Genosida Armenia adalah pemusnahan sistematis terhadap identitas dan bangsa
Armenia di Kesultanan Utsmaniyah semasa Perang Dunia I.
Genosida yang digagas rezim Komite Persatuan dan Kemajuan Utsmaniyah ini terutama diwujudnyatakan lewat aksi pembunuhan massal yang merenggut nyawa sekitar satu juta warga
Armenia dalam kirab maut menuju Gurun Pasir Suriah, dan lewat aksi pengislaman paksa terhadap warga lain, terutama perempuan dan anak-anak.
Sebelum Perang Dunia I, warga
Armenia menempati posisi sebagai warga negara kelas dua, tetapi dilindungi di dalam masyarakat kesultanan Utsmaniyah. Pembantaian warga
Armenia dalam skala besar terjadi pada dasawarsa 1890-an dan pada tahun 1909. Rentetan kekalahan militer dan kehilangan wilayah kedaulatan yang diderita Kesultanan Utsmaniyah, khususnya pada Perang Balkan tahun 1912-1913, membuat para petinggi Komite Persatuan dan Kemajuan khawatir kalau-kalau masyarakat
Armenia, yang merupakan penduduk di provinsi-provinsi timur, yang dipandang sebagai jantung wilayah kedaulatan bangsa Turki, akan mencoba mencari kemerdekaan. Saat melancarkan invasi ke Rusia dan Persia pada tahun 1914, satuan-satuan paramiliter Utsmaniyah membantai warga lokal
Armenia. Para petinggi Utsmaniyah menafsirkan usaha-usaha perlawanan warga
Armenia yang muncul di satu dua tempat, sebagai bukti pemberontakan seluruh masyarakat
Armenia, sekalipun tidak ada pemberontakan semacam itu terjadi. Pengusiran massal pun dilakukan dengan tujuan meniadakan peluang bagi rakyat
Armenia untuk meraih otonomi maupun kemerdekaan selama-lamanya.
Pada tanggal 24 April 1915, pemerintah Utsmaniyah menahan dan mengusir ratusan cendekiawan dan pemuka masyarakat
Armenia dari Konstantinopel. Atas perintah Talat Pasya, sekitar 800.000 sampai 1,2 juta warga
Armenia digiring berpawai menjemput maut ke Gurun Pasir Suriah pada tahun 1915 dan 1916. Di bawah kawalan pasukan paramiliter, warga
Armenia yang diusir tersebut tidak diberi makan maupun minum, bahkan dirampas harta bendanya, diperkosa, dan dibantai. Di Gurun Pasir Suriah, para penyintas kirab maut disebar ke sejumlah kamp konsentrasi. Pada tahun 1916, gelombang pembantaian atas perintah petinggi negara kembali terjadi, dan menyisakan 200.000 korban deportasi yang masih bertahan hidup pada akhir tahun itu. Sekitar 100.000 sampai 200.000 perempuan dan anak-anak
Armenia dipaksa masuk Islam dan dibaurkan ke dalam keluarga-keluarga Muslim. Seusai Perang Dunia I, kaum pergerakan nasional Turki melakukan pembantaian dan pembersihan etnis terhadap warga
Armenia yang tersisa selama berlangsungnya Perang Kemerdekaan Turki.
Genosida Armenia menghancurkan peradaban bangsa
Armenia yang sudah berumur lebih dari dua ribu tahun di Anatolia timur. Bersama dengan pembunuhan dan pengusiran massal terhadap warga Kristen Suryani dan Kristen Ortodoks Yunani,
Genosida Armenia telah melapangkan jalan bagi terwujudnya negara bangsa Turki. Pemerintah Turki tetap bersikukuh bahwa deportasi warga
Armenia merupakan suatu tindakan sah yang tidak dapat disifatkan sebagai
Genosida. Pada tahun 2023, telah terdapat 34 negara yang mengakui peristiwa-peristiwa tersebut sebagai
Genosida, sejalan dengan pandangan para sejarawan pada umumnya.
Latar belakang
= Warga Armenia Utsmaniyah
=
Keberadaan bangsa
Armenia di jazirah Anatolia sudah terdokumentasi sejak abad ke-6 SM, kira-kira 1.500 tahun sebelum kedatangan bangsa Turki di bawah dinasti Seljuk. Kerajaan
Armenia mengukuhkan agama Kristen sebagai agama negara pada abad ke-4 Masehi, sehingga lahir Gereja Apostolik
Armenia. Sesudah Kekaisaran Romawi Timur tumbang pada tahun 1453, dua kemaharajaan Islam, Turki Utsmani dan Iran Safawi, bersaing mendaulat
Armenia Barat, wilayah yang dipisahkan secara permanen dari
Armenia Timur (jajahan Safawi) oleh Perjanjian Zuhab tahun 1639. Kesultanan Utsmaniyah adalah sebuah kemaharajaan yang menaungi beragam suku bangsa dan agama. Sistem milet yang diciptakannya menempatkan warga non-Muslim pada kedudukan kelas dua tetapi dilindungi di tengah-tengah masyarakat. Syariat Islam memang mengistimewakan warga Muslim, tetapi menjamin hak-hak kepemilikan dan kebebasan beribadat warga non-Muslim (kaum zimi) sebagai imbal balik jizyah yang diwajibkan atas mereka.
Pada tahun 1914, menjelang Perang Dunia I, sekitar dua juta warga
Armenia dari total populasi yang berkisar antara 15 sampai 17,5 juta jiwa menetap di Jazirah Anatolia. Menurut perkiraan untuk tahun 1913-1914 yang disusun Kebatrikan
Armenia, ada 2.925 kota dan desa warga
Armenia di dalam wilayah Kesultanan Utsmaniyah, 2.084 di antaranya berada di Dataran Tinggi
Armenia, tepatnya di vilayet Bitlis, Diyarbekir, Erzerum, Harput, dan Van. Warga
Armenia merupakan golongan minoritas di hampir semua lingkungan tempat mereka menetap, hidup bertetangga dengan warga Turki, warga Muslim Kurdi, dan warga Kristen Ortodoks Yunani. Menurut data Kebatrikan
Armenia, 215.131 warga
Armenia menetap di kawasan perkotaan, khususnya Konstantinopel, Smirna, dan Trakia Timur. Sebagian besar warga
Armenia memang bermata pencaharian sebagai petani kecil, tetapi mereka sangat menonjol dalam perdagangan. Sekalipun sejumlah warga
Armenia tergolong kaya, kekuatan politik masyarakat
Armenia selaku golongan minoritas perantara tidaklah seberapa, dan oleh karena itu posisi mereka terbilang sangat rapuh.
= Konflik dan reformasi agraria
=
Warga
Armenia di provinsi-provinsi timur hidup dalam suasana semi-feodal. Kerja paksa, pungutan pajak liar, dan berbagai tindak kejahatan yang dibiarkan merajalela, seperti perampokan, pembunuhan, maupun kekerasan seksual, sudah bukan barang baru bagi mereka. Semenjak tahun 1839, pemerintah Utsmaniyah mengeluarkan serangkaian kebijakan pembaharuan demi memusatkan kewenangan dan menyetarakan kedudukan warga negara Kesultanan Utsmaniyah tanpa pandang agama. Kebijakan-kebijakan untuk mengentaskan kedudukan warga non-Muslim mendapat tentangan keras dari para ulama dan warga Muslim pada umumnya, dan sebagian besar dari kebijakan-kebijakan tersebut pada akhirnya mandek di tataran teori. Dengan dibubarkannya negara-negara emirat bangsa Kurdi pada pertengahan abad ke-19, pemerintah Utsmaniyah mulai memungut pajak secara langsung dari para petani
Armenia, yang sebelumnya membayar pajak kepada tuan-tuan tanah Kurdi. Meskipun demikian, tuan-tuan tanah Kurdi terus menarik pungutan dari para petani
Armenia secara tidak sah.
Mulai pertengahan abad ke-19, warga
Armenia dihadapkan dengan masalah penyerobotan tanah secara besar-besaran sebagai konsekuensi dari sedentarisasi suku-suku Kurdi, maupun arus masuk pengungsi dan imigran Muslim (sebagian besar asal Sirkasia) menyusul Perang Rusia-Sirkasia. Sesudah Sultan Abdul Hamid II naik takhta pada tahun 1876, pemerintah Utmaniyah mulai menyita tanah warga
Armenia di provinsi-provinsi timur untuk diserahkan kepada para imigran Muslim sebagai bagian dari kebijakan sistematis untuk menyurutkan populasi
Armenia di daerah-daerah tersebut. Kebijakan ini terus berjalan sampai pecah Perang Dunia I. Populasi daerah pegunungan
Armenia pada akhirnya menurun drastis. Tiga ratus ribu warga
Armenia hengkang ke luar negeri, dan selebihnya pindah ke kota-kota. Beberapa warga
Armenia bergabung membentuk partai-partai politik revolusioner, yang paling berpengaruh di antaranya adalah Federasi Revolusioner
Armenia yang didirikan pada tahun 1890. Partai-partai politik tersebut lebih mementingkan pengupayaan reformasi di dalam negeri Kesultanan Utsmaniyah, dan hanya mampu menuai dukungan terbatas dari warga
Armenia di negara itu.
