No More Posts Available.

No more pages to load.

  • Source: Gereja Ortodoks Konstantinopel (Turki)
  • Gereja Ortodoks Konstantinopel (bahasa Turki: Rum Ortodoks Patrikhanesi) adalah salah satu dari enam belas Gereja Ortodoks otosefalus. Gereja ini dipimpin oleh Patriark Konstantinopel, yang juga merupakan Patriark Ekumenis dari Gereja Ortodoks Timur. Patriark Konstantinopel memiliki keutamaan kehormatan (primus inter pares) di antara para pemimpin Gereja Ortodoks. Saat ini memiliki yurisdiksi atas sekitar 3,5 juta anggota yang tersebar di seluruh diaspora serta Ortodoks Turki dan pulau-pulau di Laut Aegea. Patriarkat Ekumenis merupakan pusat tertinggi dan tersuci dari Gereja Kristen Ortodoks di seluruh dunia. Sebagai sebuah institusi keagamaan yang telah berkarya selama lebih dari 17 abad, Takhta Suci dari Patriarkat Ekumenis terletak di Konstantinopel (sekarang Istanbul). Ia merupakan pusat dari seluruh Gereja Ortodoks lokal, yang mengepalai Gereja-Gereja Ortodoks lainnya, bukan secara administrasi, tetapi berdasarkan keutamaannya dalam melayani persatuan Pan-Ortodoks dan mengkoordinasi segala kegiatan yang mewakili seluruh ortodoksia.

    Fungsi Patriarkat Ekumenis sebagai pusat kehidupan Ortodoks di seluruh dunia berasal dari pelayanannya selama berabad-abad dalam memberikan kesaksian, melindungi, dan menyebarkan iman Ortodoks. Oleh karenanya, Patriarkat Ekumenis memiliki karakter yang bersifat supra-nasional dan supra-regional.
    Tanpa memandang ras dan bahasa, pelayanan Patriarkat Ekumenis telah melahirkan Gereja-Gereja regional yang baru di Timur, mulai dari Kaspia sampai Baltik, dan dari Balkan sampai Eropa Tengah. Saat ini, karya pelayanan tersebut telah berkembang semakin jauh ke Timur, hingga ke Amerika dan Australia, bahkan Indonesia.
    Umat Kristen Ortodoks di setiap benua, yang tidak berada di bawah yurisdiksi Gereja-Gereja otosefalus (independen) atau otonom (semi-independen), secara otomatis berada di bawah yurisdiksi Patriarkat Ekumenis.
    Yurisdiksi-yurisdiksi gereja lokal yang berstatus sebagai Gereja Otosefalus adalah Patriarkat kuno Aleksandria, Antiokhia dan Yerusalem (termasuk Keuskupan Agung kuno Gunung Sinai), Patriarkat Rusia, Serbia, Rumania, Bulgaria, dan Georgia, serta gereja-gereja berbentuk Keuskupan Agung atau Metropolis di Siprus, Yunani, Polandia, Albania, Ceko dan Slowakia, Amerika Serikat, Ukraina, dan Makedonia Utara. Sedangkan yurisdiksi-yurisdiksi gereja lokal yang berstatus sebagai Gereja Otonom meliputi Gereja-Gereja di Finlandia dan Estonia. Gereja-Gereja Ortodoks di Eropa, Amerika, Australia, dan Inggris, yang tidak berada di bawah yurisdiksi Gereja-Gereja Otosefalus atau Otonom tersebut, berada di wilayah yurisdiksi Patriarkat Ekumenis. Segenap umat Ortodoks merasa bahwa mereka adalah bagian dari satu komunitas spiritual yang satu hakikat, di mana "ketika salah satu anggota menderita, maka semuanya juga menderita." Inilah rasa persatuan yang sejati di dalam keragaman.


