Masako (雅子code: ja is deprecated , dahulunya Owada
Masako (小和田雅子code: ja is deprecated ); lahir 9 Desember 1963) adalah
Permaisuri Jepang (皇后 kōgō) sebagai istri dari Naruhito, Kaisar Jepang ke-126.
Kehidupan awal dan pendidikan
Ia lahir dengan nama Owada
Masako (小和田 雅子code: ja is deprecated ), sebagai anak perempuan tertua dari Owada Hisashi, seorang diplomat senior, yang saat ini adalah Presiden Mahkamah Internasional. Ia memiliki dua adik perempuan kembar bernama Setsuko dan Reiko.
Masako tinggal di Moskwa bersama orang tuanya ketika ia berusia dua tahun, dan menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di sana. Setelah kembali ke Jepang, ia masuk sekolah putri swasta di Tokyo, Denenchofu Futaba, sejak sekolah dasar sampai tahun kedua sekolah menengah atas.
Masako dan keluarganya pindah ke Amerika Serikat ketika ayahnya menjadi dosen tamu di Universitas Harvard dan wakil duta besar Jepang untuk Amerika Serikat. Pada tahun 1981, ia lulus dari Belmont High School.
Masako juga menjadi presiden National Honor Society di sekolah menengah atas tersebut.
Masako meraih gelar BA di bidang Ekonomi secara magna cum laude dari Universitas Harvard dan mengambil kuliah namun menyelesaikan pasca sarjana Hubungan Internasional di Balliol College, Universitas Oxford. Ia juga sempat belajar sebentar di Universitas Tokyo, dalam rangka persiapan ujian masuk ke Departemen Luar Negeri Jepang.
Selain bahasa Jepang, ia juga fasih berbahasa Inggris dan Prancis, serta disebutkan menguasai percakapan standar dalam bahasa Jerman, Rusia, dan Spanyol.
Karier
Setelah lulus,
Masako kembali ke Jepang dan belajar selama enam bulan pada tahun 1986 di Universitas Tokyo untuk ujian masuk Kementerian Luar Negeri Jepang. Dari 800 pendaftar, 28 orang diterima, tiga di antaranya wanita, termasuk
Masako. Di Departemen Luar Negeri Jepang, ayah
Masako menjabat sebagai Direktur Jenderal dan Wakil Menteri. Selama kariernya di sana,
Masako bertemu dengan banyak pemimpin dunia, antara lain Presiden AS Bill Clinton dan Presiden Rusia Boris Yeltsin. Ia juga berperan sebagai penerjemah dalam perundingan Jepang dan Amerika Serikat mengenai superkonduktor.
Pada tahun 1988,
Masako dipilih kementerian untuk disponsori kuliah pascasarjana dua tahun di luar negeri dengan gaji penuh, seperti ayahnya Hisashi telah bertahun-tahun sebelumnya.
Masako "sangat ingin kembali ke Harvard untuk mendapat gelar masternya". Menurut mantan penasihat Harvardnya, Oliver Oldman, ia "mencoba mendaftar ulang untuk bekerja menjadi ... seorang Juris Doktor. Namun, birokrat Harvard tidak akan mengakui masa studinya di Universitas Tokyo." Karena itu,
Masako mendaftar di pilihan keduanya, belajar Hubungan Internasional di bawah Sir Adam Roberts di Balliol College, Oxford. Namun, untuk alasan yang tidak diketahui
Masako tidak menyelesaikan tesisnya kembali ke Jepang pada tahun 1990.
Pernikahan dan keluarga
Naruhito pertama kali bertemu Owada
Masako pada November 1986 di acara minum teh untuk Infanta Elena, saat
Masako masih menjadi mahasiswi Universitas Tokyo. Namun beberapa mengatakan bahwa mereka sebelumnya pernah bertemu ketika ayahnya bertugas sebagai pendamping untuk anggota keluarga kaisar. Naruhito segera tertarik dengannya dan mengatur pertemuan mereka beberapa kali pada pekan-pekan selanjutnya.
Masako dan Naruhito terlihat bersama-sama beberapa kali di depan umum sepanjang tahun 1987.
Meski begitu,
Masako dipandang tidak layak menjadi mempelai Naruhito lantaran kontroversi terkait kakek dari pihak ibu, Egashira Yukata, yang saat bekerja di Industrial Bank of Japan ditugaskan untuk mengambil alih manajemen salah satu kreditornya, Chisso Corporation (チッソ株式会社 Chisso kabushiki kaisha) dari kebangkrutan. Chisso membuang limbah merkuri di laut dekat Minamata dan kota-kota sekitarnya, menjadikan penduduk setempat yang sering mengonsumsi ikan dari laut tersebut mengalami keracunan dan kelainan fungsi syaraf yang dikenal dengan Penyakit Minamata dan menimbulkan skandal.
