Laut China
Selatan atau
Laut Tiongkok Selatan adalah
Laut bagian tepi dari Samudra Pasifik, yang membentang dari Selat Karimata dan Selat Malaka, hingga Selat Taiwan dengan luas kurang lebih 3.500.000 km².
Laut ini berpotensi besar strategis karena sepertiga perlintasan
Laut berlalu lalang di sana.
Laut ini juga memiliki kekayaan biota
Laut yang mampu menopang kebutuhan pangan jutaan orang di Asia Tenggara sekaligus cadangan minyak dan gas alam yang besar.
Menurut Limits of Oceans and Seas, 3rd Edition (1953) yang dirilis oleh Organisasi Hidrografi Internasional,
Laut ini terletak:
di sebelah
Selatan Tiongkok;
di sebelah timur Vietnam;
di sebelah barat Filipina;
di sebelah timur Semenanjung Malaya dan Sumatra hingga Selat Singapura di sebelah barat, dan
di sebelah utara Kepulauan Bangka Belitung dan Kalimantan
Akan tetapi, menurut draf tak resmi edisi ke-4 (1986), Organisasi Hidrografi Internasional mengusulkan pembentukan
Laut Natuna sehingga batas
Selatan Laut Tiongkok Selatan dipindahkan ke utara dari sebelah utara Kepulauan Bangka Belitung, ke sebelah utara dan timur
Laut Kepulauan Natuna.
Kepulauan
Laut Tiongkok Selatan terdiri atas sekian ratus pulau kecil.
Laut beserta sebagian besar pulau tak berpenghuni diperebuti oleh berbagai negara. Klaim-klaim kedaulatan ini terbukti dari beragamnya nama yang diberikan untuk pulau-pulau dan
Laut ini.
Nama
South China Sea adalah istilah dominan yang digunakan dalam bahasa Inggris untuk menyebut
Laut ini. Nama dalam rata-rata bahasa Eropa juga mengikuti penamaan dalam bahasa Inggris. Nama ini muncul ketika bangsa Eropa menggunakan
Laut ini sebagai rute pelayaran dari Eropa dan Asia
Selatan ke pos-pos dagang di
Tiongkok. Pada abad ke-16, pelayar Portugal menggunakan sebutan
Laut Tiongkok (Mare da China). Nama
Laut Tiongkok Selatan digunakan untuk membedakannya dari badan air lain di dekatnya, seperti
Laut Tiongkok Timur. Organisasi Hidrografi Internasional menyebut
Laut ini "South China Sea (Nan Hai)".
Yizhoushu, kronik dinasti Zhou Barat (1046–771 BCE), memberi nama Nanfang Hai (Hanzi: 南方海; Pinyin: Nánfāng Hǎi; harfiah: 'Southern Sea') untuk
Laut Tiongkok Selatan dan mengeklaim bahwa orang barbar dari
Laut tersebut memberi upeti kura-kura
Laut kepada para penguasa Zhou. Sastra klasik Classic of Poetry, Zuo Zhuan, dan Guoyu pada periode Musim Semi dan Gugur (771–476 BCE) menggunakan nama Nan Hai (Hanzi: 南海; Pinyin: Nán Hǎi; harfiah: 'South Sea') saat menjelaskan ekspedisi negara Chu ke sana. Nan Hai,
Laut Selatan, adalah satu dari Empat Lautan dalam sastra
Tiongkok. Empat Lautan ini mengacu pada empat arah mata angin. Semasa dinasti Han Timur (23–220 CE), penguasa
Tiongkok menyebut
Laut ini Zhang Hai (Hanzi: 漲海; Pinyin: Zhǎng Hǎi; harfiah: 'distended sea'). Fei Hai (Hanzi: 沸海; Pinyin: Fèi Hǎi; harfiah: 'boil sea') populer pada masa Dinasti
Selatan dan Utara. Nama Mandarin yang digunakan sekarang, Nan Hai (
Laut Selatan), mulai populer pada masa Dinasti Qing.
Di Asia Tenggara,
Laut ini dulu disebut
Laut Champa atau
Laut Cham. Namanya berasal dari kerajaan maritim Champa yang berjaya di sana sebelum abad ke-16. Sebagian besar
Laut ini dikuasai Jepang pada masa Perang Dunia II usai pendudukan militer di Asia Tenggara pada tahun 1941. Jepang menyebut
Laut ini Minami Shina Kai (
Laut Tiongkok Selatan). Nama ini ditulis 南支那海 hingga 2004 ketika Kementerian Luar Negeri Jepang dan departemen lainnya menggunakan tulisan 南シナ海 dan dijadikan standar di Jepang sejak saat itu.