    Sejarah Patriarkat Ekumenis


    Setelah Konstantinopel (sebuah kota kecil dengan kuno Bizantium) didirikan sebagai ibu kota negara Kekaisaran Romawi pada awal abad ke-4, terjadilah rangkaian peristiwa signifikan yang mengangkat status Konstantinopel menjadi "Roma Baru." Uskup Konstantinopel menduduki posisi kehormatan sebagai Uskup "Roma Baru" ini dan memperoleh hak-hak istimewa yang masih dipegangnya sampai saat ini.
    Tradisi gereja menganggap Rasul Andreas "Sang Prototokos” (yang pertama dipanggil), sebagai pendiri Gereja Konstantinopel. Kanon ke-3 dari Konsili Ekumenis Kedua di Konstantinopel (381) menganugerahkan posisi kedua bagi Uskup kota ini, tepat setelah Uskup Roma yang menduduki posisi pertama. Kurang dari satu abad kemudian, kanon ke-28 dari Konsili Ekumenis Keempat di Kalsedon (451) memberikan Konstantinopel posisi yang setara dengan Roma dan tanggung jawab khusus di seluruh dunia, serta memperluas yurisdiksinya ke wilayah-wilayah yang belum diklaim oleh siapapun.
    Patriarkat Ekumenis memiliki kehormatan utama di antara Gereja-Gereja Otosefalus, yaitu gereja-gereja yang mandiri secara gerejawi. Patriarkat memperoleh kehormatan untuk melayani sebagai “primus inter pares,” yang pertama di antara yang setara. Patriarkat ini juga dikenal sebagai Patriarkat "Romawi" (dalam bahasa Turki: Rum Patrikhanesi), mengingat sumber historisnya sebagai Gereja Roma Baru, dari ibu kota Kekaisaran Romawi yang baru, yang dipindahkan pada tahun 330 dari Roma Kuno ke Bizantium oleh Kaisar Konstantinos Agung. Uskup pertama kota ini adalah Santo Stakhis (38-54), salah satu murid Rasul Andreas. Pada tahun 330, Bizantium berganti nama menjadi Konstantinopel dan Roma Baru, dan derajat keuskupannya ditingkatkan menjadi Keuskupan Agung. Metropolitan Heraclea, yang sebelumnya tunduk pada Bizantium, kini berada di bawah yurisdiksi Konstantinopel dan memperoleh kehormatan sebagai uskup yang paling senior dalam yurisdiksi inii.
    Frasa "Patriarkat Ekumenis" berasal dari sebuah gelar yang berasal dari abad ke-6M dan secara eksklusif hanya dimiliki oleh Uskup Agung Konstantinopel. Skisma Besar tahun 1054, kulminasi kerenggangan bertahap yang telah terjadi selama berabad-abad, menghasilkan pemisahan Gereja-Gereja Timur dan Barat secara formal, sehingga otoritas tunggal dan yurisdiksi atas Gereja-Gereja Ortodoks di seluruh dunia diberikan kepada Konstantinopel.

    Setelah Konstantinopel direbut oleh pasukan Latin dalam Perang Salib IV (1204), Patriarkat Ekumenis dipindahkan ke kota Nikea (1206). Namun, setelah berhasil merebut kembali kota tersebut pada tahun 1261, Kaisar Michael VIII Palaeologos mengembalikan Patriarkat Ekumenis ke Konstantinopel. Ketika Konstantinopel berubah menjadi ibu kota Kekaisaran Ottoman pada tahun 1453, Patriark Ekumenis (pada saat itu Gennadius II) diberi pengakuan oleh Kesultanan sebagai Etnark bagi seluruh umat Ortodoks, dengan otoritas lebih besar atas Patriarkat-Patriarkat Timur, Gereja-Gereja Balkan, dan bahkan sampai jauh di luar daerah-daerah tersebut.
    Sejak saat itu, Patriarkat Ekumenis menjadi simbol persatuan, memberikan pelayanan dan solidaritas bagi Gereja-Gereja Timur. Pada masa-masa sulit, Patriarkat Ekumenis kerap dimintai pendapatnya untuk menyelesaikan berbagai masalah. Seringkali ada Patriark dari Gereja lain yang tinggal di Konstantinopel, karena ibukota ini merupakan lokasi diselenggarakannya Sinode Suci yang diketuai oleh Patriark Ekumenis.
    Patriarkat Ekumenis juga mendukung pertumbuhan misionaris selama berabad-abad. Di antaranya, yang paling terkenal adalah pertobatan Kievan Rus pada abad ke-10M dan yang terkini adalah karya misionaris di Asia Tenggara sejak abad ke-20. Peran dan tanggung jawab penggembalaan ini menjadikan Patriarkat Ekumenis dikenal sebagai "mercusuar emas Ortodoksia, penjaga terang Kekristenan yang tak akan meredup."
    Saat ini, Patriarkat Ekumenis aktif terlibat dalam berbagai kegiatan dan pelayanan gerejawi. Secara historis ia telah terbukti menjadi pemimpin yang dinamis dalam gerakan ekumene, berpartisipasi penuh dalam Dewan Gereja-Gereja Sedunia sejak awal pendiriannya, dan dalam badan-badan ekumene lokal, melembagakan dan mengetuai dialog-dialog teologis bilateral dengan umat Kristen non-Ortodoks, maupun dengan para penganut kepercayaan monoteistik lainnya.


