- Source: John Prior (Teolog)
ANGGOTA SERIKAT SABDA ALLAH (SVD) kelahiran Ipswich-Inggris, 14 Oktober 1946 ini adalah seorang pastor Katolik yang berkarya selama 49 tahun di Maumere-Flores.
Dalam berbagai bukunya John Prior sering merefleksikan identitas seorang misionaris "pelintas batas" yang berakar dalam spirtualitas passing over. Tentang gaya hidup "pelintas batas" ini dia pernah berkisah pada suatu sesi kuliah di Ledalero demikian: Suatu hari saya diundang dalam jamuan makan malam di Vatikan. Saya semeja dengan para kardinal dan tentu minum anggur terbaik. Pagi-pagi buta saya naik pesawat kelas satu ke Jakarta. Namun, dari Ibu kota ke Flores saya mulai "turun kelas" dengan pesawat baling-baling. Lantas dari Bandara Waioti (Frans Seda, red.) menuju rumahku saya naik angkot. Di lorong menuju Candraditya saya diturunkan konjak dan jalan kaki. Ransel di punggung, sepatu kutenteng melewati jalan berlumpur sehabis hujan. Jadi, pada hari yang sama saya turun dari jantung kekuasaan Katolik menuju jalan berlumpur di kota kecil Maumere. Sukacita seorang misionaris ialah bersentuhan dengan realitas. Kata pepatah Sikka, pupuk terbaik adalah tapak kaki para petani.Walaupun bekerja di wilayah pinggiran Indonesia, John Prior mempunyai jejaring lintas benua. Julukan "Merambah ke segala arah" mulai dikaitkan dengannya ketika dua jilid buku berjudul Menerobos Batas Merobohkan Prasangka terbit tahun 2011. Artikel para penulis dari berbagai belahan dunia dalam buku tersebut menegaskan tentang pengaruhnya yang luas. Satu dekade kemudian, Hsu Monika kembali menggunakan ungkapan yang sama pada judul buku biografi yang didedikasikan untuk John Prior.
Di kalangan para teolog dan ilmuwan sosial John Prior dikenal sebagai sosok intelektual progresif di kawasan Asia, yang berani menerobos dengan sikap profetis kritis, kreatif dan inovatif. Ketika mendengar kematiannya, Edmund Chia, seorang teolog asal Australia, menulis bahwa John telah menjadi seorang figur yang sangat penting dalam teologi Asia. Kontribusi-kontribusi dan pengaruhnya tersebar luas, menjangkau banyak negara dan generasi.
Dalam berbagai tulisannya John Prior mengandalkan pendekatan interdisipliner untuk mengungkapkan kebenaran. Kebenaran empiris disingkap lewat pemanfaatan ilmu-ilmu sosial, sedangkan kebenaran teologis disingkap lewat refleksi biblis, tradisi Gereja, dokumen-dokumen Gereja dan berbagai kebijakan dan pengalaman pastoral. Dia senantiasa bertolak dari realitas sosial untuk masuk ke dalam realitas iman.
Mengutip Robert Mirsel, coeditor buku kenangannya, kemampuan John Prior untuk mensintesekan pengalaman konkret di medan pastoral dengan refleksi-refleksi teologis yang bersumber dari Tradisi Gereja dan Kitab Suci menjadikannya bak pemain sepak bola serba bisa.
Dia bisa menjadi penjaga gawang dengan membantu Gereja untuk dapat mempertahankan identitas dan hakikatnya yang universal, tetapi dengan memberikan nasihat-nasihat yang berkaitan dengan dialog antara Gereja universal dengan kebudayaan-kebudayaan serta tradisi setempat atau menjadi pemain belakang yang berusaha memperlihatkan prinsip-prinsip yang tepat untuk menjamin kehidupan iman dalam konteks budaya dan tradisi masyarakat tertentu, dalamnya wajah Kekristenan selalu bisa diperbarui (Ecclesia semper reformanda).
