Favipiravir, atau yang dikenal dengan nama Avigan dan favilavir adalah obat antivirus yang dikembangkan oleh Toyama Chemical (anak perusahaan Fujifilm). Obat ini memiliki aktivitas melawan berbagai virus RNA. Senyawa antivirus ini merupakan turunan dari pirazinkarboksamida. Dalam percobaan yang dilakukan pada hewan,
Favipiravir menunjukkan adanya aktivitas melawan virus influenza, virus West Nile, virus demam kuning, virus penyakit mulut dan kuku, flavivirus, arenavirus, bunyavirus, dan alphavirus. Selain itu,
Favipiravir juga menunjukkan adanya aktivitas melawan enterovirus dan virus demam lembah rift.
Favipiravir juga memiliki efektivitas yang terbatas terhadap virus Zika dalam penelitian pada hewan. Obat ini juga menunjukkan efektivitas melawan rabies.
Favipiravir telah digunakan secara eksperimental pada beberapa pasien yang terinfeksi virus.
Pada Februari 2020,
Favipiravir sedang diteliti di Tiongkok sebagai pengobatan terhadap penyakit koronavirus 2019. Pada 17 Maret, pejabat pemerintah Tiongkok mengatakan bahwa
Favipiravir efektif dalam mengobati penyakit koronavirus di Wuhan dan Shenzhen.
Mekanisme kerja
Mekanisme kerja obat ini diduga dengan menghambat secara selektif polimerase RNA dependen RNA dari virus. Penelitian lain menunjukkan bahwa
Favipiravir merangsang mutasi transversi RNA yang mematikan bagi virus.
Favipiravir merupakan bakal obat yang harus melewati proses metabolisme sebelum dapat memberikan efek antivirus. Metabolit tersebut adalah
Favipiravir-ribofuranosil-5'-trifosfat (
Favipiravir-RTP).
Favipiravir tersedia dalam bentuk tablet dan injeksi intravena. Hipoxantin guanin fosforibosiltransferase (HGPRT) diyakini memegang peran utama dalam proses metabolisme.
Favipiravir tidak menghambat sintesis RNA atau DNA dalam sel mamalia, sehingga tidak berbahaya bagi manusia. Pada tahun 2014,
Favipiravir mendapat izin edar di Jepang untuk persediaan obat jika terjadi pandemi influenza. Namun,
Favipiravir belum terbukti efektif pada sel di saluran pernapasan, sehingga terdapat keraguan mengenai efektivitas dalam pengobatan influenza.
Status persetujuan
Pada tahun 2014, Jepang memberikan izin edar pada
Favipiravir untuk mengobati virus yang tidak mempan terhadap antivirus yang ada saat ini. Awalnya Toyama Chemical berharap bahwa Avigan akan menjadi obat influenza pengganti Tamiflu. Namun, percobaan pada hewan menunjukkan adanya efek teratogenik pada janin. Hal tersebut membuat pemberian izin edar oleh Kementerian Kesehatan Jepang tertunda lama. Selain itu, produksi obat ini hanya terbatas ketika terjadi keadaan darurat di Jepang.
Pada Maret 2015, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS telah meninjau hasil dari uji klinis fase III yang meneliti keamanan dan efektivitas
Favipiravir dalam pengobatan influenza.
Uji coba virus Ebola
Beberapa penelitian pada mencit menunjukkan bahwa
Favipiravir mungkin efektif melawan Ebola. Namun, obat ini tidak terbukti efektif melawan Ebola pada manusia. Selama wabah virus Ebola di Afrika Barat tahun 2014, terdapat laporan yang menyatakan seorang perawat MSF dari Prancis yang terkena Ebola di Liberia pulih setelah mendapat pengobatan dengan
Favipiravir. Pada Desember 2014, dilakukan uji klinis yang meneliti efektivitas
Favipiravir terhadap penyakit virus Ebola. Penelitian ini dimulai Guéckédou, Guinea. Hasil awal menunjukkan penurunan tingkat kematian pada pasien Ebola dengan jumlah virus yang rendah-sedang dalam darah. Namun,
Favipiravir tidak memiliki dampak yang signifikan pada pasien dengan jumlah virus yang tinggi. Desain penelitian ini dikritik oleh peneliti lainnya karena hanya menggunakan kontrol historis.
Uji coba untuk COVID-19
Pada uji coba dengan sampel subjek sebanyak 80 orang,
Favipiravir memiliki aktivitas antivirus yang lebih kuat dibandingkan lopinavir/ritonavir dalam melawan SARS-CoV-2 Pada Maret 2020, pejabat pemerintah Tiongkok mengatakan bahwa
Favipiravir efektif dalam mengobati penyakit koronavirus 2019.
Referensi