    Patriark Ekumenis Bartolomeus I



    Lahir dengan nama Demetrios Archondonis pada tahun 1940 di pulau Imvros (sekarang Gokceada, Turki), dan terpilih sebagai penerus ke-270 dari Gereja berusia 2000 tahun yang didirikan oleh Rasul Andreas ini; Uskup Agung Konstantinopel, Roma Baru, dan Patriark Ekumenis, Yang Tersuci Bartolomeus I merupakan pemimpin spiritual bagi 300 juta umat Kristen Ortodoks.
    Pengalaman pribadinya sebagai warga negara Turki memberikan perspektif yang unik dalam hal toleransi dan dialog antar agama. Patriark Ekumenis Bartolomeus I berjuang untuk merekonsiliasi Gereja-Gereja Kristen dan memperoleh reputasi internasional di bidang kesadaran dan perlindungan lingkungan. Beliau telah bekerja untuk memajukan rekonsiliasi di antara komunitas Katolik, Muslim dan Ortodoks, seperti di wilayah-wilayah bekas Yugoslavia, dan mendukung langkah-langkah pembangunan perdamaian untuk meredakan konflik global di daerah tersebut. Dia juga memimpin pemulihan status otonomi Gereja Albania dan Gereja Estonia, yang menjadi sumber dukungan spiritual dan moral yang konstan bagi negara-negara Ortodoks yang baru saja lepas dari beberapa dekade penganiayaan agama berskala luas di balik Tirai Besi.
    Peran Patriark Ekumenis saat ini, sebagai pemimpin spiritual utama di dunia Kristen Ortodoks dan menjadi tokoh transnasional yang memiliki signifikansi global, terus menjadi semakin penting setiap harinya. Beliau turut mensponsori Konferensi Perdamaian dan Toleransi di Istanbul (1994) yang mempertemukan umat Kristen, Muslim, dan Yahudi. Hal yang paling terkenal adalah upayanya dalam kesadaran lingkungan, yang membuatnya mendapatkan gelar "Green Patriarch." Upaya-upaya ini, serta perjuangannya mempromosikan kebebasan beragama dan hak asasi manusia, telah menempatkannya di garis terdepan sebagai rasul cinta kasih, perdamaian, dan rekonsiliasi, yang kemudian menganugerahinya Medali Emas Kongres oleh Kongres Amerika Serikat pada tahun 1997.
    Setelah menyelesaikan studi sarjananya di Sekolah Teologi Halki (1961), beliau melanjutkan studi pascasarjana di Institut Oriental Kepausan Universitas Gregorian di Roma, Institut Ekumenis di Bossey, dan Universitas Munich. Menerima tahbisan diakonat pada tahun 1961 dan imamat pada tahun 1969, Patriark Ekumenis Bartolomeus menjabat sebagai sekretaris pribadi bagi pendahulunya, mendiang Patriark Ekumenis Demetrios (1972-1991). Bartolomeus terpilih sebagai Metropolitan Filadelfia (1973), kemudian, Metropolitan Kalsedon (1990). Masa jabatannya ditandai dengan kerja sama antar-Ortodoks, dialog antar-Kristen dan antar-agama, serta perjalanan resmi ke negara-negara Ortodoks lainnya yang jarang dikunjungi sebelumnya. Dia telah mengadakan kunjungan resmi dan menerima banyak undangan dengan para pejabat gerejawi dan negara.
    Patriark Ekumenis Bartholomew | meraih berbagai gelar doktor kehormatan, dari universitas Athena dan Thessaloniki (Yunani), Georgetown dan Yale (Amerika Serikat), Flinders dan Manila (Australasia), London, Edinburgh, dan Louvain, serta Moskwa dan Bukares (Eropa). Beliau menguasai bahasa Yunani, Turki, Italia, Jerman, Prancis, Inggris, dan Latin.


