Arya
Gandamana adalah nama seorang tokoh dalam kisah pewayangan Jawa. Tokoh ini disisipkan ke dalam adaptasi wiracarita Mahabharata, suatu kisah dari zaman India Kuno karya Kresna Dwaipayana Byasa. Karena merupakan tokoh tambahan ciptaan pujangga Jawa, maka nama dan kisah
Gandamana tidak terdapat dalam naskah Mahabharata yang berasal dari India dan berbahasa Sanskerta.
Dalam cerita pewayangan, tokoh ini menjabat sebagai patih Kerajaan Hastina zaman pemerintahan Pandu, ayah para Pandawa. Karena fitnah Sengkuni,
Gandamana terpaksa meninggalkan kedudukannya dan kembali ke tanah airnya, yaitu Kerajaan Pancala, di mana ia berada di sana sampai akhir hayatnya. Kematiannya terjadi pada saat ia menggelar sayembara untuk memperebutkan keponakannya yang bernama Drupadi.
Asal usul
Gandamana adalah putra Gandabayu raja Kerajaan Pancala yang lahir dari permaisuri bernama Trilaksmi. Memiliki kakak perempuan bernama Gandawati yang menikah dengan Drupada, raja Pancala selanjutnya.
Gandamana sendiri merupakan reinkarnasi seorang pendeta muda bernama Resi Jarwada yang pernah menyerang kahyangan menantang para dewa.
Gandamana berguru kepada Pandu raja Kerajaan Hastina yang mengajarinya berbagai macam ilmu kesaktian. Tapi kesaktian
Gandamana bisa melebihi Pandu, dalam versi pedalangan ketika Prabu Tremboko dari Pringgadani memberontak melawan Astina,
Gandamana perang tanding melawan Prabu Tremboko dan ia kewalahan lalu mengeluarkan keris pusaka Pringgadani yaitu Kyai Kalanadah yang sangat ampuh.
Gandamana ditusuk dengan keris hanya gemetar lalu pingsan tetapi ketika Pandu perang tanding melawan Tremboko, masing-masing menggunakan keris pusaka: Pandu dengan keris Kyai Pulanggeni sedangkan Tremboko dengan Kyai Kalanadah. Tremboko tewas seketika tertusuk Pulanggeni, sedangkan Pandu ketika menginjak Tremboko yang telah tewas, kakinya menginjak keris Kalanadah yang masih dipegang mayat Tremboko, hal yang menyebabkan Pandu sakit keras dan meninggal.
Menikahkan Gandawati
Meskipun menjabat sebagai putra mahkota di Kerajaan Pancala,
Gandamana menolak menjadi raja karena ingin mengabdi kepada Pandu. Ia pun mengadakan sayembara, barang siapa bisa mengalahkan dirinya berhak menjadi suami Gandawati dan mewarisi takhta Kerajaan Pancala. Banyak pelamar dari golongan satriya mencoba mengikuti sayembara tersebut namun tidak ada yang mampu mengalahkan
Gandamana. Pandu sendiri hadir sebagai penonton bersama seorang pembantunya yang berasal dari negeri Atasangin bernama Sucitra. Pandu kemudian mendaftarkan Sucitra untuk mengikuti sayembara. Dengan memakai sumping (hiasan telinga) milik Pandu, Sucitra berhasil mengalahkan
Gandamana. Sucitra pun resmi menjadi suami Gandawati sedangkan
Gandamana mengabdi kepada Pandu sebagai patih Kerajaan Hastina. Sesuai kesepakatan, setelah Gandabayu meninggal dunia, maka yang menjadi raja Pancala bukan
Gandamana, melainkan Sucitra, dengan bergelar Drupada.
Korban fitnah
Di negeri Hastina,
Gandamana memiliki saingan politik bernama Arya Suman. Suatu hari keduanya dikirim Pandu untuk menumpas pemberontakan Tremboko raja Pringgadani. Pemberontakan ini juga terjadi akibat adu domba yang dilancarkan oleh Suman sendiri. Di tengah jalan, Suman menjebak
Gandamana sehingga jatuh terperangkap ke dalam lubang dan kemudian ditimbuni dengan bongkahan-bongkahan batu. Setelah itu, Suman kembali ke Astina menyampaikan laporan palsu bahwa
Gandamana telah menyeberang ke pihak musuh. Dalam keadaan bimbang Pandu memutuskan untuk mengangkat Suman sebagai patih baru.
Gandamana yang berhasil meloloskan diri dari maut, lalu kembali ke Astina. Di sana ia menyeret dan menghajar Suman sampai babak belur. Wajah Suman yang semula tampan berubah menjadi jelek akibat dianiaya
Gandamana. Karena perbuatan "main hakim sendiri" tersebut,
Gandamana pun dipecat Pandu dari jabatan patih. Sementara itu Suman yang kehilangan ketampanannya sejak saat itu dikenal dengan sebutan Sengkuni, yang berasal dari kata Saka dan Uni, bermakna "karena ucapan".
