Mantu Kucing adalah sebuah ritual adat yang dilakukan saat musim kemarau di Dusun Curahjati, Desa Grajagan, Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi. Ritual ini dilakukan dengan membuat upacara pernikahan untuk dua ekor
Kucing layaknya upacara pernikahan manusia.
Asal Mula
Ritual ini dimulai sekitar tahun 1930-an. Saat itu Dusun Curahjati dilanda musim kemarau berkepanjangan. Para penduduk telah melakukan ibadah Salat Istisqa dan Tiban namun hujan tetap tidak turun. Akhirnya, Mbah Wono Samudro selaku lurah (ketua kampung) pada masa itu didatangi oleh Mbah Umbulsari (ada yang menyebut Mbah Kopek) yang dipercaya masyarakat sebagai roh penunggu mata air di desa tersebut. Ada dua versi cerita yang menyebutkan bahwa Mbah Umbulsari menemui Mbah Wono Samudro dalam kenyataan atau lewat mimpi. Dalam pertemuan tersebut Mbah Umbulsari berpesan agar para warga desa melaksanakan ritual
Mantu Kucing.
Akhirnya ritual ini dilaksanakan setiap tahun. Ada anggapan bahwa
Kucing memiliki hubungan erat dengan hujan, hingga dengan memandikan
Kucing akan menyebabkan hujan turun.
Pelaksanaan
Pelaksanaan ritual ini dilakukan pada hari Jumat bulan November. Ritual dimulai pukul 09.00 diawali dengan berkumpul di rumah sesepuh dusun. Lalu, para warga berjalan kaki menuju ke mata air dengan menggendong dua
Kucing yang akan dinikahkan. Kadang kala,
Kucing dimasukkan ke dalam kurungan yang telah dihias. Dibelakang iring-iringan
Kucing, terdapat para penari jaranan yang bertindak sebagai hiburan pernikahan.
Puncak ritual dilakukan di bawah sebuah pohon di dekat mata air yang bersebelahan dengan sungai yang menjadi pembatas lahan hutan PT. Perhutani dengan area persawahan warga. Disana, sesepuh desa bersemedi kemudian dua
Kucing tadi dibawa ke tepi mata air dan diusap kepalanya sebagai simbol pernikahan. Setelah itu warga mulai berebut air yang dipercaya dapat membawa berkah. Acara ditutup dengan selamatan tumpeng yang telah digelar di sekitar mata air.
Referensi
Buku Pelangi Budaya Banyuwangi
Kucing.html Pranala mengenai
Mantu Kucing