- Source: Laiwoi
A. Sebelum Proklamasi Kemerdekaan.
Pada masa dahulu kala yang dikenal adalah seluruh Wilayah Kerajaan Konawe yaitu Kabupaten Kendari (Sekarang Kabupaten Konawe) yang sekarang ini. Pemberian nama Konawe ini adalah didasarkan pada diri pribadi Raja Konawe yang pertama yaitu seorang wanita bernama “Wekoila”. Secara etimologis kata “Konawe” berasal dari akar kata “Kona” yang berarti “Lemah Lembut” di tambah dengan “We” yang berarti pula “Tingkah laku, Budi Pekerti dan secara kebetulan pula “Wekoila” seorang wanita yang mempunyai ciri khas tersendiri dengan kecantikannya serta perangainya yang lemah lembut, sehingga dengan demikian Kerajaan yang dipimpinnya dinamakan Kerajaan Konawe dengan Wilayah di Sebelah Timur Daratan Sulawesi Tenggara. (Dulu Kabupaten Kendari sekarang menjadi Kabupaten Konawe). Penduduk yang mendiami Daerah ini disebut Suku Tolaki. Didalam Periode Pemerintahan Kerajaan Konawe merupakan suatu Negara yang berbentuk Kerajaan yang di perintah sejak Mokole (Raja) pertama sampai Beberapa Mokole/Raja. Pusat Kerajaan ialah di unaaha yang sekarang telah menjadi Kecamatan yang merupakan Ibu kota Kabupaten Konawe (Dahulu Kabupaten Kendari) yang jaraknya kurang lebih 60 Km dari Kota Kendari (Ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara) sekarang ini.
Dari beberapa Raja/Mokole – Mokole tersebut maka pada periode Pemerintahan Raja/Mokole “Rebi” yang sangat terkenal dalam menjalankan Pemerintahan Kerajaan Konawe dengan sistem Pemerintahannya yang disebut Siwole Mbato Hu. “Siwole” sama dengan dasar, “Mbato” sama dengan Empat. “Hu” sama dengan Sudut. Ini berarti bahwa dasar dasar Pemerintahan yang bersegi empat. Yang dimaksud dengan “Siwole Mbato Hu” adalah pembagian Wilayah Kerajaan Konawe atas 4 (Empat) Daerah Daerah otonom.
Masing masing Daerah diperintah oleh penguasa yang terdiri dari saudara saudara kandung Mokole Rebi . Adapun pembagian pembagianya aderah berdasarkan “Siwole Mbato Hu” adalah sebagai berikut.
1.Tambo Ilosoano Oleo (pintu pertahanan sebelah timur) dipegang oleh “Sorumba” yang menguasai Daerah Ranomeeto dengan gelar “Sapati Ranomeeto”.
2.Tambo Itepuliano Oleo (pintu pertahanan sebelah barat) di pegang oleh “Buburanda” dengan Wilayah didaerah Latoma. Dengan gelar “Sabandara Latoma”.
3.Barata Ihana (sayap kanan) di pegang oleh “Palewo” yang mengusai Daerah Tongauna dan bergelar “Ponggawa Tongauna”.
4.Barata Imoeri (sayap kiri) dipegang oleh “Mbanahi” dengan Wilayah kekuasaanya di Daerah Asaki dengan gelar “Inowa”.
Sampai pada Wafatnya Raja Lakidende sehingga berakhir pula keberadaannya sebagai Raja/Mokole dan Kerajaan Konawe pun menjadi Daerah - Daerah feodal kecil yang dikuasai Anakia - Anakia (Bangsawan) yang berdaulat dalam Daerahnya sendiri. Sebagai alat politiknya penjajahannya atas bangsa Indonesia, maka di bekas Kerajaan Konawe dihidupkan kembali system feodalisme dengan jalan mendirikan kembali dinasti dinasti baru sebagai alat untuk mengeksploitir rakyat Konawe di bekas Daerah reruntuhan Kerajaan Konawe. Pada tahun 1903 Belanda memperoleh perlawanan kecil dari para Raja Raja yang akhirnya dikuasai. Sampai tahun 1910 bekas Kerajaan Konawe teruama dipusat Kerajaan oleh Pemerintah Hindia Belanda belum juga dapat menguasai seluruhnya oleh karena masih ada perlawanan dari Anakia atau Bangsawan namun secara kecil – kecil.
