Kabupaten Belu adalah sebuah
Kabupaten di provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.
Kabupaten ini beribu kota di Atambua. Memiliki luas wilayah 1.284,94 km² (menurut BPS) atau 1.284,97 km² (menurut Kemendagri), terbagi dalam 12 kecamatan, 12 kelurahan dan 69 desa, termasuk 30 desa dalam 8 kecamatan perbatasan. Pada pertengahan 2024, jumlah penduduk
Belu sebanyak 231.452 jiwa.
Secara astronomis,
Kabupaten ini terletak pada 124°40’33” BT – 125°15’23”BT dan 08°70’ 30”LS – 09°23’30”LS, dengan berbatasan geografi dengan Selat Ombai di utara,
Kabupaten Malaka di selatan, Timor Leste di timur, dan
Kabupaten TTU di barat.
Kabupaten ini juga merupakan
Kabupaten dengan penanggulanganan korupsi terbaik di Nusa Tenggara Timur, diikuti oleh
Kabupaten Manggarai pada posisi kedua.
Sejarah
= Masa Prasejarah
=
Umumnya penduduk
Kabupaten Belu berasal dari ras Melayu Tua (Proto Melayu), ras yang diyakini lebih tua dan lebih awal mendiami Pulau Timor. Selain Ras Melayu Tua, terdapat juga ras Melayu Muda (Deutero Melayu) dan Asia (Cina). Baik ras Proto Melayu, Deutero Melayu dan Asia, telah berbaur dan telah terikat dalam sistem kawin-mawin, sejak beratus-ratus bahkan beribu-ribu tahun silam. Di Kota Atambua, juga beberapa kampung kecil seperti Atapupu, Lahurus, Wedomu, Haekesak, Weluli, Halilulik, terdapat juga sejumlah kecil penduduk yang berasal dari luar
Kabupaten Belu, entah dari Pulau Timor sendiri, ataupun dari luar Pulau Timor. Penutur adat
Kabupaten Belu, yang dijuluki gelar Mako’an, menuturkan bahwa konon Pulau Timor ini belum muncul ke permukaan. Semua masih ditutupi air. Hal itu dibayangkan dengan Zaman es (atau Zaman Glasial) yang terjadi sekitar 500 atau 600 ribu tahun silam.
Menurut Kepercayaan Adat
Belu
Konon, seluruh permukaan bumi tertutup air, termasuk di Timor. Namun pada suatu ketika, di Timor, muncullah sebuah titik, yang ternyata itu adalah puncak tertinggi dari keseluruhan Pulau Timor kelak. Titik kecil itu muncul dan bersinar sendiri. Orang di generasi sesudahnya menggambarkan kembali titik bumi yang muncul itu dengan sapaan adat: Fo’in Nu’u Manu Matan (baru seperti biji mata ayam), Foin Nu’u Bua Klau (baru seperti potongan sebelah pinang), Foin Nu’u Etu Kumun (baru seperti gumpalan nasi di tangan), dan Foin Nu’u Murak Husar (baru sebesar pusar mata uang). Titik kecil itulah yang kelak dikenal dengan Gunung Lakaan sekarang, sebagai puncak tertinggi di
Kabupaten Belu. Oleh karenanya, tidaklah heran kalau Orang
Belu menjuluki puncak itu dengan nama Foho Laka An (gunung yang memiliki cahara sendiri), Manu Aman Laka An (ayam jantan merah bercahaya sendiri), Sa Mane Mesak (seperti lelaki tunggal), atau Baudinik Mesak (seperti bintang tunggal).
Dan di puncak Gunung Lakaan ini pula, diyakini oleh masyarakat
Kabupaten Belu, lahirlah Manusia Pertama
Belu. Sebenarnya ada nama yang dikenakan kepada Leluhur Pertama Orang
Belu yang pertama kali hidup di Puncak Gunung Lakaan. Manusia pertama di
Belu ternyata seorang Puteri Cantik.
Menurut cerita orang tua-tua di
Belu, pada zaman dahulu kala, seluruh Pulau Timor masih digenangi air, kecuali puncak Gunung Lakaan. Pada suatu hari turunlah seorang putri dewata di puncak gunung Lakaan dan tinggallah ia di sana. Putri dewata itu bernama Laka Loro Kmesak yang dalam bahasa
Belu berarti Putri tunggal yang tidak berasal usul. Laka Loro Kmesak adalah seorang putri cantik jelita dan luar biasa kesaktiaannya. Karena kesaktiannya yang luar biasa itu, maka Laka Loro Kmesak dapat melahirkan anak dengan suami yang tidak pernah dikenal orang.
Para Mako’an
Belu mengatakan bahwa “Suami” atau “Leluhur Lelaki” yang tidak dikenal itu, yang “menghampiri” Leluhur Perempuan (Laka Loro Kmesak), kelak lebih dijuluki dengan Gelar Manu Aman Lakaan Na’in, artinya Tuan dari Puncak Jago Lakaan. Karena kerahasiaan itu tetap terjaga sampai tidak disebutkan Nama, maka Laka Loro Kmesak disebut pula dengan nama Na’in Bilak An yang artinya berbuat sendiri dan menjelma sendiri.
