Literalisme biblis atau biblisisme adalah istilah yang dipakai berbagai penulis dengan beragam makna untuk menyifatkan tafsir Alkitab. Istilah ini dapat berarti "berpatokan kepada huruf yang ada atau kepada makna harfiah", sementara "harfiah" berarti "menurut huruf, kata demi kata, berdasarkan arti leksikal", bukan arti kiasan atau arti metaforis.
Istilah ini juga mengacu kepada metode gramatis-historis, yakni salah satu teknik hermeneutis yang berusaha menyingkap makna suatu teks dengan tidak semata-mata mempertimbangkan kata-kata gramatisnya, tetapi mempertimbangkan pula aspek-aspek sintaksisnya, latar belakang kebudayaan dan kesejarahannya, serta ragam sastranya. Metode historis-gramatis menitikberatkan aspek referensial dari kata-kata di dalam suatu teks tanpa menafikan relevansi aspek-aspek kesastraan, ragam sastra, maupun majas-majas di dalam teks itu (misalnya majas perumpamaan, majas alegori, majas simile, dan majas metafora). Metode ini tidak selamanya melahirkan kebulatan mufakat atas satu tafsir tunggal dari sebuah ayat. Pendekatan hermeneutis terhadap Alkitab ala Kristen fundamentalis dan injili ini dipakai secara luas di kalangan umat Kristen fundamentalis, kontras dengan metode kritis-historis yang dipakai di kalangan Yahudi arus utama dan Kristen Protestan arus utama. Pihak-pihak yang mengaitkan
Literalisme biblis dengan metode gramatis-historis memakai istilah "leterisme" atau "hurufiyah" untuk menyifatkan tafsir Alkitab yang dilakukan secara "harfiah".
Latar belakang
Kalangan fundamentalis dan injili kadang-kadang menyebut diri "literalis" atau "literalis
biblis". Para sosiolog juga memakai istilah yang sama untuk menyebut keyakinan-keyakinan Kristen konservatif yang bukan hanya mencakup
Literalisme melainkan juga mencakup keyakinan akan kenirsalahan Alkitab. Istilah "
Literalisme biblis" kerap dipakai sebagai istilah peyoratif untuk menyifatkan atau mencemooh pendekatan-pendekatan tafsir Kristen fundamentalis dan Kristen injili.
Menurut hasil jajak pendapat yang dilakukan lembaga Gallup pada tahun 2011, "tiga dari sepuluh warga Amerika Serikat menafsirkan Alkitab secara harfiah, katanya karena Alkitab sungguh-sungguh adalah firman Allah. Hasil tersebut sama dengan hasil jajak pendapat Gallup selama dua dasawarsa terakhir, tetapi lebih rendah daripada rasio dasawarsa 1970-an dan 1980-an. 49% dari pluralitas warga Amerika Serikat mengatakan bahwa Alkitab adalah firman yang diilhamkan Allah tetapi tidak boleh dipahami secara harfiah. Pandangan tersebut secara konsisten merupakan pandangan terumum sepanjang hampir 40 tahun pertanyaan ini diajukan Gallup. 17% lagi menganggap Alkitab sebagai pustaka kuno berisi kumpulan cerita yang dicatat manusia."
Sejarah
Penghargaan yang tinggi terhadap pustaka-pustaka keagamaan di dalam tradisi-tradisi Yahudi-Kristen tampaknya berkaitan dengan proses kanonisasi Alkitab Ibrani yang berlangsung beberapa abad lamanya, kira-kira sejak tahun 200 SM sampai tahun 200 M. Dalam tradisi Yahudi, perkataan-perkataan tersurat yang diluhurkan tersebut adalah jalan tembus menuju alam pikiran Allah, dan mazhab-mazhab Yahudi Rabani terkemudian mendorong tumbuhnya kesarjanaan penunjang untuk mendampingi agama yang berkesastraan itu. Demikian pula kanonisasi Perjanjian Baru oleh Gereja Purba menjadi salah satu aspek penting di dalam pembentukan identitas keagamaan yang mandiri bagi Kekristenan. Para petinggi Gereja menggunakan penerimaan atau penolakan terhadap pustaka-pustaka keagamaan tertentu sebagai salah satu indikator utama identitas kelompok. Kebijakan semacam ini juga memainkan peranan di dalam urusan penentuan ekskomunikasi Kristen dan herem Yahudi.
Karena sudah terbiasa membaca dan menafsirkan susastra Helenistis, Bapa Gereja Origenes (184-253) mengajarkan bahwa beberapa bagian Alkitab wajib ditafsirkan secara tidak-harfiah. Berkenaan dengan riwayat penciptaan di dalam Kitab Kejadian, Origenes mengemukakan di dalam risalahnya bahwa "siapakah yang sedemikian bodohnya percaya bahwa Allah ... membina suatu firdaus di Eden, di sebelah timur, lalu menumbuhkan di dalamnya sebatang pohon hayat yang kasat mata lagi dapat diraba ... [dan] barang siapa yang mencicipi buah pohon itu dengan gigi jasmaninya niscaya beroleh kehidupan kekal?" Origenes juga yakin bahwa hermeneutika semacam ini harus pula diterapkan atas riwayat-riwayat di dalam Injil.
