Kerajaan Blambangan atau Balambangan atau Belambangan adalah sebuah
Kerajaan yang berada di Ujung Timur Pulau Jawa. Karena berbagai sebab
Kerajaan Blambangan memiliki pusat pemerintahan yang berpindah-pindah ke beberapa titik di sekitar Tapal Kuda.
Kerajaan Blambangan diperintah oleh raja-raja keturunan dinasti Rajasa Majapahit.
Blambangan dulunya pernah menjadi bagian dari wilayah Lamajang Tigangjuru yang dipimpin oleh Arya Wiraraja dan Pu Nambi tahun 1293-1316. Lamajang Tigangjuru beribukota di Lamajang (Lumajang). Selain
Blambangan, dua Juru (kadipaten) lainnya adalah Sadeng (di Puger, Jember), dan Keta (di Besuki, Situbondo).
Namun karena tidak terlibat dalam Perang Nambi (1316) dan Perang Sadeng-Keta (1318), maka oleh Prabu Jayanagara, raja kedua Majapahit, daerah ini dianugerahi status sebagai Perdikan Sima.
Tahun 1352 Balambangan bersama Pasuruan, Sumbawa, dan Bali mendapat Adipati baru dari trah Kepakisan Kediri. Adipati
Blambangan pertama itu bernama Sira Dalem Sri Bima Chili Kepakisan (1352-1406).
Ketika
Kerajaan Patron-nya, Majapahit, runtuh akibat pemberontakan Sang Muggwing Jinggan dan saudara-saudaranya tahun 1478 dan raja Singhawikramawardhana Dyah Suraprabhawa (1466-1478) gugur di istana, lalu Pada tahun 1478 pemerintahan dilanjutkan Oleh Prabu Brawijaya Bhre Kertabhumi kemudian Bhre Daha / Girindrawardana Ranawijaya melakukan pemberontakan lalu Ibukota
Kerajaan Majapahit dipindahkan Ke Kediri / Dahanapura ,maka
Kerajaan-
Kerajaan vasal Majapahit seperti Kesultanan Demak,
Kerajaan Bali, Kadipaten Surabaya, Kesunanan Giri, Kesultanan Cirebon,
Kerajaan Blambangan, dll memilih menjalankan pemerintahan sendiri-sendiri dan tidak mau mengakui kekuasaan para pemberontak yang mendirikan
Kerajaan baru di Keling Kediri (
Kerajaan Daha).
Pada tahun 1527, raja Majapahit-Daha Girindrawardhana Dyah Ranawijaya, yang tersingkir karena diserang oleh Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak melarikan diri ke Panarukan, Situbondo di wilayah utara
Kerajaan Blambangan.Pada Era Kasultanan Demak , Daerah
Blambangan Dan Madura diambil Alih Oleh Ratu Pambayun Atau Dewi Maskumambang yang meupakan Putri sulung dari Brawijaya Bhre Kerthabumi sampai dengan tahun 1559, setelah itu
Kerajaan Kerajaan Vasal Bekas
Kerajaan Majapahit yaitu
Blambangan memilih untuk mendirikan pemerintahan masing masing.
Menurut Babad Sembar, penguasa pertama
Blambangan adalah Mas Sembar dengan ibukota daerah Semboro (di Jember), suatu daerah di sebelah timur wilayah ayahnya, Lembu Miruda, (Lumajang).
Menjelang awal abad ke-15, pada tahun 1489, putra Mas Sembar yang bernama Bima Koncar telah meneguhkan dirinya sebagai penguasa
Blambangan kedua yang memerintah hingga tahun 1501.
Dari laporan Tome Pires, Bima Koncar memiliki putra bernama Pate Pimtor (Menak Pentor), memerintah antara 1501-1531, yang berhasil memperluas wilayah
Blambangan. Di bawah kekuasaan Menak Pentor,
Blambangan menjadi
Kerajaan yang kuat, kaya, dan makmur. Wilayahnya meliputi Canjtam (Keniten/Pasuruan Timur) dan Lumajang di bagian barat hingga ke Supitan
Blambangan (sekarang Selat Bali) di ujung timur Pulau Jawa. Letaknya pun cukup strategis, karena dikelilingi oleh lautan di ketiga sisinya, sehingga banyak memiliki pelabuhan. Di antara pelabuhan-pelabuhan
Kerajaan Blambangan yang paling terkenal adalah Panarukan (di Situbondo) di pesisir utara , Ulu Pangpang, (di Muncar) di pesisir timur, dan Puger (di Jember) di pesisir Pantai Selatan.
