Dilahirkan dengan nama lahir Tengku Said
Jaafar, Sultan
Syarif Jaafar bin Sultan
Syarif Abdurrahman (1866 – 1872), ditabalkan menjadi Sultan
Pelalawan ke- 5 dengan gelar: Sultan Assyaidis
Syarif Jaafar Abdul Jalil Fakhruddin. Dia menduduki takhta Kesultanan
Pelalawan pada tahun 1866 menggantikan Kakaknya Sultan
Syarif Hamid yang kala itu mangkat (wafat), dan memerintah hingga tahun 1872.
Masa Pemerintahan
Selama masa pemerintahan Sultan
Syarif Jaafar, tidak ada ditemukan catatan sejarah yang menuliskan adanya konflik dan perang besar diwilayah tersebut. Dia dikenal sebagai pemimpin yang adil, bijaksana dan pandai dalam menata struktur dan administrasi Kerajaan.
Kebijakannya yang berhasil ialah dalam menyempurnakan penataan adat di Istana. Dia mengatur tata cara berpakaian para Pembesar Istana, Orang Besar Kerajaan, Batin-Batin, Penghulu dan sebagainya. Ketentuan yang Dia susun pada prinsipnya berdasarkan pada adat dan tradisi Melayu Johor, dan sebagian lainnya bersumber
dari adat tempatan yang ada dalam masyarakat.
Pada masa pemerintahannya pula, Dia menetapkan 4 (empat) orang Wazir Istana (dalam bahasa persia yang berarti Penasehat, Menteri Politik atau petinggi Kerajaan), diantaranya adalah:
Datuk Engku Raja Lela Putera, yang berasal
dari Orang Besar
Pelalawan, diberi jabatan sebagai Pucuk segala Batin dan Penghulu yang jumlahnya 29 orang, dengan sebutan "Batin Kurang Oso Tigo Puluh". (Jabatan yang semula sudah dipegang oleh Datuk Engku Raja Lela sejak masa pemerintahan Sultan
Syarif Abdurrahman).
Datuk Bandar Setia Diraja, diberi tanggung jawab dalam memimpin para pendatang (perantau) yang disebut "Orang Dagang".
Datuk Laksemana Mangku Diraja, diberi tanggung jawab dalam memimpin serta mengepalai penduduk asli tempatan (di luar pesukuan Batin Kurang Oso Tigo Puluh).
Datuk Kampar Samar Diraja, diberi jabatan dalam mengepalai urusan Adat istiadat dan bertindak pula sebagai Syahbandar yang mengatur "pancung alas" (pajak penghasilan hutan) yang dibawa ke luar
dari wilayah kerajaan
Pelalawan.
Selanjutnya, Sultan
Syarif Jaafar juga mengatur panji (Bendera) pesukuan
dari setiap persukuan, sesuai menurut lambang-lambang, adat dan tradisi masing-masing pesukuan. Dengan demikian, setiap Batin atau Penghulu yang menghadiri upacara kerajaan di
Pelalawan diwajibkan untuk membawa panji-panjinya yang dipasang ditempat tertentu sesuai menurut ketentuan adat tempatan.
Selanjutnya, Dia meneruskan kebijakannya dalam menertibkan perbatasan tanah dan wilayah yang menjadi milik pesukuan, hal ini dilakukan untuk meneruskan kebijaksanaan Sultan
Syarif Ismail (1828 – 1844) sebelumnya, yaitu memberi surat pengesahan kepemilikan hutan dan tanah bagi pesukuan, yang dasarnya ditentukan menurut "tombo" atau "terombo" (Silsilah atau Asal Usul) pesukuan itu.
Akhir Hayat
Pada tahun 1872, Sultan
Syarif Jaafar mangkat dengan gelar: MARHUM TENGAH, kedudukannya sebagai Sultan digantikan oleh adik laki-lakinya Tengku Said Abubakar (Sultan
Syarif Abubakar), sesuai dengan amanah Raja terdahulu dimana takhta kerajaan diwariskan kepada adik tertua secara turun temurun.
Keluarga
Sultan
Syarif Jaafar diketahui mempunyai 2 (dua) orang Istri, akan tetapi hanya seorang saja yang namanya tercatat, yaitu Encik Timah.
dari kedua orang Istri tersebut, Dia mempunyai 5 (lima) orang Anak, yaitu.
dengan Istri pertama (Encik Timah):
Tengku Sembuk
Tengku Kelana Said Hasyim
Tengku Syarifah Yuk
Tengku Empuh (Empuk) atau Tengku Entih
dengan Istrinya kedua (belum diketahui):
Tengku Syarifah Yah
Sumber
Oleh: Tengku Muhammad Jamhur,
dari Buku Silsilah Keturunan Raja - Raja Kerajaan
Pelalawan dan Siak Sri Indrapura Himpunan H. T. S. Umar Muhammad, Tenas Effendi, T. Razak
Jaafar. 1988.