Bapa Gereja Agustinus dari Hipo (354–430) menulis tentang pentingnya penggunaan nalar dalam menafsirkan kitab suci Yahudi dan Kristen, dan dalam menafsirkan banyak bagian Kitab Kejadian karena merupakan metafora yang dibabarkan secara panjang lebar. Meskipun demikian, Agustinus secara tersirat menerima pula
Literalisme tentang penciptaan Adam dan Hawa, dan secara terbuka menerima
Literalisme tentang keperawanan Maria, ibu Yesus.
Pada zaman Reformasi Protestan, Martin Luther (1483–1546) memisahkan kitab-kitab apokrip dari kitab-kitab Perjanjian Lama selebihnya di dalam Alkitabnya. Tindakan ini mencerminkan keragu-raguan yang berabad-abad lamanya bercokol di dalam benak para sarjana Alkitab. Pengakuan Iman Westminster tahun 1646 merendahkan derajat kitab-kitab apokrip sampai ke taraf menyangkali kanonisitasnya. Golongan literalis dan golongan pengusung gagasan kenirsalahan Alkitab di kalangan Protestan Amerika sudah mengadopsi Alkitab Protestan yang lebih sedikit jumlah kitabnya itu sebagai kitab suci yang bukan sekadar diilhamkan Allah, tetapi sungguh-sungguh adalah Firman Allah yang mustahil mengandung kekeliruan maupun pertentangan.
Literalisme biblis pertama kali dipermasalahkan pada abad ke-18, atau setidaknya sudah lumayan menggelitik sampai-sampai Diderot merasa perlu menyinggungnya di dalam Encyclopédie yang ia tulis. Karen Armstrong menganggap "keranjingan akan kebenaran harfiah" sebagai "salah satu produk revolusi ilmiah".
Kegamblangan teks
Mayoritas umat Kristen injili dan dan fundamentalis menganggap teks Alkitab itu gamblang, serta percaya bahwa rata-rata orang dapat memahami makna dasar dan ajaran-ajaran Alkitab. Golongan umat Kristen tersebut kerap mengacu kepada ajaran-ajaran Alkitab alih-alih kepada proses penafsiran itu sendiri. Doktrin kegamblangan teks Alkitab bukan berarti prinsip-prinsip penafsiran sudah tidak diperlukan lagi, dan bukan pula berarti tidak ada kesenjangan antara lingkungan budaya tempat Alkitab ditulis dengan lingkungan budaya seorang pembaca pada zaman modern. Sebaliknya prinsip-prinsip eksegesis dan penafsiran diberdayakan sebagai bagian dari proses meniadakan kesenjangan budaya tersebut. Doktrin ini memang menyangkal bahwa Alkitab adalah sandi yang harus diuraikan, dan bahwasanya usaha memahami Alkitab memerlukan analisis akademis rumit yang merupakan perkara lumrah di dalam metode tafsir kritis-historis.
Para literalis
biblis percaya bahwa Alkitab harus ditafsirkan sebagai pernyataan-pernyataan harfiah penulisnya, kecuali nas tertentu yang jelas diniatkan penulisnya menjadi alegori, puisi, atau ragam sastra lainnya. Menurut para kritikus, maksud alegoris dapat saja ambigu. Umat Kristen fundamentalis biasanya memperlakukan ayat-ayat seperti riwayat penciptaan di dalam Kitab Kejadian, riwayat riwayat air bah dan bahtera Nuh, serta umur bapa-bapa leluhur yang kelewat panjang pada silsilah-silsilah di dalam Kitab Kejadian sebagai fakta sejarah biasa, berdasarkan makna harfiahnya, demikian pula cerita-cerita sejarah Israel Purba, kisah-kisah campur tangan adikodrati Allah di dalam sejarah umat manusia, dan mukjizat-mukjizat Yesus.
Literalisme tidak menyangkal bahwa Alkitab mengandung perumpamaan-perumpamaan, metafora-metafora, dan alegori, tetapi lebih mengutamakan tafsir-tafsir kontekstual yang didasarkan atas niat penulis yang jelas tampak.
Di dalam Pernyataan Chicago tentang Kenirsalahan Alkitab, sarjana-sarjana Kristen konservatif mengaminkan penegasan berikut ini:
KAMI MEMBENARKAN keharusan menafsirkan Alkitab menurut makna harfiahnya atau makna yang sewajarnya. Makna harfiah adalah makna historis-gramatis, yakni pengertian yang diungkap penulis. Tafsir menurut makna harfiah akan mempertimbangkan semua kiasan dan bentuk sastra yang terdapat pada teks bersangkutan.
