- Source: Mahmud Yunus
Prof. Dr. H. Mahmud Yunus (ejaan lama: Mahmoed Joenoes, 10 Februari 1899 – 16 Januari 1982) adalah seorang ulama dan ahli tafsir Al-Qur'an yang berjasa dalam pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Melalui jabatannya di Departemen Agama, ia menginisiasi dan memperjuangkan masuknya mata pelajaran pendidikan agama dalam kurikulum nasional. Ia menghasilkan setidaknya 75 judul buku, termasuk menyusun Tafsir Qur'an Karim dan Kamus Arab–Indonesia. Buku-bukunya masih dipergunakan untuk keperluan pengajaran madrasah dan pesantren Indonesia. Yunus menerima gelar doktor kehormatan di bidang tarbiyah dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Namanya diabadikan pada UIN Mahmud Yunus, Batusangkar dan jalan menuju kampus UIN Imam Bonjol, Padang.
Yunus memperoleh pengalaman mengajar sejak remaja di surau dan Madras School Sungayang pimpinan Muhammad Thaib Umar, tempat dulunya ia mengikuti pendidikan. Pada 1919, ia bergabung dengan Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) yang kelak membidani beberapa sekolah Islam dan perguruan tinggi Islam terawal di Indonesia. Sejak 1924 sampai 1930, ia kuliah di Universitas Al-Azhar dan Universitas Kairo, Mesir. Ia kembali mengajar di Madras School, sembari memperkenalkan perjenjangan madrasah yang dipakai Indonesia saat ini. Pada 1932, ia pindah mengajar di Padang, membuka Normal Islam School, dan memimpin Sekolah Tinggi Islam (STI) Padang.
Sejak pendudukan Jepang, Yunus bekerja dalam pemerintahan membidangi masalah pendidikan Islam. Ia mendorong masuknya mata pelajaran pendidikan agama di sekolah negeri di Minangkabau. Setelah kemerdekaan, ia meneruskan upaya yang sama untuk diberlakukan di Sumatra dan disetujui pada 1947. Mata pelajaran agama diadopsi dalam kurikulum nasional sejak 20 Juanuari 1951 lewat usulannya sebagai pegawai Departemen Agama. Dari tahun 1957 hingga 1960, Yunus menjabat sebagai rektor pertama Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA), cikal bakal UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Berikutnya, ia menjadi rektor pertama IAIN Imam Bonjol Padang sejak 1967 sampai 1971 ketika ia pensiun sebagai pegawai Departemen Agama. Ia meninggal dalam usia 82 tahun pada 16 Januari 1982.
Kehidupan awal
Mahmud Yunus adalah anak sulung dari tujuh bersaudara keluarga petani Yunus dan Hafsyah. Ia lahir pada 10 Februari 1899 [Kalender Hijriyah: 30 Ramadhan 1316] di Nagari Sungayang, berjarak 7 km dari Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar sekarang. Besar di tengah keluarga ibunya, Yunus telah memperlihatkan minat terhadap ilmu agama sejak kecil. Orangtuanya bercerai ketia ia berumur tiga tahun, sementara sang ibu menikah lagi dan memberi Yunus seorang adik perempuan. Ia belajar Al-Qur'an di Surau Talang kepada kakeknya dan khatam dalam usia tujuh tahun. Setelah itu, ia menggantikan sang kakek mengajar di surau.
Pada 1908, ia masuk ke sebuah Sekolah Desa di Sungayang. Karena jemu dengan pelajaran yang sering diulang di kelas, pada tahun keempat ia pindah ke Madras School pimpinan Muhammad Thaib Umar di Surau Tanjung Pauh. Ia belajar setiap hari dari pagi sampai siang. Setelah berumur 12 tahun, ia menarik diri dari mengajar di surau, dan pada umur 14 tahun ia dipercaya menjadi mudir (guru bantu) di Madras School.