Dia juga menjadi pemain tengah yang bisa memperkuat barisan belakang dan pengumpan bola ke barisan depan lewat pemikiran-pemikirannya yang provokatif dan bersifat membongkar tradisi-tradisi yang mapan baik dalam Gereja maupun dalam tradisi setempat.
Namun, John Prior juga bisa menjadi pemain depan yang jitu dalam menggolkan ide-ide pembaruan dalam Gereja. Pemikiran-pemikirannya yang segar dan menantang tetap mendorong Gereja mulai dari akar rumput hingga elite Gereja untuk melakukan perubahan-perubahan berarti.
Pembentukan Intelektual
= Pengaruh Keluarga
=John Prior lahir sebagai anak kelima dari enam bersaudara. Ayahnya, Vincent Thomas Prior, seorang karyawan percetakan, yang bertugas menyusun huruf, sedangkan ibunya, Kathleen Mary Mansford, seorang penata rambut.
Ayah dan ibunya sangat memperhatikan pelajaran anak-anak mereka. Menurut John Prior, ibunya lebih ambisius. Konon, kalau bagi ayah, anak naik kelas atau lulus saja sudah cukup, ibu malah selalu mengusahakan agar anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang bermutu dengan prestasi tinggi. Mereka dimasukkan ke Bockfield College milik Bruder-bruder de La Salle, sekolah favorit anak-anak diplomat. Di sana sistem kelas sosial sangat kuat. Meski demikian, berkat adanya beasiswa, anak-anak keluarga kelas bawah juga punya akses ke sekolah tersebut, termasuk John Prior dan saudara-saudaranya. Menarik bahwa justru day boys – sebutan untuk anak-anak desa yang biasa bersepeda ke sekolah – selalu masuk sepuluh besar setiap semester.
Dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan kedua orangtua John Prior tak pernah bermimpi bahwa anak-anak mereka dapat meraih doktor. Mereka sudah pasrah dan hanya menargetkan anak-anak mereka bisa menyelesaikan SMA.
Namun, kenyataannya semua anak berhasil meraih pendidikan akademis yang tinggi dan mendapatkan pekerjaan yang cukup prestisius. Anak sulung bekerja di bank, anak kedua bekerja di pusat riset Telkom, anak ketiga menjadi biarawan Fransiskan dan mendapat gelar doktor, anak keempat menjadi insinyur dan instruktur untuk perbaikan pesawat terbang, dan John Prior sendiri menjadi teolog, staf pengajar dan peneliti. Adik bungsu mereka dan anak perempuan satu-satunya, Mary Prior, menjadi dekan di salah satu sekolah tinggi dan mengambil bidang spesialisasi sistem komunikasi.
Menurut John, dari ayah mereka diwarisi ketekunan, sedangkan dari ibu mereka belajar sikap ambisius. Dan justru ambisi inilah yang membuat mereka mampu memperoleh prestasi akademis yang tinggi dan mendapat beasiswa dari pemerintah untuk studi mereka.
Kedua orangtua menanamkan semangat membaca pada diri anak-anaknya. Anak-anak diwajibkan meminjam buku-buku di perpustakaan daerah dan orang tua memantau sejauh mana mereka sungguh membaca. Biasanya anak-anak diminta untuk menceritakan kembali isi ringkas setiap buku yang mereka baca. Pada akhir pekan buku lama dikembalikan dan buku baru dipinjam lagi. Ibu mereka juga selalu memperhatikan pekerjaan rumah anak-anak dan mendorong mereka untuk belajar dengan tekun dan sungguh-sungguh.
= Pendidikan Menengah dan Tinggi
=Sejak di Bockfield College John Prior berminat pada sastra Inggris, sejarah, ilmu sosial, agama, matematika, dan beberapa kali mendapat hadiah pada saat naik kelas karena mendapat nilai sangat bagus. Di kelas II SMA dia mulai menaruh minat pada Kitab Suci. Tahun 1965-1968 John Prior mulai belajar filsafat, pengantar Kitab Suci dan sosiologi di Donamon Castle, Irlandia.