Pada saat Sultan Trenggana raja ke-3 Kesultanan Demak pada 1546, memperluas wilayah kekuasaannya ke timur, sebagian wilayah Jawa Timur berhasil dikuasainya, termasuk merebut Pasuruan dan Pajarakan (di Probolinggo) dari tangan
Blambangan pada tahun 1545 dan sejak saat itu Pasuruan menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa.
Akan tetapi, usaha Demak menaklukkan Panarukan mengalami kendala karena
Kerajaan ini mampu bertahan walaupun telah dikepung selama seratus hari. Bahkan, pada 1546, Sultan Trenggana sendiri terbunuh di dekat Panarukan, setelah selama tiga bulan tidak mampu menembus kota Panarukan. Pemimpin Panarukan yang terkenal kala itu bernama Sontoguno.
Setelah Demak mundur, giliran
Kerajaan Gelgel dari Bali yang menyerang dan berusaha merebut
Blambangan dari tangan Menak Pangseng putra Menak Pentor.
Pada tahun 1597, giliran
Blambangan diserang oleh pasukan Pasuruan namun
Blambangan dapat mengatasinya. Setelah mengalahkan Pasuruan, terjadi huru-hara di internal
Blambangan dan tampillah Menak Pati atau Sang Dipati Lampor dan putranya Menak Lumpat.
Selanjutnya Menak Lumpat digantikan oleh putranya yang bernama Pangeran Singosari atau Menak Seruyu bergelar Prabu Tawang Alun I.
Kemudian pada tahun 1638-1639, giliran Kesultanan Mataram menyerang
Blambangan, hingga membuat Tawang Alun I terpaksa melarikan diri ke timur gunung (wilayah Banyuwangi saat ini di daerah Kedawung Sraten, Cluring, Banyuwangi), sedangkan putra mahkotanya, Mas Kembar, menjadi tawanan dan diboyong ke Mataram.
Blambangan dapat bertahan di sebelah timur gunung dan usaha-usaha Mataram melebarkan kekuasaan ke daerah ini tidak pernah berhasil. Hal ini mengakibatkan kawasan
Blambangan Timur (Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk ke dalam budaya Jawa Tengah. Maka dari itu, sampai sekarang kawasan Banyuwangi memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku.
Selanjutnya, di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram, pada tahun 1649, Mas Kembar naik tahta dengan gelar Pangeran Tawang Alun II Prabu Tawangalun II.
Sepeninggal Sultan Agung dari Mataram, ketika Mataram dipimpin oleh Sunan Amangkurat Agung (Amangkurat I), ketika menghadiri Pisowanan (tahun 1652) di istana Mataram, Tawang Alun II mendeklarasikan diri di hadapan sang Sunan, bahwa mulai sejak saat itu
Blambangan adalah wilayah yang merdeka. Sepulangnya ke Balambangan dia menyandang gelar sebagai Susuhunan Macanputih untuk menunjukkan bahwa tahtanya sederajat dengan tahta Mataram.
Selanjutnya Kangjeng Suhunan Tawang Alun II membantu Raden Trunajaya dan Karaeng Galesong melawan Mangkurat Agung (Amangkurat I) dalam Perang Trunajaya sehingga
Blambangan dapat merebut daerah-daerah kekuasaannya kembali dari tangan Mataram. Di bawah pemerintahan Kangjeng Suhunan Tawang Alun II,
Kerajaan Blambangan maju dengan pesat di mana kekuasaannya menyatu dari Banyuwangi, hingga ke Kediri.
= Perang Saudara keturunan Tawang Alun II
=
Ketika Kangjeng Sunan Tawang Alun II wafat tahun 1691, Pangeran Senapati Sasranagara tampil menjadi raja tanpa bermusyawarah dengan adik-adiknya. Karena itu kemudian terjadi huru-hara perang saudara sehingga Sunan Macanputih kedua itu gugur dan tampillah adiknya yang bernama Pangeran Mas Macanapura bergelar Pangeran Pati I.