Pada 1917, lantaran Muhammad Thaib Umar jatuh sakit, Yunus ditunjuk memimpin Madras School. Ketika berlangsung rapat besar ulama Minangkabau pada 1919 di Surau Jembatan Besi, Padang Panjang, ia hadir mewakili Muhammad Thaib Umar. Rapat ini meresmikan berdirinya Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), perkumpulan ulama Minangkabau yang bergerak di bidang pendidikan. Yunus menjadi salah seorang anggota terawal PGAI sejak didirikan. Pada akhir 1919, Yunus bersama-sama guru Madras School mendirikan cabang perkumpulan pelajar Islam Sumatra Thawalib di Sungayang. Ia menggerakkan kegiatan di bidang pendidikan melalui majalah Islam Al-Basyir. Majalah ini terbit perdana pada Februari 1920.
Kuliah di Mesir
Sejak berusia 20 tahun, Yunus sudah berencana melanjutkan studi ke Mesir. Keinginan itu dipengaruhi oleh intensitasnya membaca pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di majalah Al-Manar. Namun, Yunus gagal memperoleh visa dari Inggris. Karena kegagalan tersebut, ia mengintensifkan diri menulis buku-buku, sambil tetap mengajar. Ia mencari cara dengan jalan menunaikan ibadah haji ke Mekkah lewat Penang, Malaysia, tepatnya pada Maret 1923. Setelah itu, ia menyeberang ke Mesir untuk mewujudkan asanya kuliah. Biaya yang diperlukan untuk perjalanan ditanggung oleh sang mamak, Ibrahim Datuk Sinaro Sati.
Yunus memulai kuliahnya di Universitas Al-Azhar pada awal 1924. Di Mesir, Yunus bergabung dengan Al-Jami'ah Al-Khairiah pimpinan Djanan Tajib dan ikut mengelola majalah organisasi Seruan Azhar. Edisi pertama majalah itu memuat editorial Mahmud Yunus berisi seruan agar penduduk Indonesia dan Tanah Melayu dan Indonesia sebagai satu bangsa serumpun bersatu-padu untuk berjuang mencapai kemajuan dan kemakmuran bersama. Indonesia dan Tanah Melayu adalah satu umat, satu bangsa, satu adat, satu adab sopan, "apalagi hampir kesemuanya adalah satu agama".
Yunus menyelesaikan kuliahnya pada 1925 dengan menggondol ijazah Syahadah Alimiyah. Ia tercatat sebagai orang Indonesia kedua yang lulus di Al-Azhar setelah Djanan Tajib. Mengikuti saran gurunya di Al-Azhar, ia melanjutkan kuliah ke Darul Ulum (kini berada dalam Universitas Kairo). Ia diterima sebagai sebagai mahasiswa di kelas bagian malam; seluruh mahasiswanya berkebangsaan Mesir kecuali ia sendiri. Selama di Darul Ulum, ia mendapatkan pengecualian membayar uang kuliah atas amaran Menteri Pendidikan Mesir. Ia lulus setelah empat tahun di Darul Ulum dan memperoleh diploma guru di bidang ilmu kependidikan pada Mei 1930. Yunus adalah mahasiswa asing pertama yang tamat dari Darul Ulum. Pada bulan Oktober 1930, ia bersiap kembali ke Indonesia.
Memimpin sekolah-sekolah Islam
Tiba di kampung halamannya pada awal tahun 1931, Yunus mulai memusatkan perhatian pada peningkatan mutu sekolah-sekolah agama. Tahun-tahun pertama, ia memperbarui Madras School di Sungayang dengan menerapkan sistem klasikal sebagaimana lazimnya sekolah-sekolah pemerintah. Lewat Madras School, ia mengenalkan pembagian jenjang madrasah yang dikenal di Indonesia saat ini: madrasah Ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah. Namun, sekolah ini terpaksa ditutup pada tahun 1933, setahun setelah pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan pembatasan sekolah Islam atau Ordonansi Sekolah Liar.