Namun terlepas dari kontroversi tersebut dan
Masako sendiri melanjutkan kuliah di Balliol College, Universitas Oxford, Naruhito masih menyukainya.
Masako sendiri awalnya menolak menjadi istri Naruhito karena khawatir harus meninggalkan kariernya dalam diplomasi dan kebebasannya akan dibatasi. Namun
Masako akhirnya menerima lamaran Naruhito pada 9 Desember 1992. Ini adalah lamaran ketiga dari Naruhito. Dikatakan bahwa Naruhito menyatakan bahwa menjadi istri putra mahkota adalah salah satu bentuk lain dari diplomasi. Badan Rumah Tangga Kekaisaran secara resmi mengumumkan pertunangan mereka pada tanggal 19 Januari 1993 di Istana Kekaisaran.
Pada tanggal 9 Juni 1993, mereka menikah dalam sebuah upacara pernikahan tradisional Jepang di Gedung Kekaisaran Shinto di Tokyo. Acara tersebut dihadiri sekitar 800 tamu undangan, termasuk kepala negara dan keluarga istana Eropa, dan penonton media diperkirakan mencapai 500 juta orang di seluruh dunia.
Naruhito dan
Masako mempunyai seorang anak yang lahir pada tanggal 1 Desember 2001, Putri Aiko (愛子内親王, Aiko naishin'nō), yang kemudian dianugerahi gelar Putri Toshi (敬宮, toshi-no-miya).
= Pewarisan takhta
=
Pasangan Naruhito dan
Masako yang hanya memiliki seorang anak perempuan setelah menikah sekian lama membuat kontroversi terkait masalah pewarisan takhta. Meski sebenarnya Jepang pernah memiliki delapan maharani (kaisar wanita) dalam sejarahnya, hukum pewarisan takhta Jepang diubah setelah Restorasi Meiji, mengadopsi sistem pewarisan takhta Prusia yang melarang perempuan untuk naik takhta. Setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, hanya keturunan dari garis laki-laki dari Yoshihito (Kaisar Taisho) yang dianggap sebagai anggota resmi keluarga istana dan memiliki hak atas takhta, tidak dengan anggota Wangsa Yamato lain. Kaisar Taisho sendiri memiliki empat putra, tetapi selain putra sulungnya, garis keturunan putra-putranya terhenti lantaran tidak memiliki anak atau hanya memiliki anak perempuan. Putra tertua Kaisar Taisho, Hirohito (Kaisar Showa) memiliki dua putra, Akihito dan Masahito. Masahito tidak memiliki anak dari pernikahannya, sehingga keberlangsungan garis kekaisaran hanya melalui Kaisar Akihito yang memiliki dua putra, Naruhito dan Fumihito. Kedua putra Akihito ini sendiri tidak kunjung memiliki putra dan ini menimbulkan kekhawatiran akan matinya garis kekaisaran. Wacana untuk memperbolehkan pewarisan takhta dari garis perempuan juga mendapat penentangan.
Masako sendiri dikabarkan menerima tekanan berat lantaran keadaannya yang sulit mengandung. Namun perdebatan ini mereda setelah istri Pangeran Fumihito melahirkan seorang putra, Hisahito, pada tahun 2006.
Pada tanggal 11 Juli 2008, Naruhito meminta pemahaman publik mengenai istrinya,
Masako, yang menderita depresi dan didiagnosa mengalami gangguan penyesuaian dengan pihak keluarga kekaisaran. Adapun kabar bahwa
Masako memiliki gangguan kejiwaan, Naruhito berkata, "Saya ingin (masyarakat) memahami bahwa
Masako terus melakukan upaya maksimal dengan bantuan orang di sekitarnya untuk menghasilkan ahli waris laki-laki."
Peran
Pernikahan
Masako dengan Putra Mahkota Naruhito menjadikannya secara resmi tergabung menjadi anggota keluarga kaisar. Sebagai istri Naruhito,
Masako menerima gelar kōtaishihi (皇太子妃) dan Putri Naruhito (徳仁親王妃, Naruhito-shinnōhi). Kōtaishihi adalah gelar bagi istri putra mahkota. Shinnōhi adalah gelar bagi istri shinnō, pangeran yang merupakan kerabat dekat kaisar, didahului dengan nama suami. Saat Naruhito naik takhta pada 1 Mei 2019 sebagai kaisar,
Masako menjadi
Permaisuri (皇后, kōgō).