Kemenangan mutlak Rusia pada perang tahun 1877–1878 memaksa Kesultanan Utsmaniyah untuk melepas kedaulatannya atas beberapa daerah di Anatolia Timur, Balkan, dan Siprus. Tekanan internasional pada Kongres Berlin tahun 1878 membuat pemerintah Utsmaniyah terpaksa melaksanakan usaha-usaha pembaharuan dan menjamin keamanan rakyatnya yang berkebangsaan
Armenia, tetapi tidak ada mekanisme penegakannya. Keadaan pun terus memburuk. Di Kongres Berlinlah permasalahan
Armenia memasuki gelanggang diplomasi internasional, lantaran untuk pertama kalinya bangsa
Armenia dimanfaatkan negara-negara Adidaya sebagai alasan untuk campur tangan dalam urusan politik Utsmaniyah. Sekalipun bangsa
Armenia disebut-sebut sebagai "milet yang setia", kontras dengan bangsa Yunani dan bangsa-bangsa lain yang pernah menentang kedaulatan Utsmaniyah, pemerintah Utsmaniyah mulai menganggap warga
Armenia sebagai ancaman selepas tahun 1878. Pada tahun 1891, Sultan Abdul Hamid II membentuk resimen-resimen Hamidiye yang beranggotakan warga suku-suku Kurdi, dan mengizinkan mereka untuk berlaku sewenang-wenang terhadap warga
Armenia. Dari tahun 1895 sampai 1896, terjadi pembantaian besar-besaran di Kesultanan Utsmaniyah yang merenggut nyawa setidaknya 100.000 warga
Armenia, dibunuh prajurit-prajurit Utsmaniyah atau para perusuh saat berlangsungnya kerusuhan-kerusuhan yang sengaja dibiarkan pemerintah. Banyak warga desa
Armenia dipaksa masuk Islam. Negara Utsmaniyah adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan tersebut, yang dilakukan demi memulihkan tatanan kemasyarakatan terdahulu, yang di dalamnya warga Kristen harus menelan mentah-mentah supremasi warga Muslim, dan untuk memaksa warga
Armenia beremigrasi sehingga populasi mereka dengan sendirinya menyusut.
= Revolusi Turki Muda
=
Tirani Sultan Abdul Hamid II justru mendorong lahirnya Turki Muda, gerakan oposisi yang berniat menumbangkannya dan memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar tahun 1876 yang ia bekukan pada tahun 1877. Salah satu faksi Turki Muda adalah Komite Persatuan dan Kemajuan, kelompok revolusioner rahasia yang bermarkas di Salonika, kota tempat Mehmet Talat (kemudian hari dikenal dengan sebutan Talat Pasya) bergabung menjadi anggotanya. Meskipun khawatir melihat semangat nasionalisme Turki yang bercorak ekslusif kian menggelora di dalam gerakan Turki Muda, Federasi Revolusioner
Armenia memutuskan untuk berkongsi dengan Komite Persatuan dan Kemajuan pada bulan Desember 1907. Pada tahun 1908, Komite Persatuan dan Kemajuan mengukuhkan keberadaannya di kancah kekuasaan melalui Revolusi Turki Muda, yang dimulai dengan membunuh beberapa orang pejabat tinggi di Makedonia. Sultan Abdul Hamid II dipaksa memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar tahun 1876 dan memulihkan parlemen. Seluruh warga negara Kesultanan Utsmaniyah dari segala etnis dan agama menyambut gembira perkembangan ini. Kondisi keamanan kian membaik di sejumlah daerah di provinsi-provinsi timur selepas tahun 1908, dan Komite Persatuan dan Kemajuan mulai mengambil langkah-langkah untuk mereformasi gendarmeri setempat, kendati suasana masih tegang. Meskipun salah satu pokok Kesepakatan Salonika tahun 1910 antara Federasi Revolusioner
Armenia dan Komite Persatuan dan Kemajuan adalah pembatalan pencaplokan tanah warga
Armenia oleh negara beberapa dasawarsa silam, Komite Persatuan dan Kemajuan tidak mengambil langkah apa-apa untuk mewujudkannya.
Pada awal tahun 1909, golongan konservatif dan sebagian golongan liberal anti rezim Komite Persatuan dan Kemajuan yang kian represif melancarkan suatu kudeta tandingan kendati berakhir dengan kegagalan. Ketika berita mengenai kudeta tandingan itu sampai ke Adana, warga Muslim bersenjata menyerang lingkungan permukiman warga
Armenia, dan dibalas pula dengan tembakan oleh warga
Armenia. Bukannya melindungi warga
Armenia, prajurit Utsmaniyah disana malah mempersenjatai massa. Kerusuhan ini merenggut 20.000 sampai 25.000 korban jiwa, sebagian besar warga
Armenia, yang tewas dibunuh di Adana dan kota-kota sekitarnya. Berbeda dari pembantaian-pembantaian yang terjadi pada dasawarsa 1890-an, pembantaian-pembantaian ini bukan direkayasa pemerintah pusat melainkan diprakarsai pejabat, cendekiawan, dan ulama setempat, termasuk massa pendukung Komite Persatuan dan Kemajuan di Adana. Meskipun pembantaian-pembantaian ini berakhir tanpa tindakan hukum, Federasi Revolusioner
Armenia masih berharap reformasi untuk meningkatkan keamanan dan mengembalikan tanah warga yang disita negara akan segera dilaksanakan. Pada akhir tahun 1912, Federasi Revolusioner
Armenia akhirnya pecah kongsi dengan Komite Persatuan dan Kemajuan dan beralih meminta bantuan dari negara-negara Eropa. Pada tanggal 8 Februari 1914, Komite Persatuan dan Kemajuan terpaksa menyetujui langkah-langkah reformasi yang disodorkan Jerman, yang mengatur agar dua orang inspektur Eropa diangkat untuk mengawasi seluruh kawasan timur wilayah Utsmaniyah dan menjadikan resimen-resimen Hamidiye sebagai pasukan cadangan. Para pemimpin Komite Persatuan dan Kemajuan khawatir ikhtiar-ikhtiar pembaharuan yang tak kunjung diimplementasikan itu akan mendorong bangsa
Armenia untuk memisahkan diri, dan menjadikannya sebagai alasan untuk memusnahkan populasi
Armenia pada tahun 1915.
= Perang Balkan
=
Akibat Perang Balkan I tahun 1912, Kesultanan Utsmaniyah kehilangan nyaris seluruh wilayah kedaulatannya di Eropa dan umat Islam terusir dari Jazirah Balkan. Perlakuan zalim terhadap umat Islam Balkan menyulut amarah masyarakat Muslim Utsmaniyah, mengobarkan sentimen anti-Kristen, dan ujung-ujungnya membangkitkan hasrat balas dendam. Pihak yang dituding sebagai biang keladi hilangnya wilayah kedaulatan Utsmaniyah adalah semua warga Kristen, termasuk warga
Armenia, padahal banyak warga
Armenia yang turut serta berjuang di pihak Utsmaniyah dalam perang itu. Perang Balkan mematikan semangat Utsmanisme yang memperjuangkan pluralisme dan koeksistensi, bahkan Komite Persatuan dan Kemajuan pun beralih ke jalur nasionalisme Turki yang kian lama kian radikal demi mempertahankan kelangsungan negara. Para petinggi Komite Persatuan dan Kemajuan, semisal Talat dan Enver Pasya, mulai menyalahkan konsentrasi populasi non-Muslim di daerah-daerah strategis, sebagai pangkal berbagai masalah yang dihadapi negara, dan akhirnya menyimpulkan pada pertengahan tahun 1914 bahwa merekalah tumor-tumor di dalam negeri yang harus disingkirkan. Dari semua populasi non-Muslim tersebut, warga
Armenia dianggap yang paling berbahaya, karena para petinggi Komite Persatuan dan Kemajuan khawatir kalau-kalau kampung halaman masyarakat
Armenia di Anatolia, yang digadang-gadangkan sebagai suaka terakhir bangsa Turki, akan mengikuti jejak Jazirah Balkan dan melepaskan diri dari Kesultanan Utsmaniyah.