Pada awal abad ke- 19 Kerajaan Laiwoi muncul dengan diangkatnya sapati Ranomeeto sebagai Mokole, sebelumnya ranomeeto merupakan satu provinsi dari kerajaan konawe yang kepala pemerintahannya adalah sapati. Raja ke-I kerajaan Laiwoi adalah Sorumba (SANGIANIBENDE SAPATI RANOMEETO), adalah saudara dari Raja lakidende (SANGIA NGGINOBURU), Raja Ke-2 (Dua) Melamba, Raja ke-3 (Tiga) Balani (SANGIA NDEBUNGGU), Raja Ke-4 (Empat) Ray, Raja ke-5 (Lima) Tebau ( Okapu, (MOKOLE LAIWOI. (Vosmeer,1839: 77), Raja ke-6 (Enam) adalah seorang perempuan yaitu Ratu bernama Maho yang menikah dengan bangsawan dari Kerajaan Bone adalah anak dari raja Bone Arung Bakung), Raja ke-7 Lamangu dinobatkan pada tgl 13 April 1858 dan Mangkat pada 18 mei 1880, Disinilah era/ masa kedatangan Bangsa Barat menjajah, dengan politik adudombanya. Dan untuk mempertahankan keutuhan kerajaan Laiwui yang merupakan turunan dari Kerajaan Konawe maka raja Lamanggu sepakat membuat kontrak dengan gubernur jendral yang dikenal ‘lang Contract’ ditandatangani pada 17 juli 1858 dan berakhir pada 1860. kemudian “Sao – Sao” seorang Bangsawan keturunan “Tambo Ilosoano Oleo” diangkat menjadi Mokole (Raja) Laiwoi bergelar Van Laiwoi menggantikan Ayahandanya sebagai Raja ke 8 Saosao (SANGIA TAMBO LOSOANO OLEO) dimasa ini kekuatan penjajah begitu kuat sehingga memaksa Saosao kembali membuat contrack yang bertujuan untuk keberlangsungan kehidupan rakyat dan keutuhan kerajaan laiwui sebagai penerus Konawe karena Raja Sao-sao merupakan Raja yang telah memahami ilmu Ketatanegaraan modern sehingga menghindari terjadinya penindasan kepada Rakyat karena belanda mempunyai senjata yang canggih sehingga Raja Saosao dengan pikiran Visionernya melakukan perjanjian tersebut. Contrack dibuat 8 kali dimulai 21 Desember 1885 – 30 agustus 1917 dan Atas usaha “Raja Sao – Sao” untuk mempersatukan Kerajaan Laiwoi Konawe, maka pada tahun 1908 sudah dapat menguasai kembali seluruh Daerah bekas “Tambo Ilosoano Oleo” (Pintu pertahanan di sebelah timur) dan di bagi dalam 6 (enam) District bawahan (Onder District) yaitu:
1.Onder District Kendari
2.Onder District Poasia
3.Onder District Konda
4.Onder District Sampara
5.Onder District Wawonii
6.Onder District Lasolo
Pada tahun 1910 Daerah Daerah lainnya dapat dipersatukan sehingga dengan demikian dari enam District bertambah 3 (Tiga) Onder District lagi yaitu:
1.Onder District Palangga
2.Onder District Andoolo
3.Onder District Lambuya
Kemudian pada tahun 1911 Daerah Daerah disekitar pusat Kerajaan dapat lagi di taklukkan maka dengan demikian seluruh Wilayah bekas Kerajaan Konawe sudah dapat disatukan dan mementuk beberapa Onder District yaitu:
1.Onder District Wawotobi
2.Onder District Pondidaha
3.Onder District Tongauna
4.Onder District Abuki
5.Onder District Latoma
6.Onder District Wiwirano
Dengan demikian dalam tahun 1911 di bawah Mokole “Sao – Sao” telah dapat disatukan sebanyak 15 (Lima Belas) Daerah yang berstatus Onder District dengan nama District Laiwoi. Setelah pulihnya keamanan diseluruh bekas Kerajaan Konawe maka di susunlah Pemerintahan dengan baik berdasarkan peraturan perundang - Undangan yang berlaku yang telah ada.dalam hal ini maka berlakulah Undang – Undang Desentralistic 1903 yaitu pembentukan Badan Pemerintahan Daerah dan sebagai pelaksanaannya maka untuk Kerajaan Laiwoi yang meliputi seluruh bekas Wilayah Kerajaan Konawe diperintah oleh 4 (Empat) Orang yang merupakan Badan Pemerintah Daerah yang disebut Dewan Raja – Raja yaitu:
1.Raja van Laiwoi oleh “Sao – Sao” sebagai ketua Badan Pemerintahan Daerah
2.Kapitan Laiwoi oleh “Kondiso Monggelu” sebagai anggota
3.Sapati Ranomeeto sebagai anggota
4.Ponggawa Laiwoi oleh “Labuku” sebagai anggota
Ke empat orang inilah yang melaksanakan Pemerintahan Daerah sehari hari yang di ketuai oleh Mokole(Raja).