Setelah berkuasa selama tujuh tahun, Pangeran Pati I dikalahkan oleh putra Pangeran Senapati Sasranagara yang bernama Pangeran Mas Purba. Setelah berhasil merebut tahta, dia bergelar Prabu Danureja. Perang saudara setelah meninggalnya Kangjeng Sunan Tawang Alun II, membuat kedaton Macan Putih menjadi rusak.
Pangeran Prabu Danureja (Pangeran Mas Purba) memiliki permasuri:
Mas Ayu Gadhing (putri Untung Suropati dari Pasuruan) dari perkawinan tersebut memiliki Putra:
Pangeran Mas Noyang (Pangeran Prabu Danuningrat)
Dari selir (kakak Ipar Gusti Agung Mengwi/Raja
Kerajaan Mengwi) dia berputra:
Pangeran Putra II/Wong Agung Wilis.
Sepeninggal Pangeran Prabu Danureja, Pangeran Mas Noyang diangkat sebagai raja yang baru bergelar Pangeran Prabu Danuningrat memerintah
Blambangan pada tahun 1736-1763, sementara adiknya yang bernama Pangeran Putra II diangkat sebagai patih bergelar Pangeran Patih Agung Wilis.
= Perang melawan VOC
=
Di akhir abad ke-17, setelah meninggalnya Prabu Danuningrat pada tahun 1763, VOC secara sepihak menyatakan bahwa
Blambangan adalah wilayah kekuasaannya (berdasarkan Perjanjian Ponorogo tahun 1743), maka pada pada tahun 1767 terjadi puputan Kabakaba di Ulupangpang, disusul Perang Wilis tahun 1768, yang dipimpin oleh Wong Agung Wilis melawan VOC.
VOC membelah wilayah
Kerajaan Blambangan menjadi dua bagian,
Blambangan Barat atau Kanoman dipimpin oleh bupati boneka bernama Mas Weka dan beribukota di Puger (di Jember selatan). Sedangkan
Blambangan Timur atau Kasepuhan juga dipimpin oleh bupati boneka bernama Mas Aneng/Mas Uno dengan ibukota di Teluk Pangpang (di Muncar, Banyuwangi).
Setelah Pangeran Agung Wilis dikalahkan, kemudian meletuslah Perang Bayu pada tahun 1771-1772, dan menjadi perang habis-habisan rakyat
Blambangan yang dipimpin oleh Pangeran Jagapati melawan pasukan VOC.
Setelah Mas Rempeg Jagapati kalah dan terbunuh, VOC mengisi kekosongan pemerintahan dan menggabungkan
Blambangan ke dalam karesidenan Besuki, dengan mengangkat Mas Alit sebagai Bupati Kelima Kasepuhan bergelar KRT Wiroguno. Dialah Bupati pertama yang tinggal di Kota Banyuwangi, dekat markas dan benteng VOC di Benteng Utrecht.
Runtuhnya
Kerajaan Blambangan, bagi
Kerajaan-
Kerajaan di Bali merupakan suatu peristiwa yang sangat berarti dari segi kebudayaan. Para raja Bali percaya bahwa nenek-moyang mereka berasal dari Jawa Majapahit. Dengan masuknya
Blambangan ke dalam kekuasaan VOC, Bali menjadi lepas dari Jawa.
= Keturunan Lembu Miruda
=
Minak Sembar/Mas Sembar (memerintah Semboro, Jember pada 1478-1489), menurunkan:
Bima Koncar (Penguasa Lumajang pada tahun 1489-1501), menurunkan:
Minak Pentor (memerintah di Babadan, Lumajang tahun 1500-1546)
Minak Pangseng, Menurunkan:
Menak Jebolang di Panarukan
Minak Cucu (memerintah di Panarukan, Candi Bang (Kedathon Baluran))
Minak Gadru (memerintah di Prasada, Lumajang), menurunkan:
Minak Pati/Sang Dipati Lampor yang memerintah di (Werdati, Teposono, Lumajang), Menurunkan:
Minak Lumpat/Sunan Rebut Payung (memerintah di Werdati, Lumajang), berputra:
Minak Seruyu/Pangeran Singosari (Tawang Alun I)
Minak Luput (Sebagai Senopati)
Minak Sumendhe (sebagai Karemon/Agul Agul)
= Silsilah Tawang Alun I
=
Minak Lumpat mempunyai putra yaitu Minak Seruyu disebut juga Pangeran Singosari bergelar Prabu Tawang Alun I. Pada masa pemerintahannya, Tawang Alun I menaklukkan Mas Kriyan dan seluruh keluarga Mas Kriyan, sehingga tidak ada keturunannya. Kemudian Prabu Tawang Alun I menjadi penguasa wilayah Kedawung (di Paleran, Umbulsari, Jember).