Pada bulan Januari 1913, Komite Persatuan dan Kemajuan sekali lagi melancarkan kudeta, membuat Kesultanan Utsmaniyah menjadi negara satu partai, dan menindas keras semua pihak yang terbukti maupun yang dicurigai sebagai musuh di dalam selimut. Sesudah kudeta tersebut, Komite Persatuan dan Kemajuan mengubah demografi daerah-daerah di perbatasan, dengan memukimkan para pengungsi Muslim Balkan dan mendesak warga Kristen untuk hijrah ke luar negeri. Para imigran diiming-imingi harta benda tinggalan warga Kristen. Ketika Kesultanan Utsmaniyah menduduki beberapa daerah di Trakia Timur dalam Perang Balkan II pada pertengahan tahun 1913, terjadi kampanye penjarahan dan intimidasi terhadap warga berkebangsaan Yunani dan
Armenia, sehingga banyak dari mereka yang terpaksa hijrah ke luar negeri. Sekitar 150.000 warga Kristen Ortodoks Yunani dari daerah pesisir Laut Egea dideportasi paksa pada bulan Mei dan Juni 1914 oleh gerombolan bandit Muslim yang diam-diam dibekingi Komite Persatuan dan Kemajuan dan adakalanya beraksi bersama-sama para personel angkatan darat. Sejarawan Matthias Bjørnlund menegaskan bahwa keberhasilan deportasi warga Yunani menumbuhkan niat di hati para petinggi Komite Persatuan dan Kemajuan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang lebih radikal "sebagai satu lagi perpanjangan dari kebijakan rekayasa sosial melalui proses Turkifikasi".
Keikutsertaan Kesultanan Utsmaniyah dalam Perang Dunia I
Beberapa hari sesudah Perang Dunia I, Komite Persatuan dan Kemajuan mengesahkan perjanjian persekutuan dengan Jerman pada tanggal 2 Agustus 1914. Di ambang perang dengan Rusia, pada bulan itu juga Komite Persatuan dan Kemajuan mengutus wakil-wakilnya ke konferensi Federasi Revolusioner
Armenia yang diselenggarakan di Erzurum dengan maksud mendesak Federasi Revolusioner
Armenia untuk menghasut warga
Armenia Rusia supaya turut melibatkan diri demi kepentingan Utsmaniyah. Perwakilan Komite Persatuan dan Kemajuan pada akhirnya malah bersikukuh orang-orang
Armenia harus berjuang membela negara tempat tinggal mereka masing-masing. Sebagai salah satu langkah persiapan menghadapi perang, pemerintah Utsmaniyah merekrut ribuan narapidana menjadi anggota Organisasi Khusus, yang mulanya dikerahkan untuk menyulut pemberontakan warga Muslim Rusia sebelum Kesultanan Utsmaniyah secara resmi memasuki kancah Perang Dunia I. Pada tanggal 29 Oktober 1914, Kesultanan Utsmaniyah melibatkan diri dalam Perang Dunia I, sekubu dengan negara-negara Blok Sentral, dengan melancarkan serangan dadakan terhadap pelabuhan-pelabuhan Rusia di Laut Hitam. Banyak warga
Armenia Rusia menyikapi perang tersebut dengan penuh semangat juang, tetapi warga
Armenia Utsmaniyah justru bimbang, lantaran khawatir dukungan bangsa
Armenia kepada Rusia bakal mendatangkan pembalasan dari pihak Utsmaniyah. Pembentukan satuan-satuan sukarelawan
Armenia oleh warga
Armenia Rusia, ditambah lagi dengan keikutsertaan beberapa warga
Armenia Utsmaniyah yang membelot di dalam satuan-satuan tersebut, kian memperbesar kecurigaan pemerintah Utsmaniyah terhadap warganya yang berkebangsaan
Armenia.
Rekuisisi-rekuisisi yang dilakukan pemerintah pada masa perang sering kali korup dan semena-mena, serta secara tidak proporsional menyasar warga Yunani dan
Armenia. Para pemuka masyarakat
Armenia mengimbau anak-anak muda agar bersedia dimobilisasi, tetapi banyak serdadu dari berbagai latar belakang etnis maupun agama melakukan desersi, lantaran kerasnya kehidupan yang harus mereka jalani dan karena mengkhawatirkan keluarga yang mereka tinggalkan. Sekurang-kurangnya 10 persen dari seluruh warga
Armenia Utsmaniyah dimobilisasi, sehingga komunitas-komunitas
Armenia mengalami kekurangan warga laki-laki yang cukup umur untuk berperang, dan oleh karena itu rata-rata tidak berdaya melancarkan perlawanan bersenjata saat dideportasi paksa pada tahun 1915. Sewaktu Utsmaniyah menginvasi wilayah kedaulatan Rusia dan Persia, Organisasi Khusus gencar membantai warga
Armenia dan warga Kristen Suryani setempat. Mulai dari bulan November 1914, Wali-Wali Vilayet Van, Bitlis, dan Erzerum berulang kali mengirim telegram ke ibu kota, mendesak pemerintah pusat untuk lebih keras menindak warga
Armenia, baik di tingkat daerah maupun di seluruh wilayah kedaulatan Utsmaniyah. Pemerintah pusat menuruti saja desakan-desakan tersebut, bahkan sebelum tahun 1915. Para pegawai negeri keturunan
Armenia dibebastugaskan pada akhir tahun 1914 dan awal tahun 1915. Pada bulan Februari 1915, para petinggi Komite Persatuan dan Kemajuan memutuskan untuk melucuti senjata para serdadu keturunan
Armenia dan memindahtugaskan mereka ke batalion-batalion buruh. Serdadu-serdadu keturunan
Armenia di batalion-batalion buruh secara sistematis dieksekusi mati, kendati banyak tenaga terampil yang dibiarkan hidup sampai tahun 1916.
Menteri Perang Enver Pasya, mengambil alih komando angkatan darat Kesultanan Utsmaniyah ketika negara itu menginvasi wilayah kedaulatan Rusia, dan berusaha mengepung Angkatan Darat Kaukasus pada Pertempuran Sarikamiş yang berlangsung dari bulan Desember 1914 sampai bulan Januari 1915. Lantaran kurang matang mempersiapkan diri menghadapi kerasnya musim dingin, pasukannya dipukul mundur, dan kehilangan lebih dari 60.000 personel. Para serdadu angkatan darat Utsmaniyah yang ditarik mundur, menghancurleburkan desa-desa
Armenia di Vilayet Bitlis dan membantai warganya. Enver Pasya terang-terangan mengambinghitamkan warga
Armenia sebagai biang keladi kekalahannya. Ia menuduh warga
Armenia aktif memihak Rusia, dan pendapatnya ini menjadi suatu konsensus di kalangan petinggi Komite Persatuan dan Kemajuan. Laporan-laporan mengenai insiden-insiden di daerah semisal penimbunan senjata, pemutusan jalur telegraf, dan pembunuhan yang sesekali terjadi kian menguatkan syak wasangka yang sudah lama beredar tentang perangai khianat warga
Armenia, dan membuat para petinggi Komite Persatuan dan Kemajuan semakin khawatir kalau-kalau warga
Armenia sedang bersekongkol melawan negara. Tanpa mengindahkan laporan-laporan bahwasanya rata-rata warga
Armenia adalah rakyat yang setia, para petinggi Komite Persatuan dan Kemajuan memutuskan untuk menumpas warga
Armenia demi menyelamatkan negara.
Dari bulan Desember 1914, terjadi pembantaian kaum pria
Armenia di Başkale, Vilayet Van. Para petinggi Federasi Revolusioner
Armenia berusaha menenangkan suasana dengan mewanti-wanti warga
Armenia bahwa tindakan bela diri yang boleh dibenarkan pun dapat saja mengekskalasi pembunuhan. Wali Vilayet Van, Cevdet Bey, memerintahkan warga
Armenia Van untuk menyerahkan senjata pada tanggal 18 April 1915. Bagaikan buah simalakama, perintah ini membuat warga
Armenia menjadi serba salah. Jika dipatuhi, mereka harus bersiap-siap kehilangan nyawa setiap saat, tetapi jika tidak dipatuhi, mereka justru menciptakan alasan bagi pemerintah untuk membantai mereka. Warga
Armenia akhirnya membentengi diri di Van dan berjuang melawan serbuan pemerintah Utsmaniyah yang dilancarkan mulai tanggal 20 April. Dalam peristiwa penyerbuan itu, warga
Armenia di desa-desa sekitar Van tewas dibantai atas perintah Cevdet Bey. Pasukan Rusia, yang merebut Van pada tanggal 18 Mei, mendapati 55.000 mayat bergelimpangan di daerah itu, kurang lebih setengah dari populasi
Armenia sebelum perang. Pasukan Cevdet Bey selanjutnya bergerak ke Bitlis, menyerbu desa-desa
Armenia dan Suryani. Warga pria
Armenia yang dijumpai langsung dibunuh, banyak warga perempuan dan anak-anak
Armenia diculik warga Kurdi setempat, selebihnya berbondong-bondong mengungsi tetapi akhirnya juga tewas dibantai. Pada akhir bulan Juni, hanya tersisa selusin warga
Armenia di vilayet itu.
Atas usulan Cemal Pasya, panglima Satuan Darat Keempat, warga
Armenia dideportasi pada bulan Februari 1915. Sasaran aksi ini adalah warga
Armenia di Kilikia (khususnya Aleksandreta, Dörtyol, Adana, Hajin, Zeytun, dan Sis). Mereka direlokasi ke daerah sekitar Konya di kawasan tengah Anatolia. Pada akhir bulan Maret atau awal bulan April, Komite Pusat Komite Persatuan dan Kemajuan memutuskan untuk menggusur warga
Armenia secara besar-besaran dari daerah-daerah di sekitar perbatasan. Pada malam hari tanggal 23–24 April 1915, pemerintah menahan ratusan aktivis politik, cendekiawan, dan pemuka masyarakat
Armenia baik di Konstantinopel maupun di seluruh wilayah Kesultanan Utsmaniyah. Penangkapan yang dilakukan atas perintah Talat Pasya ini dimaksudkan untuk meniadakan kepemimpinan masyarakat
Armenia dan menyingkirkan siapa saja yang berpeluang memprakarsai perlawanan. Aksi penangkapan ini berakhir dengan pembunuhan sebagian besar dari orang-orang yang ditangkap. Pada hari itu juga, Talat Pasya membubarkan semua organisasi politik
Armenia, dan memerintahkan pendeportasian warga
Armenia yang digusur dari Kilikia, dari kawasan tengah Anatolia—tempat yang masih memberi peluang bagi mereka untuk bertahan hidup—ke Padang Gurun Suriah.
Deportasi sistematis
= Tujuan
=
Pada Perang Dunia I, Komite Persatuan dan Kemajuan (yang tujuan utamanya adalah melanggengkan daulat Kesultanan Utsmaniyah) mengidentifikasi warga sipil
Armenia sebagai suatu ancaman terhadap keberadaan negara. Para petinggi Komite Persatuan dan Kemajuan mengecap seluruh warga
Armenia, termasuk perempuan dan anak-anak, sebagai "para pengkhianat" negara. Anggapan semacam inilah yang melandasi pengambilan keputusan Komite Persatuan dan Kemajuan untuk melakukan
Genosida pada awal tahun 1915. Pada waktu yang sama, perang memberi kesempatan untuk bertindak, atau kata Talat Pasya, memberi "solusi definitif bagi Permasalahan
Armenia". Komite Persatuan dan Kemajuan keliru menyangka Kekaisaran Rusia berusaha menganeksasi kawasan timur Anatolia, sehingga memerintahkan pelaksanaan
Genosida tersebut demi mencegahnya.
Genosida Armenia dimaksudkan untuk mengeliminasi secara permanen segala peluang bagi warga
Armenia untuk mencapai otonomi maupun kemerdekaan di provinsi-provinsi timur Kesultanan Utsmaniyah. Dokumen-dokumen Utsmaniyah menunjukkan bahwa pemerintah bertujuan mengurangi jumlah warga
Armenia sampai tidak lebih dari lima persen dari populasi di tempat-tempat asal deportasi dan sepuluh persen di tempat-tempat tujuan deportasi. Tujuan ini tidak dapat dicapai tanpa pembunuhan massal.
Deportasi warga
Armenia dan pemukiman warga Muslim di tempat yang mereka tinggalkan merupakan bagian dari suatu proyek lebih besar yang dimaksudkan untuk merestrukturisasi demografi Anatolia secara permanen. Rumah-rumah tinggal, usaha, dan tanah warga
Armenia dialokasikan kepada para pendatang Muslim dari luar wilayah Kesultanan Utsmaniyah, suku-suku pengelana, dan sekitar 800.000 warga Utsmaniyah (sebagian besar orang Kurdi) yang harus dipindahkan lantaran perang dengan Rusia. Warga Muslim yang dimukimkan kembali disebar (biasanya dibatasi sampai 10 persen di suatu daerah) di tengah-tengah populasi warga Turki yang lebih besar supaya lambat laun kehilangan keistimewaan-keistimewaan yang menjadi ciri khas mereka, misalnya bahasa-bahasa non-Turki dan cara hidup berpindah-pindah. Kaum pendatang tersebut dihadapkan dengan kondisi hidup yang keras, dan dalam kasus-kasus tertentu dengan tindakan keras atau larangan untuk meninggalkan desa-desa mereka yang baru. Pembersihan etnis di Anatolia, yakni
Genosida Armenia,
Genosida Asyur, dan pengusiran warga Yunani seusai Perang Dunia I, melapangkan jalan bagi pembentukan sebuah negara bangsa Turki. Pada bulan September 1918, Talat Pasya menegaskan bahwa sekalipun kalah dalam perang, ia harus berhasil "mentransformasi Turki menjadi sebuah negara bangsa di Anatolia".
Deportasi memuncak menjadi hukuman mati. Pemerintah menyusun rencana bahkan menghendaki agar warga yang dideportasi kehilangan nyawanya. Deportasi hanya dilaksanakan di daerah-daerah yang jauh dari garis depan pertempuran, yang tidak ada pemberontakan aktif, dan hanya mungkin dilaksanakan di tengah-tengah ketiadaan perlawanan yang meluas. Warga
Armenia yang berdiam di zona peranglah yang justru dibunuh dalam aksi-aksi pembantaian. Kendati tampaknya dilancarkan demi kepentingan militer, deportasi dan pembunuhan warga
Armenia tidak mendatangkan keuntungan militer apapun bagi Kesultanan Utsmaniyah, dan sesungguhnya justru menggerus daya juang negara itu. Kesultanan Utsmaniyah menghadapi suatu dilema di antara tujuannya untuk mengeliminasi warga
Armenia dan kebutuhan praktisnya akan tenaga kerja
Armenia. Orang-orang
Armenia yang dibiarkan hidup agar dapat dimanfaatkan keahliannya, teristimewa untuk kegiatan manufaktur di bidang industri perang, menjadi tenaga-tenaga kerja yang penting artinya di bidang urusan logistik Angkatan Darat Utsmaniyah. Pada akhir tahun 1915, Komite Persatuan dan Kemajuan sudah meniadakan keberadaan bangsa
Armenia dari kawasan timur Anatolia.
= Tata laksana
=
Pada tanggal 23 Mei 1915, Talat Pasya memerintahkan deportasi semua warga
Armenia di Van, Bitlis, dan Erzerum. Untuk memberi payung hukum kepada aksi deportasi yang sudah berjalan di provinsi-provinsi timur dan Kilikia itu, Dewan Menteri mengesahkan Undang-Undang Deportasi Sementara, yang memungkinkan pihak berwenang untuk mendeportasi siapa saja yang dinilai "mencurigakan". Pada tanggal 21 Juni, Talat Pasya memerintahkan deportasi semua warga
Armenia di seluruh wilayah Kesultanan Utsmaniyah, bahkan di Adrianopel yang berjarak 2.000 kilometer (1.243 mil) dari perbatasan dengan Rusia. Menyusul penyingkiran populasi
Armenia di kawasan timur Anatolia, pada bulan Agustus 1915, warga
Armenia di kawasan barat Anatolia dan wilayah Turki di Eropa dijadikan target deportasi. Beberapa daerah dengan populasi
Armenia yang sangat rendah dan beberapa kota, termasuk Konstantinopel, dikecualikan.
Segenap unsur pemerintah, baik di tingkat nasional, regional, maupun daerah, bekerja sama dengan Komite Persatuan dan Kemajuan dalam pelaksanaan
Genosida. Direktorat Pemukiman Suku dan Imigran (DPSI) mengatur deportasi dan pemukiman kembali imigran Muslim di rumah-rumah maupun lahan-lahan kosong yang ditinggalkan warga
Armenia. DPSI, di bawah kendali Kementerian Dalam Negeri yang dipimpin Talat Pasya, dan Organisasi Khusus, yang menerima perintah langsung dari Komite Pusat Komite Persatuan dan Kemajuan, bekerja sama mengatur kegiatan-kegiatan mereka. Suatu sistem jalur ganda digunakan untuk meneruskan perintah. Perintah untuk mendeportasi warga
Armenia diteruskan kepada para wali vilayet melalui saluran-saluran resmi, tetapi perintah-perintah yang mengandung unsur pidana, misalnya perintah penumpasan, diteruskan melalui saluran-saluran partai dan langsung dimusnahkan sesudah diterima. Iring-iringan warga yang dideportasi sering dikawal gendarmeri atau milisi setempat. Pembunuhan di daerah-daerah perbatasan dilaksanakan oleh Organisasi Khusus, sementara pembunuhan di daerah-daerah yang jauh dari perbatasan dilaksanakan dengan mengikutsertakan milisi setempat, gerombolan bandit, gendarmeri, atau suku-suku Kurdi, tergantung daerah masing-masing. Di wilayah kewenangan Satuan Darat Ketiga, yang membawahi kawasan timur Anatolia, angkatan darat hanya terlibat dalam aksi-aksi kekejaman
Genosida di vilayet-vilayet Van, Erzerum, dan Bitlis.
