• Source: Baharullah Bafaqih
  • Baharullah Bafaqih yang dikenal dengan Julukan Karaeng Sayye Guru Ayta menyebarkan Islam di Wilayah Kerajaan Palu (Sekarang Kota Palu) melalui media Maulid Nabi & Thariqah Baharunnur Ba'alawi dengan pengajaran Ahlu Sunnah Wal Jamaah, Alquran, Alhadist, Fiqih dan Tasawuf secara Halaqah dari kampung ke kampung. Kedatangannya melanjutkan dakwah Datokarama yang sebelumnya datang ke Kerajaan Palu.

    Nasab Silsilahnya adalah Sayyid Baharullah bin Muhammad Atiqullah bin Ali bin Umar bin Alwi Jalaluddin (menikahi putri cucu Sultan Alauddin Karaeng Sombaya Gowa) bin Ahmad Bafaqih, nasab ini bersambung hingga ke Sayyid Abdullah Bafaqih bin Muhammad Maula Aidid bin Ali Al-Hauthah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Alfaqih bin Abdurrahman Alfaqih bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali' Qasam bin Alwi ats-Tsani bin Muhammad bin Alwi al-Awwal bin Abdullah Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir (yang hijrah ke Hadramaut) bin ʿĪsā ar-Rūmī bin Muḥammad an-Naqīb bin ʿAlī al-ʿUraiḍī bin Jaʿfar aṣ-Ṣādiq bin Muḥammad al-Bāqir bin ʿAlī Zain al-ʿĀbidīn bin al-Ḥusain bin ʿAlī bin Abī Ṭālib dan Fatimah az-Zahra binti Muhammad Rasulullah1.

    Beliau masih keluarga dari Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri(guru tua), nasab keduanya bersambung pada Imam Muhammad Shahib Mirbath, dimana Sayyid Baharullah Bafaqih adalah keturunan Sayyid Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath sementara Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri(guru tua) adalah keturunan Sayyid Ali Abu Alfaqih bin Muhammad Shahib Mirbath.
    Sayyid Baharullah Bafaqih berasal dari keturunan diwilayah Tarim Hadramaut dan Masuk ke Kerajaan Palu(sekarang Kota Palu, Sulteng) menggunakan kapal pada tahun 1840an. Mengajarkan Shalat, Maulid, Nur Muhammad, Tahlil, Thaharah Istinja, Zakat, Kafa'ah serta ilmu fiqih lainnya dan Tasawuf Ma'rifat. Mendirikan pengajian di Kampung Baru dan seluruh Kerajaan Palu (sekarang Kota Palu Sulteng) serta anak cucu beliau mendirikan pengajian ilmu di Besusu, Sigi, Pantai Timur Parigi, Pantai Barat hingga Paleleh.

    Sebagai peletak dasar Peringatan Maulid di Sulawesi Tengah, Sayyid Baharullah mengislamkan dan mengajarkan Islam melalui media Peringatan Maulid Nabi. Untuk memudahkan penyebaran dakwah, beliau menyatukan Ajaran Islam & Budaya Adat Suku Kaili (suku yang berdiam di-kerajaan palu), dimasa itu masih banyak yang menggunakan Palaka yaitu sesajen berupa kotak persegi empat, beliau merubah kotak persegi itu menyerupai kabbah lalu menamainya sebagai Paham Islam (logat Kaili merubah nama itu menjadi paha) yang ditutupi atau lingkari kain hijau bertuliskan kalimat Tauhid Laa Illaha Illalllah Muhammadurrasulullah. dan ditancapkan 4 bendera disetiap sisinya melambangkan simbol 4 sahabat Nabi, bendera di isi telur(simbolnya bermakna kulit telur(syariat), Ari-ari telur(tarekat), putih telur(hakikat), kuning telur(Ma'rifat), serta bunga-bunga sebagai simbol cucu Rasulullah yaitu Hasan wal Husain sekaligus simbol pohon Sidratul Muntaha, serta didalamnya kotak diisi uang, buah-buahan, makanan-makanan tradisional suku Kaili sebagai simbol rasa syukur kepada ALLAH, yang lalu uang & makanan tersebut nantinya dibagikan dan disedekahkan kepada masyarakat dan ummat. Dan dalam pelaksanaannya dilaksanakan dengan berkumpul bermajelis (Norate Nolabe) membaca Sirah Nabawiyah dan Maulid Syarafal Anam hingga selesai1.
    Mengenai Pengajian ilmu diwaktu malam hari, di era dahulu masih menggunakan Silo (obor dari bambu).
    Setelah Sayyid Baharullah menumpas serangan musuh diperbatasan Kerajaan Palu,
    Beliau Menikahi Pue Bungaria salahsatu putri bangsawan pribumi dari Kerajaan Palu. menetap di kampung baru (rumah beliau sekarang telah dijadikan menara masjid Jami' kampung baru). Dan lalu menurunkan anak :