Sejak 1932, Yunus meninggalkan Sungayang dan disibukkan dengan aktivitas mengajar. Ia memimpin sekolah Normal Islam School (NIS) atau Kulliyyatul Muallimin Al-Islamiyyaah di Padang yang didirikan PGAI pada 1 April 1931. Sekolah ini merupakan sekolah lanjutan tingkat atas yang dimaksudkan untuk mendidik calon guru; murid yang diterima di sekolah ini adalah lulusan madrasah minimal tujuh tahun. Yunus mengajarkan bahasa Arab, masukkan mata pelajaran agama Islam ke dalam kurikulum, serta menambahkan beberapa cabang pengetahuan umum seperti ilmu alam, tata buku, dan kesehatan. Sebagian buku yang dipakai untuk keperluan pengajaran adalah tulisannya sendiri yang ia susun sewaktu belajar di Mesir. NIS memiliki laboratorium fisika dan kimia satu-satunya di Sumatera Barat. Ia memimpin NIS sampai 1938 dan kelak kembali memimpin pada 1942 sampai 1946.
Keberhasilannya menerapkan metode-metode baru dalam pendidikan madrasah membuat ia dipercaya memimpin Sekolah Tinggi Islam (STI) di Padang pada 1 November 1940, didampingi Muchtar Jahja. Didirikan oleh PGAI pada 9 September 1940, STI tercatat sebagai perguruan tinggi Islam paling awal di Indonesia. Pada 9 Desember 1940, STI membuka dua fakultas: Fakultas Syariat dan Fakultas Pendidikan & Bahasa Arab. Namun, STI hanya berjalan kurang dua tahun sehingga tidak mengeluarkan alumni. Perguruan tinggi ini tutup pada 28 Januari 1942 menjelang pendudukan Jepang di Sumatera Barat.
Pendudukan Jepang dan Sekutu
Pada masa pendudukan Jepang, Yunus terlibat dalam pendirian Majelis Islam Tinggi (MIT) Minangkabau. Ketika Jepang mendirikan PETA di Jawa untuk membantu tentara Jepang menghadapi serangan balasan tentara Sekutu, Residen Yano Kenzo yang berkedudukan di Padang mengambil inisiatif membentuk satuan tentara Giyugun. Pembentukan Giyugun segera mendapat dukungan dari para ulama Minangkabau. Mereka mendorong para pemuda untuk mendapat pelahitan militer dari Jepang. Bersama Chatib Sulaiman dan Ahmad Datuk Simarajo, Yunus ditunjuk untuk merekrut keanggotaan Giyugun. Para pemuda Gyugun kelak terlibat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan menjadi laskar-laskar rakyat bentukan partai dan organisasi di Minangkabau.
Pada 1943, Yunus ditunjuk mewakili MIT Minangkabau sebagai penasihat residen (shuchokan) di Padang. Melalui kedekatannya dengan Jepang, ia berupaya agar pendidikan agama Islam diajarkan di sekolah-sekolah negeri. Ia mengusulkan kepada Kepala Jawatan Pengajaran Jepang untuk memasukkan pendidikan agama Islam ke sekolah-sekolah pemerintah di Minangkabau. Usulan ini diterima oleh pemerintah dan diterapkan sampai berakhirnya pendudukan Jepang atas Indonesia dan proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Seiring dengan kedatangan Sekutu melalui Pelabuhan Teluk Bayur pada penghujung tahun 1945, sebagian besar guru dan murid Normal Islam School mengungsi ke luar daerah sehingga membuat sekolah terpaksa ditutup. Pada September 1946, Yunus menginisiasi berdirinya Sekolah Menengah Islam (SMI) di Bukittinggi. Semua alat-alat pembelajaran yang digunakan seperti kursi, meja, peta, dan alat-alat praktikum diangkut dari Padang. SMI kelak dijadikan sekolah negeri di bawah Jawatan Agama Sumatera Barat dan berubah menjadi Sekolah Guru dan Hakim Agama (SGHA) pada 1951.