Beberapa tahun kemudian Putri Laka Loro Kmesak berturut-turut melahirkan dua orang putra dan dua orang putri. Kedua putranya diberi nama masing-masing, Atok Lakaan dan Taek Lakaan. Sedangkan kedua putrinya masing-masing diberi nama Elok Loa Lorok dan Balok Loa Lorok.
Setelah keempat putra-putri ini dewasa mereka dikawinkan oleh ibunya karena di puncak gunung tidak ada keluarga lain. Atok Lakaan kawin dengan Elok Loa Larak dan Taek Lakaan kawin dengan Balok Loa Lorok. Kelak keturunan Manu Aman Lakaan inilah yang kelak memenuhi Tanah
Belu, Timor Leste, Dawan, Rote, Sabu, Larantuka atau Lamaholot di Pulau Flores bagian timur.
Tidaklah heran kalau masyarakat
Belu kebanyakan menganut paham matrilineal karena kisah Tuan Putri Laka Loro Kmesak ini. Walau akhirnya dalam sejarah yang panjang, anak-cucu Manu Aman Lakaan mengembangkan pula sistem patrilineal dengan mem-faen-kotu seorang istri untuk dimasukkan ke rumah suku lelaki. Itu merupakan pengembangan lebih lanjut atau penafsiran terhadap sistem matrilineal yang sudah ada sejak leluhur, di mana, perempuan yang di-faen-kotu, memiliki arti bahwa perempuan itu sangat tinggi harkatnya dan sangat disanjung sehingga suku suami, rela mengorbankan harta bendanya demi mendapatkan perempuan baru sebagai anggota inti rumah suku sang suami.
Menurut Penelitian
Manusia
Belu pertama yang mendiami wilayah
Belu adalah "Melus". Orang Melus dikenal dengan sebutan "Emafatuk Oan Ema Ai Oan", (manusia penghuni batu dan kayu). Tipe manusia Melus adalah berpostur kuat, kekar dan bertubuh pendek. Semua para pendatang yang menghuni
Belu sebenarnya berasal dari “"Sina Mutin Malaka". Malaka merupakan tanah asal-usul pendatang di
Belu yang berlayar menuju Timor melalui Larantuka. Konon "Malaka" ini merujuk pada wilayah semenanjung Malaka yang kini menjadi wilayah Negara Malaysia yang juga meliputi sebagian Cina Selatan. Khusus untuk para pendatang baru yang mendiami daerah
Belu terdapat berbagai versi cerita. Kendati demikian, intinya bahwa, ada kesamaan universal yang dapat ditarik dari semua informasi dan data.
Ketiga orang bersaudara dari Malaka tersebut bergelar raja atau loro dan memiliki wilayah kekuasaan yang jelas dengan persekutuan yang akrab dengan masyarakatnya. Kedatangan mereka dari tanah Malaka hanya untuk menjalin hubungan dagang antar daerah di bidang kayu Cendana dan hubungan etnis keagamaan.
Penguasa asli dan origin Timor terkhusus
Belu adalah Manuaman Lakaan Nain, di
Belu Utara atau
Kabupaten Belu sekarang.
Para pendatang di
Belu dari Malaka Malaysia adalah Sina Mutin Malaka, mendiami wilayah
Belu Selatan.
Penguasa Asli Manuaman Lakaan dan Pendatang Sina Mutin Malaka tidak membagi
Belu atas utara dan selatan.
Menurut para sejarahwan, pembagian
Belu menjadi
Belu bagian Selatan dan Utara hanyalah merupakan strategi pemerintah jajahan Belanda untuk mempermudah system pengontrolan terhadap masyarakatnya. Dalam keadaan pemerintahan adat tersebut muncullah siaran dari pemerintah rajaraja dengan apa yang disebutnya “Zaman Keemasan Kerajaan”. Apa yang kita catat dan dikenal dalam sejarah daerah
Belu adalah adanya Kerajaan Wewiku-Wehali (pusat kekuasaan separuh
Belu).
Ada juga kerajaan Fialaran di
Belu bagian Utara yang dipimpin Dasi Mau Bauk dengan kaki tangannya seperti Loro Bauho, Lakekun, Naitimu, Mandeu, Asumanu, Dualilu, Takirin, Lasiolat dan Lidak. Selain itu ada juga nama seperti Dafala, Manleten, Umaklaran, Sorbau dan Selaoan, serta "Torilai Balibo Dirbati Mauubu, Bobiknuan Maubara, Atabae Atsabe Leimea, juga Lookeu. Dalam perkembangan pemerintahannya muncul lagi tiga bersaudara yang ikut memerintah di Utara yaitu Tohe Nain, Maumutin dan Aitoun.