Prabu Tawang Alun I memiliki Putra Kembar (Mas Kembar) :
Mas Senepo Handoyokusumo (Pangeran Tawang Alun II)
Mas Lego (Pangeran Wilabrata)
= Silsilah Tawang Alun II
=
Putra Tawang Alun I yang bernama Mas Senepo inilah yang kemudian memindahkan ibukota
Blambangan ke Kedhaton Macan Putih (sekarang daerah Macanputih, Kabat, Banyuwangi) bergelar Kangjeng Susuhunan Prabu Tawang Alun II, di mana dia memerintah pada wilayah
Kerajaan Blambangan 1655 hingga 1691. Kangjeng Susuhunan Prabu Tawang Alun II memiliki 2 orang istri dan beberapa selir, sehingga menjadi beberapa garis keturunan. Di antaranya adalah;
Kangjeng Susuhunan Prabu Tawang Alun II, memiliki putra putri dari:
Dewi Sumekar/Mas Ayu Rangdiyah (Ratu Kulon, dari Mataram), berputra:
Pangeran Adipati Mas Macanapura/Pangeran Pati I
Sekardewi Irawuni (Ratu Wetan, dari Blater-
Blambangan) menurunkan:
Pangeran Senapati Sasranagara (Pangeran Dipati Rayi), berputra
Pangeran Mas Purba (Prabu Danureja)
Pangeran Mas Noyang (Prabu Danuningrat)
Pangeran Putra II (Wong Agung Wilis)
Pangeran Macanagara (Keta)
Pangeran Kertanegara
Pangeran Gajah Binarong
Dari para selir menurunkan:
Mas Dalem Jurang mangun
Mas Dalem Puger, Ki Janingrat
Mas Dalem Wiroguno, menurunkan:
Mas Bagus Puri, menurunkan:
Mas Rempeg (Pangeran Jagapati)
Mas Suratman
Mas Ayu Nawangsari
Mas Ayu Rahinten
Mas Ayu Patih.
Mas Alit (Temenggung Wiraguna I, Bupati Banyuwangi pertama)
Mas Talib (Temenggung Wiraguna II, Bupati Banyuwangi kedua)
Mas Dalem Wiroluko
Mas Dalem Wiroludro
Mas Dalem Wilokromo
Mas Dalem Wilo Atmojo
Mas Dalem Wiroyudo
Mas Dalem Wilotulis
Arkeologi
Beberapa penemuan sejarah yang menjadi objek cukup menarik dari peninggalan
Kerajaan Blambangan adalah,
Tembok Rejo, berupa tembok bekas benteng
Kerajaan Blambangan sepanjang lebih kurang 5 km terpendam pada kedalaman 1 - 0.5 m dari permukaan tanah dan membentang dari masjid pasar Muncar hingga di areal persawahan Desa Tembok Rejo.
Siti Hinggil atau oleh masyarakat lebih di kenal dengan sebutan Setinggil (Stinggil) yang artinya Siti adalah tanah, Hinggil/inggil adalah tinggi. Objek Setinggil ini berada di sebelah timur pertigaan pasar muncar (lebih kurang 400 meter arah utara TPI/Tempat Pelelangan ikan).
Disebut Setinggil namun tidak dalam arti sama dengan Setinggil pada kraton umumnya sebagai tempat tahta raja. Setinggil di sini hanya tanah tinggi di tepi pantai yang konon dahulu merupakan pos pengawasan pelabuhan/syah bandar yang berkuasa pada masa
Kerajaan Blambangan. Di bagian puncaknya terdapat batu-batu cukup besar untuk mengawasi keadaan di sekitar teluk Pang Pang dan Semenanjung
Blambangan.
