- Source: Kadipaten Lasem
Lasem (ꦭꦱꦼꦩ꧀) merupakan salah satu kadipaten di Jawa yang pernah menjadi bawahan Kerajaan Majapahit. Lasem sekarang merupakan bagian dari Kabupaten Rembang.
Pusat pemerintahan Lasem terletak pada sebelah barat Pegunungan Lasem, tepatnya di Bhumi Kriyan.
Pada tahun 1391 Saka, Pangeran Wirabajra memindahkan pusat pemerintahannya ke Bhumi Bonang Binangun.
Keberadaan kota ini diketahui karena memiliki situs-situs [[cagar arkeologis sampai sekarang.
Asal-Usul Nama
Menurut naskah yang ditulis oleh Mbah Guru, nama Lasem diambil dari nama Kamala dan Bekasem.
Manisan buah Kamala dan olahan Bekasem ini diajarkan oleh Ki Welug (Mpu Rangga Widyabadra, meninggal tahun 920 M) kepada masyarakat Banjar Karanggan dan sekitarnya (banjar=desa besar).
Ada versi lain yang menyebutkan bahwa Lasem berasal dari kata Alas Asem, maupun versi lain yaitu Lasem berasal dari kata Lao Sam.
Sejarah Pendirian
Ketika Majapahit diperintah oleh Prabu Hayam Wuruk, Akuwu Lasem Mpu Metthabadra ditaklukkan oleh pasukan pimpinan Patih Arya Gajah (Gajah Mada?) dan Lasem berada dibawah imperium Majapahit.
Kemudian pemerintahan Lasem diserahkan kepada Dewi Indu, dia dilantik sebagai Raja dengan gelar Bhre Lasem pada tahun 1351 M.
Naskah Carita Sejarah Lasem menyebutkan bahwa pada tahun Saka 1273 (1351 Masehi), adalah Dewi Indu yang menjadi Ratu di Lasem, dia adik nakdulur misanane (adik saudara sepupunya) Prabu Hayam Wuruk diMajapahit.
Daftar Adipati Lasem
Daftar Adipati Lasem disusun berdasarkan :
1. Naskah Veda Badra Santi (Mpu Santibadra),
2. Kitab Carita Lasem (Mpu Panji Karsono),
3. Kitab Negarakretagama (Mpu Prapanca),
4. Serat Pararaton.
Daftar Adipati Lasem adalah sebagai berikut:
Bhre Lasem I Rajasaduhita Indudewi atau Rajasaduhitendewi (Dewi Indu Purnamawulan), menikah Rajasawardhana, Bhre Matahun I dan mempunyai anak Nagarawardhani, Bhre Wirabhumi I.
Bhre Lasem II Nagarawardhani istri Bhre Wirabhumi II putri Indudewi.
Bhre Lasem III Kusumawardhani istri Wikramawardhana putri Hayam Wuruk.
Bhre Lasem IV istri Bhre Tumapel II putri Ranamanggala, Bhre Pandasalas I.
Bhre Lasem V istri Bhre Tumapel II putri Bhre Wirabhumi II.
Setelah Bhre Pandansalas lengser, Lasem dipimpin Pangeran Badranala, putra Pangeran Wijayabadra
Pangeran Wirabajra, putra Pangeran Badranala dan Putri Cempo Bi Nang Ti, pusat pemerintahan dipindah di Bhumi Bonang Binangun setelah menjadi adipati mendapat gelar Pangeran Wiranegara yang menjadi menantu Sunan Ampel
Adipati selanjutnya adalah istri Pangeran Wiranagara, Nyi Ageng Malokha, ia kakak dari Sunan Bonang alias anak Sunan Ampel
Pada saat Pangeran Wiranagara wafat, pemerintahan dipegang oleh istrinya yaitu Nyi Ageng Maloka putri Sunan Ampel dan pusat pemerintahan dipindah kembali ke Bhumi Lasem depan Puri Kriyan dengan gelar Adipati Lasem.
Ia dibantu oleh sanak saudara dari pihak suami, Pangeran Santipuspa putra Tumenggung Wilwatikta Mpu Santibadra.
Keadaan penduduk
Penduduk Lasem pada umumnya bekerja sebagai petani, nelayan, pedagang, maupun pengrajin. Kerajaan Lasem memang terkenal sebagai negara pesisir, dengan pelabuhan utamanya terletak di Pelabuan Kaeringan dan Pelabuhan Regol.