Laut ini diberi nama "
Laut Selatan" (南海/Nánhǎi) dan "
Laut Timur" (Biển Đông) di Vietnam. Di Malaysia, Indonesia, dan Filipina,
Laut ini sudah lama disebut "
Laut Tiongkok Selatan" (Dagat Timog Tsina dalam bahasa Tagalog,
Laut Tiongkok Selatan dalam bahasa Indonesia). Perairan di dalam wilayah Filipina sering disebut "
Laut Luzon" (Dagat Luzon) oleh pemerintah Filipina. Namun demikian, usai eskalasi sengketa Kepulauan Spratly tahun 2011, berbagai lembaga pemerintah Filipina mulai menggunakan nama "
Laut Filipina Barat". Juru bicara PAGASA mengatakan bahwa
Laut di sebelah timur Filipina akan terus disebut
Laut Filipina.
Pada September 2012, Presiden Filipina Benigno Aquino III menandatangani Perintah Administratif No. 29 yang mewajibkan semua badan pemerintah menggunakan nama "
Laut Filipina Barat" untuk menyebut sebagian
Laut Tiongkok Selatan yang masuk zona ekonomi eksklusif Filipina dan memerintahkan National Mapping and Resource Information Authority (NAMRIA) untuk menggunakan nama ini di peta-peta resmi.
Pada Juli 2017, untuk menegaskan kedaulatannya, Indonesia mengganti nama batas utara zona ekonomi eksklusifnya di
Laut Tiongkok Selatan menjadi "
Laut Natuna Utara" yang terletak di sebelah utara Kepulauan Natuna, berbatasan dengan ZEE
Selatan Vietnam dan bagian
Selatan Laut Tiongkok Selatan.
Laut Natuna terletak di
Selatan Pulau Natuna di dalam perairan Indonesia. Dengan ini, Indonesia telah memberi nama untuk dua perairan yang menjadi bagian dari
Laut Tiongkok Selatan, yaitu
Laut Natuna di antara Kepulauan Natuna dengan Kepulauan Lingga dan Kepulauan Tambelan dan
Laut Natuna Utara di antara Kepulauan Natuna dan Tanjung Cà Mau di ujung
Selatan Delta Mekong di Vietnam.
Geografi
Negara-negara dan wilayah yang berbatasan dengan
Laut ini (searah jarum jam dari utara) adalah Republik Rakyat
Tiongkok (termasuk Makau dan Hong Kong), Republik
Tiongkok (Taiwan), Filipina, Malaysia, Brunei, Indonesia, dan Vietnam.
Sungai-sungai besar yang bermuara di
Laut Tiongkok Selatan adalah Sungai Mutiara, Min, Jiulong, Merah, Mekong, Rajang, Pahang, Pampanga, dan Pasig.
Bentang
Dalam "Limits of Oceans and Seas, 3rd edition" (1953) yang dirilis Organisasi Hidrografi Internasional, batas rinci
Laut Tiongkok Selatan sebagai berikut:
Selatan. Batas timur dan
Selatan Selat Singapura dan Selat Malaka; sebuah garis menghubungkan Tanjong Datok, titik tenggara Johore (1°22′N 104°17′E) hingga Horsburgh Reef sampai Pulo Koko, titik timur
Laut Pulau Bintan (1°13.5′N 104°35′E). Pesisir timur
Laut Sumatra] di Tanjong Kedabu (1°06′N 102°58′E) hingga pesisir timur Sumatra di Lucipara Point (3°14′S 106°05′E), lalu ke Tanjong Nanka, titik barat daya Pulau Bangka, melintas pulau ini ke Tanjong Berikat, titik timurnya (2°34′S 106°51′E), sampai Tanjong Djemang (2°36′S 107°37′E) di Belitung, menyusuri pesisir utara pulau ini hingga Tanjong Boeroeng Mandi (2°46′S 108°16′E), lalu merentang ke Tanjong Sambar (3°00′S 110°19′E), titik barat daya Kalimantan.