Sesuai pemikiran sejarawan
Belu, perkawinan antara Loro Bauho dan Klusin yang dikenal dengan nama As Tanara membawahi dasi sanulu yang dikenal sampai sekarang ini yaitu Lasiolat, Asumanu, Lasaka, Dafala, Manukleten, Sorbau, Lidak, Tohe Maumutin dan Aitoun. Dalam berbagai penuturan di Utara maupun di Selatan terkenal dengan nama empat jalinan terkait. Di
Belu Utara bagian Barat dikenal Umahat, Rin besi hat yaitu Dafala, Manuleten, Umaklaran Sarabau dibagian Timur ada Asumanu Tohe, BesikamaLasaen, Umalor-Lawain. Dengan demikian rupanya keempat bersaudara yang satunya menjelma sebagai tak kelihatan itu yang menandai asal-usul pendatang di
Belu membaur dengan penduduk asli Melus yang sudah lama punah.
= Masa Kolonial Belanda
=
Pada masa penjajahan Belanda, wilayah
Kabupaten Belu merupakan gabungan dari 20 wilayah Swapraja/Kerajaan yang meliputi
Belu dan sebagian Timor Tengah Utara yaitu Wewiku, Haitimuk, Alas, Wehali, Fatuaruin, Lakekun, Dirma, Mandeu, Insana, Biboki, Harneno, Naitimu, Lidak, Jenilu, Fialaran, Silawan, Maukatar, Lamaknen, Makir, dan Lamaksanulu. Tahun 1862 pusat pemerintahannya berada di Atapupu dengan kepala pemerintahannya disebut Gezakheber. Pada tahun 1910 Swapraja Anas diserahkan kepada Swapraja Amanatun (Timor Tengah Selatan). Pada tanggal 25 Maret 1913, Kerajaan Lidak digabung dengan Kerajaan Jenilu yang dipimpin oleh Raja Don Josef Da Costa dengan nama Swapraja Jenilu.
Kemudian setelah lahirnya Beslit Gubernemen 7 Oktober 1914 maka Kerajaan Jenilu dan Naitimu digabung menjadi sebuah kerajaan baru bernama Kakuluk Mesak di bawah pimpinan Raja Don Josef Da Costa. Jumlah kerajaan di
Belu pun tinggal 17 dari sebelumnya 18 buah. Kemudian tanggal 1 April 1915, Swapraja Insana, Swapraja Biboki, dan Swapraja Harneno, dimasukkan ke dalam wilayah Timor Tengah Utara sehingga jumlah kerajaan di
Belu tinggal 14 buah. Sebulan kemudian tanggal 29 Mei 1915, Civil Militair Asisten Resident Gramberg menggelar rapat di Besikama dihadiri oleh Swapraja Wehali, Wewiku, Haitimuk, Fatuaruin, Lakekun, Dirma, dan Mandeu. Dalam rapat ini disepakati pembentukan sebuah Swapraja baru bernama Swapraja Malaka. Sementara itu, Beredao yang terletak di tapal batas dengan Timor Portugis telah menjadi Benteng Pertahanan Belanda dari 1911 hingga 1916. Pada tahun 1916, Pusat Pemerintahan Belanda untuk
Belu Utara dipindahkan dari Atapupu ke Atambua.
Pada tanggal 19 Januari 1916, Gesachebber melaksanakan rapat dengan Swapraja Makir, Lamaknen, Lamaksanulu, Kakuluk Mesak, Fialaran, dan Silawan yang mengasilkan terbentuknya “Swapraja
Belu Tasifeto”. Pada tanggal 20 September 1923, Controleur
Belu Van Raesfild Meyer menerbitkan memori tentang struktur pemerintahan di wilayah
Belu, yang meliputi seluruh wilayah
Belu ditambah Insana, dan Biboki di TTU (sekarang), sebagai berikut:
Menghapuskan Swapraja Malaka dan Swapraja
Belu Tasifeto.
Membentuk satu Swapraja yang terdiri dari wilayah
Belu seluruhnya ditambah Swapraja Insana dan Biboki (Timor Tengah Utara).
Mengakui, walau kemudian menolak Bria Nahak sebagai Raja
Belu dengan gelar “Maromak Oan”.
Dalam melaksanakan pemerintahan Maromak Oan dibantu oleh seorang mangkubumi yang bergelar Liurai.
Pada tanggal 14 Mei 1930 dengan Resident Timor en Onderhoorgheden, Seran Asit Fatin diakui sebagai kepala Swapraja
Belu dengan gelar Liurai. Setelah Seran Asit Fatin meninggal dunia pada pada tanggal 9 November 1931 terjadilah kevakuman jabatan Liurai
Belu. Pada tanggal 20 Juli 1940 pemerintah Belanda oleh Controleur W. Ch. J. J. Buffart melaporkan kepada pemerintah pusat bahwa Swapraja
Belu dihapus dan dibentuk 3 Swapraja baru yaitu Swapraja Malaka, Swapraja Tasifeto, dan Swapraja Lamaknen. Mengakui Antonius Tei Seran sebagai Raja Malaka dengan gelar Liurai, Atok Samara sebagai Raja Tasifeto dengan gelar Astanara, dan Bau Liku Raja Lamaknen bergelar Loro.
