Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (disingkat MKRI) adalah lembaga peradilan di
Indonesia yang berfungsi untuk menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD 1945, memberikan putusan atas sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, menyelesaikan perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta memutus perkara impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden. Didirikan pada tahun 2003,
Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 dan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, yang kemudian diperbarui dengan UU Nomor 8 Tahun 2011. Dalam menjalankan tugasnya,
Mahkamah Konstitusi bertujuan untuk menjamin supremasi
Konstitusi, menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan hukum, serta melindungi hak-hak konstitusional warga negara.
Mahkamah ini terdiri dari sembilan hakim
Konstitusi yang diangkat oleh Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan
Mahkamah Agung (MA), dengan masa jabatan selama lima tahun dan dapat diperpanjang satu kali masa jabatan. Keberadaan
Mahkamah Konstitusi di
Indonesia mencerminkan komitmen negara terhadap prinsip negara hukum dan demokrasi konstitusional, di mana setiap tindakan dan kebijakan pemerintah harus sejalan dengan ketentuan
Konstitusi.
Mahkamah ini juga berperan penting dalam menjaga keseimbangan antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta memastikan bahwa hak-hak asasi manusia dilindungi dalam kerangka hukum nasional. Sebagai lembaga yang independen,
Mahkamah Konstitusi seringkali menjadi garda terdepan dalam menangani berbagai isu konstitusional yang krusial, termasuk dalam menyelesaikan konflik politik dan kebijakan yang kontroversial di tingkat nasional. Keberadaan dan putusan-putusan yang dihasilkan
Mahkamah Konstitusi tidak hanya berdampak pada hukum nasional, tetapi juga memiliki implikasi terhadap stabilitas politik dan sosial di
Indonesia.
Sejarah
= Masa awal kemerdekaan
=
Bila ditelusuri dalam sejarah penyusunan Undang-Undang Dasar 1945, ide Hans Kelsen mengenai pengujian undang-undang juga sebangun dengan usulan yang pernah diungkapkan oleh Mohammad Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Yamin mengusulkan bahwa seharusnya
Mahkamah Agung diberi wewenang untuk "membanding Undang-undang"; dalam kata lain, kewenangan judicial review. Namun usulan Yamin ini disanggah oleh Soepomo dengan alasan bahwa; pertama, konsep dasar yang dianut dalam UUD 1945 yang telah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power); kedua, tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji Undang-undang; dan ketiga, kewenangan hakim untuk melakukan pengujian Undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat, sehingga ide akan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang diusulkan Yamin tersebut tidak diadopsi dalam UUD 1945.
= Masa Reformasi 1998
=
Seiring dengan momentum perubahan UUD 1945 pada masa reformasi (1999-2004), ide pembentukan
Mahkamah Konstitusi (MK) di
Indonesia makin menguat. Puncaknya terjadi pada tahun 2001 ketika ide pembentukan MK diadopsi dalam perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 dalam Perubahan Ketiga.
= Masa Pembentukan Dasar Hukum
=
Selanjutnya untuk merinci dan menindak lanjuti amanat
Konstitusi tersebut, Pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang-Undang tentang
Mahkamah Konstitusi. Setelah dilakukan pembahasan beberapa waktu lamanya, akhirnya RUU tersebut disepakati bersama oleh pemerintah bersama DPR dan disahkan dalam Sidang Paripurna MPR pada 13 Agustus 2003. Pada hari itu juga, UU tentang MK ini ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan dimuat dalam Lembaran Negara pada hari yang sama, kemudian diberi nomor UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Ditilik dari aspek waktu,
Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk MK dan sekaligus sebagai negara pertama di dunia yang membentuk lembaga ini pada abad ke-21. Tanggal 13 Agustus 2003 inilah yang kemudian disepakati para hakim
Konstitusi menjadi hari lahir MKRI.
= Masa Penetapan Hakim Konstitusi
=
Bertitik tolak dari UU Nomor 24 Tahun 2003, dengan mengacu pada prinsip keseimbangan antar cabang kekuasaan negara, dilakukan rekrutmen hakim
Konstitusi yang dilakukan oleh tiga lembaga negara, yaitu DPR, Presiden dan MA. Setalah melalui tahapan seleksi sesuai mekanisme yang berlaku pada masing-masing lembaga tersebut, masing-masing lembaga mengajukan tiga calon hakim
Konstitusi kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai hakim
Konstitusi.
DPR mengajukan Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H., Letjen. TNI (Purn.) H. Achmad Roestandi, S.H. dan I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. Sedangkan Presiden mengajukan Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya, S.H., LL.M., Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan DR. Harjono, S.H., MCL.Sementara MA mengajukan Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H., Soedarsono, S.H. dan Maruarar Siahaan, S.H.
Pada 15 Agustus 2003, pengangkatan hakim
Konstitusi untuk pertama kalinya dalam sejarah ketatanegaraan
Indonesia ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim
Konstitusi di Istana Negara, pada 16 Agustus 2003. Setelah mengucapkan sumpah, para hakim
Konstitusi langsung bekerja menunaikan tugas konstitusionalnya sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.
= Masa Pemantapan Kelembagaan
=
Dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya, para hakim
Konstitusi membutuhkan dukungan administrasi aparatur pemerintah, baik yang bersifat administrasi umum maupun administrasi yustisial. Terkait dengan hal itu, untuk pertama kalinya dukungan administrasi umum dilaksanakan oleh Sekretaris Jenderal MPR. Oleh sebab itu, dengan persetujuan Sekretaris Jenderal MPR, sejumlah pegawai memberikan dukungan terhadap pelaksanaan tugas konstitusional para hakim
Konstitusi. Sebagai salah satu wujudnya adalah Kepala Biro Majelis MPR, Janedjri M. Gaffar, ditetapkan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Sekretris Jenderal MK sejak tanggal 16 Agustus 2003 hingga 31 Desember 2003. Kemudian pada 2 Januari 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Anak Agung Oka Mahendra, S.H. sebagai Sekretaris Jenderal MK definitif. Dalam perkembangganya, Oka Mahendra mengundurkan diri karena sakit, dan pada 19 Agustus 2004 terpilih Janedjri M. Gaffar sebagai Sekretaris Jenderal MK yang baru menggantikan Oka Mahendra.
Sejalan dengan itu, ditetapkan pula Kepaniteraan MK yang mengemban tugas membantu kelancaran tugas dan wewenang MK di bidang administrasi yustisial. Panitera bertanggungjawab dalam menangani hal-hal seperti pendaftaran permohonan dari para pemohon, pemeriksaan kelengkapan permohonan, pencatatan permohonan yang sudah lengkap dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi, hingga mempersiapkan dan membantu pelaksanaan persidangan MK. Bertindak sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Panitera mendampingi Plt. Sekjen MK adalah Marcel Buchari, S.H. yang di kemudian hari secara definitif digantikan oleh Drs. H, Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum.
Lintasan perjalan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada 15 Oktober 2003, yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945. Mulai beroperasinya kegiatan MK juga menandari berakhirnya kewenangan MA dalam melaksanakan kewenangan MK sebagaimana diamanatkan oleh Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945.
Setelah bekerja penuh selama lima tahun, halim
Konstitusi periode pertama (2003-2008) telah memutus 205 perkara dari keseluruhan 207 perkara yang masuk. Perkara-perkara tersebut meliputi 152 perkara Pengujian Undang-undang (PUU), 10 perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) dan 45 perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Periode pertama hakim
Konstitusi berakhir pada 16 Agustus 2008. Dalam perjalanan sebelum akhir periode tersebut tiga hakim
Konstitusi berhenti karena telah memasuki usia pensiun (berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c UU MK, usia pensiun hakim
Konstitusi adalah 67 tahun), yakni Letjen. TNI (Purn.) H. Achmad Roestandi, S.H.yang kemudian diganti oleh Prof. DR. Mohammad Mahfud MD., S.H., Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H. yang posisinya diganti oleh DR. H. Mohammad Alim, S.H., M.Hum. dan Soedarsono, S.H. yang kedudukannya diganti oleh DR. H. Muhammad Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum. Tiga nama yang baru menggantikan tersebut sekaligus meneruskan jabatannya sebagai hakim
Konstitusi untuk periode kedua (2008-2013).