Les sosiologi yang diajarkan Michael Laughlin sangat menarik minatnya. Dosen jebolah salah satu universitas di Amerika ini memberi kuliah teologi dogmatik tetapi dengan pendekatan sosiologis. Sejak itulah ia sangat suka menggabungkan studi Kitab Suci dan teologi dengan ilmu-ilmu sosial. Sosok lain yang juga menanamkan minat dan memberi pengaruh pada John Prior dalam hal riset adalah Michael Higgins, dosen metodologi.
Tahun 1968-1972 ia belajar teologi dan antropologi sosial di Missionary Institute London (MIL), Inggris. Di lembaga inilah ia sendiri mengakui dipengaruhi oleh sejumlah pemikir dan pemikiran yang sangat banyak memberi arti kepada hidup dan karyanya di kemudian hari. Ia aktif dalam pertemuan-pertemuan teologi di Dublin. Pertemuan-pertemuan ini menggugat berbagai pendekatan lama dalam teologi, hal yang kemudian mencemaskan John Charles McVey, Uskup Dublin pada waktu itu, sehingga ia meminta untuk menghentikan dan membungkam para mahasiswa dan anggota kelompok diskusi ini.
Beberapa dosennya yang memberi andil dan pengaruh bagi pembentukan watak intelektualnya antara lain Mary Douglas dan Adrian Edwards, Jack Goody, Evans Pritchard (keempatnya mengajar antropologi sosial), Geoffrey Parrinder (pengantar Islam), Douglas Hyde (kepemimpinan dan keadilan sosial internasional), Agnellus Andrew OFM dan Wyndham Goldie (politik dan persoalan-persoalan aktual), Louis Marteau (psikologi pastoral), Jack Dominian (teologi seks), Arthur McCormack, MHM (demografi), Clifford Howell, SJ dan Harold Winston (liturgi).
Selama di MIL, John aktif dalam diskusi dan kelompok-kelompok ilmiah. Dia pernah menjadi wakil mahasiswa pada Dewan Akademik dan terlibat aktif dalam Student Christian Movement (SCM) sejak 1968 hingga 1973. Aktivitas akademis tersebut membuka wawasannya lebih luas kepada dunia lain di luar Inggris dan Eropa, terutama ke Amerika Latin karena perjumpaannya dengan Helder Camara (uskup Agung Refice, Brazil) dan Daniel Berrigan SJ, penyair yang pernah dipenjarakan karena melawan perang Vietnam.
Tahun 1970 John Prior diangkat menjadi anggota Dewan Pelaksana SCM Inggris-Irlandia, yang membawanya ke sejumlah pertemuan nasional dan internasional, termasuk di dalamnya pertemuan Dewan Gereja-gereja se-Eropa (Council of European Churches) di Jerman. Tahun 1970-1972 John Prior menjadi wakil mahasiswa pada Dewan Direksi Penerbit SCM, yang memperbesar minat menulisnya di waktu-waktu kemudian.
Sesudah ditahbiskan imam pada 21 Mei 1972, John kembali ke London untuk mengikuti ujian pasca-sarjana dalam bidang studi agama (religious education) di Universitas Cambridge, Inggris. Di lembaga ini ia belajar Kitab Suci dan teologi patristik. Pada tahun 1973 ia tiba di Indonesia.
Pada tahun 1987 John Prior meraih gelar Ph.D di bidang teologi interkultural di Universitas Birmingham, Inggris, dengan disertasi berjudul Church and Marriage in an Indonesian Village. Setelah itu, John Prior kembali ke Indonesia dan menjadi pengajar di STFK Ledalero (sekarang IFTK Ledalero) dan di sejumlah tempat baik di Indonesia maupun di luar negeri hingga akhir hidupnya.
