Lakilaponto berasal dari Kerajaan Muna (sekarang Pulau Muna), ia adalah putra Raja Muna VI Sugi Manuru dengan pasangannya Wa Tubapala.
Ia menjadi Raja Buton karena mendengar kerajaan Buton sedang diserang oleh La Bolontio (Kapitan dari Banggai, sebuah kabupaten kepulauan di Sulawesi Tengah sekarang).
Kedatangan
Lakilaponto ke Buton karena mendapat informasi bahwa di Kerajaan Buton sedang diganggu oleh gerombolan perompak bernama La Bolontio dan Raja Buton saat itu La Mulae tidak mampu menaklukkannya. La Kilaponto mellihat ini merupakakn peluang untuk menguasai Buton tanpa perang dengan tetangganya itu. Ia cukup mengalahkan La Bolontio. Ia pun datang ke Buton setelah terlebih dahulu menyerhkan pimpinan kerajaan Muna ke adiknya, La Posasu.
Cerita rakyat menyebutkan bahwa La Bolontio hanya memiliki satu mata. Dalam sebuah pertarungan terbuka, La Kilaponto sempat terdesak dan jatuh ke tanah berpasir (diduga pertarungan itu dilakukan di pantai). Dalam situasi itu
Lakilaponto kemudian menendang pasir langsung mengenai mata La Bolontio dan situasi kemudian berbalik, La Kilaponto akhirnya menguasai pertarungan dan berhasil membunuh La Bolontio.
Dengan matinya La Bolontio di tangannya, maka ia dengan mudah mendelegitimasi kepemimpinan Raja Buton La Mulae dan merebut kekuasaan darinya. Maka jadilah La Kilaponto sebagai Raja Buton ke - VI menggantikan La Mulae.
Di bawah kekuasaannya Wilayah Pulau Buton berkembang pesat sehingga ia kemudian berinisiatif mendirikan Kesultanan Buton dan ia dinobatkan sebagai Sultan Buton I dengan gelar Sultan Muhammad Isa Kaimuddin Khalifatl Khamis atau lebih dikenal dengan Sultan Murhum dan mengubah bentuk pemerintahan Buton menjadi Kesultanan setelah ia memeluk agama Islam. Sejak itu Islam berkembang pesat di Buton.
Lakilaponto adalah Raja Muna VII, putra Raja Muna VI Sugi Manuru dengan pasangannya Wa Tubapala, dan merupakan keturunan para sugi. Sebagai anak yang tercerdas dan berwibawa dari seorang raja dengan sistem Monarki Absolutisme, sudah jelas bahwa Lakilapontolah yang menjadi putera mahkota untuk kelak menggantikan Sugi Manuru sebagai Raja Muna.
Sepak terjang
Saat menjadi Raja Muna, laki la ponto dikenal sebagai raja masyhur penuh kharisma, seorang pendekar, sang jenderal, berjiwa pejuang, bahkan terbilang cerdas dibidang ketatanegaraan. Kehebatannya dibidang pemerintahan juga dibuktikan dengan kemampuannya menyatukan beberapa kerajaan di Sulawesi Tenggara, yang sebelumnya saling berseteru. Laki la ponto pun memiliki pertalian yang longgar menurut keturunan maupun perkawinan.
Setiap kerajaan yang ia kunjungi, laki la ponto kerapkali mengalami pergantian nama. Penyebutan namanya tergantung pada pemberian masyarakat setempat, yang didasarkan pada latar belakang kehadirannya.
Laki la ponto mengakhiri masa pemerintahannya karena wafat tahun 1584 setelah memerintah lebih kurang 46 tahun, sebagai raja Buton VI selama 3 tahun dan sebagai Sultan I selama 43 tahun. Setelah ia meninggal dunia, Sara Kesultanan Buton memilih La Tumparasi (Sangi Boleka) sebagai sultan Buton II dan dilantik pada tahun itu juga. Laki La Ponto merupakan salah satu tokoh besar yang berasal dari Sulawesi Tenggara.
sebagai mana kutipan berikut ‘Adapun tatkala Murhum menjadi raja di Negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah sekalian Negeri, karena ia raja La Kilaponto membawahi negeri yang besar yaitu Buton dan Wuna. Maka sekalian negeri pun dialihkan oleh Murhum”.
= Lakilaponto sebagai Raja Muna VII
=
Lakilaponto menjadi raja muna VII setelah menggantikan ayahandanya, Sugi Manuru sebagai raja muna.
Lakilaponto memerintah kerajaan muna selama kurang lebih 3 tahun sebelum digantikan oleh adiknya sendiri, La Posasu.
Seperti telah disebutkan terdahulu, bahwa
Lakilaponto adalah putra sulung Sugi Manuru dan Wa Tubapala. sebagai anak sulung, dari seorang raja dengan sistem Monarchi Absolutisme, sudah jelas bahwa
Lakilaponto-lah yang menjadi putera mahkota untuk kelak menggantikan Sugi Manuru sebagai raja muna.
Lakilaponto pada saat memerintah Kerajaan Muna, menanamkan falsafa atau nilai-nilai dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti yang diajarkan oleh SUGI MANURU yaitu:
Pobini-biniti kuli, (saling tengang rasa)
Poangka-angka tau, (Saling harga-menghargai)
Poma-masigho, (Saling sayang- menyayangi)
Poadha-adhati. (Saling menghormati)
Keempat prinsip dasar diatas wajib dipahami dan dijalankan oleh setiap warga kerajaan muna dalam hal ini termasuk juga Raja dan aparat kerajaan lainnya.
Lakilaponto juga menyebar luaskan konstitusi Negara kerajaan Muna pada kerjaan-kerajaan yang dipimpinnya Yaitu:
Hansuru –hansuru badha Sumano kono hansuru liwu (Biarlah badan binasa asal Negara tetap berdiri).
Hansuru-hansuru Liwu Sumano kono hansuru Ahdati (kalaupun Negara harus bubar adat tetap harus dipertahankan).
Hansuru-hansuru Adhati sumano Tangka Agama (Kalupun adat tidak bisa lagi dipertahankan, agama harus tetap ditegakkan).
Falsafah dasar dan Konstitusi kerajaan Muna yang telah di ajarkan oleh Ayahandanya Raja Muna VI Sugi Manuru kemudian disebar luaskan pada kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh
Lakilaponto berikutnya.
Rujukan
Buku sejarah Buton (arsip)