= Masa Kolonial Jepang
=
Pada 20 Februari 1942, Tentara Jepang mendarat di Batulesa, Kab. Kupang (sekarang), di bawah pimpinan Jenderal Hayakawa. Selanjutnya pada 8 Maret 1942 Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, dan meninggalkan Pulau Timor beserta
Kabupaten Belu. Sekitar April 1942, tentara Jepang masuk wilayah Atambua. Controleur Belanda, Mr. H. C. de Haan dan keluarga ditawan. Wilayah pemerintahan
Belu dipimpin oleh seorang pejabat Jepang yang disebut “Bunken Kanrikan”. Pemerintah Jepang mengakui wilayah
Belu terbagi mejadi 2 Swapraja:
Swapraja Tasimane dipimpin oleh Arnoldus Klau sebagai Raja I dan Edmundus Tei Seran (Na’i Fatuaruin) sebagai Raja II.
Swapraja Tasifeto dipimpin oleh Nikolas Manek sebagai Raja I dan Hendrikus Besin Siri Da Costa sebagai Raja II.
Pemerintahan Jepang di
Belu dikendalikan dari laut oleh Onderafdelling yang dipimpin pembesar Jepang dengan sebutan Atambua Bun Ken. Terdapat sistem kerja paksa diterapkan Jepang atas rakyat
Belu (Romusha). Rakyat wajib membuat lubang-lubang perlindungan dan pertahanan bagi tentara Jepang (masih ada di Teluk Gurita sampai sekarang). Selain itu, rakyat juga diwajibkan menanam tumbuhan jati untuk kepentingan perang Jepang (masih ada sebagai Hutan Jati Nenuk di Tasifeto Barat)
= Situasi Pasca Kemerdekaan RI
=
Pada 6 Agustus-8 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada AS dan sekutu, atas seruan Kaiser Tenno Heika. Berakhir pula pendudukan tentara Jepang di Indonesia termasuk
Belu. Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Panitia Pemerintahan Sementara (PPS) Swapraja
Belu yang dibentuk dengan Beslit Resident Timor en Ondertiooroghden tanggal 2 Mei tahun 1932 No. 842 tetap diakui, dengan anggotanya Loro Lakekun (Benekdiktus Leki Tahuk), Loro Bauho (Hendrikus Besin Siri Da Costa), dan Raja Kewar (A. A. Bere Tallo). Panitia Pemerintahan Sementara (PPS) meliputi 3 Swapraja dan 37 ke-Na’i-an. Pada tanggal 15 Agustus 1946 dibentuk Dewan Raja-Raja Federasi kepulauan Timor di Kefamenanu yang terdiri dari 20 anggota yaitu semua Kepala Swapraja di pulau Timor, Rote, Sabu, dan Alor Pantar. Pada tanggal 31 Maret 1949, keluar peraturan No. 121 oleh Beslit Resident Timor, mengangkat Hendrikus Besin Siri Da Costa sebagai Raja Tasifeto dan A. A. Bere Tallo sebagai Raja Kewar. Dengan SKP Ketua Dewan Raja-raja Timor dan Kepulauan Nomor P.3/21/1 tanggal 20 Agustus 1949 mengangkat A. A. Bere Tallo untuk memangku jabatan Ketua PPA Swapraja
Belu, kemudian dibubarkan dengan Undang-Undang Negara Indonesia Timur Nomor 44 tahun 1950 tanggal 1 Oktober 1950 dan membentuk Pemerintahan Daerah Timor yang dikepalai oleh seorang Kepala Daerah dan didampingi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Pada tanggal 1 April 1951, Kepala Daerah Timor (H. A. Koroh) mengangkat Raja Lamaknen (A. A. Bere Tallo) sebagai anggota Dewan Pemerintahan Daerah (DPD) Timor di Kupang sekaligus merangkap Pj. Ketua Panitia Pemerintahan Sementara (PPS) Swapraja
Belu di Atambua dan Raja Lamaknen. SKP Gubernur NTT di Singaraja Nomor Des.2/1/2 tanggal 15 Februari 1954, mengesahkan Majelis Pemerintah Harian Swapraja
Belu dengan Ketua A. A. Bere Tallo. Kemudian dengan SKP Gubernur NTT di Singaraja Nomor 115/UP.3/3//63 tanggal 9 Juni 1954, mengangkat A. A. Bere Tallo sebagai Kepala Pemerintahan Setempat (KPS)
Belu.
Pada 29 Oktober 1958, lahirlah UU No. 69 Tahun 1958, tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan terbentuk pula Daerah Tingkat II
Belu.
Kabupaten Belu berdiri pada tanggal 20 Desember 1958 berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 69 tahun 1958 dengan Atambua sebagai ibu kota
Kabupaten dan terdiri dari 6 kecamatan.
Pejabat Pemerintahan
Belu terpilih pada 16 Februari 1960, yakni Alfonsius Andreas Bere Tallo sebagai Kepala Daerah Tingkat II
Belu, ia kemudian dilantik oleh Gubernur NTT W. J. Lalamentik pada 9 Mei 1960. Pada 20 Mei 1959, DPRD Peralihan Daerah Tingkat II
Belu berdiri yang terdiri dari 15 Anggota dengan Ketua B.J Manek dan Wakil Ketua C. Mau.