= Pengaruh Formasi Dasar SVD
=Dalam Jurnal Verbum edisi 2018 John Prior menulis satu artikel tentang ziarah hidupnya sebagai misionaris serikat Sabda Allah (SVD). Ia mengangkat beberapa kejadian kunci yang dialaminya pada tahun awal formasinya di dalam SVD, lalu menelaah inspirasi dan dampaknya yang tetap bertahan untuk hidup pribadi dan keterlibatan misionernya. John mengatakan bahwa tahun 1968 memberi bentuk pada pola seumur hidup.
Konsili Vatikan II tahun 1965 membawa perubahan dan guncangan untuk banyak orang yang hidup pada tahun-tahun awal pasca Konsili. Tentang masa novisiat tahun 1968, John menulis, "Jadwal novisiat memberi kami konsistensi lahiriah yang terlihat dan jelas, sementara diri kami sendiri nomaden tanpa henti, dalam ziarah penemuan yang konstan".
Ia mencatat bahwa pada tahun-tahun itu, tiga rektor komunitas di mana dia tinggal waktu itu secara berturutan meninggalkan SVD. Lalu, seorang konfrater yang sangat baik, John melukiskan sebagai berikut, "Dia menerima kami apa adanya dan mendorong kami untuk menerima karunia-karunia pribadi dan menjadi orang yang kami sendiri kehendaki. Kami diberi kebebasan untuk mencari dan menemukan."
Konfrater tersebut bekerja di Novisiat, bermisi ke Caribia, lalu kembali ke Irlandia, dan kemudian meninggalkan SVD dan malah keyakinan religiusnya. John lalu menulis kalimat kunci berikut ini:Kami condong untuk hidup dengan ketidakpastian tertentu yang genting. Namun, yang lebih penting untuk dipahami bahwa kami harus bertanggungjawab secara pribadi atas panggilan kami. Dan, kami menjadi lebih bebas. Tidak terlalu bergantung pada afirmasi atau penilaian negatif dari orang lain.Pastor Eman Embu, dalam khotbah pada misa pemakaman mengatakan, kepribadian John Prior yang mandiri dan kukuh, tolak bungkam, tolak tunduk, orang yang lurus atau malah orang menyebutnya subversif atau provokatif lantaran ia sering keluar dari kelaziman, sejatinya sudah dibentuk sejak masa novisiat.
Ia merasa tak aman dengan kemapanan. Ia seorang yang lurus dan dapat mengatakan apa adanya di tengah budaya diam dan sopan-santun orang Indonesia kebanyakan. Menurutnya, keterbukaan merupakan tanda kasih yang otentik terhadap yang lain. Bahkan, ia sangat kritis terhadap budaya feodal dan klerikalisme yang menghantui pendidikan calon imam Katolik.
Menurut Pastor Eman Embu, hidup hariannya asketik. Ia menerapkan standar yang tinggi untuk dirinya sendiri dalam penghayatan kaul-kaul religius. Semua penghasilan dimasukkan ke komunitas; termasuk intensi misa yang tak seberapa besarnya. Laporan-laporan keuangan dalam kegiatan-kegiatan yang ia jalankan dibuat dengan teliti. Ia tak punya buku bank dan mobil pribadi. Ia terbuka, berupaya membangun relasi yang dewasa dan adil dengan orang lain. Ia taat dan punya komitmen yang tinggi dalam menjalankan tugas-tugas misioner. John mempunyai marwah dan integritas dalam memberikan kesaksian dan berbicara tentang tuntutan-tuntuan Injili bagi orang-orang religius.
"Irama hidupnya di rumah hampir selalu tetap: jam 04.00 atau 04.30 bangun. Mungkin di antara jam 04.00 dan jam 04.30 dia sembahyang atau bermeditasi, tetapi sekurang-kurangnya jam 04.30 John Prior sudah di kantor. Saya tahu, dia sedang mengakses internet atau membaca koran, tabloid atau buletin langganannya guna meng-update pengetahuan. Tidak mengherankan kalau John selalu tahu apa yang sedang terjadi secara aktual di dunia setiap hari tanpa sekalipun menonton televisi," kenang Robert Mirsel, rekan peneliti di Puslit Candraditya.
Ada banyak contoh yang menjelaskan tentang integritas dan keteguhan pribadinya. Ketika orang masih tabu atau enggan, misalnya, bicara tentang pelecehan seksual dalam Gereja, John, dengan berani mengatakannya. Ia punya empati dan keberpihakan pada para korban. Kritiknya jelas dan tegas terhadap otoritas Gereja yang melindungi pelaku kejahatan seksual. Ia tanpa rasa takut mengatakan apa yang dia yakini dalam keterlibatan misionernya.
Keterlibatan Intelektual dan Kepakaran
Karena intelektualitas dan kepakarannya, John Prior sering diundang sebagai nara sumber dan fasilitator untuk berbagai pertemuan, konferensi, simposium, lokakarya, dan seminar. Dia juga mengajar di sejumlah lembaga pendidikan tinggi dan bahkan duduk sebagai penasihat kepausan bidang kebudayaan serta dewan penasihat untuk sejumlah lembaga gerejani baik di Asia maupun di sejumlah Gereja lokal di Indonesia.
Sebagai dosen di Ledalero, selain sangat produktif menulis John Prior selalu menyiapkan kuliah dengan baik. Tidak heran kuliah-kuliahnya selalu menarik minat mahasiswa. Disiplin untuk menyiapkan bahan pembicaraan tampak pula dalam kebiasaan menyiapkan khotbah. Walaupun khotbah dibawakan secara lisan, John Prior selalu mempunyai bahan yang diketik rapi.
John Prior juga terlibat dalam gerakan ekumene dan dialog antaragama. Teologinya selalu berorientasi pada kenyataan hidup, data sosial dan situasi kemasyarakatan. Semua keterlibatan intelektualnya didasarkan pada keterlibatannya dalam hidup dan karya pastoral di tengah masyarakat serta riset-riset yang mendukung asumsi-asumsinya. Ia peka terhadap kelompok-kelompok yang termarginalisasi dalam masyarakat.
Selama puluhan tahun ia terlibat aktif dalam pendampingan warga binaan Rutan kelas IIB Maumere dan para penyintas ODHA di Kelompok Dukungan Sebaya Flores Plus Support Maumere.
Refleksi teologis dari perjumpaan dengan dua kelompok pinggiran terakhir di atas tertuang antara lain dalam bukunya Menjebol Jeruji Prasangka: Membaca Alkitab dengan Jiwa dan sebuah artikel bertajuk Imigran dan Perantau yang "Gagal" dan Pulang Kampung: Sebuah Firman yang Membangkitkan dari Kitab Rut yang terbit di Jurnal Ledalero tahun 2015.
Jejak Karya
John Prior merupakan penulis yang sangat produktif. Sejak 1980-an ia telah menghasilkan tujuh buku, 145 artikel dalam jurnal (44 diterbitkan dalam dua hingga enam bahasa); 79 bab dalam buku bunga rampai (plus 28 bab yang pernah terbit sebagai artikel dalam jurnal - total 104 bab dalam bunga rampai); penyunting 47 buku, di mana 38 dalam bahasa Indonesia, delapan dalam bahasa Inggris dan dua dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
Berikut ini ditampilkan sejumlah buku yang ditulisnya antara tahun 1987 hingga 2010.
Church and Marriage in an Indonesian Village (1988)
Disertasi doktoral John Prior ini diterbitkan pada tahun 1988 oleh Verlag Peter Lang dengan pengantar dari Harold W. Turner. Karya ini mengangkat ketegangan yang terjadi akibat perjumpaan antara dua tradisi, yakni tradisi Kristen barat dan tradisi lokal Flores yang diwakili oleh adat budaya Lio.