Memperkenalkan mata pelajaran agama
Setelah kemerdekaan, Yunus kembali memperjuangkan usulan memasukkan mata pelajaran agama Islam ke dalam kurikulum sekolah-sekolah pemerintah. Usul ini diterima oleh Jawatan Pengajaran Sumatera Barat, yang pada waktu itu dikepalai oleh Saaduddin Jambek, dan mulai diterapkan 1 April 1946 di seluruh Sumatera Barat. Jawatan Pengajaran Sumatera Barat mempercayakannya menyusun kurikulum dan menentukan buku-buku pegangan untuk keperluan pengajaran.
Sejak November 1946, Yunus menjabat sebagai Kepala Bagian Agama Islam Jawatan Agama Provinsi Sumatra dengan kedudukan di Pematangsiantar. Pada Januari 1947, ia kembali mengusulkan hal yang sama kepada Jawatan Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Sumatra. Usul ini mendapat persetujuan pada Maret 1947 dan sejak saat itu, pendidikan Islam masuk secara resmi ke dalam kurikulum sekolah-sekolah pemerintah di seluruh Sumatra. Seiring dengan itu, pemerintah provinsi mengadakan kursus untuk guru-guru agama di Pematangsiantar selama sebulan penuh. Kursus ini diikuti oleh utusan dari seluruh daerah di Sumatra dan sebagai pimpinan kursus dipercayakan kepada Mahmud Yunus.
Pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), Yunus membuka sekolah-sekolah darurat. Ia sempat mengemukakan rencana mendirikan madrasah tsanawiyah untuk seluruh Sumatra. Rencana ini mendapat persetujuan dari Menteri Agama PDRI Teuku Muhammad Hasan. Setelah pengakuan kedaulatan Belanda atas Indonesia, beberapa madrasah tsanawiyah dengan nama Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI) dibuka di Sumatera Barat. Madrasah ini diselenggarakan secara swasta meskipun Yunus telah memperjuangkannya untuk dijadikan sebagai sekolah negeri.
Pada 1950, Yunus mengusulkan kepada pemerintah untuk mengompromikan kurikulum yang diterapkan di Sumatra dengan kurikulum nasional. Usul ini dibahas bersama dalam panitia yang dipimpin Mr. Hadi mewakili Departemen Pendidikan dan Pengajaran dan Yunus sendiri mewakili Departemen Agama. Pada 20 Januari 1951, dua departemen tersebut mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang isinya antara lain: menetapkan pendidikan agama di setiap jenjang pendidikan negeri dan swasta—mulai dari sekolah rendah, sekolah lanjutan tingkat pertama dan atas, hingga sekolah kejuruan—dengan lama dua jam dalam seminggu ("kecuali di lingkungan istimewa"). Ini masih diterapkan sampai sekarang di Indonesia sebelum berlakunya kurikulum 2013, yang menambah lama pelajaran agama menjadi empat jam.
Dekan Akademi Dinas Ilmu Agama
Pada 8 Juli 1945, Sekolah Tinggi Islam (STI) berdiri di Jakarta. Pada 1946, STI dipindahkan ke Yogyakarta mengikuti kepindahan ibu kota negara. STI berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) pada 22 Maret 1948. Setelah keluarnya Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1950, Fakultas Agama UII ditingkatkan menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Saat PTAIN berdiri, pemerintah mengusulkan Yunus sebagai pengelola dan pengajarnya, tetapi ia menolak. Yunus justru mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk mendirikan PTAIN yang sama di Jakarta.
Pada 1 Juni 1957, Departemen Agama mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta. Yunus diangkat sebagai rektor pertama ADIA didampingi Bustami Abdul Gani sebagai wakil rektor. Sebagai Kepala Lembaga Pendidikan Agama pada Jawatan Pendidikan Agama, ia mengusulkan kepada Menteri Agama agar ADIA Jakarta terintegrasi dengan PTAIN Yogyakarta. Setelah mendapatkan persetujuan Menteri Agama Wahib Wahab, presiden mengeluarkan Peraturan Presiden No. 11 Tahun 1960 tentang pendirian Institut Agama Islam Negeri (IAIN), yang mengintegrasikan ADIA dan PTAIN menjadi satu perguruan tinggi agama di bawah Departemen Agama. IAIN secara ilmiah memberikan pendidikan serta pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat di bidang ilmu pengetahuan Islam.