Agama resmi Kerajaan Lasem pada masa pemerintahan Duhitendu Dewi sampai masa pemerintahan Pangeran Wirabajra adalah Çiwa-Buddha selain ada pula Hindu aliran Siwa, Buddha, dan Kejawen.
Ketika Pangeran Wiranagara berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Islam walaupun agama lain masih tetap diakui sebagai agama kerajaan.
Keluarga Bi Nang Un menetap di Lasem
Pada kira-kira tahun Saka 1335 (1413 M), ada salah seorang Dhang Puhawang (Lasem: Laksamana) dari negara Cempa yang bernama Bi Nang Un beserta keluarga dan orang-orang warga dari negerinya datang di Lasem, berlabuh, mendaratkan kapal-kapalnya di pelabuhan Regol.
Kedatangan mereka karena mereka semua hendak pindah dari negara Cempa dan menetap di bumi Lasem yang sebelumnya telah mendapatkan izin dari Adipati Pangeran Wijayabadra.
Setahun sebelum kedatangan mereka, Bi Nang Un telah terlebih dulu datang di Lasem karena ikut berlayar menjelajah Bawana (dunia) bersama Dhang Puhawang Cheng Ho dari negara Tiongkok.
Ketika Bi Nang Un melihat betapa melimpah dan suburnya bumi Lasem, juga orang-orang sekitar yang begitu ramah apalagi di Lasem telah banyak juga orang-orang Cempa yang pindah dan menetap di sana, seketika itu juga timbul keinginan Dhang Puhawang Bi Nang Un untuk ikut pindah dan menetap di Lasem.
Dirinya lantas meminta izin dan pamit kepada Dhang Puhawang Cheng Ho, tidak dapat meneruskan perjalanannya berlayar menjelajah Bawana (dunia) dan hendak pindah menetap di Lasem.
Permintaan tersebut akhirnya juga mendapatkan restu dari Pangeran Wijayabadra selaku Adipati Lasem tetapi dengan syarat jika kepindahannya kelak beserta keluarga dan warga-warga lain dari Cempa diharapkan dapat membawa banyak benda atau tanaman-tanaman yang di tanah Jawa tidak ada, seperti; Pari Campa Klewer (Padi Campa), Ketan Ireng (ketan hitam), pelem blungkow (mangga blungkow), Tebu Limpow, Delimow (delima), Pitik Cempow (ayam Campa), merak ulese biru (burung merak berbulu biru), serta orang-orang yang ahli di bidang Kesenian.
Orang-orang Campa itu perawakan dan kulitnya mirip sekali dengan orang Jawa. Yang laki-laki memakai “gelung kadhal-menek” dan sisir “penyu-plengkung”, dan menggunakan sarung gembaya. Jauh sekali dengan kebiasaan dan perawakan orang-orang Cina.
Orang Campa beragama Buddha dan memuja Sang Lokeswara, sedangkan orang-orang dari Cina beragama Kong Hu Cu dan memuja dewa beraneka rupa. Lelaki Cina memakai kuncir Towcang, dan bercelana gombyor hitam.
Kedatangan Bi Nang Un beserta keluarga dan rakyat-rakyatnya diterima dengan sangat baik oleh Adipati Lasem Pangeran Wijayabadra, lantas mendapatkan tanah untuk bertempat tinggal di bumi Kemandhung sampai ke Telangbenthung.
Orang-orang dari Campa pintar sekali membuat Slepi (wadah tembakau) dari bulu merak, pintar membatik, membuat perhiasan dari emas, menari dan membuat gamelan. Anak-anak kecil dan juga generasi mudanya entah laki-laki atau perempuan pasti bisa menari dan menabuh gamelan untuk upacara-upacara pemujaan dalam agama Buddha.
Istri Bi Nang Un bernama Na Li Ni, mereka mempunyai dua orang anak, pada saat kepindahan merek ke bumi Lasem anak yang pertama berusia lima tahun bernama Bi Nang Na, anak yang kedua berumur tiga tahun bernama Bi Nang Ti.
Bi Nang Un berserta keluarga dan orang-orangnya menetap di bumi Kemendhung di sebelah selatan sungai, sedangkan yang di sebelah utara sungai terpagari tembok beteng kota Kadipaten Lasem yang panjang membujur ke timur sampai ke Taman Kamalapuri.