Sebagai anggota keluarga kaisar,
Masako juga turut serta menjadi perwakilan Jepang. Mendampingi Naruhito,
Masako melakukan kunjungan kenegaraan ke Arab Saudi, Oman, Qatar, dan Bahrain pada 1994; Kuwait, Persatuan Emirat Arab, dan Yordania pada 1995. Pada tahun 1999, selain kembali mengunjungi Yordania, Naruhito dan
Masako juga menghadiri pernikahan Pangeran Philippe (menjadi Raja Belgia pada tahun 2013). Pada tahun 2002, mereka mengunjungi Selandia Baru dan Australia. Pada tahun 2006, Naruhito beserta
Masako dan Putri Aiko mengunjungi Beatrix, Ratu Belanda, dalam kunjungan pribadi.
Setelah sebelas tahun menarik diri dari peran publik,
Masako kembali mendampingi Naruhito di penobatan Willem-Alexander sebagai Raja Belanda pada 30 April 2013. Pada Oktober 2014, dia menghadiri jamuan di Istana Kekaisaran Tokyo untuk menghormati Raja Willem-Alexander dan
Permaisuri Máxima. Dia menyambut pasangan tersebut pada upacara resmi di istana. Pada Juli 2015,
Masako mendampingi Naruhito mengunjungi Tonga dan menghadiri penobatan Raja Tupou VI. November 2015,
Masako menghadiri Pesta Taman Kekaisaran Musim Gugur di Taman Akasaka.
Konstitusi Jepang tidak mengizinkan anggota keluarga kaisar untuk terlibat dalam kegiatan politik. Namun Naruhito membuat komentar kontroversial tentang kekecewaan dan tekanan yang diberikan pada istrinya oleh Badan Rumah Tangga Kekaisaran dan keinginan istrinya untuk mengejar kehidupan sebagai seorang diplomat.
Pada ulang tahunnya yang ke-55,
Masako yang saat itu masih berstatus sebagai istri putra mahkota menyatakan bahwa dirinya merasa kurang percaya diri akan perannya di masa mendatang sebagai
Permaisuri kaisar, tetapi menambahkan bahwa dia akan berusaha untuk kebahagiaan masyarakat.
Kontroversi
Masako secara umum tidak tampil di muka publik sejak tahun 2002. Ia diperkirakan mengalami tekanan emosional yang menurut banyak pihak disebabkan oleh tuntutan untuk memiliki anak laki-laki, serta dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan sebagai anggota keluarga kekaisaran. Ia didiagnosis menderita gangguan penyesuaian (adjustment disorder) pada bulan Juli 2004, dan dilaporkan sedang menjalani pengobatan.
Pada 11 Juli 2008, Naruhito meminta publik untuk memahami keadaan istrinya yang menderita sakit tersebut. Ia membuat pernyataan dalam kunjungan selama 8-hari di Spanyol, tanpa
Masako:
Saya ingin publik mengerti bahwa
Masako terus berupaya secara maksimal dengan bantuan dari orang-orang di sekelilingnya. Mohon terus mengawasinya secara baik dan dalam jangka panjang.
Pada ulang tahunnya ke-49 pada Desember 2012,
Masako mengeluarkan pernyataan berupa ucapan terima kasih kepada masyarakat Jepang atas dukungan mereka dan menyatakan bahwa dia masih menjalani perawatan.
Pada 2006, jurnalis Ben Hills menerbitkan sebuah buku mengenai kehidupan
Masako di istana. Berjudul "Princess
Masako: Prisoner of the Chrysanthemum Throne", buku tersebut memuat berbagai hal kontroversial, di antaranya paksaan agar
Masako meninggalkan kuliahnya di Oxford lantaran tema tesisnya yang dipandang kontroversial dan tekanan kepada
Masako dari pihak Badan Rumah Tangga Kekaisaran yang memang sejak semula tidak menyetujui pernikahannya dengan Naruhito yang menjadikan
Masako depresi. 17 Januari 2007, pihak Kementerian Luar Negeri Jepang menggelar jumpa pers di Tokyo dan menyebutkan bahwa buku tersebut "menyerang masyarakat Jepang dan keluarga istana."
Rujukan
Lihat pula
Naruhito
Aiko (putri)
Pranala luar
Profil Apa dan Siapa
Profil di kjeld.com |
Masako Diarsipkan 2008-02-19 di Wayback Machine.
Pengarang Australia yang menulis biografi Putri
Masako menerima ancaman pembunuhan Diarsipkan 2007-10-25 di Wayback Machine.
Hello! Magazine |japan's
Masako
Kunaicho |their Imperial Highnesses Crown Prince Naruhito and Crown Princess
Masako
Rumah Tangga Kekaisaran Menolak Tuduhan Memberikan Tekanan Terhadap Buku
Masako Diarsipkan 2007-04-28 di Wayback Machine. 19 Februari 2007
Situs Ben Hills, Pengarang buku "Prisoner of the Chrysanthemum Throne" Diarsipkan 2009-01-05 di Wayback Machine.
The Sunday Times |land of the rising daughter 4 Juni 2006