Di periode kedua ini, enam hakim
Konstitusi lainnya terpilih Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. (untuk yang kedua kali), Prof. DR. Achmad Sodiki, S.H. dan Prof. DR. Maria Farida Indrati, S.H. yang diajukan Presiden. Kemudian Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H. (untuk yang kedua kali) dan Muhammad Akil Mochtar, S.H., M.H. yang diajukan DPR. Sementara MA mengajukan kembali Maruarar Siahaan, S.H. yang sebelumnya telah menjadi hakim
Konstitusi periode pertama. Dengan demikian di periode kedua MK terdapat tiga nama lama dan enam nama baru. Akan tetapi dalam perkembangannya, Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H. mengundurkan diri sebagai hakim
Konstitusi yang berlaku efektif mulai tanggal 1 November 2008 dan digantikan oleh DR. Harjono, S.H., MCL. yang mengucapkan sumpah pada tanggal 24 Mare 2009, sedangkan Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan Maruarar Siahaan, S.H. mulai 1 Januari 2010 memasuki usia pensiun dan digantikan oleh DR. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. dan Drs. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum. yang mengucapkan sumpah pada tanggal 7 Januari 2010. Formasi sembilan hakim
Konstitusi inilah yang sekarang menjalankan tugas-tugas konstitusional
Mahkamah Konstitusi.
Setelah sembilan Hakim
Konstitusi mengucapkan sumpah di Istana Negara pada 16 Agustus 2003, belum ada aparatur yang ditugaskan memberikan pelayanan dan dukungan terhadap pelaksanaan tugas para Hakim
Konstitusi. Demikian pula belum ada kantor sebagai tempat bekerja para Hakim
Konstitusi. Pada saat itu, alamat surat menyurat menggunakan nomor telepon seluler Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H.
= Masa Pemenuhan Sarana dan Prasarana
=
Keterbatasan sarana dan kurangnya dukungan teknis bagi pelaksanaan tugas-tugas Hakim
Konstitusi merupakan persoalan yang menjadi prioritas untuk diselesaikan dengan segera. Setelah melalui pembahasan di kalangan Hakim
Konstitusi, akhirnya diputuskan dua hal.
Pertama, meminta bantuan tenaga dari Sekretariat Jenderal MPR RI untuk memberikan dukungan administrasi umum dan MA untuk tenaga administrasi justisial. Kedua, menyewa ruangan di Hotel Santika yang terletak di Jalan KS. Tubun, Slipi, Jakarta Barat, untuk dijadikan kantor sementara.
Tidak lama kemudian, MK berpindah kantor dengan menyewa ruangan di gedung Plaza Centris di Jalan HR. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, tepatnya di lantai 4 dan lantai 12A. Namun, ruangan yang tersedia bagi MK di Plaza Centris masih jauh dari memadai. Karena keterbatasan ruang tersebut, para pegawai MK berkantor di lahan parkir kendaraan yang disulap menjadi ruang kantor modern. Seiring dengan itu, Ketua MK mengangkat Janedjri M. Gaffar sebagai Plt. Sekjen pada tanggal 4 September 2003 dan pada 1 Oktober 2003 memenangkan Marcel Buchari, S.H. sebagai Plt. Panitera.