“Raja Sao – Sao” meninggal pada tahun 1928 di susul dengan meninggalnya Ponggawa Laiwoi sehingga untuk jabatan sementara Raja Van Laiwoi dijabat oleh Kapitan Laiwoi di mana saat itu Kapitan Laiwoi bernama “Lasandara”, sedangkan Jabatan Ponggawa Laiwoi sementara di tiadakan berhubung belum ada penggantinya jadi pelaksana Pemerintah Daerah hanya 3 (Tiga) Orang yaitu:
1.Raja Van Laiwoi oleh Pejabat “Lasandara” sebagai anggota
2.Kapitan Laiwoi juga oleh “Lasandara” sebagai anggota
3.Sapati Laiwoi oleh “Mali” sebagai anggota
Pada tahun 1931 barulah putra “Sao – Sao” bernama “Tekaka” diangkat sebagai Raja ke-9 (Sembilan) dengan gelar ( SANGIA OLEO TEPULI TAMBO LOSAANO OLE), pada 1928 Raja Tekaka naik tahta sebagai pejabat dalam masa percobaan tetapi belum menjalankan pemerintahan, karena dia masih muda, dan sementara mengikuti pendidikan di HIS (sekolah belanda ), pada 1934 bertempat dimakam Raja Lakidende dilaksanakan prosesi adat penobatan Raja Van Laiwoi . Disamping dia telah berpendidikan, juga sangat taat menjalankan syariat islam, sehingga dia terkenal sebagai Bangsawan yang ramah,lagi pemurah terhadap rakyatnya sehingga bangsawan lain patuh dan cinta kepadanya. Raja Tekaka mengalami tiga masa pemerintahan peralihan, Yaitu masa penjajahan Belanda, masa kependudukan jepang dan masa kemerdekaan republik Indonesia.
Raja Tekaka dalam menjalankan pemerintahannya di bantu dengan Dua Orang Perangkat Kerajaan yaitu:
1.Kapitan Laiwoi di jabat oleh “Lasandara” sebagai anggota
2.Sapati Laiwoi di jabat oleh “Mali” sebagai anggota
Sejak tahun 1903 sampai dengan 1938 maka status Kerajaan Laiwoi adalah merupakan Pemerintahan langsung oleh seorang “Gazaghebber” Bangsa Belanda dan Raja van Laiwoi sebagai “Pangreh Praja Indonesiche”.
Dengan keluarnya Undang – Undang Otonomi baru yaitu Zelf Bestuur Regeling (Z.B.R.) 1938 dan Indonesiche Gemente Ordonantie yaitu Badan - Badan yang berpemerintahan sendiri atas dasar Peraturan Adat yang terdiri dari Swapraja, Desa, Subak yang susunannya diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda maka Kerajaan Laiwoi mengalami perubahan dari Pemerintahan langsung (Directe Gebieden) menjadi Swapraja.