IAIN pertama dibuka dengan empat fakultas, dua fakultas di antaranya terletak di Jakarta, yakni Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Adab. Yunus menjabat sebagai Dekan Fakultas Tarbiyah. Berikutnya, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 49 Tahun 1963 tertanggal 25 Februari 1963, mekar IAIN kedua yang berkedudukan di Jakarta. Kelak, IAIN di Yogyakarta bersalin nama menjadi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta sedangkan IAIN di Jakarta menjadi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Rektor IAIN Imam Bonjol
Sebagai pegawai Departemen Agama, Yunus kerap diundang mengikuti kunjungan kerja ke luar negeri. Pada 1961, ia melawat ke sembilan negara Islam: Mesir, Saudi Arabia, Syria, Libanon, Yordania, Turki, Irak, Tunisia, dan Maroko. Kunjungan ini ditujukan untuk mempelajari pendidikan agama di negara-negara tersebut. Pada April 1962, Yunus menghadiri sidang Majelis A'la Istisyari Al-Jami'ah Al-Islamiyah di Madinah atas undangan Raja Saud dari Arab Saudi melalui Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta. Dalam Muktamar Buhutsul Islamiyah di Universitas Al-Azhar, ia berturut-turut hadir pada 1964, 1965, 1966, dan 1967. Pada salah satu penyelenggaraan muktamar, Yunus mengemukakan makalah berjudul "Al-Israiliyyat fit Tafsir wal Hadits".
Sejak 1963, Yunus menjadi Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Cabang Padang yang baru didirikan. Tiga tahun berselang, fakultas ini bersama tiga fakultas lain diresmikan menjadi IAIN Imam Bonjol. Yunus dilantik sebagai rektor pertama IAIN tersebut pada 29 November 1966 sampai jelang pensiun pada 1 Januari Tahun 1971.
Sebelum pensiun, Yunus masih melakukan lawatan keluar negeri, terakhir menghadiri Majelis A’la Istisyari Al-Jami’ah Al-Islamiyah di Madinah pada 1969. Namun, sepulang dari kunjungan itu, kesehatannya mulai menurun dan ia beberapa kali masuk rumah sakit. Pada 15 Oktober 1977, ia memperoleh gelar doktor kehormatan di bidang ilmu tarbiyah dari IAIN Syarif Hidayatullah atas perjuangannya dalam pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Yunus meninggal dunia di kediamannya, Kebon Kosong, Kemayoran, Jakarta dalam usia 82 tahun pada 16 Januari 1982. Jasadnya dimakamkan di kompleks pemakaman IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Karya
Sepanjang hidupnya, Yunus menulis sedikitnya 75 buku. 49 judul buku ditulis dalam bahasa Indonesia dan 26 judul buku ditulis dalam bahasa Arab. Sebagian besar buku-bukunya saat ini masih dipergunakan untuk keperluan pengajaran madrasah dan perguruan tinggi. Kamus Arab–Indonesia yang disusunnya masih mudah didapatkan saat ini. Beberapa judul bukunya yang dijadikan buku pegangan pendidikan agama di antaranya tiga jilid al-Fiqh al-Wadhih dan tiga jilid at-Tarbiyah wa at-Ta'lim.
Karyanya yang berpengaruh adalah Tafsir Qur'an Karim yang diterbitkan pada tahun 1938. Tafsir ini tercatat sebagai pionir karya tafsir berbahasa Indonesia sejak dijadikan bahasa persatuan. Dua cetakan pertama terjual dalam beberapa bulan saja. Tafsir ini telah dicetak sebanyak 200.000 eksemplar hingga tahun 1983 dan telah mengalami cetak ulang sebanyak 23 kali. Dalam otobiografinya yang terbit setelah ia meninggal, Yunus mengatakan bahwa ia mulai menulis tafsir ini sejak tahun 1921.