Meskipun sudah memiliki kantor, keterbatasan saran masih menjadi persoalan bagi MK. Selama berkantor di Hotel Santika dan Plaza Centris, MK harus meminjam Gedung Nusantara IV (Pusaka Loka) Kompleks MPR/DPR, salah satu ruang di Mabes Polri dan salah satu ruang di Kantor RRI sebagai ruang sidang karena belum memiliki ruang sidang yang representatif. Hal ini tentu saja menjadi hambatan bagi mobilitas kerja para Hakim
Konstitusi sekaligus ironi bagi lembaga negara sekaliber MK yang mengawal
Konstitusi sebagai hukum tertinggi di negeri ini. Karena itu, ketika merumuskan Cetak Biru "Membangun
Mahkamah Konstitusi sebagai Institusi Peradilan
Konstitusi yang Modern dan Tepercaya", gagasan pembangunan gedung MK mendapat penekanan tersendiri.
Setelah menempati gedung di Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat milik Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo) pada tahun 2004, barulah MK bisa menggelar persidangan di kantor sendiri. Meski demikian, ruangan dan fasilitas yang tersedia di gedung tersebut masih belum memadai, terutama ketika MK harus menangani perkara yang menumpuk dan membutuhkan peralatan-peralatan canggih sebagaimana terjadi pada Pemilu 2004. Ketika melakukan pemeriksaan perkara perselisihan hasil pemilihan umum Legislatif 2004, ruang persidangan yang ada di gedung MK tidak mencukupi sehingga MK meminjam ruang di gedung RRI yang terletak tidak jauh dari kantor MK. Begitu juga ketika harus menggelar persidangan jarak jauh, MK harus meminjam ruang dan fasilitas teleconference.
Kewajiban dan Wewenang
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan tersebut,
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain
Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian,
Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d UU 24/2003, kewenangan
Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Struktur
= Pimpinan
=
Ketua
Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim
Konstitusi untuk masa jabatan 5 tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk 1 kali masa jabatan.
Ketua MK yang pertama adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.. Guru besar hukum tata negara Universitas
Indonesia kelahiran 17 April 1956 ini terpilih pada rapat internal antar anggota hakim
Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Agustus 2003. Jimly terpilih lagi sebagai ketua untuk masa bakti 2006-2009 pada 18 Agustus 2006 dan disumpah pada 22 Agustus 2006 dengan Wakil Ketua Prof. Dr. M. Laica Marzuki, S.H. Bersama tujuh anggota hakim pendiri lainnya dari generasi pertama MK, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H dan Prof. Dr. M. Laica Marzuki berhasil memimpin lembaga baru ini sehingga dengan cepat berkembang menjadi model bagi pengadilan modern dan tepercaya di
Indonesia. Di akhir masa jabatan Prof. Jimly sebagai Ketua, MK berhasil dipandang sebagai salah satu ikon keberhasilan reformasi
Indonesia. Atas keberhasilan ini, pada bulan Agustus 2009, Presiden menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada para hakim generasi pertama ini, dan bahkan Bintang Mahaputera Adipradana bagi mantan Ketua MK, Prof. Jimly Asshiddiqie.
Selama 5 tahun sejak berdirinya, sistem kelembagaan
Mahkamah ini terbentuk dengan sangat baik dan bahkan gedungnya juga berhasil dibangun dengan megah dan oleh banyak sekolah dan perguruan tinggi dijadikan gedung kebanggaan tempat mengadakan studi tour.
Pada 19 Agustus 2008, Hakim
Konstitusi yang baru diangkat untuk periode (2008-2013), melakukan pemilihan untuk memilih Ketua dan Wakil Ketua MK masa bakti 3 tahun berikutnya, yaitu 2008-2011 dan menghasilkan Mohammad Mahfud MD sebagai ketua serta Abdul Mukthie Fadjar sebagai wakil ketua. Sesudah beberapa waktu sesudah itu, pada bulan Oktober 2009, Prof. Jimly Asshiddiqie, S.H. mengunduran diri dari anggota MK dan kembali menjadi guru besar tetap hukum tata negara Universitas
Indonesia.