Kemudian dari ke 15 (Lima Belas) District bawahan (Onder District) di tingkatkan menjadi 7 (Tujuh) District yang masing – masing di Kepalai oleh seorang Kepala District, dan tiap - tiap District di bagi lagi atas District bawahan (Onder District) yang susunannya adalah terdiri dari ke 15 (Lima Belas) District bawahan tadi:
I.DISTRICT KONAWE
District Konawe di Kepalai oleh seorang Kepala District bergelar ”Anakia” (Bangsawan) berkedudukan di Wawotobi dengan 7 (Tujuh) Onder District masing – masing:
1.Onder District Wawotobi oleh Kepala Onder District bergelar “Sulewatang”.
2.Onder District Pondidaha oleh Kepala Onder District bergelar “Pabitara”.
3.Onder District Uepay oleh Kepala Onder District bergelar “Kapita Ana Molepo”.
4.Onder District Lambuya oleh Kepala Onder District bergelar “Inowa”.
5.Onder District Tongauna oleh Kepala Onder District bergelar “Ponggawa”.
6.Onder District Abuki oleh Kepala Onder District bergelar “Bokeo”.
7.Onder District Latoma oleh Kepala Onder District bergelar “Sabandara”.
II.DISTRICT RANOMEETO
District Ranomeeto di Kepalai oleh seorang Kepala District bergelar Anakia Ranomeeto(Bangsawan) berkedudukan di Ranomeeto dengan 5 (Lima) Onder District masing – masing:
1.Onder District Sampara oleh Kepala Onder District bergelar “Kapita”
2.Onder District Konda oleh Kepala Onder District
3.Onder District Kendari oleh Kepala Onder District bergelar “Sapati”
4.Onder District Abeli oleh Kepala Onder District bergelar “Ponggawa”
5.Onder District Kolono oleh Kepala Onder District
III.DISTRICT WAWONII
District Wawonii di Kepalai oleh seorang Kepala District bergelar “Laki”.
IV.DISTRICT PALANGGA
District Palangga di Kepalai oleh seorang Kepala District bergelar “Anakia”.
V.DISTRICT ANDOOLO
District Andoolo di Kepalai oleh seorang Kepala District bergelar “Anakia”.
VI.DISTRICT LASOLO
District Lasolo di Kepalai oleh seorang Kepala District bergelar “Anakia”.
VII.DISTRICT WIWIRANO
District Wiwirano di Kepalai oleh seorang Kepala District dengan gelar “Anakia”, dan Onder District Asera sebagai District bawahannya.
Pada tahun 1940 anggota Badan Swapraja dari tiga orang bertambah satu orang yaitu Ponggawa Laiwoi yang di jabat oleh “Bunggasi”.
Susunan Badan Swaparaja Laiwoi adalah sebagai berikut:
Tahun 1938 sampai dengan 1940:
1.Mokole (Raja) oleh “Tekaka” sebagai Ketua
2.Kapitan Laiwoi oleh “Lasandara” sebagai Anggota.
3.Sapati Laiwoi oleh “Mali” sebagai Anggota.
Kemudian pada tahun 1940 sampai dengan tahun 1942:
1.Mokole (Raja) oleh “Tekaka” sebagai Ketua
2.Kapitan Laiwoi oleh “Lasandara” sebagai Anggota.
3.Sapati Laiwoi oleh “Bunggasi” sebagai Anggota.
Demikianlah susunan Swapraja Laiwoi hingga Jepang mendarat di Kendari pada tanggal 24 januari 1942
Dalam mas pendudukan Jepang, Sistem Pemerintahan yang berlangsung adalah sama halnya dengan Pemerintah Hindia Belanda, hanya perubahan nama. Kedudukan dipegang sebahagian oleh orang - orang Jepang dan sebahagian di serahkan kepada orang – orang Indonesia. sistem Swaparaja dilangsungkan terus seperti pada masa Penjajahan Belanda. Di mana Pejabat Pemerintahan digunakan untuk melaksanakan kepentingan Jepang sebagai mandur – mandur bangsa sendiri. Perubahan nama – nama ini adalah di sesuaikan dengan kondisi Jepang pada waktu itu antara lain:
1.Raja diganti dengan Sutjo
2.Anggota Swapraja diganti dengan Wakil Sutjo
3.Kepala District diganti dengan Guntjo
4.Kepala Onder Distict diganti dengan Fuku Guntjo
Susunan Badan Swapraja Laiwoi pada masa pendudukan Jepang adalah sebagai berikut:
1.“Tekaka” sebagai Sutjo (Ketua Badan Swapraja)
2.“Lasandara” Sebagai Wakil Sutjo (Anggota Badan Swapraja)
3.“Mali” Sebagai Wakil Sutjo (Anggota Badan Swapraja)
4.“Bunggasi” Sebagai Wakil Sutjo (Anggota Badan Swapraja)
Kepala – Kepala District di ke – 7 (Tujuh) District Kepala District diganti namanya dengan Guntjo. Sedangakan ke - 15 (lima belas) Kepala Onder District diganti namanya dengan Fuku Guntjo.