Sepanjang pagar pekarangan rumah di Kemandhung membujur terus ke selatan sampai ke tanjakan pekarangan Juru Demung ditanami kembang melathi rangkep (bunga melati rangkep) yang disukai oleh Putri Na Li Ni, karena itulah tempat menetapnya Pangeran Bi Nang Un dinamakan Taman Banjarmlati.
Di Taman Banjarmlati tersebut Putri Na Li Ni mengajar membuat slepi lar merak (kipas dari bulu merak), membatik dan mengajari menari kepada anak-anak putri Kemandhung dan juga mengajari kepada putra putrinya sendiri.
Kakek Ke Tong Dhaw yang merupakan paman putri Na Li Ni, menjadi Pujangga Seni Karawitan dan mengajar Karawitan kepada para pemuda di desa tersebut; juga mengajarkan ilmu Dharma Buddha Sakyamuni.
Kakek Mpu Pandhita Asthapaka (Ke Tong Dhaw) tersebut membuka hutan sebelah selatan bumi Kemandhung, dan membuat sendang (mata air) yang airnya dengan sangat deras keluar dari tanah padas (tanah keras/gersang) yang sumber airnya dari sumber payung, sendang (mata air) tersebut lantas di beri nama sendang “Jalatundha”. Setelahnya daerah tersebut di beri nama desa Ketandhan, dengan Kakek Ke Tong Dhaw menjadi cikal bakal desa tersebut dengan panggilan Buyut Ketandha.
Pada masa-masa inilah, lahir Batik Lasem yang sampai sekarang menjadi ikon batik pesisiran khas Lasem yang kaya akan perpaduan unsur-unsur budaya dengan warna yang khas dan motif yang unik.
Warisan Sejarah
Daftar Peninggalan yang masih tersisa, antara lain :
Kitab Sabda Badra Santi yang disimpan di rumah Raden Panji Margono yang masih keturunan dari raja-raja Lasem sekaligus putra Adipati Lasem Tejokusumo V.
Punden Perabuan Eyang Santibadra, Bukit Tapaan, Ngasinan, Warugunung
Pertapaan Gebang, Warugunung
Punden Perabuan Bhre Lasem (Peruntuhan Candi Maladresmi), Gowak
Pertapaan Mandirasari, Gunung Selembu, Rakitan
Pelabuhan Regol, Bonang Binangun
Makam Pangeran Wiranegara, Sriombo
Makam Pangeran Wirabajra, Sriombo
Perabuan Putri Cempo Bi Nang Ti dan Pangeran Badranala, Bonang
Reruntuhan Taman Sitaresmi, Caruban, Gedongmulyo
Reruntuhan Taman Kamalapuri, Bumi Makam Kutha, Sumbergirang
Reruntuhan Candi Pucangan, Tasiksono
Reruntuhan Candi Ratnapangkaja, Semangu, Karangturi
Situs Batu Tapak (Tapak Kaki Hayam Wuruk), Kajar
Situs Lingga Kajar, Kajar
Referensi
Akrom Unjiya. 2008. Lasem: Kota Dampoawang Sejarah yang Terlupakan
Mbah Guru. 1996. Sejarah Kawitane Wong Jawa lan Wong Kanung
Mpu Santibadra. Veda Sabda Badra Santi
Mulyana, Slamet (2006). Tafsir sejarah nagarakretagama (dalam bahasa Indonesia). PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 339 – 340. ISBN 978-979-2552-546. Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Panji Karsono. 1920. Carita (Sejarah) Lasem
Lihat pula
Kahuripan
Daha
Tumapel
Wengker
Pajang
Paguhan
Kabalan
Mataram
Matahun
Wirabhumi
Pandansalas
Keling
Pamotan
Pawanuhan
Pakembangan
Jagaraga
Tanjungpura
Kembangjenar
Singhapura
Kalinggapura
Kertabhumi
Kata Kunci Pencarian:
- Lasem, Rembang
- Kadipaten Lasem
- Orang Tionghoa di Lasem
- Kadipaten Jipang
- Kadipaten Surabaya
- Perang Diponegoro
- Sunan Prawoto
- Perang Kuning
- Penaklukan Surabaya oleh Mataram
- Kesultanan Mataram
- Sultan Agung of Mataram
- Duke
- Duchy of Surabaya
- Mataram Sultanate
- Mataram conquest of Surabaya
- History of rail transport in Indonesia