Pada periode 2013-2015 terpilih ketua yaitu Akil Mochtar, namun dia mencoreng nama institusi ini dengan terlibat kasus suap sengketa pemilu Kabupaten Lebak dengan terdakwa Tubagus Chairi Wardana, dan melibatkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Akil Mochtar menjadi terdakwa dan diberhentikan pada tanggal 5 Oktober 2013, dan jabatan Ketua
Mahkamah Konstitusi diserahkan kepada Hamdan Zoelva pada tanggal 1 November 2013, Hamdan saat itu menjabat sebagai wakil ketua MK.
Pada tanggal 7 Januari 2015, Hamdan Zoelva resmi mengakhiri jabatannya sebagai hakim
Konstitusi sekaligus Ketua
Mahkamah Konstitusi. Posisinya digantikan oleh Arief Hidayat yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi. Arief Hidayat terpilih secara aklamasi sebagai ketua sementara untuk wakilnya Anwar Usman, terpilih melalui voting pada rapat yang digelar oleh sembilan hakim
Konstitusi pada tanggal 12 Januari 2015. Pada tanggal 14 Januari 2015, Arief Hidayat dan Anwar Usman resmi membacakan sumpah jabatan di hadapan Wakil Presiden Jusuf Kalla.. Setelah dua kali menjabat sebagai ketua, Arief Hidayat digantikan oleh Anwar Usman yang terpilih berdasarkan hasil voting delapan hakim
Konstitusi pada RPH tanggal 2 April 2018 dan Aswanto terpilih sebagai wakil ketua. Anwar Usman kembali terpilih sebagai ketua untuk periode kedua setelah melewati voting sebanyak tiga kali putaran dan Saldi Isra sebagai wakil ketua MK pada RPH tanggal 15 Maret 2023.
Buntut keputusan
Mahkamah Konstitusi ihwal batas usia capres-cawapres, Ketua MK Anwar Usman dilaporkan ke Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi atau MKMK. Anwar diduga memuluskan langkah keponakannya, Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi peserta dalam Pilpres 2024 sehingga berujung pemecatan dirinya sebagai Ketua MK. Sebagai pengganti, Suhartoyo terpilih menjadi Ketua MK melalui mekanisme musyawarah mufakat para hakim
Konstitusi pada 9 September 2023 dan dilantik pada 13 September 2023 bersama Saldi Isra yang tetap menjabat sebagai wakil ketua MK.
= Hakim
=
Para hakim menjalankan wewenang
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman. Jabatan Hakim
Konstitusi berjumlah sembilan orang dan merupakan Pejabat Negara yang ditetapkan oleh Presiden. Hakim
Konstitusi diajukan masing-masing tiga orang oleh
Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Masa jabatan Hakim
Konstitusi adalah lima tahun, dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 (Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 mengenai
Mahkamah Konstitusi), pada Pasal 15 ayat (2), seorang calon hakim
Mahkamah Konstitusi harus memenuhi syarat antara lain;
warga negara
Indonesia;
berijazah doktor (strata tiga) dengan dasar sarjana (strata satu) yang berlatar belakang di bidang hukum;
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun;
mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan tugas dan kewajiban;
tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan
mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima belas) tahun dan/atau untuk calon hakim yang berasal dari lingkungan
Mahkamah Agung, sedang menjabat sebagai hakim tinggi atau sebagai hakim agung.
Selain itu, pada Pasal 23 ayat (1) dalam Undang-Undang yang sama, hakim
Konstitusi dapat diberhentikan dengan hormat apabila dengan alasan;
meninggal dunia;
mengundurkan diri atas yang diajukan kepada
Konstitusi;
telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun; atau
sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Hakim
Konstitusi juga dapat diberhentikan secara tidak hormat apabila memiliki alasan sebagai berikut menurut Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020;
dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara;
melakukan perbuatan tercela;
tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
melanggar sumpah atau janji jabatan;
dengan sengaja menghambat
Mahkamah Konstitusi memberi putusan dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
melanggar larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17;
tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim
Konstitusi; dan/atau
melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Konstitusi.
Hakim
Konstitusi hanya dapat dikenai tindakan kepolisian atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis dari Presiden, kecuali dalam hal:
tertangkap tangan melakukan tindak pidana; atau
berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus.
