang ada di kisaran 53,5%, menghilang dan digantikan tiga pemegang saham baru, yaitu Lion Trust Limited (49%), Coutts and Co. Ltd. (19,56%), PT Euro Asia Capital Investindo (14,54%), BNYM SA/NV As Cust Of Bank Singapore Limited (8,75%), sisanya publik yang menjadi 8,15%.
Diketahui bahwa PT Sanggara Dhika merupakan pengelola hotel Redtop Pecenongan, sebuah hotel bintang empat berlantai 15 yang sudah beroperasi sejak 8 Agustus 1995 dan berlokasi di Pecenongan, Jakarta Pusat. Akuisisi 51% saham PT Sanggara (dari Diamond Magic Enterprises Ltd. (Seychelles) seharga Rp 87 miliar) dan pelepasan seluruh PT Artha Securities efektif dilakukan pada Agustus 2011. Artinya, hotel Redtop yang ada di bawah PT Sanggara, resmi melakukan backdoor listing, dan awalnya hanya menjadi satu-satunya anak usaha Arthavest. Diketahui kemudian yang berada di balik perusahaan ini pasca-pergantian pengendalian adalah Lucas, seorang pengacara kondang yang banyak bergerak di bidang korporasi dan memiliki firma hukum Lucas S.H. & Partners. Awalnya, ia hanya menempatkan rekannya di firma hukum itu dalam jajaran komisaris, namun kemudian muncul sebagai pemegang saham PT Arthavest Tbk sejak 2015, awalnya hanya 5,14%, dan kemudian pada 2017 sudah menjadi 92,17%. Peningkatan saham milik Lucas itu terjadi setelah pemegang saham lain melepas kepemilikannya, seperti PT Euro Asia Capital Investindo di tanggal 15 Desember 2014.
Pasca-akuisisi itu, meskipun awalnya PT Sanggara masih merugi di tahun 2011, ditargetkan di akhir tahun, pendapatan PT Arthavest Tbk naik dari Rp 36 miliar menjadi Rp 100 miliar. Dengan belanja modal Rp 25 miliar, hotel Redtop ditargetkan akan direnovasi dan memiliki convention center, serta diperkuat promosinya. Pada tahun 2014, tercatat perusahaan ini mengalami kenaikan pendapatan dari Rp 93,3 miliar menjadi Rp 101,27 miliar, begitu juga labanya. Meskipun demikian, harga saham Arthavest juga sempat naik-turun, seperti pada 2017. Sempat juga pada kuartal III 2019 perusahaan merugi hingga Rp 1,26 miliar. Pada periode-periode ini, Arthavest mulai berusaha terjun ke bisnis ekonomi digital. Di tanggal 14 Desember 2017, Arthavest menyuntikkan modal Rp 3 miliar ke PT Sentral Pembayaran Indonesia yang bergerak di jasa sistem pembayaran, dan pada 17 Januari 2018, juga disuntikkan modal pada perusahaan modal ventura bernama PT TEZ Ventura Indonesia sebanyak Rp 100 juta (10% saham). Ada juga kemudian PT Solusi Net Internusa, yang menyediakan jasa digital signature dan telah bekerjasama dengan sejumlah perusahaan fintech. Untuk memperkuat usaha barunya ini (dan juga usaha hotelnya) yang berbiaya Rp 80 miliar, pada 2019 Arthavest sempat merencanakan untuk melakukan rights issue. Arthavest Tbk juga kemudian berinvestasi di beberapa perusahaan lain seperti PT Asuransi Dayin Mitra Tbk dan PT Tez Capital and Finance (perusahaan pembiayaan).
Namun, perusahaan belakangan mengalami tekanan, terutama pada 2020 setelah munculnya pandemi COVID-19 yang menekan usaha hotelnya. Tahun itu, pendapatannya anjlok dari Rp 85,7 miliar (2019) menjadi Rp 32,9 miliar dan merugi Rp 11,2 miliar, setelah menurun sejak 2018. Rugi bersih di tahun ini diperkirakan mencapai Rp 5 miliar. Di tengah tekanan itu, sejak 4 Maret 2020, dua anak usaha milik PT Sentral Pembayaran Indonesia (anak usaha Arthavest), PT Solusi Net Internusa dan PT Cahaya Bintang Sukses telah dilepas ke pihak lain. Selain tekanan itu, belakangan perusahaan juga sempat tercatat terlambat menyampaikan laporan tahunan 2021-nya ke Bursa Efek Indonesia (BEI) sehingga diberi denda. Pada tahun 2020, PT Arthavest Tbk memiliki 13 karyawan, turun dari 2019 sebanyak 169 karyawan.
Rujukan
Pranala luar
Situs resmi
Kata Kunci Pencarian:
- Arthavest
- Daftar perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia
- Indeks Harga Saham Gabungan
- Indeks Saham Syariah Indonesia
- IDX Composite