Contoh kasus yang disorot dalam buku ini ialah masalah perkawinan. Penulis menemukan bahwa konsep Kristen barat ternyata bukan hanya berbeda, melainkan juga bertentangan dengan konsep Lio tentang perkawinan. Dalam pandangan tradisi dan budaya Lio, perkawinan merupakan sebuah perjanjian (covenant) antara dua keluarga besar, sedangkan dalam tradisi Kristen, perkawinan dipandang sebagai sebuah kontrak antara dua pribadi yang menikah.
Oleh karena itu, urusan perkawinan dalam pandangan Kristen barat ditekankan pada sikap dan keputusan pribadi yang menikah (bab 14-17), dan bukan sikap dan keputusan dua keluarga seperti dalam adat Lio (bab 10-13). Penulis menonjolkan segi-segi yang berbeda dan bahkan bertolak belakang dari kedua tradisi tersebut. Penulis berusaha menampilkan Gereja Katolik yang universal dan lokal sekaligus lewat upaya inkulturasi perkawinan Kristen dalam budaya Lio (bab 18-19).
= Bejana Tanah Nan Indah (Ende: Nusa Indah, 1993)
=Dari sisi tematik, buku ini merupakan kelanjutan dari buku pertama. Di sini penulis menyoroti dialog antara tradisi dan teologi Gereja Kristen barat dengan kebudayaan serta adat kepercayaan Nusa Tenggara dan proses modernisasi. Dialog itu berlangsung di dalam Komunitas Umat Basis yang diumpamakan dengan bejana tanah liat, yang tampak indah tapi juga rapuh.
Penulis menilai bahwa Gereja Katolik masih terbelit di dalam tali tradisi kultural dan teologis barat. Dalam kenyataan, masih ada jurang pemisah yang dalam antara Gereja Katolik tradisi barat dengan budaya dan tradisi lokal Indonesia.
Menurut penulis, berbagai usaha integrasi sudah dimulai sejak tahun 1960-an, namun upaya yang dilakukan belum memadai dan buah yang dipetik masih belum mencukupi.
Lewat kedua buku ini, John Prior berupaya mendorong para fungsionaris pastoral Gereja Katolik untuk menaruh minat dan memiliki ketrampilan dasar dalam mempertemukan Kekristenan tradisi barat dengan unsur-unsur budaya setempat dengan alat bantu ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi dan antropologi budaya untuk suatu pengembangan jemaat dalam konteks Nusa Tenggara.
Para pengemban pastoral mesti memiliki sebuah ketrampilan berdialog baik dengan ajaran Gereja Katolik maupun dengan tradisi dan budaya setempat agar di satu sisi iman Kristen dapat berakar dalam tradisi setempat dan di sisi lain, budaya dan tradisi setempat membuka diri untuk menjadi bagian dari penghayatan dan pengamalan iman Kristiani.
= Daya Hening, Upaya Juang (Jakarta: BPK, 1999)
=Tantangan utama para pewarta injil lintas budaya ialah kenyataan bahwa mereka tidak selalu dapat menemukan titik terang baik dalam mengenal kehendak Allah maupun dalam memahami konteks sosial-budaya masyarakat lokal yang mereka jumpai.
Menurut John Prior, berbagai perubahan sosial telah menghilangkan jejak yang jelas. Pergeseran nilai mengaburkan patokan yang pasti. Dalam hal ini si pewarta mesti mengendus-endus di dalam kegelapan mencari jejak Allah, mencari tanda kehadiran Kerajaan Sorga.
Karya penginjilan adalah situasi kegelapan mencari terang dalam perjumpaan dengan berbagai tradisi keagamaan dan budaya masyarakat dunia yang majemuk; juga dalam perjumpaan dengan kaum pinggiran yang mengalami kemiskinan, penindasan dan ketidakadilan serta lingkungan hidup yang terus rusak dan hancur.
Iman Kristiani dan teologi misi dimurnikan kembali dalam perjumpaan itu untuk menemukan jejak Allah yang sesungguhnya di dalam konteks dunia yang terus berubah. Pewarta harus memiliki naluri yang tajam untuk terus mengendus dan pada akhirnya menemukan kehendak Allah dalam upaya membawa keselamatan Allah di tengah dunia.