Kode Etik
Hakim
Konstitusi memiliki Kode Etik yang disebut sebagai "Sapta Karsa Hutama", yang berada pada Peraturan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006 (Tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi) yang disahkan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie, selaku Ketua
Mahkamah Konstitusi pada saat itu; yakni;
Prinsip Independensi; dimana seorang Hakim
Konstitusi harus menjalankan fungsi judisialnya secara independen atas dasar suatu penilaian terhadap fakta-fakta, dan tidak boleh terpengaruh atas suatu intervensi, baik dalam wujud iming-iming, campur tangan, ancaman, tekanan, baik langsung maupun tidak langsung dari pihak yang lain;
Prinsip Ketidakberpihakan (dalam Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 09/PMK/2006 disebut Prinsip Ketakberpihakan); dimana seorang Hakim
Konstitusi harus melaksanakan tugas
Mahkamah tanpa prasangka (prejudice), melenceng (bias) dan tidak condong atau berpihak kepada salah satu pihak. Selain itu, seorang Hakim
Konstitusi harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tidak berpihak karena beberapa alasan, seperti Nyata mempunyai prasangka terhadap suatu pihak; dan/atau; Hakim
Konstitusi tersebut dan/atau keluarganya mempunyai suatu kepentingan langsung terhadap putusan. Hal ini tidak berlaku apabila mengakibatkan tidak terpenuhinya kuorum dalam melakukan persidangan.
Prinsip Integritas; dimana seorang Hakim
Konstitusi wajib menjamin agar perilakunya tidak tercela dari suatu sudut pandang pengamatan yang layak, selain itu, Hakim
Konstitusi dilarang juga meminta atau menerima dan harus menjamin bahwa anggota keluarganya tidak meminta atau menerima hadiah, hibah, pinjaman, atau manfaat dari pihak yang berperkara dan/atau pihak yang "bersentuhan" langsung terhadap perkara yang akan / sedang diperiksa. Selain itu, Hakim
Konstitusi dilarang dengan sengaja mengizinkan pegawai
Mahkamah atau pihak lain yang berada dibawah pengaruh atau kewenangannya untuk meminta hibah, hadiah, manfaat, dan sejenisnya sehubungan dengan segala hal yang dilakukan atau akan dilakukan atau tidak dilakukan oleh Hakim
Konstitusi berkenaan dengan pelaksanaan tugas
Mahkamah.
Prinsip Kepantasan dan Kesopanan; Kepantasan tercermin dalam penampilan dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan kemampuan menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai tempat, waktu, penampilan, ucapan, atau gerak tertentu; sedangkan kesopanan terwujud dalam perilaku hormat dan tidak merendahkan orang lain dalam pergaulan antar pribadi, baik dalam tutur kata lisan atau tulisan; dalam bertindak, bekerja, dan bertingkah laku; dalam bergaul dengan sesama hakim
Konstitusi, dengan karyawan, atau pegawai
Mahkamah, dengan tamu, dengan pihak-pihak dalam persidangan, atau pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara.
Prinsip Kesetaraan; dimana kesetaraan merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama (equal treatment) terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain atas dasar perbedaan agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, kondisi fisik, status sosial ekonomi, umur, pandangan politik, ataupun alasan-alasan lain yang serupa (diskriminasi). Prinsip kesetaraan ini secara hakiki melekat dalam sikap setiap hakim
Konstitusi untuk senantiasa memperlakukan semua pihak dalam persidangan secara sama sesuai dengan kedudukannya masing-masing dalam proses peradilan.
