- Source: Dampak berita palsu terhadap perilaku manusia
Berita palsu merujuk pada informasi salah yang sengaja diproduksi agar meyakinkan sebagai berita yang kredibel, dengan proses dan tujuan yang berbeda dari praktik jurnalistik yang etis. Kekhawatiran mengenai berita palsu meningkat secara signifikan pada tahun 2020 di tengah penyebaran luas misinformasi dan disinformasi terkait COVID-19 dan pemilihan umum AS tahun 2020.
= Mengapa Seseorang dapat Mempercayai Berita Palsu?
=Penelitian tentang berita palsu telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, dengan fokus pada mengapa orang percaya dan membagikan cerita yang direkayasa, bagaimana informasi yang salah diproses secara kognitif, dan metode untuk mengurangi penyebarannya.
Sebuah penelitian yang melibatkan 3 juta pengguna Twitter menganalisis 126.000 penyebaran rumor, baik yang benar, salah, maupun campuran. Berita dianggap benar jika disetujui oleh 95-98% organisasi pengecek fakta independen. Hasilnya menunjukkan berita palsu menyebar jauh lebih cepat dan ke lebih banyak orang daripada berita benar. Penyebaran cepat berita palsu terutama disebabkan oleh ketertarikan manusia pada hal baru dan berita yang membangkitkan emosi.
Sebuah eksperimen yang meneliti berita palsu menyajikan 20 item berita asli atau palsu kepada 409 partisipan dan mengukur keadaan emosi mereka. Kemampuan partisipan untuk membedakan antara berita asli dan palsu (daya pembeda) kemudian dihitung. Daya pembeda yang lebih rendah berkorelasi dengan keadaan emosi yang meningkat secara umum, serta emosi spesifik seperti kegembiraan, ketakutan, kekecewaan, dan rasa malu. Sebaliknya, emosi yang terkait dengan pemikiran analitis, seperti determinasi dan perhatian, tidak menunjukkan korelasi ini. Kesimpulan dari studi ini adalah ketika partisipan mengandalkan emosi mereka maka akan terjadi peningkatan kepercayaan pada berita palsu.
= Penyebaran Berita Palsu
=Antara Januari dan Maret 2020, berita palsu terkait COVID-19 mengalami peningkatan drastis sebesar 900%, berdasarkan data yang diverifikasi oleh International Fact-Checking Network dan Google Fact Checking Tools. Platform media sosial diidentifikasi sebagai sumber utama (88%) misinformasi ini, jauh melebihi sumber-sumber lain seperti TV, pers, dan situs. Sementara, penelitian yang mengkaji 330 utas rumor (terdiri dari 4.842 tweet) sebelum dan sesudah status kebenarannya ditetapkan menemukan bahwa rumor palsu biasanya membutuhkan waktu yang jauh lebih lama untuk diselesaikan daripada rumor yang benar.
Kerentanan terhadap penyebaran misinformasi tampaknya meluas, bahkan di antara mereka yang seharusnya memiliki informasi yang baik. Sebuah survei terhadap pelanggan buletin pengecekan fakta (CoronaCheck, yang dikelola oleh organisasi pengecekan fakta terkemuka di Australia) mengungkapkan bahwa 24% telah membagikan informasi yang berpotensi salah, dan perilaku ini terkait dengan kepercayaan yang lebih rendah terhadap ilmu pengetahuan. Sementara, penelitian yang dilakukan di Afrika yang menelaah motivasi penyebaran berita palsu mengungkapkan bahwa beberapa individu menyebarkan informasi palsu karena altruisme, dengan harapan dapat memperingatkan orang lain tentang peristiwa yang mengkhawatirkan.
Penelitian-penelitian lain mengungkapkan bahwa faktor-faktor seperti usia dan afiliasi politik dan keterlibatan pribadi memprediksi perilaku berbagi misinformasi, termasuk rumor kesehatan. Penelitian lain menunjukkan bahwa berbagi dimotivasi oleh relevansi artikel yang dirasakan oleh pengguna dan audiens mereka, dan bahwa umpan balik negatif di bagian komentar dapat mencegah pengguna untuk membagikan berita palsu.
Dampak penyebaran berita palsu
Penelitian-penelitian yang ada sering berasumsi bahwa paparan berita palsu memiliki konsekuensi negatif yang serius, serta seringkali menyatakan dampak buruknya terhadap demokrasi dan kesehatan masyarakat. Contoh-contoh di dunia nyata menggambarkan potensi bahaya ini, seperti kekerasan di India yang dipicu oleh rumor WhatsApp dan insiden "Pizzagate" di AS, di mana informasi yang salah secara daring menyebabkan ancaman di dunia nyata. Lebih lanjut, kampanye disinformasi skala besar telah berdampak nyata pada perilaku kesehatan, dengan penurunan tingkat vaksinasi MMR dikaitkan dengan klaim palsu yang menghubungkan vaksin MMR dengan diagnosis autisme.