    Sayyid Abdulqadir Muhyiddin (bergelar Karaeng Sayye tanahlapang), wafat di tanahlapang boyantongo (sekarang kampungbaru). salahsatu anaknya bernama Syarifah Alawiyah Bafaqih menikahi Sayyid Muhdar Alaydrus diawal tahun 1900an lalu ikut menyebarkan majelis Maulid Nabi.
    Sayyid Muhammad Din (bergelar Karaeng Sayye Paleleh), wafat di Besusu.
    Sayyid Muhammad Syah (bergelar Karaeng Sayye Pelawa). Wafat di Pelawa.
    Sayyid Muhammad Amin (bergelar Karaeng Sayye loro-loro), wafat di Besusu.
    Sayyid Abdulrasyid (bergelar Karaeng Sayye Tiba), wafat di Besusu.
    Serta 2 anak perempuan yang tidak disebutkan.
    Pembangunan Masjid Tua Al Hidayah di lokasi pertama di pandapa besusu, dilakukan oleh salahsatu anak dari Sayyid Baharullah Bafaqih yang bernama Sayyid Muhammad Amin bin Baharullah Bafagih atau yang dikenal dengan julukan Karaeng Sayye Loro-loro, di atas tanah wakaf milik mertuanya bernama Tanigau atau yang dikenal dengan nama I Pue Kate (keturunan I Mbagenjo Pue Tirolemba bin Panjuroro Pue Bongo), pada tahun 1891(yang lalu direstorasi kembali ditahun 1930-sekarang dirubah total menjadi Musholla Pandapa Alhidayah)2. Sayyid Muhammad Amin bergelar Karaeng Loro-loro, karena sering menggunakan baju bermotif garis-garis atau biasa disebut loro-loro. Lalu bersama saudaranya yakni Sayyid Muhammad Din Bafagih & Sayyid Abdulrasyid Bafagih, mereka melanjutkan dakwah ayahandanya yaitu Sayyid Baharullah Bafaqih, untuk mengadakan majelis Maulid Nabi (Nomaulu Nabi) di Masjid Alhidayah dan Halaqah Pengajian, Pengajian Fiqih dan Tasawuf di masjid, dan disekitaran Sulawesi Tengah terutama di Teluk Palu3.
    Murid-murid dan anak keturunan dari Sayyid Baharullah Bafaqih menyebar diberbagai wilayah di Sulawesi Tengah dengan pelaksanaan Majelis Maulid Nabi(Nomaulu Nabi) nya, sebagai cirikhas inti pengajarannya.
    Sumber catatan :

    Sejarah Islam di lembah Palu, oleh Prof.Dr.Haliadi Sadi & Syamsuri ; editor, Syakir Mahid ; Bib ID: 8411977
    Koran Mercusuar, Merawat Nilai Sejarah Masjid Al Hidayah, Jumat, 21 September 2018.
    Jaringan dan Kiprah Orang Arab di Teluk Palu, 1830-1930, oleh Dr.Mohammad Sairin, 2021.

Kata Kunci Pencarian: