Francesco Lugano (7 Mei 1938 – 9 Februari 2006) adalah seorang romo Indonesia keturunan Italia. Ia datang ke Indonesia sejak Agustus 1963 dan kurang lebih 43 tahun mengabdikan dirinya pada pelayanan rohani dan sosial di Indonesia.
Dia berkelana di sepanjang Teluk Prigi, Kabupaten Trenggalek; dia hidup bersama para nelayan, dia tahu dimana ada ikan walaupun dia melaut tanpa peralatan canggih. Dengan mata telanjang seperti layaknya nelayan tradisionil, dia bisa menunjukkan armada ikan yang bergerak di dekat perahunya.
Jiwa nelayan memang sudah ada semenjak kecil; karena dia yang berasal dari negeri seberang yaitu Italia, dilahirkan di kawasan pantai, dia berasal dari keluarga nelayan; figur tersebut tidak lain adalah Romo Fx.
Lugano Pr., seorang warga negara Indonesia yang mengabdikan hidupnya untuk melayani secara nyata masyarakat kecil [wong cilik].
Tugas utamanya sebagai penggembala umat di daerah yang jauh dari kota Blitar tidak menghambat jiwa nelayannya untuk memperhatikan kaum nelayan yang merupakan masyarakat mayoritas miskin dari sebagian saudara kita se bangsa.
Berkecimpungnya romo dalam bidang kenelayanan telah dimulai semenjak tahun-tahun awal pengabdiannya di bumi Indonesia.
Pada tahun 1970, masa setelah operasi Trisula, di kawasan pantai Jolosutro, Blitar Selatan, romo melihat situasi ekonomi masyarakat yang minus dengan kawasan lahan pertanian yang tandus. Di sini romo mengajak dan mengajari kaum mudanya untuk mencari sumber penghidupan dengan alternatif lain di samping pertanian dengan menangkap ikan di laut.
Usaha romo ini melibatkan para nelayan yang sudah berpengalaman dari daerah Puger dan Krajakan, yang mana situasi lautnya tidak jauh berbeda dengan Jolosutro. Dimulai dari pantai Jolosutro inilah untuk selanjutnya usaha romo beralih menyusuri pantai-pantai laut Selatan.
Dari Jolosutro berpindah ke pantai Tambakrejo, Blitar Selatan. Di kawasan Tambakrejo, romo berusaha meningkatkan usaha penangkapan ikan yang semula umumnya menggunakan perahu dayung, meningkat dengan memakai perahu yang lebih besar dengan mesin dalam [inboard] dan menggunakan jaring slerek [purse seine].
Selain usaha meningkatkan teknik penangkapan, romo bekerjasama dengan Pemda Blitar dan Angkatan Udara Madiun memperbaiki sarana pendaratan perahu nelayan dengan meledakkan batu-batu karang yang berbahaya, kemudian membuat kapal untuk saluran pembuangan air banjir serta membangun plengsengan dari cempolong [pipa beton bertulang] yang dipasang berderet untuk menahan gempuran ombak. Proyek padat karya ini melibatkan masyarakat sekitar dengan bergotong royong.
Memang kondisi laut selatan yang ganas gelombang air lautnya merupakan tantangan sendiri untuk menjinakkannya agar bisa dimanfaatkan sumber daya lautnya. Dengan berbagai kemajuan yang dirintis romo, maka pihak pemda Blitar dengan Dinas Perikanannya menetapkan langkah lanjut dengan menyediakan anggaran untuk membangun Tempat Pelelangan Ikan [TPI] dan perumahan bagi nelayan serta KUD-nya.
Dari kawasan Tambakrejo yang sudah mengalami kemajuan, usaha romo berlanjut menyusur ke arah Barat menuju pantai Popoh, Kabupaten Tulungagung. Tidak lama usaha romo di kawasan Popoh, kemudian menyusur lebih barat lagi sampai di pantai Prigi, Kabupaten Trenggalek. Pengalaman demi pengalaman semakin memantapkan usaha romo untuk memikirkan kaum nelayan.
Bertolak dari pengalaman di Tambakrejo, dimana dua buah perahu kayu milik romo mengalami kerusakan akibat gelombang laut yang ganas dengan membentur batu karang, maka suatu prestasi yang patut dicatat secara khusus terjadi dalam usaha romo untuk meningkatkan keamanan dan kenyamanan para nelayan dalam mencari ikan; yaitu pada tanggal 18 April 1981 diluncurkanlah perahu motor penangkap ikan yang terbuat dari kayu dilapisi fiberglass.
Perahu fiberglass ini merupakan perahu yang pertama kali dibuat di Indonesia, oleh orang Indonesia dan di galangan dalam negeri. Perahu fiberglass ini teruji kekuatannya yang mana sampai saat ini belum pernah mengakami kerusakan. Ide pembuatan perahu ini diperoleh romo setelah mengunjungi proyek perikanan FAO di Cochin India.
Perahu ini berukuran panjang 13 meter, lebar tiga meter dan tinggi dua meter; kapasitas muat lima ton, berawak 10 sampai 20 orang. Teknik pembuatannyapun semain disempurnakan. Perahu ketiga yang dibuat (1984) merupakan kombinasi kayu, fiberglass dan ferrocement dengan sistem cetakan. Pembangunan perahu ini berlokasi di desa Karanggongso (±5 km dari Prigi) dimana di situ tedapat sebidang tanah yang dipakai sebagai gudang serta sarana pembuatan perahu/galangan yang kecil dan masih terlalu sederhana; sarana ini tepat di pinggir pantai yang indah dan masih bebas polusi kendaraan maupun hewan.
Keterlibatan para nelayan sendiri untuk memajukan taraf kehidupannya inilah yang senantiasa diutamakan oleh romo. Dengan peningkatan rasa aman dan kenyamanan perahu maka romo telah berhasil memberikan suatu rasa kepercayaan diri yang merupakan salah satu syarat utama bagi nelayan dalam mencari ikan di laut.
Selain itu, teknik pembuatan perahu kayu berlapis fiberglass sekarang ini sudah banyak dicontoh oleh para nelayan di kawasan Prigi.
Dengan berhasilnya sistem penangkapan purse seine, tidak berarti sudah berhenti apa yang dipikirkan oleh romo dalam pengembangan kenelayanan. Masih banyak masalah non-teknis yang menghambat kemajuan taraf penghidupan nelayan. Bilamana musim ikan telah tiba, di antara bulan April sampai dengan September, adalah bukan rahasia lagi, bahwa dimanapun juga di kawasan nelayan, jika ikan melimpah ruah maka harga pasar atau penjualan akan jatuh.
Kestabilan harga ikan memang sampai detik ini belum ada; ini sudah merupakan masalah tersendiri. Sarana pengadaan es untuk pengawetan ikan segar belum pula terjamin keberadaannya, walaupun sarana untuk membuatnya sudah tersedia di kawasan TPI. Belum lagi bila musim ikan berlalu, maka berarti tiba musim paceklik, maka akan membawa akibat para nelayan tidak bis apergi ke laut untuk jangka waktu beberapa bulan; ini berarti para nelayan tidak memperoleh penghasilan.
Problem-problem teknis maupun non-teknis di atas merupakan tantangan untuk diatasi, terutama dalam bidang pemasaran atau pelelangan ikan, sehubungan dengan kelancaran mekanisme KUD Perikanan.
Membicarakan kegiatan romo
Lugano dalam bidang pengembangan kenelayanan sepertinya merupakan usaha yang tidak mengenal lelah. Sama seperti bila romo melayani kebutuhan umatnya di stasi-stasi yang jauh lokasinya. Tebaran umatnya yang dicapai oleh romo dnegan melewati lembah, bukit, jalan makadam, semuanya menanti sentuhan perhatian romo untuk memenuhi kebutuhan rohaninya.
Pengarahan berupa penerangan hidup sehat, kesejahteraan keluarga dan masyarakat melalui kotbah sudah merupakan motivasi sendiri bagi umatnya. Teladan dengan cara dan sikap hidup luhur tanpa pamrih telah ditunjukkan sehari-hari dengan menyatukan hidupnya bersama umatnya yang mayoritas adalah masyarakat yang sederhana, lugu, dan berpenghasilan menengah ke bawah. Tak jarang romo mengetuk pintu rumah siapapun di malam buta dan pasti mendapat sambutan yang hangat dan tumpangan yang layak menurut ukuran masyarakat desa. Dia rela tidur di manapun juga, dia biasa makan sama seperti penduduk setempat tanpa meninggalkan identitas sebagai seorang romo projo.
Kegiatan romo khusus dalam bidang kenelayanan tidak lepas dari kegiatan Lembaga Pengembangan Kenelayanan Jawa Timur (LPK-Jatim), dimana romo adalah direkturnya. Sudah banyak yang dilakukan LPK dalam bidang sosial. Selain masalah nelayan, maka masalah sosial lainnya seperti pertanian, perbaikan gizi balita, PKK dan koperasi juga diperhatikan.
Hal ini dikerjakan atas kerja sama dengan Lembaga Karya Darma (LKD), Pemda Tingkat II Kabupaten Blitar, dan lain-lain. Yang juga masih tetap merupakan ganjalan yang selalu melintang di hati romo, ialah bahwa masih ada ketidakadilan, ketidakjujuran, keterbelakangan, kepincangan kondisi sosial ekonomi.
Referensi
http://www.hidupkatolik.com/2013/09/17/
Francesco-
Lugano-pr-ia-mencintai-nelayan
http://pustakalewi.net/?mod=tokohdetail&id=33 Diarsipkan 2016-08-18 di Wayback Machine.