    Gereja Patriarkal Santo Georgius



    Gereja Santo Georgius di Phanar (Fener) adalah gereja Patriarkal kelima dalam sejarah Konstantinopel dan telah menjadi rumah bagi Patriarkat Ekumenis sejak abad ke-15. Sebelum kejatuhan Konstantinopel pada tahun 1453, gereja-gereja Patriarkal terdiri dari:

    Gereja (goa bawah tanah) di Argyroupolis (Findikli), 38-144.
    Gereja Tujuh Anak Kudus dan Eleazar yang Kudus di Elaion (Salipazar), 148-166
    Gereja di Sykais (Galata) hingga 272.
    Gereja pra-Konstantinos Hagia Irene hingga 398, sekarang berada di taman pertama Istana Topkapi.
    Gereja pra-Justinian Hagia Sophia, 398-537.
    Gereja Justinian Hagia Sophia, 537-1204.
    Gereja Hagia Sophia di Nikea (Iznik), 1204-1261.
    Gereja Justinian Santa Sophia, 1261-1453.
    Sejak Kejatuhan Konstantinopel pada tahun 1453, gereja Patriarkal terdiri dari:

    Gereja Kedua Belas Rasul (lokasi Masjid Fatih saat ini), 1453-1456.
    Gereja Panagia Pammakaristos (Masjid Fathiye saat ini), 1456-1587.
    Gereja Perawan Maria dari Vlahseraion di Phanar, 1587-1597.
    Gereja Santo Dimitrios di Xyloporta (Ayvansaray), 1597-1600.
    Gereja Santo Georgios di Phanar, 1601-sampai saat ini.
    Gereja Patriarkal Santo Georgius yang ada pada saat ini, dahulu berfungsi sebagai biara bagi para biarawati Ortodoks. Ketika Patriark Matius II (1598-1601) mengubahnya menjadi rumah bagi Patriarkat Ekumenis menjelang akhir masa jabatannya, para biarawati dipindahkan ke komunitas lain dan Phanar akhinya berfungsi sebagai komunitas bagi para biarawan dan Pusat Ortodoksi sampai hingga hari ini. Bahkan, Phanar terkadang disebut sebagai "Biara Agung." Monastisisme dan spiritualitas pertapaan memainkan peran penting dalam Gereja Ortodoks. Biara memainkan peran profetis dalam Gereja Ortodoks, menyediakan sumber doa yang kuat di dunia yang penuh gejolak dan berfungsi sebagai pengingat akan kerajaan surga, yang diharapkan dan dinanti-nantikan oleh umat Kristiani. Dengan cara ini, kaum monastik menjadi penyeimbang antara kekuatan duniawi dan kasih ilahi. Hingga hari ini, situs Patriarkat Ekumenis itu sendiri terdiri dari persaudaraan biarawan di bawah bimbingan spiritual Patriarkat Ekumenis.
    Gereja Santo Georgius direnovasi pada tahun 1614 oleh Patriark Timotius Il (1612-1620), seperti yang dibuktikan dengan inskripsi pada fasad gereja di atas pintu masuk utama. Hancur akibat kebakaran pada tahun 1720, gereja ini dibangun ulang oleh Patriark Yeremia III (1716-1726), seperti yang diperingati oleh inskripsi di atas pintu masuk sebelah kanan gedung gereja ini. Nama dua donatur utama, Constantinos Kapoukechagias dan Athanasios Kiourtsibasis, juga tercatat di sana. Pada tahun yang sama, masih pada era kepemimpinan Patriark Yeremia III, gereja ini direnovasi dan sebuah kubah dibangun. Kemudian, kubahnya dihancurkan dan gereja sekali lagi diperbaiki dalam bentuknya yang sekarang pada tahun 1836 oleh Patriark Gregorius VI (1835-1840).
    Gereja Patriarkal Santo Georgius adalah sebuah basilika dengan tiga lorong. Di bawah kepemimpinan Patriark Bartolomeus, gereja ini telah direstorasi menjadi seindah semula dan didekorasi ulang berkat kemurahan hati dari Dermawan Agung Patriarkat Ekumenis, Panagiotis Angelopoulos dan keluarganya.
    Gereja Santo Georgius mempertahankan pembagian tiga ruang klasik yaitu narthex (ruang depan), nave, dan area altar. Gereja ini juga mencerminkan basilika awal abad keenam dengan tiga lorong. Narthex berisi ikon Santo Georgius, yang didedikasikan untuk gereja ini, dan Nabi Elia, atau Elias, yang mengenakan pakaian bulu untuk mengenang para pedagang bulu yang membawa sistem air ke Phanar. Nave adalah tempat utama untuk berkumpul umat beriman dan perayaan liturgi, selain altar itu sendiri. Gereja ini memiliki tempat khusus yang disediakan untuk Takhta para Hierarki, serta untuk para klerus dan pejabat yang berkunjung. Susunan tempat duduk tradisional biara di nave terbuat dari kayu eboni.
    Akhirnya, sebuah catatan perlu dibuat tentang dedikasi Gereja Patriarkal Santo Georgius. Sangatlah tepat bahwa gereja Patriarkat Ekumenis mengenang Martir Agung ini. Dimensi kemartirannya merupakan karakteristik spiritual yang mendasar dari umat dan tempat-tempat Ortodoks. Penganiayaan dan perpecahan selalu menandai sejarah Gereja Ortodoks—tidak berbeda dengan kisah Gereja Kristen mula-mula. Hal-hal ini telah membentuk identitas Ortodoks dan spiritualitas Ortodoks. Oleh karena itu, kemartiran telah menandai kehidupan dan budaya Gereja Timur secara mendalam. Sementara mungkin tidak selalu tampak sebagai ciri normal kehidupan Kristen, kemartiran jelas merupakan sebuah faktor normatif dari cara Kristen Timur. Kemartiran—apakah suatu "kemartiran merah" berupa darah dalam kasus mereka yang menderita, atau "kemartiran putih" hati nurani di dalam hati bagi para biarawan-biarawati merupakan bagian yang tak terpisahkan dari cara hidup dan berpikir Ortodoks.