= Perkembangan Kabupaten Belu hingga kini
=
Pada awal pembentukannya,
Kabupaten Belu terdiri dari 6 kecamatan yaitu:
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1992 maka pada tahun 1992 terjadi pemekaran kecamatan menjadi 8 kecamatan yaitu:
Pada tahun 2001 terjadi pemekaran kecamatan lagi menjadi 12 kecamatan berdasarkan Peraturan Daerah
Kabupaten Belu No. 12 Tahun 2001, yakni:
Berdasarkan Peraturan Daerah
Kabupaten Belu No. 10 Tahun 2004 terjadi pemekaran kecamatan di
Kabupaten Belu menjadi 16 kecamatan, yaitu:
Pada Tahun 2006 Kecamatan di
Kabupaten Belu mengalami pemekaran sebanyak tiga kali sehingga pada akhir 2006
Kabupaten Belu terdiri dari 21 kecamatan. Pemekaran ini terjadi didasarkan atas Peraturan Daerah
Kabupaten Belu berikut:
No. 4 Tahun 2006 tentang pembentukan Kecamatan Lamaknen Selatan.
No. 5 Tahun 2006 tentang pembentukan Kecamatan Io Kufeu dan Botin Leobele.
No. 18 Tahun 2006 tentang pembentukan Kecamatan Atambua Barat dan Atambua Selatan.
Pada tahun 2007, kecamatan di
Kabupaten Belu kembali mengalami pemekaran sebanyak dua kali sehingga pada akhir 2007
Kabupaten Belu terdiri dari 24 kecamatan. Pemekaran ini terjadi didasarkan atas Peraturan Daerah
Kabupaten Belu berikut:
No. 2 Tahun 2007 tentang pembentukan Kecamatan Nanaet Dubesi dan Kecamatan Kobalima Timur.
No. 3 Tahun 2007 tentang pembentukan Kecamatan Lasiolat.
Kemudian pada tahun 2012 terjadi pemekaran
Kabupaten Malaka sehingga dibagi 12 kecamatan untuk
Kabupaten Belu dan 12 kecamatan untuk
Kabupaten Malaka.
Identitas daerah
= Lambang daerah
=
Bentuk Lambang
Bentuk Lambang Daerah adalah Perisai bersisi lima mempunyai arti sebagai berikut:
Perisai melambangkan alat perlindungan rakyat
Sisi lima melambangkan Pancasila sebagai dasar negara
Warna dan Isi Lambang adalah Tata warna lambang berwarna Merah, Kuning, Coklat, Hijau, Putih dan Hitam; melambangkan kain tenunan rakyat
Kabupaten Belu, yang mempunyai arti:
Arti Lambang
Lukisan bintang berwarna kuning emas melambangkan Keagungan Tuhan Yang Maha Esa;
Padi dan kapas melambangkan kemakmuran sandang pangan;
Padi 20 butir dan kapas 12 biji serta angka 1958 menunjukkan hari, tanggal, dan tahun terbentuknya
Kabupaten Belu dalam wilayah daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur;
Tihar melambangkan alat asli seni tari rakyat (tarian Likurai) yang telah ada serta tumbuh dalam masyarakat
Belu sejak dahulu dan berkembang terus hingga sekarang;
Kelewang dalam keadaan tersarung terletak di antara warna merah dan Kuning melambangkan perjuangan keberanian, kesungguhan hati dan semangat;
Pohon beringin melambangkan persatuan dan tempat rakyat berlindung, terletak di atas tiber dan kelewang;
Dibawah Bintang dan di atas Pohon Beringin tertulis dengan kata latin berbunyi “
Belu“ yang berarti “SAHABAT“.
= Nama daerah
=
Nama Lain: Rai
Belu, Tasifeto, Fialaran/Fehalaran, Lamaknen, Manuaman Laka'an.
Kata "
Belu" menurut penuturan para tetua adat bermakna "persahabatan" yang bila diterjemahkan secarah harafiah ke dalam bahasa Indonesia berarti "teman" atau "sobat". Ini merupakan makna simbol yang mendeskripsikan bahwa pada zaman dahulu para penghuni
Belu memang hidup saling memperhatikan dan bersahabat dengan siapa saja. Namun secara politis oleh Pemerintah Belanda,
Belu dibagi menjadi dua bagian yaitu
Belu bagian utara dan
Belu bagian selatan, yang hingga sekarang masih terasa pengaruhnya.
Geografi
Gunung Tertinggi: Foho Lakaan.
Bukit-bukit penting: Lidak, dan Mandeu.
Pelabuhan Laut Terpenting: Pelabuhan Atapupu.
Bandara Terpenting: A. A. Bere Tallo di Haliwen.
Pintu Imigrasi (Pos Lintas Batas Negara) Terpenting: Gerbang Motaain, dan Gerbang Turiskain.
