- Source: Folklor Maluku
Cerita rakyat Maluku dan Maluku Utara adalah legenda atau cerita kuno yang dipercayai sakral dan mistis, yang mencerminkan budaya, adat, dan kehidupan masa lampau masyarakat Maluku dan Maluku Utara, Indonesia. Cerita rakyat masih populer di tengah kehidupan masyarakat Maluku dan Maluku Utara hingga saat ini. Cerita rakyat Maluku seperti Nenek Luhu, Batu Badaong, Bulu Pamali, Legenda Tanifai, Buaya Tembaga, Petualangan Empat Kapitan dari Maluku, dan lain sebagainya. Sedangkan cerita rakyat Maluku Utara adalah Asal Mula Telaga Biru, dan Batu Belah.
Nenek Luhu
Nenek Luhu adalah seorang tokoh yang dikisahkan hilang secara misterius menurut kepercayaan masyarakat Ambon, Maluku, Indonesia. Konon katanya pada zaman Belanda, di Negeri Luhu, Pulau Seram, Maluku diperintah oleh seorang raja yang bernama Raja Gimelaha Luhu Tuban yang lebih dikenal dengan nama Raja Luhu. Sang Raja memiliki seorang permaisuri yang bernama Puar Bulan. Sang Raja dan Sang Permaisuri dikaruniai 3 orang anak. Anak sulung adalah perempuan yang bernama Ta Ina (Luhu), dan dua anak yang lain adalah laki-laki yang bernama Sabadin (Luhu) dan Kasim (Luhu). Ta Ina Luhu memiliki perangai yang baik, penurut, rajin beribadah, mandiri, serta sayang kepada keluarga. Suatu ketika kabar tentang kekayaan dan ketentraman Negeri Luhu didengar oleh penjajah Belanda yang berkedudukan di Ambon. Belanda pun menyerang Negeri Luhu dengan persenjataan lengkap. Raja Luhu dan pasukannya berusaha melakukan perlawanan, tetapi belanda berhasilkan menjatuhkan Negeri Luhu dan menguasainya. Raja Luhu dan keluarganya serta seluruh rakyatnya tewas dalam pertempuran tersebut. Satu-satunya orang yang selamat pada saat itu adalah putri raja, Ta Ina Luhu. Namun, ia ditangkap dan dibawa oleh penjajah Belanda ke Ambon, untuk dijadikan istri panglima perang Belanda. Dengan penolakkan untuk dijadikan istri, Ta Ina Luhu diperkosa oleh Panglima Belanda. Karena selalu diperlakukan tidak senonoh oleh panglima tersebut, Ta Ina Luhu berusaha melarikan diri. Suatu malam, Ta Ina Luhu berhasil melarikan diri dari Kota Ambon. Pada malam itu juga Ta Ina Luhu berjalan menuju ke sebuah negeri yang bernama Negeri Soya. Di Negeri Soya Ta Ina Luhu disambut baik oleh Keluarga Raja Soya, bahkan dianggap sebagai keluarga istana Soya. Setelah beberapa bulan tinggal di istana Soya, Ta Ina Luhu hamil dan berniat melarikan diri dari istana Soya. Esoknya, saat suasana istana sedang sepi di malam hari, ia mengendap-endap menuju pintu belakang dan menaiki kuda Sang Raja. Ia sengaja tak memberitahu kepergiannya kepada keluarga Raja Soya, karena pastinya keluarga Raja Soya tidak akan mengizinkannya.
Sesampainya di puncak gunung, Ta Ina Luhu beristirahat di bawah pohon jambu. Ketika hari menjelang siang ia mendengar suara para pasukan Raja Soya memanggilnya dari kejauhan. Ia akhirnya meninggalkan tempat itu. Tak begitu lama seteleh kepergiannya, sebagian rombongan pengawal Raja Soya tiba ditempat itu dan menemukan kulit jambu bekas Ta Ina Luhu. Konon, rombongan itulah yang menamakan gunung tersebut dengan nama Gunung Nona. Sementara itu, Ta Ina Luhu terus memacu kudanya menuruni lereng gunung menuju pantai Amahusu dengan kencang sehingga topinya diterbangkan angin. Ketika sang putri hendak mengambil topi itu, tiba-tiba topinya berubah menjadi batu. Batu itu dinamakan Batu Capeu hingga sekarang. Setelah itu Ta Ina Luhu melanjutkan perjalanannya. Namun, begitu ia hendak memacu kudanya, ia dihadang oleh pengawal Raja Soya. Ta Ina Luhu memohon agar tidak dibawa pulang ke istana Soya, karena ia tak mau merepotkan orang lain.
Ketika salah seorang pengawal akan menarik tangannya, tiba-tiba Ta Ina Luhu menghilang secara gaib. Para pengawal Raja Soya kaget dan terperangah menyaksikan peristiwa ajaib itu. Sejak peristiwa itu, jika hujan bersamaan dengan cuaca panas, sering ada anak-anak yang hilang. Menurut kepercyaan masyarakat Ambon, makhluk halus yang suka menculik anak-anak adalah jelmaan dari Ta Ina Luhu. Hingga saat ini Ta Ina Luhu dikenal dengan Nenek Luhu.
Si Rusa dan Si Kulomang
Si dan Si Kulomang adalah cerita rakyat yang berasal dari Maluku juga Maluku Utara. Pada zaman dulu di Kepulauan Aru hidup sekelompok Rusa yang sangat berkuasa. Selain mencari rumput untuk hidup sehari-hari, mereka juga sering manantang hewan lain untuk adu lari. Pada suatu hari, pemimpin Rusa mengajak Si Kulomang (siput) adu lari. Taruhan pertandingannya adalah tempat tinggal si siput di laut. Si Kulomang menerima tantangan Si Rusa. Si Rusa pun tertawa senang karena membayangkan harus adu lari dengan seekor siput tua. Si Rusa mengajak teman-temannya untuk menonton pertandingan. Si Kulomang juga mempersiapkan 10 temannya dan menyiapkan masing-masing di setiap ujung tanjung. Saat pertandingan dimulai, Rusa berlari dengan sangat cepat. Dalam waktu singkat ia sudah tiba di ujung tanjung yang pertama. Ia pun tertawa terpingkal-pingkal membayangkan Kulomang yang tertinggal jauh darinya. Tiba-tiba Rusa mendengar suara Kulomang yang mengatakan bahwa ia sedang di belakang Rusa. Rusa sangat kaget mendengar suara Kulomang tersebut, dan Rusa pun segera berlari menuju tanjung kedua. Di ujung tanjung kedua, Rusa berhenti dan beristirahat. Ia yakin Kulomang tak dapat menyusulnya. Namun, tiba-tiba terdengar lagi suara Kulomang mengatakan bahwa ia sedang berada di belakang Rusa. Rusa berlari sekuat tenaga menuju tanjung-tanjung berikutnya. Setiap ia sampai di ujung tanjung, ia selalu mendengar suara Si Kulomang yang lebih dahulu sampai.
Rusa pun panik dan semakin berlari kencang tanpa beristirahat lagi. Ia pun kelelahan, dadanya sesak dan tersungkur kecapaian, dan pada akhirnya tak bernapas lagi. Kawanan rusa yang melihat memimpinnya mati melarikan diri dengan segera. Mereka yakin Kulomang adalah siput yang sakti, karena bisa lari dengan sangat cepat. Mereka tidak mengetahui bahwa yang bersuara di setiap ujung tanjung adalah teman-teman Kulomang.
Asal Mula Telaga Biru
Asal Mula Telaga Biru adalah cerita rakyat atau legenda yang berasal dari Maluku Utara. Di wilayah Gelela, Lisawa, daerah Halmahera Maluku Utara ada sebuah telaga yang dulunya adalah mata air yang berair jernih dan berkilau berwarna biru. Pinggiran telaga itu dikelilingi pohon beringin dan bebatuan. Setiap daun jatuh di sekitar telaga, daun tersebut seperti dihisap oleh bebatuan, sehingga sekitar telaga tetap terlihat bersih.
Konon, kekeringan pernah melanda Galela. Penduduk kesulitan air berbulan-bulan lamanya. Pada suatu hari mereka dikejutkan dengan keluarnya air dari sela bebatuan yang terbentuk dari pembekuan lahar panas. Air itu terus mengalir dan membentuk sebuah telaga. Letak telaga ini tepat di bawah sebuah pohon beringin yang sangat rimbun. Karena peristiwa ini aneh, maka penduduk desa di itu melakukan acara ritula untuk mengetahui jawaban atas kejadian ini. Setelah ritual dilakukan, masyarakat Galela mengetahui bahwa air tersebut timbul dari Sininga irogi de itepi Sidago kongo dalulu de i uhi imadadi ake majobubu. Artinya adalah mata air itu timbul akibat patah hati yang remuk-redam, meneteskan air mata, mengalir dan terus mengalir menjadi sumber mata air.
Setelah mengetahui arti mata air tersebut, Kepala Desa menyuruh warga dusun Lisawa berkumpul. Tetua adat menanyakan kelengkapan setiap anggota keluarga yang hadir. Masing-masing sibuk menghitung anggota keluarganya. Akhirnya diketahui ternyata ada dua keluarga yang belum lengkap. Mereka adalah Majojaru (nona/cewek) dan Magohiduruu (nyong/cowok). Setelah itu, salah seorang warga yang ada di kumpulan tersebut bercerita tentang mereka berdua.
Konon, dahulu ada sepasang kekasih yang berjanji untuk sehidup semati. Mereka bernama Mojojaru dan Magohiduruu. Pada suatu hari Magohiduruu pergi merantau ke negeri seberang. Majojaru menanti dengan setia dan cemas, hampir satu tahun Magohiduruu tidak kembali. Suatu hari Majojaru melihat kapal yang dinaiki Magohiduruu datang. Majojaru bertanya tentang kekasihnya itu kepada awak kapal. Awak kapal mengatakan bahwa ia mendengar kabar Magohiduruu telah meninggal dunia di negeri seberang. Mendengar kabar tersebut, hati Majojaru sangat hancur dan pedih. Dengan sedih, Majojaru berjalan mencari tempat berteduh untuk menenangkan diri. Kemudian ia berteduh di bawah pohon Beringin sambil menangis meratapi kepergian kekasih hatinya.
Air mata Mojojaru mengalir sangat deras hingga menggenang dan menenggelamkan bebatuan yang ada di sekitar pohon Beringin. Pada akhirnya, Mojojaru tenggelam oleh air matanya. Saat itu juga, langsung terbentuk sebuah telaga. Airnya sebening mata wanita-wanita Lisawa.
Batu Badaong
Batu Badaong adalah cerita rakyat yang berasal dari Maluku dan Maluku Utara. Batu Badaong adalah nama dari Maluku, sedangkan di Maluku Utara cerita ini bernama Batu Belah. Di sebelah utara kepulauan Maluku, tepatnya di daerah Tobelo hidup sebuah keluarga nelayan di rumah yang berdinding daun Rumbia.
Ayah keluarga itu adalah seorang nelayan dan ibu adalah ibu rumah tangga. Keluarga itu memiliki dua anak. Yang sulung seorang anak perempuan yang bernama O Bia Moloku dan yang bungsu adalah laki-laki yang bernama O Bia Mokara.
Pada suatu hari ayah mereka pergi melaut, dan ibu mereka pergi berkebun. Sebelum ibu mereka pergi, dia berpesan kepada O Bia Moloku dan O Bia Mokara untuk tidak memakan telur ikan yang ada di dapur, karena akan membahayakan ayah mereka di laut.
Tiga jam berlalu, O Bia Mokara merasa lapar, dan meminta telur ikan yang ada di dapur. O Bia Moloku tak mau memberikan telur ikan kepada adiknya. Namun, O Bia Mokara menangis dan makin lama tangisannya makin membesar. Karena merasa kasihan, O Bia Moloku memberikan telur ikan tersebut kepada adiknya. Tak lama kemudian, ibunya kembali dari kebun dengan membawa hasil kebun. Ibunya menggendong O Bia Mokara, dan menyanyi bersama di pangkuannya. Ibunya terkejut, melihat sisa-sisa telur ikan yang melekat di gigi O Bia Mokara dan memastikan telur ikan di dapur. Ibunya sangat kecewa, pesannya telah dilanggar, telur ikannya nihil. Ibunya merasa telah melanggar aturan, dan pasti suaminya tidak akan selamat di lautan. Itu sudah merupakan adat dan pantangan yang dipercayai oleh seluruh masyarakat. Kemudian dia melarikan diri menyusuri pesisir pantai. Sambil menggendong O Bia Mokara, O Bia Moloku mengejar ibunya, memanggil-manggil ibunya. Ibunya hanya menjawab, menyuruh O Bia Moloku memberikan susu kepada adiknya dari daun Katang-katang. Pada saat itu O Bia Moloku melihat ibunya masuk ke dalam laut. Saat ibunya masuk ke laut, tiba-tiba muncul batu besar di permukaan air laut. Ibunya merayap dan berdiri di atas batu tersebut. Lalu dia berteriak meminta batu tersebut membuka mulutnya. Tiba-tiba batu tersebut mengikuti perintah dan terbuka lebar. Kemudian ibu O Bia Moloku dan O Bia Mokara masuk ke dalam batu. Setelah itu, ibu mereka menyuruh batu itu menutup, dan batu itu pun menutup dan menelan ibu mereka dengan sendirinya.
Referensi
Kata Kunci Pencarian:
- Folklor Maluku
- Janghwa Hongryeon jeon
- Etika lingkungan
- Kabupaten Pangandaran
- Suku Bugis
- Warkop
- Bahasa Betawi
- Suku Banjar
- Genre fiksi
- Mitologi Yunani