    Arsitektur dan Liturgi Ortodoks


    Ada sebuah legenda terkenal tentang utusan yang dikirim oleh Pangeran Vladimir ke Konstantinopel pada akhir abad kesepuluh untuk melihat apakah bangsa Rusia harus mengadopsi agama Bizantium. Setelah menghadiri ibadah di Gereja Agung Hagia Sophia, para utusan tersebut dikatakan telah melaporkan pengalaman mereka yang luar biasa dalam kata-kata berikut yang dicatat dalam Kronik Utama Rusia: "Kami tidak tahu apakah kami berada di surga atau di bumi, karena tentu saja tidak ada kemegahan atau keindahan seperti ini di bumi. Kami tidak dapat menggambarkannya kepadamu; kami hanya tahu bahwa Allah tinggal di sana di antara manusia .... Kami tidak dapat melupakan keindahan itu."
    Gereja Ortodoks tradisional memiliki tiga bagian, yang sering kali digambarkan oleh tiga area spasial yang berbeda. Struktur dasar gereja Ortodoks tradisional merupakan perpaduan dari dua elemen klasik: kubah (digunakan sejak abad keempat) dan basilika (contoh arsitektur gereja yang paling awal dan paling sederhana, dibangun dari bahan-bahan lokal yang tersedia seperti kayu, batu, dan batu bata). Namun demikian, gereja Ortodoks secara integral memiliki tiga bagian. Gereja ini memiliki tiga ruang yang jelas, tiga zona arsitektur yang pasti. Kubah digunakan untuk gambar Kristus (Pantokrator), ciri utama yang merangkul dan menerangi seluruh bangunan. Ruang kedua adalah bagian dalam gereja (nave, atau naos), yang dipenuhi dengan gambar para orang suci dan martir, para biarawan dan orang-orang yang sudah menikah, yang tampak hampir menyatu dengan jemaat. Terakhir, di gereja-gereja Ortodoks tradisional, zona ketiga didedikasikan untuk Perawan Maria (Theotokos).
    Dimana terdapat kubah, kubah tersebut berbentuk melingkar, melambangkan keilahian yang kekal dan tidak terbatas, sebuah garis tanpa awal dan akhir. Denah gereja yang tepat berbentuk persegi panjang, sebuah gambaran dari sifat dunia ini yang jelas dan terbatas dengan garis batas yang jelas, awal dan akhir. Apse di tengah menyatukan zona atas dan bawah, milik keduanya namun juga tidak berhubungan dengan keduanya, menyatukan alam surgawi dan alam duniawi, sementara pada saat yang sama mengundang orang untuk mendamaikan Pencipta dan ciptaan di dalam tubuh mereka sendiri dan di dunia sekitarnya. Bunda Allah, yang digambarkan dalam apse, memiliki bentuk bulat dan persegi panjang. Dia adalah personifikasi dari panggilan dan rekonsiliasi ini. Dengan demikian, apse mengungkapkan tanda dan kehadiran Allah yang menembus sejarah dan memasuki waktu. Di gereja-gereja tradisional, ketiadaan banyak bangku semakin meruntuhkan pemisahan antara surga dan bumi. Setiap kubah tambahan dan ekstensi struktural mengambil bentuk salib, simbol utama rekonsiliasi dan transfigurasi (terutama dari pemerintahan abad keenam Justinian).
    Di luar nuansa misteri, pentingnya gambaran, dan kepekaan terhadap liturgi, mungkin kontribusi terbesar arsitektur Bizantium adalah fleksibilitasnya. Arsitektur ortodoks telah bertahan dalam ujian waktu, sekaligus menyerap teknik dan bahan bangunan baru. Arsitektur ini sekaligus tradisional dan orisinil, selalu berusaha mempertahankan elemen-elemen esensial yang sama. Arsitektur Bizantium mengikuti formula tetap dan peraturan yang kaku, terutama setelah abad kesepuluh ketika hanya ada sedikit perkembangan struktural baru, dengan pengecualian mungkin pada dekorasi eksterior dan penambahan menara lonceng. Sembari mengasumsikan variasi gaya budaya dan regional, arsitektur ini mewariskan keindahan arsitektur yang tak terhitung jumlahnya dengan tema yang sama kepada generasi berikutnya.
    Hal ini merupakan seni dan arsitektur yang dirangkum secara tepat dalam kata Yunani philokalia ("cinta yang indah"). Ia adalah tradisi hidup yang, setidaknya dalam ekspresinya yang lebih tulus, berusaha untuk mempertahankan keseimbangan antara estetika dan pertapaan, antara keindahan dan kesederhanaan, dalam kerapuhan dan kerentanan material dan kefanaan.