= Topografi
=
Keadaan topografi
Kabupaten Belu dapat dikelompokan atas beberapa kelompok berdasarkan ketinggian tempat di atas permukaan laut. Terdapat 2 kecamatan yang ketinggiannya di bawah 500 m dpl, yakni Kakuluk Mesak dan Tasifeto Timur dan 10 kecamatan dengan ketinggian di atas 500m dpl.
= Batas Wilayah
=
Wilayah
Kabupaten Belu berbatasan dengan:
= Klimatologi
=
Secara umum
Kabupaten Belu beriklim sabana tropis yang kering (Aw), dengan musim hujan yang pendek dengan temperatur udara berkisar 21,5oC – 33,7o C dan temperatur udara rata-rata sekitar 27,6oC. Temperatur udara tertinggi 37,7oC terjadi pada Bulan November, sedangkan temperatur udara terendah 20,5oC terjadi Bulan Agustus.
Biasanya hujan turun antara Bulan Desember sampai Bulan Maret, sedangkan kemarau berlangsung antara Bulan April sampai Bulan November. Curah hujan di
Kabupaten Belu tahun 2005 sebesar 10.903 mm, dengan angka rata-rata curah hujan untuk setiap stasiun sebesar 727 mm. Rata-rata hari hujan 40 hari/tahun, stasiun Haekesak (Raihat) mencatat jumlah hari hujan terbesar, yaitu 97 hari hujan sedangkan terendah di tercatat di stasiun Wemasa (Kobalima) sebesar 19 hari hujan.
Pada tahun 2017, wilayah di
Kabupaten Belu memiliki rata-rata curah hujan yang tercatat pada stasiun meteorologi/klimatologi antara 0 – 580 mm. Angka ini lebih rendah bila dibandingkan dengan tahun 2016. Berdasarkan jumlah hari hujan dalam setahun, bulan Desember memiliki rata-rata jumlah hari hujan tertinggi yaitu 22 hari hujan dalam satu bulan. Sedangkan bulan yang memiliki rata-rata jumlah hari hujan terendah adalah bulan Mei, Juni, Agustus yaitu 0 hari hujan.
Pemerintahan
= Bupati
=
= Dewan Perwakilan
=
Berikut ini adalah komposisi anggota DPRD
Kabupaten Belu dalam dua periode terakhir.
= Kecamatan
=
Kabupaten Belu memiliki 12 kecamatan, 12 kelurahan, dan 69 desa ditambah lagi 18 desa persiapan.
Kabupaten Belu terdiri dari 12 Kecamatan, 12 Kelurahan, dan 69 Desa. Total desa dan kelurahan di
Belu bakal menjadi 99. Pada tahun 2017, jumlah penduduknya mencapai 220.699 jiwa, tahun 2022 penduduk menjadi 227.990, dengan luas wilayah 1.284,97 km² dan sebaran penduduk 186 jiwa/km².
Daftar kecamatan dan kelurahan di
Kabupaten Belu, adalah sebagai berikut:
Demografi
= Kependudukan
=
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik
Kabupaten Belu tahun 2018, jumlah penduduk
Kabupaten Belu pada akhir tahun 2017 adalah 213.596 jiwa; dibagi menjadi 106.782 jiwa laki-laki dan 106.814 jiwa perempuan. Laju pertumbuhan penduduk di
Kabupaten Belu antara rahun 2016 dan 2017 adalah 3,00%, dengan angka pernikahan sebanyak 826 rumah tangga baru dan angka kelahiran sebanyak 8843 jiwa. Rasio jenis kelamin tahun 2017 adalah 1,00 yang berarti jumlah penduduk laki-laki dan perempuan hampir sama.
Pada tahun 2018, jumlah penduduk
Kabupaten Belu adalah 216.780, dengan laju pertumbuhan penduduk 2,40% per tahun, menjadikannya
Kabupaten dengan pertumbuhan penduduk tertinggi ke-5 di Nusa Tenggara Timur. 4,02% penduduk Nusa Tenggara Timur tinggal di
Kabupaten Belu.
Jumlah penduduk miskin di
Kabupaten Belu pada tahun 2018 adalah sekitar 33.910 jiwa (15,70%). Angka ini turun dari sebelumnya 15,92% pada tahun 2017, dan 15,82% pada tahun 2016. Sementara itu, Indeks Pembangunan Manusia di
Kabupaten Belu pada tahun 2018 adalah 61,86, turun dari sebelumnya 63,42 pada tahun 2017.
= Ketenagakerjaan
=
Berdasarkan hasil Sakernas 2017, angkatan kerja tahun 2017 berjumlah 97.869 orang atau 70,55 persen terhadap penduduk
Kabupaten Belu usia 15 tahun ke atas. Dari jumlah tersebut sebanyak 97,53 persen berstatus pekerja. Tingkat pengangguran
Kabupaten Belu tahun 2017 tercatat 2414.
Pada tahun 2018, Tingkat Pengangguran Terbuka di
Kabupaten Belu adalah 5,26%.
= Agama
=
Mayoritas penduduk di
Kabupaten Belu beragama Katolik 88,47% dengan diikuti Kristen Protestan 7,36%, Islam 4,02%, Hindu 0,14%, dan Buddha 0,01%.
= Budaya
=
Asal-usul
Secara adat-istiadat dan kebudayaan,
Kabupaten Belu merupakan masyarakat adat Timor, yang hidup dalam empat kelompok suku-bangsa dan bahasa. Penduduk
Kabupaten Belu, kebanyakan Orang Tetun. Selain Orang Tetun yang berkonsentrasi di sebagian besar Tasifeto; terdapat juga Orang Marae atau Bunak yang berkonsentrasi di hampir seluruh wilayah Lamaknen Utara dan Lamaknen Selatan serta beberapa perkampungan lain di Tasifeto; Orang Kemak yang berkonsentrasi di Sadi (Tasifeto Timur), dan beberapa perkampungan lain di Tasifeto serta Orang Dawan R yang berkonsentrasi di Manlea dan Biudukfoho, wilayah Malaka. Umumnya penduduk
Kabupaten Belu, berasal dari ras Melayu Tua (Proto Melayu), ras yang diyakini lebih tua dan lebih awal mendiami Pulau Timor. Selain Ras Melayu Tua, terdapat juga ras Melayu Muda (Deutero Melayu) dan Asia (Cina). Baik ras Proto Melayu, Deutero Melayu dan Asia, telah berbaur dan telah terikat dalam sistem kawin-mawin, sejak beratus-ratus bahkan beribu-ribu tahun silam.
Corak bahasa dan budaya
Di Atambua, juga beberapa kota kecil seperti Atapupu, dan Halilulik, terdapat juga sejumlah kecil penduduk yang berasal dari luar
Kabupaten Belu, entah dari Pulau Timor sendiri, ataupun dari luar Pulau Timor. Bahasa daerah
Kabupaten Belu adalah bahasa tetun. Bahasa ini sama seperti bahasa daerah dari
Kabupaten Malaka, karena kedua
Kabupaten tersebut memiliki satu nenek moyang.
Daerah
Kabupaten Belu pada umumnya terdiri atas daratan bukit dan pegunungan serta hutan. Daerah
Belu tergolong daerah yang curah hujannya sedikit yang secara tidak langsung iklim tersebut mempengaruhi pola hidup dan watak keseharian masyarakat
Belu.
Tradisi
Tempat tinggal orang-orang
Belu dahulunya banyak berada di daerah perbukitan yang dikelilingi oleh semak berduri dan batu karang yang tidak mudah didatangi orang dan hidup secara berkelompok, dengan maksud untuk menjaga keamanan dari gangguan orang luar maupun binatang buas. Rumah asli penduduk
Belu bernama Klobor-Laen, yaitu rumah yang berbentuk seperti kapal terbalik dan ada yang seperti gunung. Atapnya menjulur ke bawah hampir menyentuh tanah. Dinding rumah terbuat dari Pelepah Gewang, biasa disebut Bebak, tiang-tiangnya terbuat dari kayu-kayu balok, sedang atapnya dari daun gewang. Di bagian dalam rumah dibagi menjadi dua ruangan yaitu bagian luar diberi nama Sulak, untuk ruang tamu, tempat tidur tamu, dan tempat anak-anak laki-laki dewasa. Pada bagian dalam disebut Nanan, yaitu tempat untuk tidur keluarga dan tempat makan. Sebelum pengaruh agama masuk ke daerah ini masyarakat di sini sudah mempunyai kepercayaan kepada Sang Pencipta, Sang Pengatur, yang biasa mereka sebut dengan Uis Neno, Dewa Langit dan Uis Afu, Dewa Bumi. Banyak ragam upacara dan sesaji yang ditujukan kepada dewa-dewa tersebut untuk meminta berkah kesuburan tanah, hasil panen dan lain-lain. Salah satu contoh adalah upacara Hamis Batar no Hatama Mamaik suatu upacara sebagai tanda rasa syukur dimulainya musim petik jagung.
Objek budaya
Adapula Kerajaan Terpenting di
Kabupaten Belu adalah Loro Bauho-Fialaran dan Lamaknen; Gereja Tertua adalah Paroki Atapupu, Paroki Lahurus, Paroki Halilulik, Katedral Atambua, dan Paroki Nualain; Tarian Asli
Belu, yakni Likurai, Tebe dan Bidu Kikit; Bahasa Daerah Terpenting yakni Tetun, Bunak, Kemak dan Dawan.
Lagu Daerah Terkenal yakni Oras Loro Malirin, Manumutin Torok, Olala, dan Lolon Gol; Hotel Terkenal antara lain Hotel Matahari, Hotel King Star, dan Hotel Timor; dan Makanan Terkenal yakni Ut Moruk, Sambal Tomat Lahurus, Bawang Weluli, Ikan Atapupu, Padi Haekesak, Jagung Bose, Batar Da'an, Tua Mutin, dan roti paung.
Perekonomian
Perekonomian di
Kabupaten Belu berkembang cukup pesat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2017, nilai PDB
Kabupaten Belu adalah Rp2.657.736,600, naik dari Rp2.511.902,300 pada tahun 2016, atau sebanyak 5,292%.
Kegiatan perekonomian di
Kabupaten Belu didominasi oleh lapang usaha Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan, dengan kontribusi terhadap angka Produk Domestik Bruto
Kabupaten Belu sebanyak Rp606.193,500 atau sekitar 22,81% dari jumlah PDB
Kabupaten Belu. Jasa pendidikan merupakan lapang usaha dengan kontribusi terhadap PDB kedua tertinggi, sebanyak Rp412.029,600 atau sebanyak 15,50% dari jumlah PDB
Kabupaten Belu.
Kegiatan perekonomian juga mendapatkan dorongan yang pesat setelah munculnya restoran bergaya barat, KFC di Atambua Plaza pada November 2015 yang lalu.
Kesehatan
= Rumah sakit
=
Pariwisata
Kegiatan pariwisata di
Kabupaten Belu berkembang pesat sejak hadirnya Jabal Mart (2014), dan KFC (2015). Dinas Pariwisata
Kabupaten Belu selalu mencoba memperbaiki dan menambah berbagai objek wisata. Beberapa objek wisata terkenal di
Kabupaten Belu adalah:
= Wisata Alam dan Bahari
=
Tempat Wisata Gunung antara lain Ksadan Takirin, Ksadan Fatulotu, Gunung Lakaan, Fulan Fehan, Air Terjun Sihata Mauhalek, Anin Nawan, Bukit Mandeu, Bukit Lidak, Mata air Lahurus, Mata air Webot Haekesak, Niki Tohe Leten, Kampung Kewar, Air Terjun Weró, Bendungan Rotiklot; Tempat Wisata Pantai antara lain Pasir Putih, Kolam Susuk, dan Teluk Gurita.
Padang Fulan Fehan Fulan Fehan merupakan suatu padang sabana yang sangat luas dan berada di kaki Gunung Lakaan, di Kecamatan Lamaknen. Jarak dari pusat kota Atambua ke Fulan Fehan adalah 29,3 km, dan dapat ditempuh dalam waktu kurang dari satu jam (apabila cuaca memungkinkan). Kondisi jalan ke tempat ini juga sudah cukup bagus.
Air Terjun Sihata Mauhalek Air terjun ini berada di Kecamatan Lamaknen. Air terjun ini biasa disebut Air Terjun Bidadari karena bentuknya sangatlah indah. Lokasinya juga berdekatan dan searah dengan padang Fulan Fehan. Jarak dari pusat kota Atambua adalah 31,6 km
Pantai Pasir Putih AtapupuPantai ini terletak di Kecamatan Kakuluk Mesak, berjarak 29,3 km dari pusat Kota Atambua, pantai ini dapat dijangkau dalam waktu kurang dari 45 menit. Pantai ini memiliki fasilitas yang baik dan ramah pengunjung, seperti lopo, Toilet, warung & kios, serta dalam beberapa hari dalam setahun, pemerintah menggelar acara Music on Vacation di tempat ini.
Wisata Mangrove Kolam SusukTempat wisata ini merupakan salah satu tempat wisata baru di
Kabupaten Belu. Tempat wisata ini menawarkan panorama eksotis hutan Mangrove sepanjang kurag lebih 1 km. Terdapat pula lopo-lopo dan ragam kios di sekitar objek wisata ini. Anda juga bisa membeli ikan bandeng yang banyak dijual oleh warga sekitar dengan harga yang amat terjangkau.
PLBN Terpadu MotaainMerupakan gerbang utama negara Indonesia dengan Timor Leste, merupakan suatu tempat dengan keindahan arsitektur.
Bendungan RotiklotMerupakan suatu bendungan yang dibangun pada masa pemerintahan Joko Widodo dengan tujuan menyediakan irigasi bagi lahan pertanian para petani. Bendungan ini diresmikan pada 20 Mei 2019, dan belum dibuka untuk umum hingga pemeliharaan berakhir pada Agustus 2019 (tiga bulan setelah diresmikan).
Pantai SukaerlaranPantai ini merupakan saingan Pantai Pasir Putih. Pantai ini menawarkan pemandangan yang lebih alami karena banyak ditumbuhi pepohonan. Pantai ini luas dan biasanya penuh saat musim liburan dan akhir pekan tiba.
Daftar tempat wisata di
Kabupaten Belu
= Kuliner
=
Beberapa kuliner yang dapat ditemui di
Kabupaten Belu antara lain jagung bose, dan jagung bakar.
Referensi
= Catatan
=
Pranala luar
(Indonesia) Situs Resmi Pemerintah
(Indonesia) Facebook Dinas Pariwisata
(Indonesia) Badan Pusat Statistik
Kabupaten Belu
(Indonesia) Protokol dan Komunikasi Pimpinan Setda
Belu Diarsipkan 2021-04-27 di Wayback Machine.
(Indonesia) Dinas Komunikasi dan Informatika
Kabupaten Belu