Ketika Jepang mulai merasakan kekalahannya melawan sekutu, maka Jepang segera membentuk Dewan Dewan (Parlemen) yang untuk Laiwoi mempunyai seorang anggota Parlemen (Sukaidjin) dan di tunjuk “Lasandara” sebagai Anggota “Sukaidjin” mewakili Laiwoi .
B.Setelah Proklamasi Kemerdekaan.
Pada masa tahun 1945 Pemerintah Hindia Belanda Kembali ke Indonesia dengan Nama N.I.C.A (Nederlands Indische Civile Administratie).
Setelah Daerah Daerah di luar jawa dan Madura di bebaskanan oleh Tentara Sekutu (Australia) dari pendudukan Jepang, maka Pemerintahan di serahkan kembali kepada Pemerintah Hindia Belanda yang kemudian mengangkat Komisaris – Komisaris Agung untuk Borneo dan Grote Oost diangkat Komisaris Agung dengan berdasarkan Ordonantie Indonesia sttatblad 1946 No. 17 di tugaskan untuk:
1.Mendemokrasikan Swapraja – Swapraja dengan menyimpang dari Zelf Bestuur Regeling (Z.B.R. 1938) yang telah ada.
2.Membentuk Federasi – Federasi dari Daerah Daerah Swapraja menjadi gabungan Swapraja.
3.Membentuk Neo Swapraja (Neo Landschap)
Kemudian Ordonantie menurut Staatblad 1946 No. 27 yang memberikan wewenang kepada Swapraja – Swapraja untuk membentuk Badan Penasihat dan Pembuat Undang – Undang. Pendemokrasian Swapraja ini membuka kemingkinan bagi adanya Otonomi yang lebih luas bagi Swapraja – Swapraja untuk mengatur Wilayahnya sendiri.
Selanjutnya Tugas dari Komisaris Agung ini dilanjutkan oleh Pemerintah Negara Indonesia Timur (N.I.T.) setelah terbentuknya berdasarkan Ordonantie Indonesia Staatblad 1946 No. 143 tanggal 24 Desember 1946 yaitu Regeling Van de Staat Oost Indonesia (Peraturan ntuk membentuk Indonesia Timur). Dalam melanjutkan Ordonantie Indonesia Staatblad 1946 No. 17 dan Staatblad 1946 No. 27 di atas, maka oleh Negara Indonesia Timur kepada Daerah Daerah yang diperintah langsung, diberi status Swapraja baru atau Neo Landschap. Selanjutnya Swapraja - Swapraja dan Neo Swapraja tersebut digerakkan untuk mengadakan penggabungan (Federasi) antara satu sama lain di mana penggabungan itu mempunyai status Provinsi yang Otonom. Didalam Negara Indonesia Timur terdapat 13 (Tiga Belas) Federasi Swapraja antara Lain:
1.Federasi Daerah Bali
2.Federasi Daerah Lombok
3.Federasi Daerah Sumbawa
4.Federasi Daerah Flores
5.Federasi Daerah Sumba
6.Federasi Daerah Timor dan Pulau - Pulau
7.Federasi Daerah Maluku Utara
8.Federasi Daerah Maluku Selatan
9.Federasi Daerah Sangir Talaud
10.Federasi Daerah Minahasa
11.Federasi Daerah Sulawesi Utara
12.Federasi Daerah Sulawesi Tengah
13.Federasi Daerah Sulawesi Selatan
Dari ke 13 (Tiga Belas) Federasi Swapraja Didalam Negara Indonesia Timur tersebut termasuk di dalamnya Sulawesi Selatan yang mempunyai 28 (Dua Puluh Delapan) Swapraja antara lain:
1.Bone
2.Luwu
3.Gowa
4.Wadjo
5.Soppeng
6.Barru
7.Tanete
8.Soppeng Riadja
9.Madjene
10.Balanipa
11.