= Berdiri di Ambang Batas (Maumere: Ledalero, 2008)
=Buku ini memuat permenungan-permenungan seputar keberalihan melampaui batas agama, wilayah, sosial dan budaya. Dalam pandangan John Prior, batas-batas di samping membentuk identitas suatu kelompok masyarakat, juga bisa menghalangi sekaligus menghubungkan suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Sikap tertutup menyebabkan orang tak sanggup menerima yang lain dalam keberbedaannya; sebaliknya, sikap terbuka memberi ruang untuk menerima “yang lain” sebagaimana adanya serta memberi ruang dialog untuk saling memperkaya.
Keterbukaan memungkinkan suatu cakrawala berpikir baru dan relasi baru yang lebih bersahabat. Tugas pewarta injil lintas budaya, menurut penulis buku ini, adalah menaruh hormat dan mempromosikan identitas khas “yang lain”. Harus ada kesediaan untuk membongkar sekat prasangka dan pembekuan sikap dan pandangan yang terlalu diabsolutkan entah dalam kemasan keyakinan agama, ideologi, atau etnis.
Bisa terjadi bahwa orang-orang kuat cenderung mempertahankan sekat-sekat demi kepentingan kekuasaan dan kelompoknya. Kecenderungan semacam ini mesti dibongkar. Pewarta injil lintas batas mesti menjadi penerobos ke arah perubahan timbal-balik antara pewarta dan penerima warta. Pewarta mesti mampu dibentuk kembali jati dirinya dalam perjumpaan itu dan mampu hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain.
= Menjebol Jeruji Prasangka: Membaca Alkitab Dengan Jiwa (Maumere: Ledalero, 2010)
=Buku ini memperkenalkan kepada kita bagaimana upaya penulis untuk menggali pemahaman “orang biasa” dan para “pakar” tentang Alkitab; bagaimana mereka menggali makna di balik pesan-pesan injili dan perjumpaan dengan kenyataan dan pengalaman hidup mereka sehari-hari, yang melahirkan inspirasi-inspirasi dan tafsiran-tafsiran baru. John Prior memperlihatkan metode untuk menggali pemahaman dan refleksi para peserta yang beraneka latar belakang pendidikan, pekerjaan, status sosial, wilayah, dan kawasan.
Berbagai pengalaman syering dan analisis dalam buku ini menegaskan bahwa semakin majemuk komposisi kelompok syering dan studi Alkitab, makin besar pula kesempatan lahirnya kesadaran akan perbedaan antara pesan Firman Allah dan prasangka kultural. Dalam buku John Prior mempromosikan posisi istimewa pembaca biasa, yaitu umat dari akar rumput di hadapan kungkungan eksegese Barat.
Karena itu, John Prior berharap agar program-program pendalaman Kitab Suci lintas batas budaya dan golongan sosial bisa membantu mengakarkan pemahaman akademis di dalam konteks hidup masyarakat, dan peran para ekseget semakin dimaksimalkan dalam kegiatan-kegiatan syering Kitab Suci.
Selain buku-buku di atas, dua sumbangan penting bagi teologi Asia dan sejarah Gereja Asia adalah tulisannya mengenai para teolog Kristen dan Katolik di Indonesia yang berjumlah 120 halaman dalam buku karangan John C. England, Asian Christian Theologies (2003) yang terdiri dari tiga jilid, dan sumbangan lebih dari 100 halaman lagi dalam terbitan buku besar lain, A History of Christianity in Indonesia.
John Prior juga menyumbangkan lebih dari seratus tulisan sebagai bab dalam sejumlah buku. Selain itu, terdapat hampir dua ratus artikel dalam berbagai jurnal, buletin dan seri buku, baik dalam bahasa Inggris, Perancis, Jerman, maupun bahasa Indonesia sejak tahun 1988. Fokusnya macam-macam: agama dalam sastra Indonesia, aliran Pantekosta di Asia, strategi pastoral di Indonesia dan Asia secara umum, serta cukup banyak studi/renungan Kitab Suci.
