Konsili Konstanz adalah sebuah
Konsili Ekumenis dari Gereja Katolik Roma yang dihimpunkan oleh Kaisar Sigismund seorang pendukung Paus Yohanes XXIII paus yang baru saja terpilih di Pisa.
Konsili ini diadakan dari 16 November 1414 hingga 22 April 1418 di
Konstanz. Tujuan utamanya adalah mengakhiri Skisma Kepausan yang terjadi karena Kepausan Avignon atau, sebagaimana yang kadang-kadang disebut, "Pembuangan Gereja di Babel."
Konsili Konstanz menandai puncak dari Gerakan Konsiliar untuk memperbarui Gereja. Namun, Gereja Katolik hanya menganggap sah dan ekumenis sesi-sesi dari
Konsili yang diadakan setelah pengukuhan
Konsili oleh Paus sejati, yaitu Gregorius XII.
Sesi-sesi sebelumnya, yang diadakan di bawah kekuasaan Kaisar Sigismund dan Antipaus "Yohanes XXIII" tidak dianggap sah, dan keputusan-keputusannya (termasuk dekret Haec Sancta, tentang Konsiliarisme), dianggap oleh Gereja Katolik tidak sah dan tidak berlaku, karena, menurut doktrin Katolik, sebuah
Konsili Ekumenis hanya sah apabila dihimpunkan atau sekurang-kurangnya diterima oleh paus, dan keputusan-keputusannya hanya dianggap mengikat apabila disetujui atau dikukuhkan oleh Paus di Roma.
Pada saat
Konsili dihimpun, ada tiga orang paus yang kesemuanya menganggap dirinya sah. Beberapa tahun sebelumnya, dalam salah satu pukulan pertama terhadap gerakan Konsiliar, para uskup di
Konsili Pisa menggulingkan kedua orang yang sama-sama mengaku sebagai paus dan memilih paus yang ketiga, dan mengklaim bahwa dalam keadaan seperti itu, dewan para uskup mempunyai otoritas yang lebih besar daripada hanya satu orang uskup, meskipun misalnya dia adalah uskup Roma. Hal ini hanya semakin memperparah skisma.
Sebuah inovasi dalam
Konsili itu ialah bahwa bukannya memilih sebagai individu, para uskup memilih sesuai dengan kelompok nasional, dan dengan eksplisit mengukuhkan tekanan nasional yang telah mendorong terjadinya skisma sejak 1378.
Dekret Haec sancta yang terkenal berlawanan dengan Vatikan I tentang keutamaan paus/infalibilitas yang dirumuskan pada sesi keenam, 6 April 1415. Deklarasinya bahwa
Konsili yang dengan sah dihimpunkan di dalam Roh Kudus, merupakan sebuah
Konsili umum dan mewakili Gereja Katolik yang militan;
Konsili ini memiliki kuasa langsung dari Kristus; dan bahwa setiap orang dalam keadaan atau martabat apapun, bahkan seorang paus, harus tunduk kepadanya dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan iman, penghapusan skisma yang dimaksud dan pembaruan umum dari gereja Allah yang dimaksud di dalam diri kepala dan anggota-anggotanya.
menandai puncak dari gerakan pembaruan dari Konsiliarisme [1] Diarsipkan 2008-01-01 di Wayback Machine.. Namun, dekret ini tidak dianggap sah oleh Gereja Katolik, karena tidak pernah disetujui oleh Paus sejati, Gregorius XII, dan disetujui oleh
Konsili dalam sebuah sesi yang diadakan sebelum dihimpunkan oleh paus. (Sesi-sesi pertama dari
Konsili Konstanz dianggap sebagai perhimpunan yang tidak sah dan gelap oleh para uskup, yang dikumpulkan di bawah wewenang Kaisar Sigismund dan antipaus "Yohanes XXIII". Baru belakangan para uskup yang sama dihimpunkan oleh Paus sejati, Gregorius XII, untuk berkumpul, di tempat yang sama, sebagai sebuah
Konsili Ekumenis, di bawah pimpinan utusan-utusan Paus, yang dikirim oleh Paus Gregorius. Hanya sesi-sesi yang diselenggarakan setelah perhimpunan inilah yang dianggap oleh Gereja Katolik sebagai bagian dari
Konsili Konstanz yang sejati.