Menghajar Durna
Kumbayana adalah saudara angkat Drupada yang pada suatu hari datang menyusul ke Kerajaan Pancala. Kumbayana datang dengan sikap yang kurang sopan, yaitu memanggil-manggil nama kecil Drupada, yaitu Sucitra, dengan tidak hormat.
Gandamana tersinggung melihat kakak ipar sekaligus rajanya diperlakukan dengan kurang sopan. Ia pun menyeret Kumbayana keluar dari istana dan menghajarnya sampai cacad. Wajah Kumbayana yang semula tampan berubah menjadi buruk rupa.
Kumbayana kemudian pergi bertapa dan menjadi seorang pendeta bergelar Durna. Ia juga mengabdi di Kerajaan Hastina sebagai guru ilmu perang para Pandawa dan Kurawa. Setelah mahir para Korawa dikirim untuk menangkap Drupada dan
Gandamana namun tidak ada yang berhasil melakukannya. Para Pandawa pun menggantikan tugas mereka. Kelima putra Pandu tersebut mendatangi Drupada dan
Gandamana dan menyampaikan maksud mereka secara baik-baik. Drupada dan
Gandamana yang sama-sama berhutang jasa kepada Pandu tidak kuasa menolak permintaan para Pandawa. mereka pun menyerah secara baik-baik untuk dihadapkan kepada Drona. Di hadapan Durna, Drupada menyerahkan sebagian wilayah Pancala kepadanya.
Kematian
Dalam pewayangan Jawa, kisah sayembara Drupadi diceritakan dalam dua versi, yaitu sayembara memanah dan sayembara pertandingan. Untuk sayembara memanah kisahnya mirip dengan versi aslinya, yaitu versi Mahabharata dari India. Sedangkan sayembara pertandingan adalah hasil ciptaan para pujangga Jawa, tidak terdapat dalam naskah Mahabharata dari India.
Dikisahkan putri sulung Drupada yang bernama Drupadi dilamar banyak orang.
Gandamana mengumumkan barangsiapa mampu mengalahkan dirinya berhak memperistri keponakannya tersebut. Tujuan
Gandamana menggelar sayembara ialah untuk menemukan calon suami yang paling tepat untuk Drupadi. Hampir semua penantang tidak ada yang mampu mengalahkan
Gandamana, termasuk para Kurawa yang juga ikut mendaftar. Akhirnya muncul seorang pendeta muda gagah mengajukan diri.
Gandamana dengan sadar mengetahui kalau lawannya kali ini adalah Bimasena putra Pandu.
Dalam pertandingan tersebut
Gandamana berhasil menangkap dan mencekik Bima. Bima yang kehabisan napas merintih menyebut nama ayahnya. Begitu mendengar nama Pandu disebut,
Gandamana langsung luluh hatinya. Teringat kepada guru yang sangat ia hormati,
Gandamana menjadi lengah. Tanpa sengaja, kuku pusaka Bima yang bernama Pancanaka menusuk dada
Gandamana.
Gandamana pun roboh. Dalam keadaan sekarat,
Gandamana sempat mewariskan semua ilmu kesaktiannya kepada para Pandawa. Bima mendapatkan ilmu Ungkalbener dan Bandung Bandawasa, sedangkan Puntadewa dan Arjuna masing-masing memperoleh kalung Robyong dan ilmu Sepi Angin.
Gandamana akhirnya meninggal dunia akibat lukanya. Namun ia merasa lega karena keponakannya mendapatkan putra Pandu sebagai suami. Bima sendiri mengikuti sayembara tersebut bukan untuk dirinya sendiri, melainkan atas nama Puntadewa, kakak kandungnya.
Bentuk fisik
Dalam pedalangan gaya Surakarta, bentuk fisik wayang kulit
Gandamana sangat mirip dengan Antareja, putra sulung Bimasena. Yang berbeda hanya model rambut yang menghiasi kepala masing-masing. Kemiripan ini menyebabkan beberapa dalang pernah menampilkan kisah tentang Antareja sebagai reinkarnasi dari
Gandamana. Ada kisah lain dalam dunia pedalangan yaitu ketika Gatotkaca anak Bimasena dengan Arimbi lahir berujud raksasa oleh para dewa Gatotkaca bayi atau diberi nama Tetuka digodhog/dilebur kembali di kawah Candradimuka dengan komposisi kulitnya dari baja, otot dibuat dari kawat, tulang dari besi. Setelah selesai membentuk komposisi tubuh Gatotkaca, maka para dewa mengambil jasmani
Gandamana yang telah hidup di surga sebagai bentuk tubuh Gatotkaca. Maka jadilah Gatotkaca yang gagah perkasa dan fisiknya menyerupai fisik
Gandamana