12.Biruang
13.Tappalang
14.Mamudju
15.Tanah Toradja
16.Enrekang
17.
18
19
20.Alla
21.Bonto Bata
22.Buton
23.Laiwui
24.Sidenreng
25.Rappang
26.Sawitto
27.
28.Suppa
Gabungan Federasi Sulawesi Selatan atau Celebes Selatan ini terbentuk pada tanggal 18 Oktober 1948 dan disyahkan oleh Residen Celebes Selatan pada tanggal 22 November 1948 yang di muat dalam Staatblad 1948 No. 1, 4, dan dari ke 28 (Dua Puluh Delapan) Swapraja ini diantaranya adalah termasuk Swapraja Laiwui.
Secara Jelas Kita lihat diatas bahwa Swapraja Laiwui adalah merupakan Swapraja yang termasuk dalam Gabungan Celebes Selatan yang berasal dari Swapraja Asli.
Dengan adanya gabungan atau Federasi ini maka setiap Swapraja atau Neo Swapraja menyatakan untuk mengusahakan kepentingan mereka bersama, sedang urusan rumah tangga dari tiap - tiap Swapraja atau Neo Swapraja masing – masing di urus oleh Swapraja Swapraja tersebut secara sendiri sendiri.
Untuk mengurus kepentingan bersama maka dibentuklah Majelis Pelaksana yang terdiri dari 15 (Lima Belas) Anggota dan disebut “Hadat Tinggi”. Dalam hadat tinggi ini maka Swapraja Laiwui di Wakili oleh “Lasandara” yaitu salah seorang anggota Dewan Swapraja Laiwui.
Adapun susunan Dewan Swapraja Laiwui (di dalam UU No. 29/1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi diketik Swapraja Laiwui yg dalam etnis tolaki disebut Laiwoi) yang disyahkan pada waktu itu adalah sebagai berikut:
1.“Tekaka” (Mokole Laiwui) sebagai Ketua
2.“Lasandara” (Kapita Laiwui ) sebagai Anggota
3.Sapati “Ronga” sebagai Anggota
4.“Bunggasi” (Ponggawa) sebagai Anggota
5.“Saranani” (Sulemandara) sebagai Anggota
Kelima orang inilah yang merupakan anggota angota Dewan Penasihat / Pembuat Undang – Undang dalam Swapraja Laiwui.
Dengan terbentuknya Republik Indonesia Serikat (R.I.S.) pada tanggal 27 Desember 1949 maka federasi Celebes selatan memperoleh status Provinsi bagian dalam Negara bagian Indonesia Timur. Tetapi Republik Indonesia Serikat hanya terbentuk hanya dalam beberapa bulan, Kemudian di bubarkan dan diproklamirkan Negara kesatuan Indonesia.
Kemudian di dalam tahun 1950 Swapraja menjelma menjadi Dewan Pemerintahan Daerah, di mana Susunan Dewan Pemerintahan Daerah Swapraja Laiwui adalah sebagai berikut:
1.Ketua Oleh “Raja Tekaka".
2.Anggota I oleh “Bunggasi”.
3.Anggota II oleh “Surabaya”.
4.Anggota III oleh “Alijah Polingai”
Sebelum di bubarkannya Negara Indonesia Timur, maka dikeluarkanlah Undang – Undang tentang Pemerintahan Daerah yaitu Undang – Undang No. 44 / 1950
Kemudian Badan Badan Swapraja dalam bentuk Federasi tadi dihapuskan seluruhnya berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi tanggal 30 Agustus 1951, lalu dibentuklah Daerah Daerah Otonom Kabupaten.