Beberapa benda peninggalan sejarah
Blambangan yang kini tersimpan di Museum
Blambangan di kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi berupa Bata, Gerabah, Guci, dan Asesoris gelang lengan, dan sebagainya. Sedangkan kolam dan Sumur kuno yang ditemukan masih berada di sekitar Pura Agung
Blambangan yaitu di Desa Tembok Rejo kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi.
Di samping itu pada lokasi Keraton Macan Putih di daerah Kabat, Banyuwangi di dapati relief arkeologi dan benda benda yang terkubur saat ini dilokasi seluas 44 Hektar yang telah menjadi persawahan dan kebun sering didapati benda arkeologi era
Kerajaan, beberapa puing tembok batas
Kerajaan pun terkubur rusak dan hancur, masyarakat setempat sering memindahkan dan atau menyimpan puing-puing tersebut. Ditemui juga beberapa koleksi di beberapa museum di Belanda yang berisi gambar, foto maupun artefak Keraton Macan Putih.
Setelah
Kerajaan Blambangan hancur penerus Raja
Blambangan yaitu Mas Rempeg (Pangeran Jagapati) mendirikan
Kerajaan Bayu yang berada di sekitar Rawa Bayu (Bayu, Songgon, Banyuwangi),
Kerajaan ini tidak bertahan lama hanya beberapa bulan saja, karena terjadi perang Perang Bayu 1771-1772. Disini dapat ditemukan beberapa sisa artefak dan bekas peperangan dengan VOC.
Hingga kini meskipun
Kerajaan sudah hancur para kerabat
Kerajaan secara turun temurun tetap menjaga beberapa pusaka penting peninggalan
Kerajaan.
Lihat pula
Prabu Tawangalun II
Babad
Blambangan
Bahasa Osing
Gandrung Banyuwangi
Wong Agung Wilis
Pangeran Jagapati
Perang Bayu
Sumber
Hasan Basri (Ed), Pangeran Jagapati, Wong Agung Wilis dan Sayu Wiwit. 3 Pejuang Dari
Blambangan, 2006, Banyuwangi: Penerbit Pemda Kabupaten Banyuwangi.
I Made Sudjana, Nagari tawon madu: sejarah politik
Blambangan abad XVIII
Blambangan&hl=id&source=gbs similarbooks, Larasan-Sejarah, 2001, ISBN 978-979-96250-0-7
M. Hidayat Aji Ramawidi, Dari Balambangan Menjadi Banyuwangi, 2022, ISBN 978-623-978-422-5
Purwasastra, Muji Rahayu, Sriyanto, Cariyosipun tanah Balambangan jamanipun wong Agung Wilis, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Universitas Michigan 1996, ISBN 978-979-459-609-8
Purwasastra, Babad Wilis,Wilis.html?id=3LotAAAAMAAJ&redir esc=y Naskah dan Dokumen Nusantara: Textes et Documents Nousantariens, I.pp. lxxxviii, 393, 9 pl., map. Jakarta, Bandung, Lembaga Penelitian Prancis untuk Timur Jauh: École Française d'Extrême-Orient, 1980.
Ricklefs, M. C., A History of Modern Indonesia since c. 1200, Palgrave MacMillan, New York, 2008 (terbitan ke-4), ISBN 978-0-230-54686-8
Samsubur, Sejarah
Kerajaan Blambangan, 2011, ISBN 979-722-356-6
Siwi Sang, Girindra, Pararaja Tumapel Majapahit, 2013, ISBN 978-602-98200-6-5
Sri Margana, Java's last Frontier, Universiteit Leiden
Winarsih Arifin, Babad Sembar: chroniques de l'est javanais, Presses de l'École française d'Extrême-Orient, 1995, ISBN 978-2-85539-777-1
Winarsih Arifin, Babad
Blambangan, 1995, ISBN 979-8793-11-1
https://balambangan.id/prabu-tawangalun/ (Prabu Tawangalun)
https://balambangan.id/mengenal-
Kerajaan-
Blambangan/ (Mengenal
Kerajaan Blambangan)
Referensi