Banyak dari pelaku kekejaman tersebut adalah orang-orang asal Kaukasus (orang Cecen dan orang Sirkasia), yang menyamakan bangsa
Armenia dengan bangsa Rusia yang menaklukkan mereka. Suku-suku kelana Kurdi melakukan berbagai kekejaman selama
Genosida berlangsung, tetapi suku-suku Kurdi yang sudah hidup menetap jarang sekali melibatkan diri. Ada berbagai alasan yang mendasari sepak terjang mereka, antara lain ideologi, balas dendam, ketamakan akan harta benda warga
Armenia, dan peningkatan karier. Untuk memotivasi para pelaku kekejaman, imam-imam yang diangkat negara menganjurkan tindakan membunuh warga
Armenia, dan para pelaku pembunuhan dijatahi sepertiga bagian dari harta bergerak milik warga
Armenia (sepertiga lagi menjadi jatah pejabat pemerintah setempat, dan sepertiga sisanya menjadi jatah Komite Persatuan dan Kemajuan). Orang yang kedapatan mengambil lebih dari jatahnya akan dihukum. Para politikus dan pejabat Utsmaniyah yang menentang
Genosida dipecat atau dibunuh. Pemerintah mengumumkan bahwa warga Muslim yang kedapatan menyembunyikan warga
Armenia dari kejaran pihak berwenang akan dihukum mati.
= Kirab maut
=
Mayoritas pria
Armenia yang berbadan sehat sudah dimobilisasi menjadi prajurit angkatan darat, tetapi selebihnya melarikan diri, membayar pajak pengecualian, atau umurnya memang berada di luar rentang usia wajib militer. Berbeda dari aksi-aksi pembantaian warga
Armenia Utsmaniyah yang sudah-sudah, pembantaian warga
Armenia pada tahun 1915 lazimnya tidak dilakukan di desa-desa mereka demi menghindari tindakan penghancuran harta benda atau aksi penjarahan liar. Biasanya kaum pria dipisahkan dari rombongan warga pada hari-hari pertama pelaksanaan deportasi, lalu dieksekusi mati. Segelintir pria melawan ketika akan dipisahkan dari rombongan karena lebih mengkhawatirkan keselamatan keluarganya. Anak-anak lelaki di atas usia dua belas tahun (kadang-kadang di atas lima belas tahun) mendapatkan perlakuan yang sama dengan pria dewasa. Tempat-tempat yang dipilih menjadi lokasi eksekusi mati adalah tempat-tempat yang tidak jauh dari jalan-jalan besar dan berupa medan yang sukar dilalui orang, danau, sumur, dan waduk untuk memudahkan penyembunyian atau penyingkiran jenazah. Iring-iringan akan berhenti bila sampai di kamp persinggahan. Di tempat itulah para pengawal mulai beraksi memeras uang tebusan, lalu membunuh orang-orang yang tidak mampu membayar. Satuan-satuan Organisasi Khusus, yang kerap mengenakan seragam gendarmeri, ditempatkan di lokasi-lokasi pembunuhan. Para personel gendarmeri yang menjalankan tugas pengawalan sering kali tidak melibatkan diri dalam aksi tersebut.
Sejak bulan Juni 1915, sekurang-kurangnya ada 150.000 warga
Armenia yang melewati Erzindjan, tempat serangkaian kamp persinggahan didirikan untuk mengendalikan arus iring-iringan para korban menuju lokasi pembunuhan di Ngarai Kemah. Ribuan warga
Armenia menemui ajalnya di dekat Danau Hazar, didorong jatuh ke dalam jurang oleh para personel paramiliter. Lebih dari 500.000 warga
Armenia melewati dataran Firincilar di selatan Malatya, salah satu lokasi yang paling banyak menelan nyawa sepanjang pelaksanaan
Genosida. Rombongan yang tiba di lokasi pembunuhan, sesudah berjalan kaki melewati dataran tersebut menuju daerah pegunungan Kahta, akan mendapati ngarai-ngarai sudah penuh dijejali jasad rombongan yang tiba sebelum mereka. Banyak warga
Armenia ditahan di lembah-lembah anak sungai Tigris, Efrat, atau Murat, dan secara sistematis dieksekusi mati oleh Organisasi Khusus. Kaum pria
Armenia kerap tewas tenggelam karena diikat sedemikian rupa sehingga saling beradu punggung sebelum dilemparkan ke air. Cara ini tidak dipakai untuk membunuh kaum wanita.
Pihak berwenang menganggap pembuangan jenazah ke sungai sebagai cara murah dan efisien untuk menyingkirkan jasad korban pembunuhan, tetapi cara ini justru mengakibatkan terjadinya pencemaran air di daerah hilir sungai. Jasad yang mengapung di sungai Tigris dan Efrat sudah terlalu banyak sehingga kadang-kadang menyumbat aliran dan harus dibersihkan dengan bahan peledak. Jasad-jasad yang membusuk juga terdampar di tepi sungai, tetapi ada pula yang hanyut sampai ke Teluk Persia. Sungai-sungai tersebut terus tercemar selama pembantaian berlangsung, dan menimbulkan berbagai wabah penyakit di daerah hilir sungai. Puluhan ribu warga
Armenia tewas di tengah perjalanan. Jasad mereka dikubur ala kadarnya, malah lebih sering dibiarkan terhantar di tepi jalan. Pemerintah Utsmaniyah memerintahkan agar jasad-jasad tersebut dibersihkan sesegera mungkin demi mencegah dokumentasi fotografis maupun timbulnya wabah penyakit, tetapi perintah ini tidak selamanya dipatuhi.
Perempuan dan anak-anak, yang merupakan golongan mayoritas di dalam rombongan warga
Armenia yang dideportasi, biasanya tidak langsung dieksekusi mati, tetapi dibiarkan kelaparan dan kehausan dalam perjalanan panjang menempuh medan yang berbukit-bukit. Yang tidak sanggup lagi mengayunkan langkahnya ditinggalkan begitu saja dalam keadaan sekarat atau ditembak mati. Pada tahun 1915, beberapa rombongan dipaksa berjalan kaki sejauh 1,000 kilometer (0,621 mi) di bawah terik matahari musim panas. Beberapa warga yang dideportasi dari kawasan barat Anatolia diperbolehkan melakukan perjalanan dengan kereta api. Ada perbedaan antara rombongan dari kawasan timur Anatolia, yang nyaris semuanya mati ditumpas, dan rombongan dari kawasan barat Anatolia, yang sebagian besar sampai ke Suriah dengan selamat. Sebagai contoh, sekitar 99 persen dari warga
Armenia yang dideportasi dari Erzerum tidak selamat sampai ke tujuan.
= Pengislaman
=
Pengislaman warga
Armenia, yang dijalankan sebagai pelaksanaan kebijakan negara yang sistematis, dengan melibatkan birokrasi, polisi, aparat penegak hukum, serta alim-ulama, merupakan salah satu unsur utama dari susunan rencana
Genosida ini. Diperkirakan ada 100.000 sampai 200.000 warga
Armenia yang diislamkan, dan kurang lebih dua juta warga negara Turki pada awal abad ke-21 memiliki paling tidak satu orang nenek atau kakek berkebangsaan
Armenia. Beberapa warga
Armenia diizinkan masuk Islam dan selamat dari aksi deportasi, tetapi rezim yang berkuasa tetap saja bertekad memusnahkan mereka apabila jumlah mereka sudah melebihi ambang batas di kisaran lima sampai sepuluh persen, atau bilamana muncul risiko bahwasanya mereka mampu melestarikan kebangsaan dan kebudayaan
Armenia. Talat Pasya sendiri yang mengotorisasi aksi pengislaman warga
Armenia, dan dengan saksama memantau kesetiaan mualaf-mualaf
Armenia sampai perang berakhir. Meskipun langkah yang pertama dan terutama adalah pengislaman, kebijakan ini juga gencar meniadakan nama-nama khas, bahasa, dan budaya
Armenia, serta mengawinkan paksa perempuan
Armenia dengan pria Muslim. Sekalipun merupakan jalan pintas termudah demi bertahan hidup, pengislaman justru menyalahi norma-norma moral dan sosial
Armenia.
Komite Persatuan dan Kemajuan memperbolehkan perempuan-perempuan
Armenia untuk kawin dan menjadi bagian dari keluarga-keluarga Muslim, karena perempuan-perempuan tersebut harus memeluk agama Islam dan kehilangan jati diri Armenianya. Para pemudi dan anak-anak perempuan sering kali dijadikan pembantu rumah tangga atau budak nafsu. Beberapa bocah lelaki diculik untuk dijadikan tenaga kerja paksa bagi orang-orang pribadi Muslim. Ada anak-anak dirampas dari orang tuanya, tetapi ada pula yang sengaja dijual atau diserahkan orang tua mereka demi menyelamatkan nyawa mereka. Pemerintah juga mendirikan panti-panti asuhan khusus yang dikelola negara dan diperlengkapi dengan prosedur ketat yang bertujuan membuat anak-anak panti melupakan jati diri
Armenia mereka. Sebagian besar dari anak-anak
Armenia penyintas
Genosida menjadi korban eksploitasi, dijadikan buruh kasar tanpa upah, dipaksa masuk Islam, dan menanggung kekerasan fisik maupun seksual. Perempuan-perempuan
Armenia yang diculik dari iring-iringan kirab maut berakhir di rumah-rumah keluarga Turki atau Kurdi. Perempuan-perempuan
Armenia yang diislamkan saat berlangsungnya
Genosida gelombang kedua berakhir di lingkungan masyarakat Arab atau Badawi.
Baik rudapaksa, kekerasan seksual, maupun pelacuran perempuan
Armenia sangat umum terjadi. Sekalipun perempuan-perempuan
Armenia berusaha menghindari kekerasan seksual, kadang-kadang bunuh diri sajalah satu-satunya alternatif yang tersedia bagi mereka. Korban deportasi dijajakan tanpa busana di Damsyik, dan dijual sebagai budak nafsu di beberapa daerah. Usaha perdagangan manusia ini merupakan salah satu sumber pemasukan utama bagi para personel gendarmeri yang menjalankan tugas pengawalan. Beberapa orang dijajakan kepada jemaah-jemaah haji di pasar-pasar budak di Arab, sehingga ada yang terdampar jauh sampai ke Tunisia atau Aljazair.
= Penyitaan harta benda
=
Motif sekunder yang melatarbelakangi
Genosida adalah penghancuran kaum borjuis
Armenia demi memberi ruang bagi kelas menengah Turki dan Muslim, dan demi membangun "ekonomi nasional" terpusat yang berada di bawah kendali warga Turki Muslim. Kampanye turkifikasi ekonomi dicanangkan pada bulan Juni 1914 dengan pengesahan undang-undang yang mewajibkan para saudagar dari golongan etnis minoritas untuk mempekerjakan karyawan Muslim. Menyusul aksi deportasi, usaha-usaha yang ditinggalkan para korban deportasi diambil alih warga Muslim yang sering kali tidak kompeten sehingga menimbulkan berbagai kesulitan ekonomi.
Genosida Armenia justru melemahkan ekonomi Kesultanan Utsmaniyah. Warga Muslim dirugikan akibat deportasi tenaga kerja ahli, dan semua daerah dilanda bencana kelaparan akibat deportasi petani. Pemerintah Utsmaniyah dan Turki mengesahkan Undang-Undang Harta Terlantar untuk mengelola dan meredistribusi harta benda warga
Armenia yang disita negara. Berdasarkan undang-undang ini, negara hanya mengurus harta benda sitaan atas nama warga
Armenia yang berhalangan hadir, tetapi ihwal pengembalian harta benda sitaan kepada pemilik semula tidak diatur di dalamnya, sehingga undang-undang ini terkesan berpraduga bahwa warga
Armenia yang dimaksud sudah tiada.
Menurut sejarawan Taner Akçam dan Ümit Kurt, "sepertinya negara Republik Turki dan sistem hukumnya dibangun di atas penyitaan kekayaan budaya, sosial, dan ekonomi warga
Armenia, dan di atas penyapubersihan keberadaan mereka." Hasil penjualan harta benda sitaan sering kali digunakan untuk mendanai aksi deportasi warga
Armenia dan usaha pemukiman kembali warga Muslim, maupun untuk mendanai belanja angkatan darat, milisi, dan berbagai belanja negara lainnya. Harta benda sitaan pada akhirnya menjadi unsur utama dari landasan industri dan ekonomi Republik Turki pascapembentukannya pada tahun 1923, karena menjadi modal usaha bagi negara itu. Perampasan harta dan penyingkiran para pesaing
Armenia memungkinkan banyak warga Turki kelas bawah (petani, serdadu, dan buruh) untuk mengubah nasib menjadi warga kelas menengah. Penyitaan aset-aset warga
Armenia berlanjut hingga seperdua akhir abad ke-20. Pada tahun 2006, Dewan Keamanan Nasional menetapkan bahwa catatan-catatan harta benda dari tahun 1915 harus tetap dirahasiakan demi keamanan nasional. Di luar Istanbul, jejak-jejak keberadaan bangsa
Armenia di Turki, yang mencakup gereja-gereja, biara-biara, perpustakaan-perpustakaan, tugu-tugu khackar, bahkan nama-nama satwa dan nama-nama tempat, ditiadakan secara sistematis, mulai dari zaman perang sampai berpuluh-puluh tahun kemudian.
Tempat tujuan
Rombongan-rombongan deportasi yang pertama kali tiba di Suriah pada pertengahan tahun 1915 ditampung di kota Halab. Sejak pertengahan bulan November, rombongan deportasi tidak lagi diizinkan memasuki Halab, tetapi diarahkan untuk meneruskan perjalanan menyusuri Jalur Kereta Api Bagdad atau tepian Sungai Efrat menuju kota Mosul. Kamp persinggahan yang pertama didirikan di Sibil, sebelah timur dari Halab. Setiap hari satu rombongan akan tiba di kamp persinggahan dan satu rombongan akan meneruskan perjalanan menuju Maskanah atau Dairuz Zaur. Lusinan kamp konsentrasi dibangun di Suriah dan Mesopotamia Hulu. Pada bulan Oktober 1915, sekitar 870.000 warga
Armenia sudah tiba di Suriah dan Mesopotamia Hulu. Banyak yang berulang kali dipindahkan dari satu kamp ke kamp lain. Di tiap-tiap kamp, mereka ditahan selama beberapa minggu, sampai tinggal segelintir orang saja yang masih bertahan hidup. Strategi ini benar-benar melemahkan fisik warga
Armenia dan menyebarkan kuman penyakit, sampai-sampai beberapa kamp ditutup menjelang akhir tahun 1915 lantaran dikhawatirkan kuman penyakit akan menjangkiti pihak militer Utsmaniyah. Menjelang akhir tahun 1915, kamp-kamp di sekitar Halab dibongkar, dan para penyintas dipaksa berkirab menuju Rasul Ain. Kamp-kamp di sekitar Rasul Ain ditutup pada awal tahun 1916, sehingga para penyintas dipindahkan ke Dairuz Zaur.
Pada umumnya orang-orang
Armenia tidak diberi makan dan minum selama maupun sesudah kirab paksa menuju Padang Gurun Suriah. Banyak yang mati akibat kelaparan, kelelahan, maupun akibat penyakit, khususnya disentri, tifus, dan pneumonia. Beberapa pejabat daerah memberi makan orang-orang
Armenia, dan ada pula yang harus disuap untuk menyediakan makan minum. Organisasi-organisasi pemberi bantuan secara resmi dilarang memberi makan warga yang dideportasi, tetapi beberapa organisasi melanggarnya. Menurut kesaksian para penyintas, beberapa orang
Armenia menolak uluran bantuan lantaran yakin bahwa bantuan hanya akan memperpanjang penderitaan mereka. Para pengawal memperkosa tahanan perempuan, dan mengizinkan orang-orang Badawi untuk menggerayangi kamp-kamp pada malam hari untuk menjarah dan memperkosa. Beberapa perempuan dinikahi paksa. Ribuan anak
Armenia dijual kepada orang-orang Turki, Arab, dan Yahudi yang tidak dikaruniai anak. Orang-orang itu datang ke kamp-kamp untuk membeli anak-anak dari orang tua mereka. Di kawasan barat Syam, yang berada di bawah kewenangan Angkatan Keempat Utsmaniyah, dengan Cemal Pasya sebagai komandannya, tidak ada kamp konsentrasi maupun pembantaian besar-besaran. Orang-orang
Armenia justru dimukimkan kembali dan diberdayakan sebagai karyawan untuk kepentingan perang. Mereka harus masuk Islam kalau tidak mau dideportasi ke daerah lain.
Kemampuan beradaptasi dan bertahan hidup orang-orang
Armenia ternyata melampaui ekspektasi pemerintah. Meskipun tidak terorganisasi dengan baik, jaringan perlawanan bangsa
Armenia yang berpangkalan di Halab berhasil menolong banyak korban deportasi, menyelamatkan nyawa orang-orang
Armenia. Pada awal tahun 1916, kurang lebih 500.000 korban deportasi mampu bertahan hidup di Suriah dan Mesopotamia. Karena khawatir orang-orang
Armenia yang selamat akan kembali ke kampung halaman mereka seusai perang, Talat Pasya memerintahkan pembantaian gelombang kedua pada bulan Februari 1916. Kebijakan deportasi sekali lagi dilancarkan, menyasar warga
Armenia yang masih tersisa di Anatolia. Lebih dari 200.000 warga
Armenia dibunuh antara bulan Maret sampai bulan Oktober 1916. Pembunuhan tersebut sering kali dilakukan di daerah-daerah terpencil yang tidak jauh dari Dairuz Zaur dan beberapa tempat di lembah Sungai Kebar, supaya jenazah mereka tidak membahayakan kesehatan masyarakat. Aksi-aksi pembantaian tersebut menewaskan sebagian besar warga
Armenia yang selamat dari kamp-kamp konsentrasi.
Reaksi internasional
Kesultanan Utsmaniyah berusaha menghalang-halangi wartawan dan juru foto untuk mendokumentasikan segala kezaliman itu dengan ancaman penahanan. Meskipun demikian, laporan-laporan yang dapat dipastikan kebenarannya mengenai pembunuhan-pembunuhan massal tersebut marak dimuat surat-surat kabar Barat. Pada tanggal 24 Mei 1915, Tiga Entente (Rusia, Inggris, dan Prancis) secara resmi mengutuk "kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban" yang dilakukan Kesultanan Utsmaniyah, dan mengancam akan menuntut pertanggungjawaban dari pelakunya. Keterangan saksi mata disebarluaskan lewat buku-buku, semisal The Treatment of Armenians in the Ottoman Empire (terbit tahun 1916) dan Ambassador Morgenthau's Story (terbit tahun 1918), yang membuka mata khalayak ramai terhadap aksi
Genosida tersebut.