Dengan keputusan Gubernur Sulawesi tanggal 20 Oktober 1951 No. 618, maka Afdeling dan Onder Afdeling di seluruh Sulawesi di rubah menjadi Kabupaten dan Kewedanan di mana Kepala Pemerintahanya masing – masing disebut Bupati dan Kepala Pemerintahan Negeri (K.P.N.) dalam hubungan ini Kewedanan Kendari di jabat Oleh “Supu Yusuf” dan berkedudukan di Kendari sebagai Ibu kota Kewedanan.
Agar Supaya Pelaksanaan Pokok – Pokok Pemerintahan Daerah berlaku seragam di seluruh Indonesia, Maka dikeluarkanlah Undang – Undang No. 1. Tahun 1957, Kemudian dikeluarkan pula Undang – Undang No. 29 tahun 1959 tentang Pembentukan DASWATI II (Daerah Swatantra Tingkat Dua), dan Peraturan Pemerintah No. 5/ 1960 tentang Pembubaran Swapraja. Penghapusan District dilakukan dengan Keluarnya SK. Gubernur Sulawesi Selatan Tenggara No. 1100/1961 lalu ditindak lanjuti dengan Pembentukan Kabupaten Sulselra
Sejak saat Itu Kepala Kerajaan / Swapraja di nonaktifkan, dan pelaksanaannya di serahkan kepada Kepala District yang diangkat atas pilihan rakyat.
Pembentukan Provinsi Sulawesi Tenggara kemudian di bentuk berdasarkan Perpu. No. 2/1964 pada tanggal 27 April 1964 lalu kemudian Dengan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 28 Januari 1961 No. UP/7/3/3/-390, maka diangkatlah “Drs. Abdullah Silondae” sebagai Bupati Kepala Daerah Kabupaten Kendari, disusul dengan Pembentukan Dewan Perwakilan rakyat Daerah Gotong Royong, yang selanjutnya pada tanggal 14 Juli 1961 oleh Dewan Perwkilan Daerah Gotong Royong mengangkat anggota anggota Badan Pemerintah Harian, yang bertugas sebagai Pembantu Kepala Daerah dalam menjalankan Pemerintahan Daerah. Anggota Anggota Badan Pemerintah Harian ini adalah:
1.Anggota Badan Pemerintah Harian I oleh “Abunawas”.
2.Anggota Badan Pemerintah Harian II oleh “Andrey Djufri”.
3.Anggota Badan Pemerintah Harian III oleh “Muh. Kasim Gama”.
Dengan terbentuknya Kabupaten Kendari, maka Wilayahnya dibagi atas 7 (Tujuh) Kecamatan berdasarkan Surat Keputusan GubernurKepala Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tenggara tanggal 19 Desember 1961 No. 2067/A/1961. Adapun Kecamatan tersebut ialah:
1.Kecamatan Kendari
2.Kecamatan Wawotobi di mana Camatnya bernama Haeba.
3.Kecamatan Lasolo
4.Kecamatan Tinanggea
5.Kecamatan Ranomeeto
6.Kecamatan Wawonii
7.Kecamatan Sampara
Kemudian pada tahun 1964 diadakan Penambahan Kecamatan dalam Kabupaten Kendari dari 7 (Tujuh) Kecamatan menjadi 12 (Dua Belas) Kecamatan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Sulawesi Tenggara tanggal 7 Juli 1964 No. 7, masing masing:
1.Kecamatan Unaaha
2.Kecamatan Lambuya
3.Kecamatan Lainea
4.Kecamatan Moramo.
Atas desakan dan permintaan masyarakat agar Kecamatan Kendari di realisir menjadi 3(Tiga) Kecamatan, maka Melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong Kabupaten Kendari dengan Surat tertanggal 27 November 1965 No. 8/ KPTS/ 1965 di Usulkan kepada Pemerintah Pusat.
Adapun Ke – 3 (Tiga) Kecamatan tersebut yaitu masing – masing:
1.Kecamatan Soropia
2.Kecamatan Poasia
3.Kecamatan Mandonga
Kata Kunci Pencarian:
- Laiwoi
- Sulawesi Tenggara
- Kerajaan Konawe
- La Ode Pulu
- Kabupaten Kolaka Utara
- Kota Kendari
- Kabupaten Muna
- Sulawesi (provinsi)
- Kendari