    Tur Gereja Santo Georgius




    = Tempat Lilin

    =
    Hal pertama yang akan dilakukan oleh setiap umat Kristen Ortodoks saat memasuki gereja adalah mencium ikon dan kemudian menyalakan lilin. Sebagai simbol cahaya Kristus, lilin tersebut akan ditempatkan di samping lilin-lilin lain di tempat khusus, simbol komunitas yang menjadi ciri khas Tubuh Kristus.
    Tempat lilin di sisi kanan narthex Gereja Santo Georgius merupakan pusat doa dan devosi harian. Dibangun dari kayu kenari dan dihiasi kelopak gading besar berbentuk segi lima, tempat lilin dari abad ke-17 ini merupakan replika dari kerajinan Mesir kuno. Inskripsi menyebutkan bahwa tempat lilin ini merupakan hadiah dari "Manuel, putra Petrus, dari Kastoria, yang disumbangkan pada tahun 1669."


    = Mimbar

    =
    Mimbar yang melingkari tiang di sisi kiri nave tersebut menurut legenda dikaitkan dengan pengkhotbah paling terkenal di Gereja Kristen awal, Santo Yohanes Krisostomos (347-407), yang menyampaikan banyak khotbah bersejarah selama masa jabatannya sebagai Patriark Konstantinopel. Santo Yohanes terkenal dengan homilinya yang penuh inspirasi; oleh karena itu ia dijuluki " Krisostomos," yang artinya " bermulut emas." Namun demikian, sebuah inskripsi di dalam mimbar menyatakan bahwa mimbar tersebut dibangun pada masa kepemimpinan Gabriel Ill (1702-1707). Mimbarnya terbuat dari kayu kenari dan mutiara serta dihiasi dengan motif tanaman merambat. Meskipun lebih sederhana, pengerjaannya menyerupai Takhta Patriarkal.