Jadi, apa yang digambarkan oleh para sejarahwan sebagai "
Konsili Konstanz" pada kenyataannya adalah dua perhimpunan yang berbeda di mata Gereja Katolik dan hukum kanonnya. Bagian pertama dianggap sebagai rapat gelap, tidak berhak mengeluarkan dekret yang sah apapun. Bagian kedua dianggap sebagai
Konsili Ekumenis yang sejati. Para uskup yang sudah berhimpun di
Konstanz menerima ketika mereka dihimpunkan oleh Gregorius XII karena diketahui bahwa Gregorius XII bersedia mengundurkan diri, untuk memungkinkan diadakannya pemilihan seorang Paus lain, yang dapat diterima oleh seluruh Dunia Kristen.
Dengan dukungan dari Sigismund, Kaisar Romawi Suci, yang bertakhta di depan altar Katedral
Konstanz,
Konsili Konstanz merekomendasikan agar ketiga paus itu mengundurkan diri, dan bahwa seseorang yang lainnya dipilih. Sebagian karena kehadiran kaisar terus-menerus, para penguasa lainnya menuntut agar mereka juga mempunyai hak untuk mengusulkan siapa yang harus menjadi paus. Oleh karena itu, sebagian besar dari waktu
Konsili itu disibukkan dengan upaya-upaya untuk menenangkan para penguasa sekuler daripada benar-benar memperbarui Gereja dan hierarkhinya.
Kemudian Gregorius XII mengirim utusan-utusannya ke
Konstanz, dan mereka diberi kuasa penuh untuk menghimpun, membuka dan dan memimpin
Konsili ekumenis, dan juga diberikan kuasa untuk mengajukan pengunduran dirinya kepada Dewan Kepausan. Hal ini akan membuka jalan bagi berakhirnya skisma Barat.
Para utusan diterima oleh Kaisar Sigismund dan oleh para uskup yang berhimpun, dan Kaisar menyerahkan pimpinan persidangan kepada para utusan paus, yaitu Kardinal Dominici dari Ragusa dan Pangeran Charles dari Malatesa. Pada 4 Juli 1415 bula Gregorius XII yang menunjuk Malatesta dan Kardinal Dominici dari Ragusa sebagai wakil-wakilnya di
Konsili dibacakan secara resmi di hadapan para uskup yang berkumpul. Kardinal kemudian membacakan sebuah dekret dari Gregorius XII yang memanggil
Konsili dan memberikan wewenang kepada tindakan-tindakan berikutnya. Setelah itu para uskup memungut suara untuk menerima pemanggilan tersebut. Pangeran Malatesa segera memberitahukan
Konsili bahwa ia diberikan kuasa oleh suatu komisi dari Paus Gregorius XII untuk melepaskan Takhta Kepausan atas nama Paus. Ia kemudian bertanya kepada
Konsili apakah mereka lebih suka menerima pengunduran diri itu pada saat itu atau pada waktu yang belakangan. Para uskup memungut suara untuk menerima pengunduran diri itu segera. Setelah itu, komisi yang diberikan kuasa oleh Gregorius XII untuk mewakilinya untuk melepaskan jabatan kepausan dibacakan dan Malatesta, yang bertindak atas nama Gregorius XII, mengumumkan pengunduran diri Gregorius XII sebagai paus dan menyerahkan sebuah salinan tertulis dari pengunduran dirinya kepada persidangan.
