Kabut Arktik adalah fenomena
Kabut musim semi coklat kemerahan yang terjadi di atmosfer pada garis lintang yang lebih tinggi akibat adanya polusi udara antropogenik. Perbedaan
Kabut Arktik dengan
Kabut atmosfer yang ada pada tempat lain adalah kemampuan bahan kimia
Kabut Arktik yang mampu bertahan di atmosfer dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan dengan polutan lainnya. Tercatat lebih dari 30 hari sisa
Kabut Arktik berada di atmosfer udara Kutub di musim semi, hal tersebut terjadi karena curah hujan, salju, dan udara yang rendah untuk dapat menggantikan polutan dari
Kabut Arktik.
Sejarah
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari Universitas Utah,
Kabut Arktik ditemukan pertama kali pada tahun 1750, atau pada awal Revolusi Industri. Pada saat itu, ada seorang pemburu Paus yang memperhatikan polusi, yang oleh orang Inuit disebut Poo-juk. Selain itu, pernah ada penjelajah dan pahlawan nasional Norwegia Fridtjof Nansen menemukan noda gelap di permukaan es, dalam kunjungannya di garis lintang Kutub Utara. Istilah
Kabut Arktik sendiri diciptakan oleh Murray Mitchell Jr.(seorang perwira Angkatan Udara, Amerika Serikat) pada tahun 1956. Dia menggunakan istilah
Kabut Arktik untuk menggambarkan pengurangn visibilitas yang tidak biasa dan bertahan selama pengamatannya pada misi pengintaian cuaca, yang disebut Penerbangan Ptarmigan. Selama misi tersebut, Murray Mitchell Jr. melaporkan bahwa
Kabut telah berada sejauh 3.200 km melintasi cakrawala.
Penyebab
Ada banyak penyebab terjadinya
Kabut Arktik, antara lain :
Gas rumah kaca dan polusi dari industri.
Emisi kapal yang berlebih.
Asap yang berasal dari kebakaran hutan.
Aerosol atmosfer (nitro oksida, sulfur dioksida).
Polutan zona O (merkuri, aluminium, vanadium, dan mangan).
Letusan gunung berapi.
Daftar Pustaka