    = Takhta Patriarkal

    =
    Takhta Patriarkal di tengah-tengah nave adalah salah satu artefak yang paling berharga dan bernilai dari Gereja Santo Georgius. Legenda mengaitkan takhta tersebut dengan Patriark Konstantinopel yang terkenal pada abad keempat, Santo Yohanes Kristostomos (398-404). Menurut inskripsi di bawah atap pelana takhta, takhta tersebut merupakan hadiah yang dipersembahkan pada tahun 1577 oleh Patriark Yeremia II kepada Gereja Patriarkal Panagia Pammakaristos. Sebuah inskripsi di dasar takhta menyatakan bahwa itu adalah hasil karya seniman Athena, Laurentios.
    Takhta ini memiliki tinggi empat meter dan terbuat dari kayu kenari. Takhta ini dihiasi dengan gading, mutiara, dan kayu berwarna, yang dibuat dalam bentuk tanaman merambat. Di masa lalu, takhta ini juga dihiasi dengan batu-batu berharga, tetapi kini sudah tidak ada lagi.
    Menurut inskripsi ketiga, di atas salah satu atap pelana, takhta tersebut rusak antara tahun 1652 dan 1654 pada masa kepemimpinan Patriark Paisios (1652-1653 dan 1654-1655). Takhta tersebut direnovasi oleh Patriark lakovos (1679-1682). Kerusakan tersebut mungkin menyebabkan hilangnya banyak permata serta dua ikon, yang sebelumnya menghiasi takhta. Dua ikon tersebut yaitu: a) Kristus Sang Pantokrator, atau "Penguasa yang Maha Kuasa"; dan b) Penurunan ke alam maut dan penguburan Kristus. Ikon yang terakhir digambarkan oleh Malaxos pada tahun 1577; posisi persisnya di atas takhta masih belum diketahui. Ikon yang sekarang ada di atas takhta juga menggambarkan Kristus Sang Pantokrator; namun ini bukanlah ikon orisinalnya, melainkan ikon pengganti yang diperintahkan oleh Patriark Paisios I.
    Takhta yang tepat untuk Patriark Ekumenis sebenarnya adalah synthronon (lihat di bawah). Takhta Patriarkh yang menonjol di tengah-tengah ruang nave adalah tempat duduk tradisional kepala biara. Oleh karena itu, Patriark duduk di sini sebagai kepala persaudaraan biara, "Biara Agung", dan dapat mengundang para pemimpin biara lainnya, atau para pemimpin biara yang sedang berkunjung, untuk memimpin dari takhta ini. Pada dua perayaan tahunan Santo Yohanes Krisostomos—peringatan peristirahatannya pada tanggal 13 November dan perayaan pemindahan relikui pada tanggal 27 Januari—ikon Santo Yohanes Krisostomos diletakkan di atas takhta ini, bersama dengan sebuah tongkat uskup, seakan-akan Santo sedang memimpin. Pada hari-hari itu, Patriark Ekumenis duduk di takhta samping, atau parathronion.


    = Tempat Pengidung

    =
    Digunakan oleh para pengidung Patriarkat Ekumenis, dua tempat di depan ikonostasis ini merupakan salah satu artefak yang dipindahkan pada tahun 1942 ke Phanar dari Biara Suci Panagia Kamariotissa (atau Koumariotissa) di pulau Halki. Pulau ini, yang terkenal dengan sekolah teologinya, juga menjadi tempat berdirinya Sekolah Perdagangan Palmons. Tempat pengidung yang terbuat dari kayu kenari dan dihiasi gading ini direnovasi pada tahun 1947, seperti yang dibuktikan dengan sebuah inskripsi di dasar tempat pengidung sebelah kiri.
    Dalam tradisi Patriarkat Ekumenis, gaya kidung di Gereja Santo Georgius sangat unik, yang menunjukkan nuansa kemuliaan yang penuh kemenangan dan kesederhanaan yang penuh doa.