Kekaisaran Jerman adalah sekutu militer Kesultanan Utsmaniyah pada Perang Dunia I. Diplomat-diplomat Jerman menyetujui kebijakan penggusuran terbatas warga
Armenia pada awal tahun 1915, dan tidak mengambil tindakan untuk menentang
Genosida, sehingga cukup menimbulkan kontroversi.
Di belasan negara, muncul usaha-usaha penggalangan dana untuk menyantuni para penyintas
Genosida Armenia. Pada tahun 1925, rakyat di 49 negara menjalankan "Hari Minggu Kaidah Kencana", yakni menyantap makanan yang biasa dikonsumsi para pengungsi
Armenia, dengan maksud menyisihkan uang bagi upaya-upaya kemanusiaan. Antara tahun 1915 sampai 1930, Yayasan Timur Dekat menggalang dana sebesar 110 juta dolar (165 milyar dolar jika disesuaikan dengan inflasi) untuk membantu para pengungsi dari Kesultanan Utsmaniyah.
Kesudahan
= Seusai Perang Dunia I
=
Pembunuhan terencana dengan dukungan negara terhadap warga
Armenia mereda pada akhir bulan Januari 1917, kendati sesekali masih terjadi pembantaian dan musibah kelaparan di sana sini. Sejarawan-sejarawan pada masa itu maupun kemudian hari memperkirakan bahwa kurang lebih ada 1 juta warga
Armenia yang mati dalam rentang waktu pelaksanaan
Genosida. Angka-angkanya berkisar dari 600.000 sampai 1,5 juta jiwa. Antara 800.000 sampai 1,2 juta warga
Armenia dideportasi. Menurut perkirakan semasa, hanya 200.000 orang yang masih bertahan hidup menjelang akhir tahun 1916. Ketika dikerahkan ke utara melewati Syam pada tahun 1917 dan 1918, Angkatan Darat Inggris membebaskan sekitar 100.000 sampai 150.000 orang
Armenia yang dikaryakan militer Utsmaniyah dalam kondisi yang memilukan, belum lagi orang-orang
Armenia yang ditawan suku-suku Arab.
Akibat Revolusi Bolshevik dan perdamaian terpisah dengan Blok Sentral, tentara Rusia menarik diri dan pasukan Utsmaniyah bergerak maju ke wilayah timur Anatolia. Republik Pertama
Armenia diproklamasikan pada Mei 1918, di saat 50 persen penduduknya adalah para pengungsi dan 60 persen wilayahnya diduduki oleh Utsmaniyah. Pasukan Utsmaniyah mundur dari beberapa daerah
Armenia menyusul Gencatan Senjata Mudros yang disepakati pada bulan Oktober 1918. Dari tahun 1918 hingga 1920, pendukung militan
Armenia melakukan pembunuhan balas dendam terhadap ribuan warga Muslim, yang disebut-sebut sebagai dalih retroaktif atas
Genosida sebelumnya. Pada tahun 1918, setidaknya 200.000 orang di
Armenia, yang sebagian besar adalah pengungsi, meninggal karena kelaparan dan penyakit, sebagian karena blokade pasokan makanan oleh Turki ke
Armenia dan pengrusakan tanaman yang disengaja oleh pasukan Turki di wilayah timur
Armenia, baik sebelum maupun sesudah gencatan senjata.
Armenia mengorganisir gerakan yang dikenal sebagai vorpahavak (pengumpulan yatim piatu), yaitu merebut kembali ribuan perempuan dan anak
Armenia yang diculik dan diislamkan pemerintah Utsmaniyah. Para pemimpin
Armenia meninggalkan adat penisbatan anak kepada nasab ayah dengan menggolongkan anak-anak dari rahim perempuan
Armenia yang dihamili majikan Muslimnya sebagai orang
Armenia. Sebuah panti asuhan di Aleksandropol menampung 25.000 yatim piatu, jumlah terbesar di dunia. Pada tahun 1920, Kebatrikan Konstantinopel
Armenia melaporkan telah menampung 100.000 yatim piatu, dan memperkirakan ada 100.000 yatim piatu lagi yang masih hidup sebagai tawanan.
= Pengadilan
=
Setelah gencatan senjata, negara-negara Sekutu memperjuangkan penuntutan penjahat perang. Wazir Agung Damat Ferid Pasha secara terbuka mengakui bahwa sebanyak 800.000 orang
Armenia yang menjadi warga Utsmaniyah telah meninggal akibat kebijakan negara dan bahwa "kemanusiaan, peradaban gemetar dan selamanya akan gemetar, menghadapi tragedi ini". Pemerintah Utsmaniyah pascaperang menyelenggarakan Pengadilan Militer Khusus Utsmaniyah. Dalam pengadilan tersebut,
Genosida Armenia diusahakan disorot dalam kepemimpinan Komite Persatuan dan Kemajuan sambil membebaskan Kesultanan Utsmaniyah secara keseluruhan agar terhindar dari pemisahan oleh Sekutu.
Pengadilan memutuskan bahwa "kejahatan pembunuhan massal" terhadap orang-orang
Armenia "diorganisir dan dilakukan oleh para petinggi Komite Persatuan dan Kemajuan". Delapan belas pelaku (termasuk Talat, Enver, dan Cemal) dijatuhi pidana mati. Hanya tiga orang pelaku yang dieksekusi mati, selebihnya melarikan diri dan diadili secara in absentia.
Perjanjian Sèvres tahun 1920, yang memberikan wilayah luas di kawasan timur Anatolia kepada bangsa
Armenia, membuat pemerintah Utsmaniyah mengurungkan niatnya untuk menyelenggarakan pengadilan. Proses penuntutan terhalang oleh keyakinan yang menyebar di kalangan warga Muslim Turki bahwa perlakuan terhadap orang-orang
Armenia bukanlah kejahatan yang patut diganjari hukuman, malah dianggap perlu dan dibenarkan demi mendirikan sebuah negara bangsa Turki.
Pada tanggal 15 Maret 1921, Talat Pasya dibunuh di Berlin sebagai bagian dari Operasi Nemesis, yakni operasi rahasia Federasi Revolusionaris
Armenia yang dilancarkan pada dasawarsa 1920-an untuk membunuh para pelaku
Genosida Armenia. Pengadilan terhadap orang yang mengaku membunuh Talat Pasya, Soghomon Tehlirian, malah berfokus pada tanggung jawab Talat atas
Genosida Armenia. Tehlirian pada akhirnya dibebaskan oleh dewan juri.
= Perang Kemerdekaan Turki
=
Komisi Persatuan dan Kemajuan berkumpul kembali sebagai gerakan nasionalis Turki untuk melawan Perang Kemerdekaan Turki, dengan bergantung pada dukungan para pelaku
Genosida Armenia dan orang-orang yang diuntungkan oleh
Genosida itu. Gerakan ini beranggapan bahwa kedatangan kembali para penyintas
Genosida Armenia sebagai ancaman mematikan bagi ambisi nasionalisnya dan kepentingan para pendukungnya. Karena itulah, pengembalian para penyintas
Genosida tidak mungkin dilaksanakan di sebagian besar Anatolia dan ribuan orang
Armenia yang mencoba kembali akhirnya dibunuh. Sejarawan Raymond Kévorkian menyatakan bahwa perang kemerdekaan "bertujuan untuk menuntaskan
Genosida dengan akhirnya memusnahkan para penyintas
Armenia, Yunani, dan Suriah". Pada tahun 1920, Jenderal Turki Kâzim Karabekir menginvasi
Armenia dengan perintah "untuk menyisihkan
Armenia secara fisik dan politis". Hampir 100.000 orang
Armenia dibantai di Transkaukasia oleh Tentara Turki dan 100.000 orang lainnya melarikan diri dari Silisia selama penarikan Prancis. Menurut Kévorkian, hanya pendudukan Soviet atas
Armenia yang mampu mencegah terjadinya
Genosida baru.
Para nasionalis yang menang kemudian mendeklarasikan Republik Turki pada tahun 1923. Para penjahat perang Komisi Persatuan dan Kemajuan diberikan imunitas dan kemudian di tahun yang sama, Perjanjian Lausanne menetapkan batas terbaru Turki dan pengusiran penduduk Yunani dari Turki. Tidak ada mekanisme penegakan hukum bagi ketentuan perlindungan kaum minoritas di Turki dan bahkan dalam praktiknya diabaikan.
Para penyintas
Armenia umumnya tersisa di tiga lokasi. Sekitar 295.000 orang
Armenia kabur ke wilayah yang dikontrol oleh Rusia dan kebanyakan berakhir di Republik Sosialis Soviet
Armenia. Sekitar 200.000 pengungsi
Armenia menetap di Timur Tengah dan membentuk gelombang baru diaspora
Armenia.