Timur. Dari Tanjong Sambar hingga pesisir barat Kalimantan ke Tanjong Sampanmangio, titik utara, lalu merentang ke titik barat Pulau Balabac dan Secam Reef hingga titik barat Pulau Bancalan dan Tanjung Buliluyan, titik barat daya Palawan, melintas pulau ini ke arah Cabuli Point, titik utara, kemudian ke titik barat
Laut Pulau Busuanga dan ke Tanjung Calavite di pulau Mindoro, ke titik barat
Laut Pulau Lubang dan ke Point Fuego (14°08'N) di Pulau Luzon, melintas pulau ini ke Tanjung Engano, titik timur
Laut Luzon, merentang ke titik timur Pulau Balintang (20°N) dan ke titik timur Pulau Y'Ami (21°05'N), kemudian ke Garan Bi, titik
Selatan Taiwan (Formosa), melintas pulau ini ke Santyo (25°N), titik timur lautnya.
Utara. Dari Fuki Kaku, titik utara Formosa ke Kiushan Tao (Pulau Turnabout) ke titik
Selatan Haitan Tao (25°25'N), kemudian ke barat di garis paralel 25°24' di sebelah utara pesisir Fukien.
Brat. Daratan utama, batas
Selatan Teluk Thailand dan pesisir timur Semenanjung Malaya.
Akan tetapi, dalam edisi revisi "Limits of Oceans and Seas, 4rd edition" (1986), Organisasi Hidrografi Internasional mengakui pembentukan
Laut Natuna. Karena itu, batas
Selatan Laut Tiongkok Selatan dipindahkan dari Kepulauan Bangka Belitung ke Kepulauan Natuna.
Geologi
Laut ini terletak di atas landas kontinen yang tenggelam. Selama zaman es terakhir, permukaan
Laut global lebih rendah beberapa ratus meter dan Kalimantan masih menjadi bagian dari daratan Asia.
Laut Tiongkok Selatan terbuka sekitar 45 juta tahun yang lalu ketika "Dangerous Ground" terlepas dari
Tiongkok Selatan. Perluasan dasar
Laut terjadi sekitar 30 juta tahun yang lalu. Proses yang meluar ke barat daya ini membentuk cekungan berbentuk V yang bertahan sampai sekarang. Perluasan berakhir sekitar 17 juta tahun yang lalu. Peran ekstrusi tektonik dalam pembentukan cekungan ini masih dipelajari. Paul Tapponnier dan rekan-rekannya berpendapat bahwa ketika India bergabung dengan Asia, anak benua tersebut mendorong Indocina ke tenggara. Gesekan relatif antara Indocina dan
Tiongkok menyebabkan
Laut Tiongkok Selatan terbentuk. Pandangan ini diragukan oleh beberapa geolog yang tidak menganggap Indocina berpindah jauh dari Asia daratan. Kajian geofisika
Laut di Teluk Tonkin oleh Peter Clift menunjukkan bahwa Patahan Sungai Merah dulunya aktif dan menyebabkan formasi cekungan sekitar 37 tahun yang lalu di barat
Laut Laut Tiongkok Selatan, sesuai dengan ekstrusi yang ikut mendorong terbentuknya
Laut ini. Sejak terbentuk,
Laut Tiongkok Selatan telah menyimpan sedimen yang dikirim dari Sungai Mekong, Sungai Merah dan Sungai Mutiara. Beberapa delta di daerah ini kaya akan cadangan minyak dan gas.
Pulau dan gunung Laut
Laut Tiongkok Selatan memiliki lebih dari 250 pulau, atol, kay, gosong pasir, dan terumbu. Sebagian besar di antaranya tidak berpenghuni. Banyak di antaranya tenggelam saat
Laut pasang. Beberapa di antaranya tenggelam permanen. Fitur-fitur geografis ini dikelompokkan ke dalam tiga kepulauan (diurutkan menurut luas), Macclesfield Bank dan Scarborough Shoal:
Kepulauan Spratly atau Nansha
Kepulauan Paracel atau Xisha
Kepulauan Pratas
Macclesfield Bank
Gosong Scarborough
Kepulauan Spratly tersebar di wilayah seluas 810x900 km dan terdiri atas kurang lebih 175 bentuk pulau yang dapat diidentifikasi. Pulau terbesar dalam gugus Spratly adalah Pulau Taiping (Itu Aba) dengan panjang 1,3 km dan ketinggian 3,8 meter.