Berikut adalah beberapa karya Mahmud Yunus:
Kesimpulan isi Quran
Sejarah pendidikan Islam
Sejarah pendidikan di Islam
Soal jawab hukum Islam
Hukum warisan (harta pusaka) dalam Islam
Sedikit uraian tentang dasar negara, ekonomi, sosial, dan kebudajaan Islam
Hukum perkawinan dalam Islam disusun setjara Buku Undang-Undang Barat
Keringkasan ilmu djiwa anak2 untuk guru2 dan ibu bapak
Pedoman Goeroe pengetahoean tentang ilmoe mengadjar
Studi perbandingan antar madzhab tentang beberapa hukum Islam
Pengetahuan umum tentang ilmu mendidik (bersama Sutan Muhammad Said)
Al-Muhadatsatul Arabiyah (bersama Muchtar Jahja)
Metodik khusus bahasa Arab
Metodik khusus pendidikan agama
Pokok-pokok pendidikan dan pengajaran
Riwajat rasul jang 25 (bersama Rasyidin Zuber Usman)
Beberapa kisah
Kitab Zakat
Puasa dan zakat
Ibadah haji dan zakat
Manasik hadji
Marilah sembahjang!
Marilah ke Al-Quran
Pelajaran bahasa Arab
Akhlak
Ilmu musthalah hadis (bersama Mahmud Aziz)
Kehidupan pribadi
Semasa hidup, Mahmud Yunus tercatat pernah menikah lima kali.. Istri pertama bernama Hj. Darisah binti Pangeran dari Payakumbuh yang memberinya seorang anak, Prof. Dr. H. Kamal Mahmud. Istri kedua, yakni Hj. Djawahir, asal Padang Japang, mempunyai lima anak yaitu: Hj. Djawanis, Hafni, H. Fachrudin, Drs. H. Hamdi, dan Elly. Berikutnya, istri ketiga adalah Karminah dengan seorang anak bernama Amlas. Ketiga istri ini dinikahinya sebelum kuliah di Mesir. Jelang keberangkatannya ke Mesir, Mahmud Yunus menceraikan istri pertama
Istri keempat bernama Hj. Nurjani binti Jalil dari Padang dengan anak-anaknya bernama Fachri Mahmud, Hj. Suraiya. Dr. Neszli Harmaini, Hj. Sufna, dan Ir. Fachran. Mahmud Yunus menikahi Hj. Nurjani setelah kembali dari Mesir. Adapun istri kelima, Hj. Darisah binti Ibrahim, memberinya enam anak yaitu Sufni (meninggal ketika masih bayi), Drs. H. Yunus Mahmud, Dr. H. Hamdi, Hj. Elina, Mahdiarti, dan Chairi. Hj. Darisah binti Ibrahim adalah anak dari mamak Mahmud Yunus sendiri, yaitu Ibrahim Datuk Sinaro Sati.
Rujukan
Keterangan
Catatan kaki
Daftar pustaka
Kata Kunci Pencarian:
- Mahmud Yunus
- Universitas Islam Negeri Mahmud Yunus Batusangkar
- Muhammad Yunus (disambiguasi)
- Machmud Yunus (militer)
- M. Yunus Palar
- Yunus (disambiguasi)
- Tafsir Qur'an Karim
- Syukri Iska
- Pemilihan umum Bupati Pesawaran 2015
- SMK Negeri 1 Sumatera Barat
- Mahmud Yunus
- Asif Mahmud
- Yunus ministry
- Yunus Khan
- Wahiduddin Mahmud
- Japanese occupation of West Sumatra
- Interim government of Muhammad Yunus
- Mahmud Khan (Moghul Khan)
- Mahmud
- Yunus Emre