Di Republik Turki, sebanyak 100.000 orang
Armenia hidup di Konstantinopel dan 200.000 orang lainnya hidup di provinsi-provinsi lain di Turki, kebanyakan dari mereka adalah para wanita dan anak-anak yang telah dipaksa masuk Islam. Meskipun orang-orang
Armenia di Konstantinopel menghadapi diskriminasi, mereka diperbolehkan untuk mempertahankan identitas budaya mereka, tidak seperti orang-orang
Armenia yang berada di wilayah lain di Turki yang tetap saja mengalami pengislaman paksa dan penculikan anak-anak perempuan setelah tahun 1923. Antara tahun 1922 dan 1929, Otoritas Turki menyisihkan ribuan penyintas
Armenia dari Turki selatan dan mengusir mereka ke Mandat Prancis di Suriah.
Warisan sejarah
Menurut sejarawan Margaret Lavinia Anderson,
Genosida Armenia telah mencapai "status ikonik" sebagai sebuah "puncak kengerian yang bisa dibayangkan" sebelum Perang Dunia II.
Genosida ini digambarkan oleh orang-orang masa itu sebagai "pembunuhan suatu bangsa", "pemusnahan ras", "kejahatan terbesar sepanjang masa", dan "halaman paling gelap dalam sejarah modern". Menurut sejarawan Stefan Ihrig, di Jerman, Nazi memandang Turki pasca-1923 sebagai surga pasca-
Genosida dan, "memasukkan
Genosida Armenia, 'pelajaran', taktik, dan 'manfaatnya', ke dalam pandangan dunia mereka sendiri".
= Turki
=
Pada tahun 1920-an, orang-orang Kurdi dan Alawi menggantikan orang-orang
Armenia sebagai musuh dalam selimut negara Turki. Militerisme, lemahnya kedaulatan hukum, dan kurang terjaminnya hak-hak golongan minoritas, dan khususnya keyakinan bahwa Turki terus menerus berada dalam ancaman—sehingga membenarkan kekerasan negara—adalah beberapa peninggalan tahun 1915 di Turki. Di Turki pada masa setelah perang, para pelaku
Genosida dipuji sebagai "martir" nasional. Penyangkalan
Genosida Armenia oleh pemerintah Turki terus menerus bergantung pada pembenaran para anggota Komisi Persatuan dan Kemajuan atas tindakan-tindakannya. Pemerintah Turki menganggap deportasi massal orang-orang
Armenia sebagai sebuah tindakan sah untuk melawan ancaman bagi keberadaan Kesultanan, namun tidak bertujuan untuk memusnahkan orang-orang
Armenia. Posisi pemerintah adalah mendukung mayoritas warga negara Turki. Banyak orang-orang Kurdi, yang juga mengalami penekanan politis di Turki, mengakui dan mengutuk
Genosida Armenia.
Turki menganggap diskusi terbuka mengenai
Genosida Armenia sebagai suatu ancaman bagi keamanan nasional karena hubungan antara
Genosida tersebut dengan berdirinya Republik Turki. Karena itu, selama beberapa dekade, Turki dengan ketat menyensornya. Pada tahun 2002, Partai Keadilan dan Pembangunan berkuasa dan melonggarkan aturan penyensoran sampai batas tertentu. Riwayat isu mengenai penyensoran ini kembali mencuat pada tahun 2007, saat pembunuhan Hrant Dink, seorang jurnalis
Armenia-Turki yang dikenal berkat pembelaannya pada upaya rekonsiliasi. Meskipun Partai Keadilan dan Pembangunan memperhalus alasan penyangkalan negara atas
Genosida Armenia, dengan menyatakan bahwa orang-orang
Armenia sebagai kerugian perang Kesultanan Utsmaniyah, selama tahun 2010-an, penekanan dan penyensoran kembali meningkat. Upaya Turki dalam seabad untuk mencegah adanya pengakuan atau penyebutan
Genosida Armenia di negara-negara luar telah melibatkan jutaan dolar biaya melobi , dan juga mengintimidasi dan mengancam.
= Armenia dan Azerbaijan
=
Hari Peringatan
Genosida Armenia diperingati setiap tanggal 24 April setiap tahunnya di
Armenia dan luar negeri, bertepatan dengan peringatan tahunan deportasi kaum intelektual
Armenia. Pada 24 April 1965, sebanyak 100.000 orang
Armenia berunjuk rasa, diikuti oleh para diaspora
Armenia di seluruh dunia untuk mendesak pengakuan
Genosida dan pencaplokan tanah oleh Turki. Sebuah taman peringatan selesai dibangun dua tahun setelahnya, di Tsitsernakaberd, di atas Yerevan.
Sejak 1988, orang-orang
Armenia dan Azerbaijan terlibat konflik atas Nagorno-Karabakh, sebuah enklaf
Armenia yang diakui secara internasional sebagai bagian dari negara Azerbaijan. Awalnya, demonstrasi oleh orang-orang
Armenia berjalan damai sampai akhirnya timbul kekerasan yang mengakibatkan pembantaian di kedua belah pihak dan lebih dari setengah juta orang harus berpindah tempat. Selama konflik berlangsung, baik pemerintah
Armenia maupun pemerintah Azerbaijan, secara rutin menuduh satu sama lain sedang merencanakan
Genosida. Azerbaijan juga bergabung dalam upaya Turki untuk menyangkal
Genosida Armenia.
= Pengakuan internasional
=
Sebagai tanggapan terhadap sikap Turki yang bersikukuh menyangkal
Genosida Armenia, banyak aktivis
Armenia diaspora yang melobi pengakuan resmi atas
Genosida Armenia, upaya ini menjadi perhatian utama para diaspora
Armenia. Dari tahun 1970-an, banyak negara yang menghindari pengakuan atas
Genosida Armenia untuk menjaga hubungan baik dengan Turki. Hingga 2023, 34 negara telah mengakui
Genosida Armenia, termasuk Paus Fransiskus dan Parlemen Eropa.
Sementara itu, Pakistan mendukung sikap Turki terhadap
Genosida Armenia. Kemenlu Pakistan menyebut bahwa pengakuan AS bersifat “sepihak dan politis”.
= Penggambaran budaya
=
Setelah bertemu para penyintas
Genosida Armenia di Timur Tengah, penulis Yahudi Austria Franz Werfel menulis The Forty Days of Musa Dagh (tahun 1933), sebuah karya fiksi berupa pengisahan kembali kesuksesan pemberontakan orang-orang
Armenia di Musa Dagh, sebagai sebuah peringatan atas bahaya Nazi. Menurut Ihrig, buku tersebut termasuk salah satu karya terpenting dalam literatur abad ke-20 yang membahas
Genosida dan "masih dianggap sebagai bacaan penting bagi orang-orang
Armenia di seluruh dunia".
Genosida menjadi tema sentral dalam literatur
Armenia Amerika yang berbahasa Inggris. Film pertama mengenai
Genosida Armenia, Ravished
Armenia, dirilis pada tahun 1919 sebagai aksi penggalangan dana bagi Yayasan Timur Jauh, berdasarkan kisah bertahan hidup Aurora Mardiganian, yang juga ikut bermain dalam film tersebut. Sejak saat itu, semakin banyak film mengenai
Genosida, walaupun butuh beberapa dekade bagi beberapa film tersebut untuk mencapai audiens pasar massal. Sebuah lukisan ekspresionis abstrak dari Arshile Gorky dipengaruhi dari pengalaman pribadinya selama
Genosida. Lebih dari 200 monumen
Genosida Armenia telah didirikan di 32 negara untuk memperingati peristiwa itu.
= Arsip dan historiografi
=
Genosida tersebut didokumentasikan secara luas dalam arsip Jerman, Austria, Amerika Serikat, Rusia, Prancis, dan Inggris, termasuk dalam arsip Utsmaniyah, meskipun dilakukan pembersihan sistematis atas dokumen yang memberatkan Turki. Terdapat pula ribuan laporan saksi mata dari para misionaris Barat dan orang-orang
Armenia yang selamat. Pengacara Yahudi Polandia Raphael Lemkin, yang menciptakan istilah "
Genosida" pada tahun 1944, menjadi tertarik pada kejahatan perang setelah membaca tentang pengadilan Soghomon Tehlirian tahun 1921 atas pembunuhan Talat Pasya. Lemkin mengakui nasib orang-orang
Armenia sebagai salah satu
Genosida paling signifikan di abad ke-20. Hampir semua sejarawan dan cendekiawan di luar Turki, dan juga semakin banyak cendekiawan dari Turki sendiri, mengakui penghancuran orang-orang
Armenia di Kesultanan Utsmaniyah sebagai sebuah
Genosida.
Referensi
= Sumber
=
Buku
Bab buku
Artikel jurnal
Pranala luar
The Armenian Genocide Institute-Museum Diarsipkan 2023-06-05 di Wayback Machine. (Inggris)
Timeline of the genocide Diarsipkan 2021-02-16 di Wayback Machine. (Linimasa
Genosida) (Inggris) oleh Raymond Kévorkian