Fitur geografis terbesar di Kepulauan Spratly adalah gunung
Laut Reed Tablemount selebar 100 km, juga dikenal dengan nama Reed Bank, di timur
Laut Spratly dan terpisah dari Pulau Palawan oleh Palung Palawan. Reed Tablemount saat ini tenggelam dengan kedalaman 20 m. Dulunya gunung
Laut ini merupakan pulau hingga 7,000 tahun yang lalu akibat kenaikan permukaan
Laut pascazaman es terakhir. Dengan luas 8.866 km², gunung
Laut ini merupakan struktur atol tenggelam terbesar di dunia.
Sumber daya alam
Laut Tiongkok Selatan adalah badan air yang sangat penting secara geopolitik.
Laut ini merupakan jalur air tersibuk kedua di dunia. Menurut tonase kapal kargo tahunan dunia, lebih dari 50% kapal kargo melintasi Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok. Lebih dari 1,6 juta m³ (10 juta barel) minyak mentah per hari melewati Selat Malaka. Meski sering ada laporan pembajakan
Laut, jumlah insidennya lebih sedikit dibandingkan ketika pertengahan abad ke-20.
Kawasan ini memiliki cadangan minyak bumi terbukti sebesar 1,2 km³ (7,7 miliar barel) dengan perkiraan total 4,5 km³ (28 miliar barel). Cadangan gas alamnya diperkirakan sebesar 7.500 km³ (266 triliun kaki kubik). Laporan U.S. Energy Information Administration tahun 2013 menaikkan perkiraan total cadangan minyak di sana menjadi 11 miliar barel. Pada tahun 2014,
Tiongkok memulai pencarian minyak di perairan yang dipersengketakan dengan Vietnam.
Menurut kajian Departemen Lingkungan dan Sumber Daya Alam Filipina, badan air ini memiliki sepertiga keragaman hayati
Laut dunia. Karena itu,
Laut Tiongkok Selatan merupakan daerah yang sangat penting bagi ekosistem. Akan tetapi, populasi ikan di daerah ini semakin berkurang dan negara-negara yang berbatasan dengan
Laut ini menerapkan larangan penangkapan ikan untuk mempertegas klaim kedaulatannya.
Perairan Indonesia sering disusupi kapal-kapal nelayan dari Vietnam dan Filipina. Sebagai hukuman, Indonesia menghancurkan kapal-kapal yang tertangkap.
Tiongkok mengumumkan terobosan baru dalam penambangan klatrat metana pada Mei 2017 ketika mereka menambang cadangan metana dari hidrat di
Laut Tiongkok Selatan.
Klaim wilayah
Beberapa negara memilki klaim wilayah yang saling bertentangan di
Laut Tiongkok Selatan. Sengketa ini dianggap sebagai potensi konflik paling berbahaya di Asia.
Baik Republik Rakyat
Tiongkok (RRC) dan Republik
Tiongkok (ROC, biasa disebut Taiwan) mengeklaim hampir seluruh
Laut ini dan menggambar perbatasan sembilan garis putus-putus.
Klaim
Tiongkok bertindihan dengan hampir semua klaim negara di kawasan ini. Klaim-klaim tersebut meliputi:
Indonesia,
Tiongkok, dan Taiwan atas perairan di timur
Laut Kepulauan Natuna
Filipina,
Tiongkok, dan Taiwan atas Scarborough Shoal.
Vietnam,
Tiongkok, dan Taiwan atas perairan di barat Kepulauan Spratly. Beberapa atau semua pulau diperebutkan oleh Vietnam,
Tiongkok, Taiwan, Brunei, Malaysia, dan Filipina.
Kepulauan Paracel diperebutkan oleh RRC/ROC dan Vietnam.
Malaysia, Kamboja, Thailand, dan Vietnam atas perairan di Teluk Thailand.
Singapura dan Malaysia atas perairan sekitar Selat Johor dan Selat Singapura.
Tiongkok dan Vietnam dengan sengit memperebutkan klaim mereka.
Tiongkok (beberapa masa pemerintahan) dan Vietnam
Selatan masing-masing menguasai sebagian Kepulauan Paracel hingga 1974. konflik singkat tahun 1974 menewaskan 18 tentara
Tiongkok dan 53 tentara Vietnam. Sejak itu,
Tiongkok menguasai seluruh Kepulauan Paracel. Kepulauan Spratly pernah menjadi tempat terjadinya pertempuran
Laut yang menewaskan 70 tentara Vietnam di sebelah
Selatan Chigua Reef pada Maret 1998. Berbagai negara sering melaporkan terjadinya perselisihan antara kapal militer.
ASEAN pada umumnya dan Malaysia secara spesifik ingin agar sengketa wilayah di
Laut Tiongkok Selatan tidak bereskalasi menjadi konflik bersenjata. Karena itu, Joint Development Authorities dibentuk di wilayah klaim tumpang tindih untuk mengembangkan daerah tersebut dan membagi hasilnya dengan adil tanpa menyelesaikan isu kedaulatan atas wilayah tersebut. Metode ini pernah diterapkan di Teluk Thailand. Umumnya,
Tiongkok ingin menyelesaikan sengketa secara bilateral, sedangkan sejumlah negara ASEAN memilih diskusi multilateral, ASEAN yakin bahwa mereka dirugikan dalam negosiasi bilateral dengan
Tiongkok yang lebih besar. Karena banyak negara mengeklaim wilayah yang sama, ASEAN merasa diskusi multilateral mampu menyelesaikan klaim-klaim yang saling bertindihan.
Klaim yang bertindihan atas Pedra Branca atau Pulau Batu Putih yang mencakup Middle Rocks oleh Singapura dan Malaysia diselesaikan oleh Mahkamah Internasional pada tahun 2008. Dalam putusannya, Pedra Branca/Pulau Batu Puteh diserahkan kepada Singapura dan Middle Rocks ke Malaysia.
Pada Juli 2010, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton, meminta Republik Rakyat
Tiongkok menyelesaikan sengketa wilayah ini.
Tiongkok merespons dengan meminta AS tidak ikut campur. Tanggapan ini muncul ketika kedua negara melakukan latihan militer di
Laut yang sama-sama meningkatkan ketegangan di kawasan. Departemen Pertahanan Amerika Serikat merilis pernyataan pada tanggal 18 Agustus yang menolak penggunaan kekerasan dalam penyelesaian konflik dan menuduh
Tiongkok menerapkan perilaku asertif. Tanggal 22 Juli 2011, salah satu kapal amfibi India, INS Airavat yang sedang dalam kunjungan persahabatan ke Vietnam, kabarnya dikontak melalui saluran radio terbuka oleh sebuah kapal yang mengaku Angkatan
Laut Tiongkok 45 mil
Laut dari pesisir Vietnam. Kapal tersebut menyatakan bahwa kapal India memasuki perairan
Tiongkok. Juru bicara Angkatan
Laut India mengklarifikasi bahwa karena tidak ada kapal atau pesawat yang terlihat dari INS Airavat, kapal ini melanjutkan pelayarannya sesuai jadwal. Angkatan
Laut India juga menyatakan bahwa, "tidak ada konfrontasi yang melibatkan INS Airavat. India mendukung kebebasan navigasi di perairan internasional, termasuk
Laut Tiongkok Selatan, dan hak berlayar menurut prinsip-prinsip hukum internasional yang disepakati. Prinsip-prinsip ini harus dipatuhi oleh semua pihak."
Pada bulan September 2011, tidak lama setelah
Tiongkok dan Vietnam menandatangani perjanjian yang berusaha meredam sengketa di Laur
Tiongkok Selatan, perusahaan eksplorasi milik negara, Oil and Natural Gas Corporation (ONGC), mengatakan bahwa lengan investasi luar negeri ONGC Videsh Limited telah menandatangani kesepatakan tiga tahun dengan PetroVietnam untuk mengembangkan kerja sama jangka panjang di sektor minyak dan menetima tawaran eksplorasi Vietnam di beberapa blok di
Laut Tiongkok Selatan. Menanggapi hal tersebut, juru bicara Kementerian Luar Negeri
Tiongkok, Jiang Yu, mengeluarkan nota protes. Juru bicara Kementerian Luar Negeri India merespons, "
Tiongkok punya alasannya sendiri, tetapi kami berpihak pada pernyataan pemerintah Vietnam dan telah meneruskannya ke pemerintah
Tiongkok.” Kesepakatan India-Vietnam ini juga ditentang oleh Global Times, surat kabar pemerintah.
Pada tahun 1999, Taiwan mengeklaim semua pulau di
Laut Tiongkok Selatan di bawah pemerintahan Lee Teng-hui. Lapisan bawah tanah, dasar
Laut, dan perairan Paracel dan Spratly diklaim oleh Taiwan.
Tahun 2012 dan 2013, Vietnam dan Taiwan berselisih karena Taiwan melaukan latihan militer anti-Vietnam.
Bulan Mei 2014,
Tiongkok mendirikan anjungan minyak di dekat Kepulauan Paracel dan memicu beberapa insiden antara kapal Vietnam dan
Tiongkok.
Tahun 2017, sejumlah analis memperkirakan Amerika Serikat pada masa pemerintahan Donald Trump akan mengambil langkah yang lebih agresif terhadap
Tiongkok di
Laut Tiongkok Selatan.
= Putusan 2016
=
Pada Januari 2013, Filipina secara resmi memulai proses arbitrase melawan klaim
Tiongkok atas wilayah di dalam "garis sembilan titik", mencakup Kepulauan Spratly, yang dinilai tidak sah menurut Konvensi Hukum
Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS). Pada tanggal 12 Juli 2016, pengadilan arbitrase mendukung Filipina dengan alasan tidak ada bukti bahwa
Tiongkok sudah lama menguasai perairan atau sumber daya alam di sana secara eksklusif. Karena itu, "tidak ada dasar hukum bagi
Tiongkok untuk mengeklaim hak historis" atas garis sembilan titik. Pengadilan juga mengkritik proyek reklamasi lahan dan pembangunan pulau oleh
Tiongkok di Kepulauan Spratly karena menyebabkan "kerusakan parah terhadap lingkungan terumbu karang". Pengadialn juga menggolongkan Pulau Taiping dan bentuk-bentuk geografis lain di Kepulauan Spratly sebagai "bebatuan" menurut UNCLOS sehingga tidak pantas masuk zona ekonomi eksklusif sejauh 200 mil
Laut.
Tiongkok menolak putusan tersebut karena "berniatan buruke". Taiwan, yang saat ini menguasai Pulau Taiping, pulau terbesar di Kepulauan Spratly, juga menolak putusan ini.
Lihat pula
Laut Tiongkok Timur
Referensi
Bacaan lanjutan
Beckman, Robert et al. (eds.) (2013). Beyond Territorial Disputes In The South China Sea: Legal Frameworks for the Joint Development of Hydrocarbon Resources. Edward Elgar. ISBN 978 1 78195 593 2. Pemeliharaan CS1: Teks tambahan: authors list (link)
Francois-Xavier Bonnet,Geopolitics of Scarborough Shoal Diarsipkan 2015-04-27 di Wayback Machine., Irasec'Discussion Paper 14, November 2012
C.Michael Hogan (2011) South China Sea Topic ed. P.Saundry. Ed.-in-chief C.J.Cleveland. Encyclopedia of Earth. National Council for Science and the Environment. Washington DC
Clive Schofield et al., From Disputed Waters to Seas of Opportunity: Overcoming Barriers to Maritime Cooperation in East and Southeast Asia (July 2011)
UNEP (2007). Review of the Legal Aspects of Environmental Management in the South China Sea and Gulf of Thailand. UNEP/GEF/SCS Technical Publication No. 9.
Wang, Gungwu (2003). The Nanhai Trade: Early Chinese Trade in the South China Sea. Marshall Cavendish International. ISBN 9789812102416.
Keyan Zou (2005). Law of the sea in East Asia: issues and prospects. London/New York: Rutledge Curzon. ISBN 0-415-35074-3
United States. Congress. (2014). Maritime Sovereignty in the East and South China Seas: Joint Hearing before the Subcommittee on Seapower and Projection Forces of the Committee on Armed Services Meeting Jointly with the Subcommittee on Asia and the Pacific of the Committee on Foreign Affairs (Serial No. 113-137), House of Representatives, One Hundred Thirteenth Congress, Second Session, Hearing held January 14, 2014
Pranala luar
ASEAN and the South China Sea: Deepening Divisions Q&A with Ian J. Storey (July 2012)
Rising Tensions in the South China Sea, June 2011 Q&A with Ian J. Storey
News collections on The South China Sea on China Digital Times
The South China Sea on Google Earth - featured on Google Earth's Official Blog
South China Sea Virtual Library - online resource for students, scholars and policy-makers interested in South China Sea regional development, environment, and security issues.
Energy Information Administration - The South China Sea
Tropical Research and Conservation Centre - The South China Sea Diarsipkan 2008-05-22 di Wayback Machine.
Weekly Piracy Report
Reversing Environmental Degradation Trends in the South China Sea and Gulf of Thailand Diarsipkan 2021-02-23 di Wayback Machine.
UNEP/GEF South China Sea Knowledge Documents