Prinsip Kearifan dan Kebijaksanaan; dimana menuntut hakim
Konstitusi untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan norma hukum dan norma lainnya yang hiduo dalam masyarakat dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu
Kode Etik Hakim
Konstitusi "Sapta Karsa Hutama" tersebut dideklarasikan dan ditandatangani oleh sembilan orang hakim
Konstitusi pada tanggal 17 Oktober 2005 dan disempurnakan pada tanggal 1 Desember 2006. Diresmikan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S. H. selaku Ketua
Mahkamah Konstitusi merangkap anggota, Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S. H. selaku Hakim
Konstitusi, Mukhtie Fadjar selaku Hakim
Konstitusi, H. Achmad Roestandi, S. H. selaku Hakim
Konstitusi, A. S. Natabaya selaku Hakim
Konstitusi, Dr. Harjono, S. H., M. C. L. selaku Hakim
Konstitusi, I Dewa Gede Palguna, S. H., M. H. selaku Hakim
Konstitusi, Maruarar Siahaan, S. H. selaku Hakim
Konstitusi, dan Soedarsono, S. H. selaku Hakim
Konstitusi.
= Sekretariat Jenderal
=
Sekretariat Jenderal
Mahkamah Konstitusi mempunyai tugas melaksanakan dukungan administrasi umum kepada para hakim
Konstitusi. Sekretariat Jenderal dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal.
= Kepaniteraan
=
Kepaniteraan MK memiliki tugas pokok memberikan dukungan di bidang administrasi justisial. Susunan organisasi kepaniteraan MK terdiri dari sejumlah jabatan fungsional Panitera. Kepaniteraan merupakan supporting unit hakim
Konstitusi dalam penanganan perkara di MK.
Majelis Kehormatan
Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi adalah perangkat yang dibentuk oleh
Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan kode etik Hakim
Konstitusi. Berdasarkan Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 dalam Pasal 1 sampai 4, Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang antara lain sebagai berikut;
Majelis Kehormatan berwenang menjaga keluhuran martabat dan kehormatan
Mahkamah.
Majelis Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berwenang memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi.
Dugaan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperiksa dan diputus paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak laporan dicatat dalam e-BRLTP.
Dalam hal jangka waktu 30 (tiga puluh puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum selesai pemeriksaannya, dapat diperpanjang paling lama 15 (lima belas) hari kerja berikutnya.
Keanggotaan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi berisikan 3 (tiga) orang yang terdiri atas satu orang Hakim
Konstitusi, satu orang tokoh masyarakat, dan satu orang akademisi yang berlatarbelakang di bidang hukum. Selain itu, terdapat beberapa catatan sebagai berikut;
Calon anggota Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 adalah tokoh masyarakat yang ditunjuk oleh Rapat Permusyawaratan Hakim yang memenuhi syarat tertentu, yakni memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; jujur, adil, tidak memihak, dan non partisan; berusia paling rendah enam puluh tahun; dan berwawasan luas dalam bidang etika, moral dan profesi hakim, serta memahami
Konstitusi dan putusan
Mahkamah Konstitusi.
Calon anggota Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 adalah akademisi yang ditunjuk oleh Rapat Permusyawaratan Hakim yang memenuhi syarat tertentu, yakni memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; jujur, adil, tidak memihak, dan non partisan; berusia paling rendah enam puluh tahun; berwawasan luas dalam bidang etika, moral dan profesi hakim, serta memahami
Konstitusi dan putusan
Mahkamah Konstitusi; dan menjadi guru besar dalam bidang hukum.
Catatan diatas dapat dibaca dalam Peraturan
Mahkamah Konstitusi No. 1/2023 pada Pasal 5.
Anggota Majelis dapat dikategorikan telah melakukan pelanggaran apabila telah melakukan hal-hal yang disebutkan pada Pasal 10 dalam peraturan yang sama, diantaranya;
melakukan perbuatan tercela;
tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
melanggar sumpah atau janji jabatan;
dengan sengaja menghambat
Mahkamah memberi putusan dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi;
melanggar larangan sebagai Hakim
Konstitusi, diantaranya adalah; merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, anggota partai politik, pengusaha, advokat, atau pegawai negeri; menerima suatu pemberian atau janji dari pihak berperkara, dan mengeluarkan pernyataan di luar persidangan atas suatu perkara yang sedang ditanganinya mendahului putusan, dan/atau;
tidak melaksanakan kewajiban sebagai Hakim
Konstitusi.