Pengalaman Kerja
Akhir Hidup
Sejak dipastikan menderita tumor ganas pada tahun 2012, John Prior secara berkala harus ke Surabaya untuk check-up. Perjalannnya yang terakhir terjadi pada pertengahan April 2022. Menurut pengakuannya, perjalanan ke Surabaya hanya membuang-buang uang; ia yakin bahwa sakit yang dideritanya tidak bisa disembuhkan, dan cepat atau lambat saat akhirnya akan tiba.
Setelah berkonsultasi lagi dengan dokter dan atas desakan beberapa kolega SVD, ia akhirnya setuju berangkat ke Surabaya. Ia rupanya merasa bahwa akhir hidupnya sudah mendekat. Karena itu, lewat satu surat elektronik pada 18 April 2022 ia menulis, “Jaga kemungkinan keluarga saya mau dihubungi, saya kirim alamat email mereka”, dan memberikan nama dan alamat email dari anggota keluarganya.
Di Surabaya, mula-mula ia dengan setia menjalani kemoterapi dan mengkonsumsi obat-obat yang diberikan oleh dokter. Namun kemudian ia mulai mogok, tidak mau lagi menelan obat, tidak mau lagi menjalani kemoterapi, dan lebih banyak diam. Sikapnya berubah positif setelah Provinsial berbicara dengannya, dan menyampaikan kepadanya bahwa ia boleh pulang ke Flores.
John Prior akhirnya kembali ke Maumere, dan langsung diantar ke Rumah Simeon untuk bisa mendapat perhatian dan perawatan lebih lanjut. Namun, kondisinya menurun secara cepat, dan pada hari Sabtu pagi, 2 Juli 2022, sekitar jam 06.30 John Prior menghembuskan nafas terakhir.
Galeri Video
Berikut ini beberapa rekaman video tentang sosok John Prior. Klik tautan Youtube di bawah foto!
Orang Inggris di Seminar Internasional. John dikenal mempunyai selera humor yang tinggi. Dalam kuliah atau seminar dia selalu membuat presentasinya menarik. Ketika diselenggarakan Simposium Internasional di Ledalero tahun 2018 silam semua pembicara dalam seminar itu menggunakan bahasa Inggris, tetapi sebagai orang Inggris John malah memakai bahasa Indonesia.
Apresiasi Ignas Kleden: "Bahasa Indonesia John Prior stilistis, bergaya sekali!"
Uskup Fransiskus dan "Brexit". Baik dalam kuliah di kelas maupun dalam artikel-artikelnya, John Prior lebih suka menggunakan istilah "Uskup Roma" daripada "Paus" untuk menyapa para suksesor takhta Petrus. Ungkapan tersebut tentu bukan untuk menyepelekan otoritas tertinggi Gereja, tetapi sebaliknya menyiratkan konsepnya tentang Gereja. Hendak ditekankan bahwa Gereja lokal adalah rekan seperjalanan Gereja Roma.
Latihan menjadi pendengar yang baik John Prior bukan hanya pembicara yang baik, tetapi seorang pendengar yang baik. Dia terjun bersama kelompok-kelompok pinggiran di kota Maumere dan mendengarkan kisah-kisah mereka. Dari sana dia mendapat inspirasi untuk refleksi-refleksi teologisnya.
Suara John Prior dalam bahasa ibunya. Video ini berisi sebuah refleksi tentang misi di tengah pandemi Covid-19. John mengisi suara dalam bahasa ibunya.
Daftar Pustaka
Kata Kunci Pencarian:
- John Prior (Teolog)
- John Knox
- Agustinus dari Hippo
- Empirisme
- Teologi alam
- Filsafat ketuhanan
- Kausalitas
- Martin Luther
- Martin Bucer
- Ibnu Sina
- Carlo Maria Viganò
- Sigmund Mowinckel
- List of Glagolitic manuscripts (1200–1399)