KAMI MEMUNGKIRI keabsahan segala bentuk pendekatan terhadap Kitab Suci yang menisbatkan kepadanya pengertian yang tidak didukung makna harfiah.
Kritik dari para sarjana metodologi kritis-historis
Steve Falkenberg, professor psikologi agama di Universitas Kentucky Timur, mengemukakan pandangannya sebagai berikut:
Tidak pernah saya dapati ada orang yang benar-benar percaya bahwa Alkitab itu benar secara harfiah. Saya kenal satu dua orang yang mengaku percaya bahwa Alkitab itu benar secara harfiah, tetapi tidak ada orang yang benar-benar literalis. Jika diartikan secara harfiah, Alkitab berkata bumi itu datar, ditopang tiang-tiang, dan bergeming (1 Tawarikh 16:30, Mazmur 93:1, Mazmur 96:10, 1 Samuel 2:8, Ayub 9:6). Alkitab berkata bahwa monster-monster laut raksasa ditentukan mengawal batas-batas samudra (Ayub 41, Mazmur 104:26).
Conrad Hyers, profesor perbandingan agama di Sekolah Tinggi Gustavus Adolphus, St. Peter, Minnesota, mengkritik
Literalisme biblis sebagai suatu mentalitas yang:
tidak hanya mengejawantah di gereja-gereja konservatif, kantong-kantong sekolah swasta, acara-acara televisi injili sayap kanan, dan bahan-bahan bacaan yang lumayan banyak di toko buku Kristen. Orang kerap mendapati pemahaman Alkitab dan iman ala literalis dianut orang-orang yang tidak memiliki kecenderungan religius, atau yang terang-terangan memiliki sentimen antireligius. Bahkan di kalangan terpelajar sekalipun peluang munculnya teologi-teologi penciptaan yang lebih canggih gampang sekali dikaburkan dengan pembakaran orang-orangan jerami
Literalisme biblis.
Robert Cargill menjawab pertanyaan-pertanyaan para pengamat dalam sebuah serial History Channel dengan menjelaskan mengapa dunia kesarjanaan akademik menolak segala macam bentuk
Literalisme biblis:
Terus terang saja, alasan dari mengapa anda tidak melihat banyak sarjana tepercaya menganjurkan paham 'kenirsalahan' Alkitab adalah karena, dengan segala hormat, paham tersebut bukanlah suatu klaim yang dapat dipertahankan. Alkitab penuh dengan pertentangan, dan ya, kekeliruan. Banyak di antaranya adalah ketidaksesuaian angka-angka seputar berbagai hal di dalam Kitab Samuel dan Kitab Raja-Raja dengan pengulangannya di dalam Kitab Tawarikh. Semua sarjana Alkitab yang tepercaya mengakui bahwa ada masalah-masalah terkait teks Alkitab karena Alkitab sudah dipindahtangankan dari generasi ke generasi selama berabad-abad. ... Yang perlu dipersoalkan bukanlah ada tidaknya ketidaksesuaian dan, ya, kekeliruan-kekeliruan di dalam Alkitab, melainkan dapat tidaknya kekeliruan-kekeliruan tersebut secara asasi menggerus keandalan teks Alkitab. Bahkan sarjana-sarjana Alkitab yang paling konservatif, percaya, dan beriman mengakui adanya masalah-masalah terkait teks Alkitab. Inilah sebabnya tidak kita dapati ada sarjana yang setuju dengan paham 'kenirsalahan Alkitab' (setahu saya) di dalam acara siaran tersebut.
Di dalam bukunya yang terbit pada tahun 2012, The Bible Made Impossible: Why Biblicism Is Not a Truly Evangelical Reading of Scripture, Christian Smith mengemukakan bahwa:
Permasalahan yang sesungguhnya adalah teori biblisis tertentu mengenai Alkitab. Teori ini bukan hanya membuat muda-mudi beriman rentan dibuat menginsyafi kenaifan penerimaan mereka terhadap teori tersebut, melainkan sering kali pula berkonsekuensi tambahan, yakni mempertaruhkan keteguhan iman mereka. Biblisisme kerap mengarahkan muda-mudi yang cerdas dan penuh kesungguhan hati ke dalam suatu situasi sulit yang untuk alasan-alasan nyata mustahil diatasi karena banyak orang yang sebenarnya menggumuli masalah-masalahnya. Jika beberapa di antara muda-mudi tersebut akhirnya berhenti menganut biblisisme dan tidak lagi mempedulikan semua arahan yang diterimanya, maka biblisisme cacat itulah sebagian dari faktor penyebab pupusnya iman mereka.
Lihat pula
Rujukan
Kepustakaan
Ehrman, Bart D. (2005). Misquoting Jesus: The Story Behind Who Changed the Bible and Why. HarperCollins. ISBN 978-0-06-073817-4
Metzger, Bruce M. (1997). The Canon of the New Testament: Its Origin, Development, and Significance. Oxford: Clarendon Press. ISBN 978-0-198-26180-3.