Bekas Paus Gregorius XII kemudian diangkat menjadi Kardinal Uskup dari Porto oleh
Konsili, dengan pangkat di bawah paus (hal ini menjadikannya orang yang tertinggi kedudukannya di Gereja, karena, setelah pengunduran dirinya, Takhta Petrus menjadi kosong). Para kardinal Gregorius XII diterima sebagai kardinal-kardinal sejati oleh
Konsili, tetapi para anggota
Konsili menunda pengangkatan paus yang baru karena khawatir bahwa paus yang baru itu akan membatasi percakapan-percakapan lebih lanjut dari masalah-masalah yang mendesak di dalam Gereja.
Pada waktu para antipaus digulingkan dan Paus yang baru Martinus V, terpilih, dua tahun telah berlalu sejak pengunduran diri Gregorius XII, dan Gregorius sudah meninggal dunia.
Tujuan kedua dari
Konsili adalah melanjutkan pembaruan-pembaruan yang telah dimulai di
Konsili Pisa. Pembaruan-pembaruan ini umumnya ditujukan untuk melawan John Wyclif yang disebutkan dalam sesi pembukaan, dan dikutuk pada sesi kedelapan, 4 Mei 1415 dan Jan Hus serta pengikut-pengikut mereka. Jan Hus yang dipanggil ke
Konstanz dengan sebuah surat yang menjamin keamanannya, dikutuk oleh
Konsili dan tetap dibakar pada tiang pada 6 Juli 1415.
Konsili juga berusaha mengarahkan pembaruan-pembaruan gerejawi. Namun, begitu dua orang antipaus, Baldassare Cossa (Yohanes XXIII), yang melarikan diri dari
Konstanz pada 20 Maret 1415, dan Peter de Luna (Benediktus XIII) tersingkirkan, pengganti untuk Urbanus VI dibujuk untuk mengundurkan diri, dengan hati-hati untuk melindungi keabsahan suksesi ini, sambil mengesahkan semua tindakannya, seorang paus yang baru pun dipilih. Paus yang baru, Martinus V yang dipilih pada November 1417, segera menegaskan kewibawaannya yang mutlak atas jabatan kepausan dan klaim bahwa
Konsili bias lebih tinggi daripada seorang paus segera disingkirkan ketika kemudian dinyatakan bahwa sebuah dewan para uskup tidak mempunyai kewibawaan yang lebih tinggi daripada paus.
Selama
Konsili dibicarakan juga topik-topik politik, seperti misalnya tuduhan oleh para Ksatria Teutonik bahwa Polandia membela orang-orang kafir. Pawel Wlodkowic rektor Universitas Jagiellonian di Kraków Polandia menyajikan teori bahwa semua bangsa, termasuk bangsa-bangsa kafir, mempunyai hak untuk memerintah diri sendiri dan hidup dalam damai serta memiliki tanah mereka; ini adalah salah satu gagasan yang paling awal tentang hukum internasional.
Konsili juga memerintahkan penyusunan buku tentang bagaimana caranya meninggal, dan karena itu pada 1415 ditulislah Ars moriendi.
Hasilnya ialah bahwa pembaruan digagalkan oleh ketidakpedulian lembaga yang mapan, oleh kepentingan-kepentingan nasional yang berbenturan dan penegasan penuh sekali lagi bahwa lembaga kepausan menempati kedudukan yang tertinggi (supremasi kepausan). Keputusan-keputusan
Konsili baru diumumkan pada 1442, berdasarkan perintah
Konsili Basel; dan hasilnya dicetak pada 1500.
Sumber
Cantor, Norman F. 1993. Civilization of the Middle Ages hlm. 498ff.
(Inggris) Tanner, Norman P., editor, Decrees of the Ecumenical Councils Diarsipkan 2008-01-01 di Wayback Machine.: Council of Constance 1414-18, ringkasan dari sesi-sesinya
Pranala luar
Catholic Encyclopedia: Council of Constance