Persidangan
= Sidang Panel
=
Sidang Panel merupakan sidang yang terdiri dari tiga orang hakim
Konstitusi yang diberi tugas untuk melakukan sidang pemeriksaan pendahuluan. Persidangan ini diselenggarakan untuk memeriksa kedudukan hukum pemohon dan isi permohonan. Hakim
Konstitusi dapat memberi nasihat perbaikan permohonan. Biasanya Sidang Panel digunakan untuk mengadili Sengketa Pemilihan Umum Legislatif dalam Pemeriksaan, akan tetapi, Pembacaan Putusan tetap ada di Sidang Pleno
= Rapat Permusyawaratan Hakim
=
Rapat Permusyawaratan Hakim (disingkat RPH) bersifat tertutup dan rahasia. Rapat ini hanya dapat diikuti oleh Hakim
Konstitusi dan Panitera. Dalam rapat inilah perkara dibahas secara mendalam dan rinci serta putusan MK diambil yang harus dihadiri sekurang-kurangnya tujuh hakim
Konstitusi. Pada saat RPH, Panitera mencatat dan merekam setiap pokok bahasan dan kesimpulan.
Kewenangan legislasi
Mahkamah Konstitusi telah beberapa kali membuat putusan yang secara sepihak merevisi isi peraturan maupun perundang-undangan (e.g. putusan UU Ciptaker, dll.) tanpa melalui proses resmi di DPR atau lembaga terkait. Sebagai lembaga yudikatif negara, MK sendiri tidak memiliki kewenangan mengubah/merancang isi peraturan perundang-undangan karena hal tersebut merupakan tugas yang melibatkan lembaga legislatif DPR/MPR.
Akibatnya, sejumlah putusan-putusan MK berpotensi dipermasalahkan karena melampaui kewenangan pokok MK sebagai lembaga yang menguji apakah poin-poin dalam materi perundang-undangan sudah sesuai dengan
Konstitusi negara, tanpa perlu mengubah isi peraturan perundang-undangan secara langsung.
= Sidang Pleno
=
Sidang Pleno adalah sidang yang dilakukan oleh majelis hakim
Konstitusi minimal dihadiri oleh tujuh hakim
Konstitusi. Persidangan ini dilakukan terbuka untuk umum dengan agenda pemeriksaan persidangan atau pembacaan putusan. Pemeriksaan persidangan meliputi mendengarkan pemohon, keterangan saksi, ahli dan pihak terkait serta memeriksa alat-alat bukti.
Anggaran
Sebagai lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman, pelaksanaan tugas-tugas MK berikut aktivitas dukungan yang diberikan oleh Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Dalam setiap tahunnya, MK mendapat anggaran berdasarkan Dokumen Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) atau Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL). BPK memberikan Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas laporan keuangan MK tahun anggaran 2006. Kemudian pada laporan keuangan tahun 2007, 2008 dan 2009 MK kembali meraih predikat WTP berturut-turut dari BPK.
Untuk anggaran tahun 2020 MK mengajukan anggaran sebesar Rp 554,5 miliar.
Media
Pada tahun 2008, MK meluncurkan layanan penyedia konten televisi di bawah nama MKTV (singkatan dari "
Mahkamah Konstitusi TV"). MKTV diluncurkan oleh Ketua MK Jimly Asshiddiqie, CEO Jawa Pos Group Dahlan Iskan, Menkominfo Muhammad Nuh, anggota Wantimpres Adnan Buyung Nasution, dan Direktur Utama JPMC Imawan Mashuri sekaligus meramaikan hari ulang tahun MK yang kelima. MKTV pada awalnya bekerja sama dengan JPMC.
Lihat pula
Daftar Ketua
Mahkamah Konstitusi Indonesia
Daftar Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi Indonesia
Hakim
Konstitusi Indonesia
Mahkamah Agung
Republik Indonesia
Referensi