    = Ikonostasis

    =
    Dinding ikon yang memisahkan ruang nave dengan ruang altar dikenal sebagai ikonostasis (atau templon), yang dapat berupa pagar yang rendah, namun penuh ornamen hingga dinding sepenuhnya, dari langit-langit hingga lantai, yang biasanya menggambarkan adegan-adegan kehidupan Kristus, para martir, dan orang-orang kudus. Dinding ikon Gereja Santo Georgius tidak mengikuti gaya ikonografi tertentu, lebih menyerupai perpaduan antara Bizantium dan Renaisans, serta pengaruh Barok dan bahkan Ottoman. Ikon tersebut diukir dari kayu, yang baru-baru ini dilapisi emas. Dinding ikon dibagi menjadi tiga bagian dan tiga tingkat. Ikon yang lebih kecil ditempatkan sebelum dinding ikon itu sendiri untuk membuatnya lebih mudah diakses untuk devosi dan penghormatan pribadi.
    Bagian tengah ikon-ikon terdapat Pintu Kerajaan di tengahnya, dengan dua ikon kecil yang menggambarkan Kabar Sukacita (Malaikat Gabriel dan Theotokos di panel atas); dua ikon kecil di panel bawah menggambarkan Uskup Agung Konstantinopel yang terkenal, Santo Gregorius sang Teolog (329-389) dan Santo Yohanes Kristostomos (sekitar tahun 347-407). Saat pengunjung menatap dinding ikon, sebelah kanan Pintu Kerajaan merupakan posisi tradisional untuk ikon Kristus, dalam hal ini Kristus yang dinobatkan sebagai Imam Besar Agung dan digambarkan sebagai "Pokok Anggur Sejati". Tempat tradisional untuk ikon Bunda Perawan, atau Theotokos, berada di sebelah kiri Royal Doors. Dia digambarkan di sini sebagai "Pohon Isai," yang mewujudkan generasi-generasi sebelum kelahiran Kristus. Santo Yohanes Pembaptis, atau Sang Pelopor (biasanya di samping ikon Kristus), serta ikon orang kudus atau hari raya yang didedikasikan gereja (biasanya di samping ikon Bunda Perawan), dalam hal ini ikon Santo Georgius Sang Martir Agung.
    Bagian utara (atau sebelah kiri) adalah kapel yang didedikasikan untuk Tiga Hirarki (Santo Basilius Agung, Santo Yohanes Krisostomos, dan Santo Gregorius Sang Teolog, yang pesta bersama mereka diperingati pada tanggal 30 Januari). Di sisi kanan gerbang yang lebih kecil, terdapat ikon Bunda Perawan yang menggendong Kristus dan ikon Santo Nikolas. Di sisi kiri, terdapat ikon Tiga Hierarki dan ikon Malaikat Tertinggi Mikhael (yang secara tradisional juga merupakan pintu utara altar).
    Bagian selatan (atau sebelah kanan) terdapat sebuah kapel yang didedikasikan untuk Permohonan Panagia Pammakaristos. Di sisi kanan gerbang yang lebih kecil, terdapat mosaik Santo Yohanes Pembaptis dan ikon Santa Eufemia. Di sisi kiri, terdapat ikon dua Martir Agung, Santo Georgius dan Santo Demetrios, serta ikon Malaikat Tertinggi Mikhael (secara tradisional juga merupakan pintu selatan altar).
    Dua tingkat ikon yang lebih tinggi mencakup panel-panel yang lebih kecil yang menggambarkan adegan-adegan dan pesta-pesta dari Perjanjian Baru (dan terutama kehidupan Kristus) dan Perjanjian Lama (dan terutama kehidupan para Nabi). Secara tradisional, ikon-ikon tersebut juga menggambarkan dua belas Rasul Tuhan dan dua belas hari raya utama Gereja. Panel-panel ikon ini diturunkan untuk penghormatan pada hari-hari raya tertentu.


    Referensi




    Sumber Rujukan


    Chryssavgis, John. (2009) The Ecumenical Patriarchate A Brief Guide. The Order of St. Andrew the Apostle.
    Clement, Olivier. (1997). Conversations with Ecumenical Patriarch Bartholomew I. St. Vladimir's Seminary Press.
    Geanakoplos, Deno. (1990). A Short History of the Ecumenical Patriarchate of Constantinople (330-1990): “First Among Equals” in the Eastern Orthodox Church. Holy Cross Press: Brookline.
    Istavridis, Vasil. (2004). History of the Ecumenical Patriarchate: Bibliography. Kyriakidis Publications.
    Maximos, Metropolitan of Sardes. (1976). The Oecumenical Patriarchate in the Orthodox Church: A Study in the History and the Canons of the Church. Patriarchal Institute of Patristic Studies.
    Paliouras, Athanasios. (1989). Oecumenical Patriarchate: The Great Church of Christ. Orthodox Centre of the Ecumenical Patriarchate.
    Pelikan, Jaroslav. (1989). The Christian Tradition: A History of the Development of Doctrine. Chicago University Press.
    Runciman, Steven. (1990). Fall of Constantinople, 1453. Cambridge University Press.
    Runciman, Steven. (1968). The Great Church in Captivity: A Study of the Patriarchate of Constantinople from the Eve of the Turkish Conquest to the Greek War of Independence. Cambridge University Press.
    Ware, Kallistos (Bishop of Diokleia). (1993). The Orthodox Church. Penguin Books.
    Chryssavgis, John. (2004). Light Through Darkness: The Orthodox Spiritual Tradition. Darton Longman and Todd.

Kata Kunci Pencarian: